buletin ini terbit secara rutin tiap hari Jum'at di masjid agung RMAA Tjokronegoro Ponorogo

Kamis, 26 Juni 2014

KEJUJURAN



      Edisi 24 th V : 13 juni 2014 M / 15 Sya’ban 1435 H
KEJUJURAN
Penulis: ust. Mahfud (TPQ Miftahul Huda, Jenes)
Segala puji hanyalah bagi Allah dan shalawat salam semoga tercurah pada Rasulullah saw. Allah adalah penguasa tunggal alam semesta. Karena itu, marilah kita senantiasa menjalankan syari’at islam dengan sungguh-sungguh, sehingga kita dapat tergolong orang-orang yang bertaqwa kepada Allah.
Dalam sebuah kisah hikmah, ada seseorang yang suka melakukan perbuatan maksiat namun sesungguhnya ia ingin bertaubat. Maka ia pun meminta nasehat kepada Rasulullah saw agar ia dapat berhenti dari maksiatnya. Nasehat Rasululah saw kepadanya sangatlah sederhana yaitu “jujurlah”. Nasehat ini ternyata sangat manjur baginya dan menjadi elemen penting dalam kerangka proses taubatnya. Setiap kali ia ingin berbuat maksiat dan tak bisa menahan keinginan tersebut, ia pun teringat nasehat Rasulullah saw agar selalu jujur. Maka jauh di lubuk hatinya pun merasa malu seandainya nanti ia ditanya oleh Rasulullah dan harus jujur menceritakan maksiatnya. Akhir cerita, dengan stimulus kejujuran ini, ia pun mendapat respons positif dengan menuai keberhasilan menghentikan maksiatnya.
Karena begitu urgennya hikmah kejujuran, maka kejujuran ini hendaknya dimiliki oleh setiap muslim, baik itu pejabat maupun rakyat biasa, baik yang tua maupun yang muda, baik yang kaya maupun yang miskin tak memiliki apa-apa. Apabila kesadaran tentang kejujuran ini melekat pada hati para pejabat tentu ia tidak akan berani untuk melakukan korupsi, kolusi ataupun nepotisme. Para pedagang yang jujur tidak akan berani curang dalam cara berdagangnya, tidak akan berani mempermainkan harga sehingga merugikan produsen maupun konsumen.

            Salah satu sifat wajib bagi Rasul adalah sifat shiddiq atau jujur.  Rasulullah saw adalah pribadi yang sangat jujur. Kita sebagai umatnya hendaknya meneladani beliau dengan berkata dan berlaku jujur. Perkataan yang tidak benar, sekalipun orang yang berkata menyesalinya, maka perkataan itu tidak dapat ditarik kembali. Rasulullah saw ketika isra’ mi’raj diperlihatkan sapi jantan yang besar keluar dari batu yang kecil, kemudian sapi itu berusaha masuk kembali, namun tidak bisa. Hal ini adalah ibarat orang yang omong besar, kemudian ia menyesali namun ia tak mampu menarik kembali ucapannya yang sudah terlanjur diucapkannya. Perkataan yang tidak benar atau tidak jujur bisa jadi fitnah atau gunjingan untuk menjatuhkan orang lain. Dalam isra’ mi’raj diperlihatkan gambaran orang yang suka memfitnah. Dia mengguntingi lidahnya sendiri, kemudian lidah itu tumbuh lagi, digunting lagi begitu seterusnya. Sedangkan orang yang suka menggunjing, menjatuhkan orang lain digambarkan dengan orang mempunyai kuku dari tembaga kemudian mencakari mukanya sendiri.
            Hendaknya kita berhati-hati dalam menjaga lidah kita jangan sampai lidah terbiasa dengan dusta, hanya untuk memperoleh kesenangan duniawi. Sesungguhnya akhirat itu lebih baik dan lebih kekal. Apalagi kalau rejeki yang diperoleh dihasilkan dengan jalan yang tidak jujur, maka rezeki itu jauh dari berkah. Sebagaimana hadits Nabi Muhammad saw: “Dua pelaku transaksi jual beli mempunyai hak khiyar (melangsungkan atau membatalkan transaksi jual beli) selagi keduanya belum berpisah dari majlis (tempat akad jual beli). Jika keduanya bersikap jujur menerangkan cacat (yakni tidak menutupi kekurangan) yang ada pada barang dagangannya, maka transaksi jual beli mereka berdua diberkahi Allah. Namun, jika keduanya berdusta dan menutupi cacat barang dagangannya, maka dihilangkan oleh Allah keberkahan akad jual beli mereka.” Kejujuran adalah hal mutlak yang wajib dimiliki setiap muslim. Sebagaimana Firman Allah swtdalam surat at-Taubah ayat 119 yang artinya: “Hai orang-orang yang beriman, bertakwalah kalian kepada Allah, dan jadilah kalian bersama orang-orang yang jujur.” Apabila kita mengharapkan surga, hendaknya kita jujur. Sebagaimana hadits Nabi Muhammad saw: “Dari Abdullah bin Mas’ud dari Nabi saw, Beliau bersabda; sesungguhnya kejujuran itu membawa pada kebaikan dan kebaikan itu membawa (pelakunya) ke surga dan orang yang membiasakan dirinya berkata benar (jujur) sehingga ia tercatat disisi Allah sebagai orang yang benar, sesungguhnya dusta itu membawa pada keburukan (kemaksiatan) dan keburukan itu membawa ke neraka dan orang yang membiasakan dirinya berdusta sehingga ia tercatat disisi Allah sebagai pendusta.” (HR. Bukhari Muslim). Kebahagiaan yang didasari pada kedustaan adalah kebahagiaan semu, suatu saat kedustaan akan terbongkar dan dipermalukan.

Korupsi yang hampir ada di semua lini pemerintah menunjukkan kejujuran sudah mencapai batas krisis yang akut. Kemiskinan juga merupakan salah satu buah ketidakjujuran para pemimpin bangsa. Sebab dalam pasal 34 disebutkan bahwa fakir miskin dan anak terlantar dipelihara oleh negara. Kenyataannya jauh di propinsi penghasil emas terbesar, banyak rakyat dililit kemiskinan. Kejujuran dimulai dari diri sendiri, kemudian menyeru kepada orang lain. Kalau memang ia tidak berkarya harus berani jujur mengakuinya. Kalau ia gagal memimpin, maka jujur saja gagal dalam memimpin. Kalau ia tidak mengetahui jujur saja. Dengan mengakui kalau ia tidak mengetahui, bukan dengan banyak berkata yang ia tidak mengetahuinya. Imam Syafi’i sangat jujur terhadap orang lain yang bertanya suatu masalah kepada beliau, kalau Imam Syafi’i tidak mengetahui, maka Imam Syafi’i dengan penuh kejujuran mengatakan “Saya tidak tahu”. Prinsip ‘Qul al-Haqqa wa lau kaana murran’ (katakan yang sebenarnya meskipun pahit) mendorong manusia untuk berkata benar dan jujur. Kejujuran yang luar biasa pernah dicontohkan oleh sahabat Abu Bakar ash-Shiddiq, ketika orang-orang tidak mempercayai isra’ mi’raj Nabi Muhammad saw. Abu Bakar tanpa ragu sedikit pun mengimani dan membenarkan peristiwa isra’ mi’raj Nabi Muhammad saw. Ia pun bergelar ash-Shiddiq (yang membenarkan).
. Firman Allah swt dalam al-Qur’an surat Ali Imran ayat 61 yang artinya:Siapa yang membantahmu tentang kisah Isa sesudah datang ilmu (yang meyakinkan kamu), maka katakanlah (kepadanya): "Marilah kita memanggil anak-anak kami dan anak-anak kamu, isteri-isteri kami dan isteri-isteri kamu, diri kami dan diri kamu; kemudian marilah kita bermubahalah kepada Allah dan kita minta supaya la'nat Allah ditimpakan kepada orang-orang yang dusta.” Dusta merupakan tanda dari kemunafikan sebagaimana yang disebutkan dalam hadist yang diriwayatkan oleh Abu Hurairah bahwa Rasulullah bersabda,“Tanda-tanda orang munafik ada tiga perkara, yaitu apabila berbicara dia dusta, apabila berjanji dia mungkiri dan apabila diberi amanah dia mengkhianati.” (HR. Bukhari, Kitab-Iman: 32). Marilah kita menghindari segala macam bentuk ketidak jujuran agar kita dijauhkan dari laknat Allah dan dijauhkan dari kategori orang munafik. Aamiin…

Tidak ada komentar:

Posting Komentar