Edisi 23 th V : 6 juni 2014 M / 8 Sya’ban
1435 H
ISTIDRAJ
Penulis: ust. Herul Sabana
(TPQ al-Mansyur, Mangkujayan)
Segala puji hanyalah bagi Allah swt Sang Maha Pencipta serta maha
Kuasa. Shalawat salam semoga
tercurah pada Rasulullah saw, sang revolusioner sejti
yang telah mampu membawa perubahan signifikan bagi kehidupan manusia, dari
jaman jahiliyah hingga sampai ke jaman islamiyah.
Allah adalah penguasa tunggal alam semesta, pencipta langit bumi dan
seisinya termasuk manusia. Sehubungan dengan dipercayanya manusia sebagai
khalifah di muka bumi, maka banyak sekali kenikmatan yang diberikan kepada
manusia sampai-sampai manusia justru sering lupa dengan kenikmatan tersebut.
Karena itulah Allah telah mengingatkan melalui al-Qur’an surat ar-Rahman dengan
pengulangan kalimat: “Maka nikmat Tuhanmu yang mana lagikah yang (dapat)
kamu dustakan?”. Selain itu Allah telah mengutus Nabi Muhammad saw
untuk me-nyempurnakan akhlak manusia agar tidak lagi mendustakan kenikmatan
dari Tuhan. Oleh karenanya, sudah selayaknya kita menjadikan beliau sebagai
suri tauladan sepanjang masa.
Setiap manusia sesungguhnya sudah memiliki iman sejak dalam kandungan,
karena di alam kandungan sudah dituntun dan bersaksi bahwa Allah adalah Tuhan
Yang Maha Esa. Namun ketika lahir dan hidup di dunia, banyak manusia melupakan
persaksian dalam kandungan tersebut. Sehubungan dengan hal ini, maka agama
Islam senantiasa mengingatkan dan membimbing manusia agar tetap dalam jalur
keimanan. Dengan iman yang mengiringi kehidupan, selayaknya mampu
mengantarkannya pada pemahaman bahwa manusia hanya hamba atau hanya sekedar makhluk
yang telah diciptakan hanya
untuk mengabdi dan beribadah kepada Sang Penciptanya yaitu Allah swt,
sebagaimana telah diwahyukan dalam al-Qur’an surat adz-Dzariyat ayat 56 yang
artinya: “Dan tidaklah Aku (Allah) menciptakan jin dan manusia melainkan
supaya mereka mengabdi (beribadah) kepada-Ku.”
Dari pemahaman inilah seharusnya kita sadari bahwa ibadah merupakan
kewajiban yang asasi bagi manusia (bukankah jika ada “hak asasi” maka
seharusnya juga ada “kewajiban asasi”?). Berangkat dari konsep ini, jika
manusia melaksanakan ibadah, tidak boleh memperhitungkan untung ruginya. Ibadah
merupakan kebutuhan bukan kewajiban (Karena pada prinsipnya makhluk senantiasa
membutuhkan Sang Khaliq untuk pemenuhan hajat hidupnya, sedangkan Sang Khaliq
yang bersifat Qiyamuhu bi nafsihi tidaklah pernah berhajat kepada
makhluk). Ketika beribadah maka tidaklah boleh mencari untung sesaat seperti
mengharapkan harta, tahta ataupun kehormatan. Betapa banyak contoh hal-hal yang
kita anggap sebagai anugerah namun hakikatnya justru musibah karena kelirunya
orientasi ibadah. Banyak orang yang mempunyai harta namun justru menjerumuskannya
ke dalam kemaksiatan. Banyak orang yang memiliki kedudukan (tahta) yang
strategis namun justru menyeretnya ke dalam lingkaran korupsi dan kolusi yang
merugikan negara. Banyak orang yang terhormat namun justru terlena dalam
gemerlap dunia. Dari sekian banyak kasus, ketika segala anugerah kenikmatan
berakhir karena tipisnya keimanan dan ibadah yang dilakukan hanya sekedar kepentingan
sesaat, maka akhir tersebut sangatlah tragis. Harta ludes menjadi pailit,
dipecat dari kedudukan strategis, atau kehilangan kehormatan karena kasus
asusila.
Berkaitan dengan keterangan di atas, Rasulullah saw telah bersabda
dalam hadits yang artinya: “Apabila engkau melihat seorang hamba yang
diberi apapun yang diinginkannya di dunia ini, padahal ia durhaka pada Allah,
maka yang demikian ini merupakan istidraj.” (HR Ahmad). Lalu apakah
yang dimaksud dengan istidraj? Berikut ada penjelasan dalam al-Qur’an surat
al-A’raf ayat 182 yang artinya: “Dan orang-orang yang mendustakan
ayat-ayat Kami, nanti Kami akan menarik mereka dengan berangsur-angsur (ke arah
kebinasaan) dengan cara yang tidak mereka ketahui.” Dari ayat ini dapat
ditarik kesimpulan tentang orang yang mengetahui perihal ayat-ayat Allah namun
mendustakannya atau menganggapnya enteng saja. Akibatnya perlahan-lahan diapun
akan mengalami kehancuran dari segala anugerah yang dinikmatinya tanpa disadari
sehingga akan dipermalukan di hadapan manusia lain. Menurut Ibnu Katsir, yang
dimaksud istidraj adalah manusia yang dibukakan -oleh Allah- berbagai
pintu rizki untuknya dari berbagai sumber penghidupan berupa harta, jabatan,
kehormatan, sampai ia terpedaya dan beranggapan bahwa diri mereka di atas
segalanya, bahwa semua merupakan hasil jerih payahnya tanpa campur tangan
Allah. Hingga akhiraya Allah mempermalukan dengan mencabut
semua kenikmatan tersebut.
Adapun proses terjadinya istidraj diterangkan dalam
al-Qur’an surat al-An’am ayat 44 yang artinya: “Maka tatkala
mereka melupakan peringatan yang telah diberikan pada mereka, Kami pun
membukakan pintu-pintu kesenangan untuk mereka, sehingga apabila mereka
bergembira dengan apa yang telah diberikan pada mereka, kami siksa mereka
dengan tiba-tiba, maka ketika itu mereka terdiam berputus asa.” Dari ayat ini dapat
ditarik kesimpulan adanya 5 tahapan terjadinya istijraj yaitu
1)
Manusia semakin menjauh dari Allah dengan
melupakan syariat, padahal sebe-narnya mereka mengetahui syariat tersebut,
namun mereka mendustakannya.
2)
Allah justru akan memberinya limpahan
kenikmatan meski mereka durhaka (bahasa Jawa: “mbombong”).
3)
Manusia tersebut terlena dengan segala
kenikmatan dan justru semakin menjauhkannya dari Allah.
4)
Allah pun mencabut semua kenikmatan tersebut.
5)
Manusia ini panik tidak mampu berbuat apa-apa
dan akhirnya berputus asa.
Banyak pelajaran yang
dapat dipetik dari kasus istidraj ini, diantaranya bahwa manusia harus mampu
memahami hakikat kehidupannya yang memang memiliki hak asasi namun juga
memiliki kewajiban asasi yaitu beribadah pada Allah. Jika manusia senantiasa
beribadah maka tentunya tidak akan terlena oleh gemerlap dan kenikmtan dunia.
Jika pada realitanya banyak manusia yang tidak bagus akhlaknya, namun justru
bergelimang kenikmatan, maka tinggal menunggu waktu saja untuk melihat
kehancurannya.
Manusia dalam segala proses kehidupannya,
tidaklah boleh merasa bahwa segala yang dimiliki merupakan hasil jerih payahnya
saja tanpa campur tangan Allah, sehingga melupakan kewajiban asasinya. Semoga
Allah menjadikan kita sebagai manusia yang tahu diri sehingga kita tidak
mengalami istidraj. Aamiin…
*********
Tidak ada komentar:
Posting Komentar