buletin ini terbit secara rutin tiap hari Jum'at di masjid agung RMAA Tjokronegoro Ponorogo

Selasa, 08 April 2014

HUSNUDZDZAN



Edisi  13 th V : 28 Maret 2014 M / 26 Jumadil Ula 1435 H
HUSNUDZDZAN
Penulis: ust. Marsudi (TPQ ad-Darajaat, Mayak)
Puji syukur pada Allah yang telah berfirman dalam al-Qur’an surat al-Mu’minun ayat 78: “Dan Dialah yang telah menciptakan bagi kamu sekalian, pendengaran, penglihatan dan hati. Amat sedikitlah kamu bersyukur.” Kemudian shalawat salam semoga tetap tercurah pada Nabi Muhammad saw, sang pembawa risalah penyelamat bagi segenap umat manusia sampai akhir jaman.
Sebagaimana kutipan ayat ke 78 dari surat al-Mu’minun tersebut di atas, sesungguhnya kita ini sering kali kurang mampu menyadari betapa Allah telah menunjukkan sifat rahman rahim-Nya. Terkadang tanpa kita sadari kita mengeluhkan beban yang kita tanggung di pundak ataupun beratnya cobaan yang menimpa kita. Terkadang tanpa kita sadari, pikiran kita terasuki oleh adanya prasangka yang tidak baik atau negative thinking terhadap semua itu. Dan terlontarlah keluh kesah kita yang menyalahkan nasib yang terasa buruk dan serba sial. Pada point inilah kita perlu muhasabah atau menghitung-hitung diri sendiri dengan menggunakan pendengaran, penglihatan dan juga perasaan (hati). Apakah layak kita menyalahkan “nasib” yang notabene mutlak wewenang Allah? Sudah seberapa kuat ikhtiyar yang kita lakukan agar dapat memunculkan hasil terbaik melalui wewenang Allah? Benarkah kita layak berkeluh kesah dan berprasangka jelek atas kehendak Allah?
Para ahli psikologi manapun pasti akan memberikan motivasi tentang positif thinking atau berbaik sangka atau dalam bahasa agama disebut husnudzdzan. Dalam keadaan apapun, baik bahagia maupun menderita, husnudzdzan ini sangat urgen untuk menghadapi masalah. Husnudzdzan yang paling mendasar adalah pada Allah.

Salah satu hadits qudsi menyebutkan bahwa Rasulullah saw telah bersabda: Allah swt berfirman

أَنَا عِنْدَ ظَنِّ عَبْدِي بِي وَأَنَا مَعَهُ إِذَا ذَكَرَنِي فَإِنْ ذَكَرَنِي فِي نَفْسِهِ ذَكَرْتُهُ فِي نَفْسِي وَإِنْ ذَكَرَنِي فِي مَلَإٍ ذَكَرْتُهُ فِي مَلَإٍ خَيْرٍ مِنْهُمْ وَإِنْ تَقَرَّبَ إِلَيَّ بِشِبْرٍ تَقَرَّبْتُ إِلَيْهِ ذِرَاعًا وَإِنْ تَقَرَّبَ إِلَيَّ ذِرَاعًا تَقَرَّبْتُ إِلَيْهِ بَاعًا وَإِنْ أَتَانِي يَمْشِي أَتَيْتُهُ هَرْوَلَةً

Yang artinya: “Aku sesuai dengan persangkaan hamba-Ku terhadap-Ku dan Aku selalu bersamanya ketika dia mengingat-Ku. Apabila dia mengingat-Ku dalam dirinya, maka Aku pun akan mengingatnya dalam diri-Ku. Apabila dia mengingat-Ku dalam suatu kumpulan manusia, maka Aku pun akan mengingatnya dalam suatu kumpulan makhluk yang lebih baik dari mereka. Apabila dia mendekati-Ku sejengkal, maka Aku akan mendekatinya sehasta. Apabila dia mendekati-Ku sehasta, maka Aku akan mendekatinya sedepa. Dan apabila dia datang kepada-Ku dengan berjalan, maka Aku akan datang kepadanya dengan berlari." (HR. Bukhari dan Muslim). Dari hadits ini jelas sekali menunjukkan pada kita, betapa Allah memang memberikan hal yang lebih banyak bagi makhluknya. Oleh karenanya merupakan suatu keberkahan bagi kita jika kita senantiasa berhusnudzdzan pada apapun kehendak Allah atas nasib kita. Kita sebagai manusia biasa memang dianugerahi akal dan fikiran untuk merencanakan serta melaksanakan ikhtiyar sebagai makhluk. Namun sangat penting disadari bahwa sesudah berikhtiyar haruslah diikuti dengan tawakkal. Dengan begitu, konsep husnudzdzan pada Allah akan memberikan dampak yang luar biasa bagi kita sebagai makhluk. Ibnu Qayyim dalam  Al-Jawab Al-Kaafi memberikan statemen bahwa “Orang yang paling berbaik sangka kepada Allah swt  adalah orang yang paling taat kepada-Nya.” Jika kita cermati statemen ini kita akan memahami memang hanya orang yang beriman kuat yang terwujud dalam ketaatan pada apapun yang telah digariskan oleh Allah-lah yang akan mampu berqanaah serta berhusnudzdzan pada Allah. Jika lemah iman, maka sangat sulit.
            Adapun husnudzdzan pada sesama manusia juga sangat urgen dalam kehidupan bermasyarakat. Namun karena masyarakat di manapun berada selalu bersifat majemuk, dalam arti terdiri dari individu-individu yang berlainan sifat dan sikapnya, maka diperlukan adanya kehati-hatian kita dalam penerapan husnudzdzan ini. Kita dapat mengambil pelajaran dari al-Qur’an surat al-Hujurat ayat 6: “Hai orang-orang yang beriman, jika datang kepadamu orang fasik membawa suatu berita, maka periksalah dengan teliti agar kamu tidak menimpakan suatu musibah kepada suatu kaum tanpa mengetahui keadaannya yang menyebabkan kamu me

nyesal atas perbuatanmu itu.” Kemudian juga pelajaran dari hadits yang diriwayatkan oleh Muslim sebagai berikut: Abi Hurairah ra berkata, bahwa Rasulullah saw telah bersabda: "Janganlah kamu banyak berprasangka. Sebab prasangka adalah sejelek-jelek pembicaraan. Janganlah kamu saling mencampuri urusan orang lain serta jangan saling meneliti kesalahan orang Iain. Janganlah saling berlomba dalam kebanggaan, janganlah saling dengki mendengki, janganlah saling benci membenci, serta jangan kamu saling jauh menjauhi. Jadilah kamu sekalian hamba Allah yang bersatu serta bersaudara antara satu dengan yang lain." (HR. Muslim). Dalam konsep ini, kita dapat mengambil pelajaran bagaimana cara ber husnudzdzan terhadap orang yang kurang dipercaya, atau orang yang tidak begitu kita kenal karakternya yaitu dengan meneliti maupun menelaah terlebih dahulu apapun yang dia sampaikan. Hal ini sebagai langkah kehati-hatian agar kita tidak terjerumus dalam kesalahpahaman ataupun dalam kecerobohan yang dapat mengakibatkan hal-hal lain yang membuat kita menyesal. Adapun terhadap orang-orang yang kita kenal baik, maka selayaknya kita senantiasa berhusnudzdzan dan jangan banyak prasangka jelek. Jika kita berprasangka jelek dan membuat kita salah langkah dalam bersosialisasi dengan mereka, maka hal tersebut bisa menyebabkan retaknya hubungan baik yang telah terjalin. Jika ini terjadi, tentu kita sendirilah yang rugi.
Rangkaian tulisan tentang husnudzdzan ini dapat kita sinkronkan dengan hadits berikut ini:  Jabir ra berkata, bahwa Rasulullah saw telah bersabda: "Sesungguhnya di antara kamu sekalian yang sangat aku cintai serta sangat dekat kepadaku besuk di hari kiamat adalah orang yang paling baik budi pekertinya." (HR. Tirmidzi). Akhirnya semoga kita semua diberi hidayah oleh Allah swt agar menjadi manusia yang baik budi pekerti yang mampu hablum min Allah maupun hablum minan nas dengan senantiasa berhusnudzdzan atau positive thinking. Dengan demikian semoga kita dapat meraih kebahagiaan di dunia dan juga kebahagiaan di akhirat. Aamiin …

***

Tidak ada komentar:

Posting Komentar