Edisi 38 th VI : 16 Oktober 2015 M / 3 Muharam 1437 H
NAJIS
Penulis:
Ust. Mahfud, S.Pd.I (TPQ Miftahul Huda, Jenes)
Segala puji hanyalah bagi Allah
swt yang telah berfirman dalam al-Qur’an surat al-‘Ankabut ayat 45: “Bacalah
apa yang telah diwahyukan kepadamu yaitu kitab (al-Qur’an) dan dirikanlah
shalat. Sesungguhnya shalat itu mencegah dari (perbuatan) keji dan munkar. Dan
sesungguhnya mengingat Allah (dalam shalat) adalah lebih besar (keutamaannya).
Dan Allah mengetahui apa yang kamu kerjakan.” Shalawat dan salam semoga
tetap tercurah pada nabi Muhammad saw yang telah memberikan tuntunan shalat
secara sempurna pada umat Islam.
Salah satu syarat sah melakukan shalat dan ibadah
lainnya adalah suci dari hadats dan najis. Jika badan, pakaian atau tempat
seseorang terkena najis, maka harus disucikan. Menurut bahasa, najis adalah
setiap sesuatu yang dianggap atau dikatakan kotor atau menjijikkan. Adapun
menurut syara’, najis adalah sesuatu yang dianggap atau dikatakan kotor
atau menjijikkan yang dapat menghalang-halangi sahnya shalat. Namun tidak semua
yang menjijikkan itu najis, sebab syara’ atau lebih spesifiknya fiqh sudah
menentukan mana-mana perkara yang menjijikkan yang tergolong najis dan yang
bukan najis.
Barang-barang yang termasuk najis antara lain:
1) Khamr dan setiap benda yang memabukkan 2) Anjing dan babi serta anak
turunnya. 3) Bangkai selain bangkai ikan, manusia dan belalang 4) Darah yang
mengalir, dan juga nanah 5) Air kencing dan kotoran manusia atau hewan 6)
Setiap anggota hewan yang terpisah ketika dalam keadaan hidup kecuali bulu 7)
Air susu hewan yang haram dimakan.
Dari
macam-macam najis tersebut menurut keadaan atau kondisinya dibagi menjadi dua
kategori yaitu: 1) Najis ‘Ainiah, yakni setiap najis yang bentuk
atau wujud yang bisa dilihat atau mempunyai sifat yang jelas dari warna, bau,
dan rasa. 2) Najis Hukmiah, yakni setiap najis yang telah kering
dan hilang bekasnya serta tidak ada sifat yang jelas dari warna, bau, dan rupa.
Adapun menurut
jenis serta cara mensucikannya, najis dibagi dalam tiga jenis yaitu najis
Mugholadhoh, najis Mukhofafah dan najis Mutawasithoh.
Pertama, najis mugholadhoh
artinya najis yang berat. Contohnya adalah najisnya anjing dan babi serta
keturunannya. Baik berupa najis hukmiah maupun ‘ainiyah cara
mensucikan adalah sesuatu yang terkena najis dibasuh tujuh kali dan salah satu
dari basuhan tersebut dicampur debu. Imam Syafi’i menyampaikan dalam kitab al-Umm:
( قَالَ
الشَّافِعِيُّ ) : أَخْبَرَنَا ابْنُ عُيَيْنَةَ عَنْ أَبِي الزِّنَادِ عَنْ
الْأَعْرَجِ عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ
صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ : { إذَا وَلَغَ الْكَلْبُ فِي إنَاءِ
أَحَدِكُمْ فَلْيَغْسِلْهُ سَبْعَ مَرَّاتٍ }
Artinya: Imam syafi’ berkata:
Ibnu Uyainah memberikan khabar kepadaku dari Abi Zunad dari Abu Hurairah r.a
sesungguhnya Rasulullah saw bersabda: Jika anjing menjilat wadah air salah satu
dari kalian, maka basuhlah (wadah tersebut) sebanyak 7 kali basuhan. Ada
tiga cara mencampur debu, yaitu: 1) Air dicampur debu sebelum dialirkan pada
yang terkena najis. 2) Air dialirkan pada sesuatu yang terkena najis kemudian
diikuti dengan debu. 3) Debu ditaburkan pada sesuatu yang terkena najis
kemudian dialiri dengan air. Ketiga cara di atas dilakukan apabila bentuk najis
sudah tidak ada dan keadaan sudah kering. Apabila bentuk najisnya masih ada,
maka ketiga cara tersebut tidak dapat dilakukan kecuali menghilangkan najis terlebih
dahulu. Apabila bentuk najisnya tidak ada dan najisnya itu basah, maka
menggunakan cara yang pertama dan kedua, sedangkan cara yang ketiga tidak
mencukupi.
Kedua, najis mukhoffafah
artinya ringan. Contoh: air kencing anak laki-laki belum melewati umur 2 tahun
dan belum makan kecuali air susu ibu. Cara mensucikannya adalah menghilangkan
dulu ‘ain najasah (wujud najisnya) dengan cara dikeringkan, baru kemudian
diperciki air sampai merata pada bagian yang terkena najis. Apabila najis
mukhoffafah mengenai kasur, maka cukup memercikkan air pada bagian yang
terkena najis sampai basah. Dalam hal ini terdapat perbedaan hukum pada air
kencing anak laki-laki (masuk kategori mukhoffafah) dengan perempuan
(masuk kategori mutawasithoh). Adapun sebabnya adalah: 1. Air kencing
anak laki-laki lebih tipis (encer) daripada air kencing anak perempuan. 2.
Kecenderungan membawa anak laki-laki lebih banyak daripada anak perempuan. 3.
Batas balighnya anak laki-laki dengan keluarnya air suci (air mani) sedangkan
anak perempuan dengan keluarnya najis (haidh) dan air suci (mani). 4. Asal
terciptanya anak laki-laki (adam) dari air dan tanah sedangkan asal terciptanya
orang perempuan dari daging dan darah.
Ketiga, najis mutawasithoh
artinya najis kategori sedang. Yang termasuk najis mutawasithoh adalah
segala najis selain najis mugholadhoh dan mukhoffafah. Adapun
cara mensucikannya adalah sesuatu yang terkena najis disucikan dengan
mengalirkan air dan menghilangkan bekasnya sehingga najis itu hilang
keadaan dan sifat-sifatnya (warna, rasa dan bau). Apabila rasa najis dan bau
najis tidak hilang kecuali dengan dipotong bagian yang terkena najis maka najis
tersebut dapat ditolerir (ma’fu). Pokok dalam mensucikan najis
mutawasithoh adalah menghilangkan keadaan dari sifat-sifat najis dan
mengalirkan air pada bagian yang terkena najis. Contoh: Apabila lantai terkena
najis kencingnya anak perempuan atau anak laki-laki berumur di atas 2 tahun
atau orang dewasa, maka cara mensucikannya adalah sebagai berikut: Lantai yang
terkena najis dilap dengan kain terlebih dahulu, kemudian disiram dengan air
sampai mengalir. Konsep mengalirnya air inilah yang membedakan antara
cara mensucikan najis mutawasithoh dengan najis mukhoffafah.
وَعَنْ أَنَسِ بْنِ مَالِكٍ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ قَالَ : جَاءَ أَعْرَابِيٌّ فَبَالَ فِي طَائِفَةِ الْمَسْجِدِ فَزَجَرَهُ النَّاسُ فَنَهَاهُمْ النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَلَمَّا قَضَى بَوْلَهُ أَمَرَ النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ بِذَنُوبٍ مِنْ مَاءٍ؛ فَأُهْرِيقَ عَلَيْهِ مُتَّفَقٌ عَلَيْهِ
Dari Anas bin Malik ra, dia
berkata, “Pernah datang seorang arab Badui (orang desa yang kurang paham
tatakrama), lalu dia kencing di pojok masjid, kemudian orang-orang
menghardiknya, dan Nabi saw menahan hardikan mereka. Ketika dia telah
menyelesaikan kencingnya, maka Nabi saw pun memerintahkan (untuk mengambil)
seember air, lalu beliau siramkan ke tempat itu” (Muttafaqun ‘Alaihi)
Demikianlah
sekelumit tulisan tentang najis. Semoga dengan lebih memahami perihal najis
ini, kita dapat lebih berhati-hati dalam beraktifitas dan lebih sempurna kesucian
kita sebelum melaksanakan ibadah. Hal ini sangat penting karena salah satu
syarat pelaksanaan ibadah semisal shalat adalah harus suci dari najis. Jika
syarat tak terpenuhi maka bisa jadi shalat kita tidak sah. Semoga Allah
meringankan langkah-langkah usaha kita untuk senantiasa ikhtiyar menyempurnakan
ibadah. Aamiin.
***