buletin ini terbit secara rutin tiap hari Jum'at di masjid agung RMAA Tjokronegoro Ponorogo

Senin, 22 Desember 2014

MENYAYANGI ANAK YATIM



Edisi 45 th V : 7 Nopember 2014 M / 14 Muharam 1436 H
MENYAYANGI ANAK YATIM
Penulis: ust. Herul Sabana (TPQ al-Mansyur, Mangkujayan)
Segala puji dalam alam ini hanyalah bagi Allah swt yang telah menciptakan jiwa-jiwa yang kuat dalam diri anak-anak yatim sehingga sebagian besar mereka mampu menjadi orang-orang hebat yang berguna bagi masyarakat sekitarnya. Dalam al-Qur’an yang merupakan firman Allah swt terdapat surat al-Ma’un ayat 1-3 yang artinya: “Tahukah kamu orang yang mendustakan (tidak percaya) pada hari pembalasan (kiamat)? Itulah dia orang yang tidak memperhatikan anak yatim. Dan tidak menganjurkan memberi makan pada orang miskin.” Shalawat serta salam semoga tetap terlimpahkan pada anak yatim terhebat yang pernah ada yang kemudian menjadi pemimpin bagi seluruh umat manusia yaitu Nabi Muhammad saw.
Kita hidup dalam keberagaman masyarakat. Ada orang kaya, ada orang miskin. Ada orang berlimpahan kebahagiaan, namun ada juga yang berkutat dengan kesusahan. Ada juga anak-anak yang tumbuh dalam suasana lengkap keluarga yang harmonis, tapi ada juga yang hidup timpang tanpa kelengkapan kasih sayang keluarga. Dalam konteks inilah, kita harus peka terhadap berbagai fenomena sosial kemasyarakatan. Salah satu fenomena tersebut adalah keberadaan anak-anak yatim. Di sekitar kita masih banyak anak yatim yang memerlukan bantuan moril maupun materiil. Islam sebagai agama yang bersifat sosial senantiasa mengingatkan para penganutnya agar memperhatikan realita ini. Umat muslim tidak dibenarkan jika tak memiliki kepedulian terhadap anak yatim. Banyak sekali dalil-dalil penguat bagi umat muslim agar senantiasa memperhatikan keberadaan anak yatim. Salah satunya adalah surat al-Ma’un sebagaimana tersebut di atas. Ternyata masih ada dalil lain.

Kemudian juga dalam surat adh-Dhuha ayat 9-10: “Adapun terhadap anak yatim maka janganlah kamu menindas. Dan terhadap peminta-minta maka janganlah kamu menghardik.” Lalu ada juga terdapat dalam surat al-Fajr ayat 16-18: “Namun apabila diuji oleh-Nya dan disempitkan rizkinya maka dia berkata: ”Tuhanku menghinakanku.” Janganlah demikian, padahal kamu tidak memuliakan anak yatim. Dan kamu tidak menganjurkan memberi makan kepada orang miskin.” Demikianlah sebagian ayat al-Qur’an yang menyinggung tentang pentingnya memperhatikan anak yatim. Dalam hal ini, sungguh menunjukkan betapa sosialnya syariat agama Islam.
Berkaitan dengan hadirnya kembali moment bulan Muharam, maka sudah menjadi tradisi bagi sebagian besar warga masyarakat, khususnya jamaah para ibu seperti jamaah yasinan, majlis ta’lim ataupun organisasi kewanitaan, untuk menye-lenggarakan kegiatan penyantunan pada anak yatim. Biasanya acara digelar bertepatan dengan hari asy-Syuro yaitu hari ke sepuluh di bulan Muharam, dengan berkumpul bersama anak-anak yatim kemudian mengusap kepala mereka dan dilanjutkan pemberian santunan. Dikarenakan tradisi seperti ini sehingga banyak yang menyebut hari asy-syuro sebagai hari rayanya anak yatim.
Memang banyak sekali hadits yang juga membahas tentang anak yatim ini. Rasulullah yang mengalami sendiri bagaimana rasanya menjadi anak yatim, selalu antusias memperjuangkan anak yatim. Beberapa hal yang diperjuangkan Rasulullah dalam konteks sosial kemasyarakatan diantaranya adalah pembebasan perbudakan, mengangkat harkat martabat wanita serta memperjuangkan anak yatim dan orang miskin agar ikut merasakan penghidupan yang layak. Adapun mengenai keutamaan menyantuni anak yatim ini, ada hadits dari Sahl bin Sa’ad yang berkata bahwasanya Rasulullah saw bersabda: “Aku dan para penyantun anak yatim berada di surga, berdampingan seperti dekatnya jari telunjuk dengan jari tengah.” (HR Bukhari). Kemudian ada lagi hadits yang berbunyi: “Sebaik-baik rumah kaum muslimin adalah rumah yang di dalamnya ada anak yatim yang diasuh dengan baik, dan seburuk-buruk rumah kaum muslimin adalah rumah yang di dalamnya ada anak yatim namun diperlakukan dengan buruk.”
Anak yatim memang memerlukan perhatian lebih dibanding anak umum. Hal ini harus dimaklumi karena mereka memang tidak mendapatkan kasih sayang dan perlindungan dari figur seorang ayah. Secara psikologis, ada suatu ruang kosong di dalam jiwanya yang hanya mampu melihat sosok ayah tanpa ada realita untuk merasakan kehadirannya. Maka ketika ada uluran perhatian dari orang lain, ada usapan lembut di kepala, ada tambahan uang saku dan lain sebagainya, tentunya hal-hal tersebut akan menyejukkan jiwa dan menguatkan semangat mereka.

Sebaliknya, jika tidak ada perhatian dari orang lain, berarti membiarkannya dalam keadaan kesedihan. Dalam konteks ini, orang-orang kaya yang berkecukupan yang sekiranya mampu menyantuni anak yatim namun tidak melakukannya, hal itu sama saja dengan merampas hak anak yatim atas sedekah yang seharusnya mereka terima. Dan menurut tafsir hadits serta tafsir Qur’an, seperti itulah sebenarnya yang dimaksud dengan memakan harta anak yatim, sebagaimana tersirat dalam sebuah hadits tentang 7 hal yang menjadi penyakit yang merusak sebuah masyarakat, dimana hadits tersebut berbunyi: “Hindarilah 7 macam perbuatan dosa yang mencelakakan manusia. Kemudian para sahabat bertanya: Apakah itu ya Rasul? Jawabnya: syirik menyekutukan Allah, sihir, membunuh manusia tanpa ‘haq, memakan riba, memakan harta anak yatim, melarikan diri dari jihad (perang sabilillah), dan menuduh berbuat zina terhadap wanita mukmin yang baik budinya.” (HR Bukhari dan Muslim). Kemudian juga al-Qur’an Surat an-Nisaa’ ayat 10: “Sesungguhnya orang-orang yang memakan harta anak yatim secara zalim, sebenarnya mereka itu menelan api sepenuh perutnya dan mereka akan masuk ke dalam api (neraka) yang menyala-nyala.” Di sinilah penafsiran memakan harta anak yatim bukan hanya dalam arti dhohir harta yang dimiliki oleh anak yatim, melainkan juga dalam arti harta yang seharusnya disedekahkan untuk anak yatim, karena dengan begitu pada hakikatnya harta tersebut adalah menjadi hak anak yatim. Kemudian juga kasih sayang yang seharusnya mereka terima dari masyarakat, maka barangsiapa menghardik anak yatim tanpa ‘haq atau memperlakukan mereka secara zalim, maka bersiaplah bertemu dengan malaikat Malik yang akan membukakan pintu neraka dan memaksa agar memasukinya.
          Oleh sebab itu, jika kita memang belum diberi kesempatan keluasan rizki untuk berbagi dengan anak yatim, selayaknya moment 10 Muharam ini kita tunjukkan kasih sayang kepada mereka atau setidaknya kita perlakukan mereka dengan baik serta kita doakan agar Allah melindungi dan menguatkan mereka. Aamiin…
***







Senin, 03 November 2014

ADIL



Edisi 44 th V : 30 Oktober 2014 M / 7 Muharram 1436 H
ADIL
Penulis: ust. Mahfud (TPQ Miftahul Huda, Jenes)
Segala puji dalam alam ini hanyalah bagi Allah swt, Tuhan Yang Maha Adil dan Maha Bijaksana. Tidak ada yang serupa dengan-Nya dalam hal apapun. Shalawat dan salam semoga tetap tercurah pada nabi Muhammad saw, manusia paling sempurna dalam mengimplementasikan konsep-konsep keadilan yang telah termaktub dalam kitab suci al-Qur’an yang menjadi pedoman utama bagi seluruh umat manusia.
 Adil adalah termasuk sifat terpuji yang harus dimiliki setiap muslim. Adil berarti lurus atau jujur, sehingga orang yang adil selalu berjalan pada kebenaran. Banyak yang mendefinisikan adil dengan suatu sikap yang tidak memihak atau sama rata, tidak ada yang lebih dan tidak ada yang kurang, tidak ada pilih kasih dan masih banyak lagi persepsi yang lainnya. Ada istilah yang sangat popular bahwa adil adalah menempatkan sesuatu pada tempatnya. Ini berlaku pada semua hal, manakala seseorang tidak mendudukkan sesuatu pada tempat yang semestinya berarti ia telah berlaku tidak adil. Adil sering dipakai untuk menilai seorang pemimpin, pemuka agama, tokoh masyarakat maupun pemerintah. Bahkan tidak jarang adil hanya ditujukan kepada aparat penegak hukum seperti polisi, atau hakim. Sehingga apabila kita mendengar istilah adil akan terbayangkan di benak kita bagaimana sang hakim memutuskan, apa sudah menetapkan orang yang bersalah sebagai orang yang bersalah dan divonis dengan hukuman yang sesuai dengan kadar kesalahannya. Tentu persepsi ini bukan tanpa alasan sebab dalam suatu hadits  disebutkan: ”Tujuh golongan manusia yang akan diberi perlindungan oleh Allah dalam naungannya di hari yang tiada naungan melainkan perlindungan Allah itu sendiri yaitu:

Imam (pemimpin) yang adil, pemuda yang sentiasa beribadah kepada Allah, lelaki yang hatinya senantiasa terpaut dengan masjid, dua orang yang saling cinta-mencintai karena Allah di mana keduanya berkumpul dan berpisah karena Allah, seorang lelaki yang diajak oleh wanita rupawan serta berkedudukan tinggi untuk melakukan zina, lalu ia menjawab, “Aku takut kepada Allah”, seseorang yang bersedekah dengan sesuatu sedekah lalu menyembunyikan sedekahnya itu sehingga tangan kirinya tidak mengetahui apa yang dibelanjakan oleh tangan kanannya, seseorang yang mengingati Allah di tempat yang sunyi lalu mengalir air matanya.” (Riwayat Abu Daud, Tirmidzi dan Ibnu Majah)
Sebenarnya keadilan tidak hanya ditujukan kepada pemimpin saja, namun setiap individu hendaknya memiliki sifat adil. Firman Allah dalam al-Qur’an surat al-Maidah ayat 8: Hai orang-orang yang beriman hendaklah kamu menadi orang-orang yang selalu menegakkan (kebenaran) karena Allah, menjadi saksi dengan adil. Dan janganlah sekali-kali kebencianmu terhadap sesuatu kaum, mendorong kamu untuk berlaku tidak adil. Berlaku adillah, karena adil itu lebih dekat kepada takwa. Dan bertakwalah kepada Allah, Sesungguhnya Allah Maha mengetahui apa yang kamu kerjakan.” Dan juga dalam surat an-Nahl ayat 90: Sesungguhnya Allah menyuruh (kamu) berlaku adil dan berbuat kebajikan, member kepada kaum kerabat, dan Allah melarang dari perbuatan keji, kemungkaran dan permusuhan. Dia member pengajaran kepadamu agar kamu dapat mengambil pelajaran.”. Demikian dalil al-Qur’an tentang sifat adil dan masih banyak ayat-ayat al-Qur’an yang senada dengan ayat tersebut. Adapun dalil dari hadits nabi Muhammad saw: “Dari Abdullah bin `Amr bin `Ash ra berkata: Rasulullah saw bersabda: “Sesungguhnya orang-orang yang berlaku adil menurut pandangan Allah, akan ditempatkan di atas mimbar dari cahaya sisi kanan Tuhan Yang Maha Pengasih. Mereka itulah orang-orang yang berlaku adil dalam keputusannya dan tidak bergeser dari keadilannya.”  (HR. Muslim danNasa`i).

Bentuk-bentuk keadilan yang dilakukan oleh seseorang meliputi 4 macam: 1) Adil terhadap dirinya sendiri. Sudahkah kita berlaku adil terhadap diri sendiri? Jawabannya ada di hati kita masing-masing. Adil terhadap diri sendiri yaitu berpegang kepada kebenaran, lurus atau jujur berani mengoreksi dan mengakui kesalahan sendiri, teguh pendirian, baik dalam beribadah maupun bermuamalah sesuai dengan norma-norma agama Islam. Melakukan hal yang berguna terhadap diri sendiri, serta meninggalkan hal yang tidak berguna terhadap diri sendiri. Belajar, bekerja, istirahat sesuai dengan waktunya. Makan, minum dan istirahat secukupnya juga merupakan contoh adil terhadap diri sendiri. Begitulah orang yang adil terhadap dirinya sendirinya sangat menyayangi dirinya sendiri baik lahir maupun batin. 2) Adil terhadap Allah swt. Sebagai makhluk-Nya, kita wajib beriman kepada-Nya dan tidak mempersekutukan-Nya. Kita hanya mohon pertolongan kepada-Nya serta menjalankan perintah dan menjauhi segala larangan-larangan-Nya. 3) Adil terhadap orang lain, yaitu berpihak pada yang benar atau berbuat secara jujur dan benar dalam hak dan kewajiban, baik dalam hukum, ukuran, timbangan maupun perlakuan. Kalau posisi kita sebagai pemimpin hendaknya ikhlas melayani rakyat tidak membeda-bedakan antara yang miskin dan yang kaya. Kalau posisi kita sebagai pedagang jangan sampai curang dalam timbangan dan lain sebagainya. Suami adil terhadap istrinya. Ayah adil terhadap anak-anaknya, dan lain-lain. Ini artinya apapun posisi kita, kita tetap harus berbuat adil. 4) Adil terhadap makhluk lain dan lingkunganya itu berbuat secara layak dan tidak semena-mena terhadap lingkungan. Dengan tidak menganiaya hewan, tidak merusak tumbuhan, menjaga kesuburan tanah dan kebersihan air.
Begitulah Islam menghendaki agar setiap individu memiliki mindset sebagai pelaku adil, baik terhadap dirinya sendiri mau pun terhadap orang lain. Dengan demikian, maka sikap adil individu ini akan melebar menjadi sikap adil masyarakat yang kemudian membawa kemashlahatan bagi umat manusia.  Semoga kita semua mendapat ridha dari Allah untuk dapat berlaku adil baik pada diri sendiri maupun pada orang lain. Aamiin…
*********