buletin ini terbit secara rutin tiap hari Jum'at di masjid agung RMAA Tjokronegoro Ponorogo

Kamis, 26 Juni 2014

ISTIDRAJ



      Edisi 23 th V : 6 juni 2014 M / 8 Sya’ban 1435 H
ISTIDRAJ
Penulis: ust. Herul Sabana (TPQ al-Mansyur, Mangkujayan)
Segala puji hanyalah bagi Allah swt Sang Maha Pencipta serta maha Kuasa. Shalawat salam semoga tercurah pada Rasulullah saw, sang revolusioner sejti yang telah mampu membawa perubahan signifikan bagi kehidupan manusia, dari jaman jahiliyah hingga sampai ke jaman islamiyah.
Allah adalah penguasa tunggal alam semesta, pencipta langit bumi dan seisinya termasuk manusia. Sehubungan dengan dipercayanya manusia sebagai khalifah di muka bumi, maka banyak sekali kenikmatan yang diberikan kepada manusia sampai-sampai manusia justru sering lupa dengan kenikmatan tersebut. Karena itulah Allah telah mengingatkan melalui al-Qur’an surat ar-Rahman dengan pengulangan kalimat: “Maka nikmat Tuhanmu yang mana lagikah yang (dapat) kamu dustakan?”. Selain itu Allah telah mengutus Nabi Muhammad saw untuk me-nyempurnakan akhlak manusia agar tidak lagi mendustakan kenikmatan dari Tuhan. Oleh karenanya, sudah selayaknya kita menjadikan beliau sebagai suri tauladan sepanjang masa.
Setiap manusia sesungguhnya sudah memiliki iman sejak dalam kandungan, karena di alam kandungan sudah dituntun dan bersaksi bahwa Allah adalah Tuhan Yang Maha Esa. Namun ketika lahir dan hidup di dunia, banyak manusia melupakan persaksian dalam kandungan tersebut. Sehubungan dengan hal ini, maka agama Islam senantiasa mengingatkan dan membimbing manusia agar tetap dalam jalur keimanan. Dengan iman yang mengiringi kehidupan, selayaknya mampu mengantarkannya pada pemahaman bahwa manusia hanya hamba atau hanya sekedar makhluk yang telah diciptakan hanya untuk mengabdi dan beribadah kepada Sang Penciptanya yaitu Allah swt, sebagaimana telah diwahyukan dalam al-Qur’an surat adz-Dzariyat ayat 56 yang artinya: “Dan tidaklah Aku (Allah) menciptakan jin dan manusia melainkan supaya mereka mengabdi (beribadah) kepada-Ku.”

Dari pemahaman inilah seharusnya kita sadari bahwa ibadah merupakan kewajiban yang asasi bagi manusia (bukankah jika ada “hak asasi” maka seharusnya juga ada “kewajiban asasi”?). Berangkat dari konsep ini, jika manusia melaksanakan ibadah, tidak boleh memperhitungkan untung ruginya. Ibadah merupakan kebutuhan bukan kewajiban (Karena pada prinsipnya makhluk senantiasa membutuhkan Sang Khaliq untuk pemenuhan hajat hidupnya, sedangkan Sang Khaliq yang bersifat Qiyamuhu bi nafsihi tidaklah pernah berhajat kepada makhluk). Ketika beribadah maka tidaklah boleh mencari untung sesaat seperti mengharapkan harta, tahta ataupun kehormatan. Betapa banyak contoh hal-hal yang kita anggap sebagai anugerah namun hakikatnya justru musibah karena kelirunya orientasi ibadah. Banyak orang yang mempunyai harta namun justru menjerumuskannya ke dalam kemaksiatan. Banyak orang yang memiliki kedudukan (tahta) yang strategis namun justru menyeretnya ke dalam lingkaran korupsi dan kolusi yang merugikan negara. Banyak orang yang terhormat namun justru terlena dalam gemerlap dunia. Dari sekian banyak kasus, ketika segala anugerah kenikmatan berakhir karena tipisnya keimanan dan ibadah yang dilakukan hanya sekedar kepentingan sesaat, maka akhir tersebut sangatlah tragis. Harta ludes menjadi pailit, dipecat dari kedudukan strategis, atau kehilangan kehormatan karena kasus asusila.
Berkaitan dengan keterangan di atas, Rasulullah saw telah bersabda dalam hadits yang artinya: “Apabila engkau melihat seorang hamba yang diberi apapun yang diinginkannya di dunia ini, padahal ia durhaka pada Allah, maka yang demikian ini merupakan istidraj.” (HR Ahmad). Lalu apakah yang dimaksud dengan istidraj? Berikut ada penjelasan dalam al-Qur’an surat al-A’raf ayat 182 yang artinya: “Dan orang-orang yang mendustakan ayat-ayat Kami, nanti Kami akan menarik mereka dengan berangsur-angsur (ke arah kebinasaan) dengan cara yang tidak mereka ketahui.” Dari ayat ini dapat ditarik kesimpulan tentang orang yang mengetahui perihal ayat-ayat Allah namun mendustakannya atau menganggapnya enteng saja. Akibatnya perlahan-lahan diapun akan mengalami kehancuran dari segala anugerah yang dinikmatinya tanpa disadari sehingga akan dipermalukan di hadapan manusia lain. Menurut Ibnu Katsir, yang dimaksud istidraj adalah manusia yang dibukakan -oleh Allah- berbagai pintu rizki untuknya dari berbagai sumber penghidupan berupa harta, jabatan, kehormatan, sampai ia terpedaya dan beranggapan bahwa diri mereka di atas segalanya, bahwa semua merupakan hasil jerih payahnya tanpa campur tangan Allah. Hingga akhiraya Allah mempermalukan dengan mencabut semua kenikmatan tersebut.

Adapun proses terjadinya istidraj diterangkan dalam al-Qur’an surat al-An’am ayat 44 yang artinya: “Maka tatkala mereka melupakan peringatan yang telah diberikan pada mereka, Kami pun membukakan pintu-pintu kesenangan untuk mereka, sehingga apabila mereka bergembira dengan apa yang telah diberikan pada mereka, kami siksa mereka dengan tiba-tiba, maka ketika itu mereka terdiam berputus asa.” Dari ayat ini dapat ditarik kesimpulan adanya 5 tahapan terjadinya istijraj yaitu
1)      Manusia semakin menjauh dari Allah dengan melupakan syariat, padahal sebe-narnya mereka mengetahui syariat tersebut, namun mereka mendustakannya.
2)      Allah justru akan memberinya limpahan kenikmatan meski mereka durhaka (bahasa Jawa: “mbombong”).
3)      Manusia tersebut terlena dengan segala kenikmatan dan justru semakin menjauhkannya dari Allah.
4)      Allah pun mencabut semua kenikmatan tersebut.
5)      Manusia ini panik tidak mampu berbuat apa-apa dan akhirnya berputus asa.

Banyak pelajaran yang dapat dipetik dari kasus istidraj ini, diantaranya bahwa manusia harus mampu memahami hakikat kehidupannya yang memang memiliki hak asasi namun juga memiliki kewajiban asasi yaitu beribadah pada Allah. Jika manusia senantiasa beribadah maka tentunya tidak akan terlena oleh gemerlap dan kenikmtan dunia. Jika pada realitanya banyak manusia yang tidak bagus akhlaknya, namun justru bergelimang kenikmatan, maka tinggal menunggu waktu saja untuk melihat kehancurannya.
 Manusia dalam segala proses kehidupannya, tidaklah boleh merasa bahwa segala yang dimiliki merupakan hasil jerih payahnya saja tanpa campur tangan Allah, sehingga melupakan kewajiban asasinya. Semoga Allah menjadikan kita sebagai manusia yang tahu diri sehingga kita tidak mengalami istidraj. Aamiin…
*********      

Tidak ada komentar:

Posting Komentar