Edisi 24 th V : 13 juni 2014 M / 15
Sya’ban 1435 H
KEJUJURAN
Penulis: ust. Mahfud (TPQ Miftahul Huda, Jenes)
Segala puji hanyalah bagi Allah dan shalawat salam semoga tercurah pada Rasulullah saw. Allah
adalah penguasa tunggal alam semesta. Karena itu,
marilah kita senantiasa menjalankan syari’at islam dengan sungguh-sungguh,
sehingga kita dapat tergolong orang-orang yang bertaqwa kepada Allah.
Dalam sebuah
kisah hikmah, ada seseorang yang suka melakukan perbuatan maksiat namun
sesungguhnya ia ingin bertaubat. Maka ia pun meminta nasehat kepada Rasulullah
saw agar ia dapat berhenti dari maksiatnya. Nasehat Rasululah saw kepadanya
sangatlah sederhana yaitu “jujurlah”. Nasehat ini ternyata sangat manjur
baginya dan menjadi elemen penting dalam kerangka proses taubatnya. Setiap kali
ia ingin berbuat maksiat dan tak bisa menahan keinginan tersebut, ia pun
teringat nasehat Rasulullah saw agar selalu jujur. Maka jauh di lubuk hatinya
pun merasa malu seandainya nanti ia ditanya oleh Rasulullah dan harus jujur
menceritakan maksiatnya. Akhir cerita, dengan stimulus kejujuran ini, ia pun
mendapat respons positif dengan menuai keberhasilan menghentikan maksiatnya.
Karena begitu
urgennya hikmah kejujuran, maka kejujuran ini hendaknya dimiliki oleh setiap
muslim, baik itu pejabat maupun rakyat biasa, baik yang tua maupun yang muda,
baik yang kaya maupun yang miskin tak memiliki apa-apa. Apabila kesadaran
tentang kejujuran ini melekat pada hati para pejabat tentu ia tidak akan berani
untuk melakukan korupsi, kolusi ataupun nepotisme. Para pedagang yang jujur
tidak akan berani curang dalam cara berdagangnya, tidak akan berani
mempermainkan harga sehingga merugikan produsen maupun konsumen.
Salah
satu sifat wajib bagi Rasul adalah sifat shiddiq atau jujur. Rasulullah saw adalah pribadi yang sangat
jujur. Kita sebagai umatnya hendaknya meneladani beliau dengan berkata dan
berlaku jujur. Perkataan yang tidak benar, sekalipun orang yang berkata
menyesalinya, maka perkataan itu tidak dapat ditarik kembali. Rasulullah saw
ketika isra’ mi’raj diperlihatkan sapi jantan yang besar keluar dari
batu yang kecil, kemudian sapi itu berusaha masuk kembali, namun tidak bisa.
Hal ini adalah ibarat orang yang omong besar, kemudian ia menyesali namun ia
tak mampu menarik kembali ucapannya yang sudah terlanjur diucapkannya.
Perkataan yang tidak benar atau tidak jujur bisa jadi fitnah atau gunjingan
untuk menjatuhkan orang lain. Dalam isra’ mi’raj diperlihatkan gambaran
orang yang suka memfitnah. Dia mengguntingi lidahnya sendiri, kemudian lidah
itu tumbuh lagi, digunting lagi begitu seterusnya. Sedangkan orang yang suka
menggunjing, menjatuhkan orang lain digambarkan dengan orang mempunyai kuku
dari tembaga kemudian mencakari mukanya sendiri.
Hendaknya kita berhati-hati dalam
menjaga lidah kita jangan sampai lidah terbiasa dengan dusta, hanya untuk
memperoleh kesenangan duniawi. Sesungguhnya akhirat itu lebih baik dan lebih
kekal. Apalagi kalau rejeki yang diperoleh dihasilkan dengan jalan yang tidak
jujur, maka rezeki itu jauh dari berkah. Sebagaimana hadits Nabi Muhammad saw: “Dua pelaku transaksi jual beli
mempunyai hak khiyar (melangsungkan atau membatalkan transaksi jual beli)
selagi keduanya belum berpisah dari majlis (tempat akad jual beli). Jika
keduanya bersikap jujur menerangkan cacat (yakni tidak menutupi kekurangan) yang
ada pada barang dagangannya, maka transaksi jual beli mereka berdua diberkahi
Allah. Namun, jika keduanya berdusta dan menutupi cacat barang dagangannya,
maka dihilangkan oleh Allah keberkahan akad jual beli mereka.” Kejujuran
adalah hal mutlak yang wajib dimiliki setiap muslim. Sebagaimana Firman Allah
swtdalam surat at-Taubah ayat 119 yang artinya: “Hai orang-orang yang beriman,
bertakwalah kalian kepada Allah, dan jadilah kalian bersama orang-orang yang
jujur.” Apabila kita mengharapkan surga, hendaknya kita jujur.
Sebagaimana hadits Nabi Muhammad saw: “Dari
Abdullah bin Mas’ud dari Nabi saw, Beliau bersabda; sesungguhnya kejujuran itu
membawa pada kebaikan dan kebaikan itu membawa (pelakunya) ke surga dan orang
yang membiasakan dirinya berkata benar (jujur) sehingga ia tercatat disisi Allah
sebagai orang yang benar, sesungguhnya dusta itu membawa pada keburukan (kemaksiatan)
dan keburukan itu membawa ke neraka dan orang yang membiasakan dirinya berdusta
sehingga ia tercatat disisi Allah sebagai pendusta.” (HR. Bukhari Muslim). Kebahagiaan yang
didasari pada kedustaan adalah kebahagiaan semu, suatu saat kedustaan akan
terbongkar dan dipermalukan.
Korupsi yang hampir ada di semua lini pemerintah menunjukkan kejujuran
sudah mencapai batas krisis yang akut. Kemiskinan juga merupakan salah satu
buah ketidakjujuran para pemimpin bangsa. Sebab dalam pasal 34 disebutkan bahwa
fakir miskin dan anak terlantar dipelihara oleh negara. Kenyataannya jauh di
propinsi penghasil emas terbesar, banyak rakyat dililit kemiskinan. Kejujuran
dimulai dari diri sendiri, kemudian menyeru kepada orang lain. Kalau memang ia
tidak berkarya harus berani jujur mengakuinya. Kalau ia gagal memimpin, maka
jujur saja gagal dalam memimpin. Kalau ia tidak mengetahui jujur saja. Dengan
mengakui kalau ia tidak mengetahui, bukan dengan banyak berkata yang ia tidak
mengetahuinya. Imam Syafi’i sangat jujur terhadap orang lain yang bertanya
suatu masalah kepada beliau, kalau Imam Syafi’i tidak mengetahui, maka Imam
Syafi’i dengan penuh kejujuran mengatakan “Saya tidak tahu”. Prinsip ‘Qul
al-Haqqa wa lau kaana murran’ (katakan yang sebenarnya meskipun pahit) mendorong
manusia untuk berkata benar dan jujur. Kejujuran yang luar biasa pernah
dicontohkan oleh sahabat Abu Bakar ash-Shiddiq, ketika orang-orang tidak
mempercayai isra’ mi’raj Nabi Muhammad saw. Abu Bakar tanpa ragu sedikit
pun mengimani dan membenarkan peristiwa isra’ mi’raj Nabi Muhammad saw.
Ia pun bergelar ash-Shiddiq (yang membenarkan).
. Firman Allah swt dalam al-Qur’an surat Ali Imran ayat 61
yang artinya: “Siapa yang membantahmu tentang kisah Isa sesudah datang ilmu
(yang meyakinkan kamu), maka katakanlah (kepadanya): "Marilah kita memanggil
anak-anak kami dan anak-anak kamu, isteri-isteri kami dan isteri-isteri kamu,
diri kami dan diri kamu; kemudian marilah kita bermubahalah kepada Allah dan
kita minta supaya la'nat Allah ditimpakan kepada orang-orang yang dusta.” Dusta merupakan tanda dari kemunafikan sebagaimana
yang disebutkan dalam hadist yang diriwayatkan oleh Abu Hurairah bahwa
Rasulullah bersabda,“Tanda-tanda orang munafik ada tiga perkara, yaitu apabila berbicara
dia dusta, apabila berjanji dia mungkiri dan apabila diberi amanah dia
mengkhianati.” (HR. Bukhari, Kitab-Iman: 32). Marilah kita menghindari segala macam bentuk ketidak
jujuran agar kita dijauhkan dari laknat Allah dan dijauhkan dari kategori orang
munafik. Aamiin…
Tidak ada komentar:
Posting Komentar