buletin ini terbit secara rutin tiap hari Jum'at di masjid agung RMAA Tjokronegoro Ponorogo

Kamis, 17 Juli 2014

BACALAH



Edisi 29 th V : 18 Juli 2014 M / 20 Ramadhan 1435 H
BACALAH
Penulis: ust. Marsudi (TPQ ad-Darajaat, Mayak)
Segala puji hanyalah bagi Allah swt yang telah berfirman dalam al-Qur’an surat al-Mujadilah ayat 11: “Hai orang-orang beriman, apabila dikatakan kepada-mu "berlapang-lapanglah dalam majlis", maka lapangkanlah, niscaya Allah akan memberi kelapangan untukmu. dan apabila dikatakan "berdirilah kamu", maka berdirilah, niscaya Allah akan meninggikan orang-orang yang beriman di antaramu dan orang-orang yang diberi ilmu pengetahuan beberapa derajat. dan Allah Maha mengetahui apa yang kamu kerjakan.” Shalawat dan salam semoga senantiasa tercurahkan pada nabi Muhammad saw yang telah menyampaikan kepada kita berbagai ilmu pengetahuan, baik ilmu agama maupun ilmu dunia.
Bulan Ramadhan adalah bulan di mana di dalamnya telah diturunkan al-Qur’an. Kita tentu sudah mengetahui bahwa tanggal 17 Ramadhan disepakati oleh jumhur ‘ulama sebagai hari nuzulul-Qur’an karena pada tanggal tersebut pertama kalinya Rasulullah saw menerima wahyu dari Allah melalui perantara malaikat Jibril di gua Hira’. Wahyu-wahyu berikutnya turun secara berangsur-angsur pada saat yang tepat dan dapat menjadi pelajaran bagi para sahabat pada saat turunnya wahyu tersebut serta dapat juga menjadi pelajaran bagi umat Islam sesudahnya dengan memperhatikan asbabun-nuzulnya atau esensi dari ayat yang turun tersebut. Oleh karena itulah ayat-ayat al-Qur’an memiliki karakteristik global universal yang dapat menembus berbagai dimensi dalam arti dapat diimplementasikan kapanpun dan di manapun.
Wahyu pertama yaitu surat al-‘Alaq ayat 1-5 dengan asbabun-nuzul peristiwa

Rasulullah saw saat berkhalwat di gua Hira’. Ayat pertama yang turun tersebut adalah (1) Bacalah dengan (menyebut) nama Tuhanmu yang Menciptakan, (2) Dia telah menciptakan manusia dari segumpal darah. (3) Bacalah, dan Tuhanmulah yang Maha Pemurah, (4) yang mengajar (manusia) dengan perantaran qalam (5) Dia mengajar kepada manusia apa yang tidak diketahuinya.” Ayat ini masih sangat urgen bagi kehidupan kita sekarang. Mari kita perhatikan lafadz pertama dari wahyu perdana ini, yaitu “bacalah”. Ini adalah sesuatu yang luar biasa, baik pada masa itu maupun saat ini. Sebuah perintah bagi kita agar kita tidak bodoh. Tentu hal ini dapat dipahami bahwa kebodohan adalah identik dengan kegelapan. Jika sebuah bangsa menjadi bodoh maka gelaplah peradabannya, jika seorang manusia bodoh maka gelaplah masa depannya. Dan jika seorang pemeluk agama bodoh, maka tentunya gelap pula baginya ilmu agama sehingga bisa jadi ia sulit memahami syariat agama.
            Lafadz iqra’ secara etimology memang artinya membaca. Namun secara terminology bisa diartikan sebagai belajar. Dalam konsep ini, belajar dalam bentuk apapun dan dengan media apapun. Belajar dengan segala apa yang ada di alam ini. Namun perintah “membaca/belajar” ini tidaklah boleh dilakukan dengan sembarang saja, melainkan harus dilandasi dengan sebuah keimanan yang kuat yaitu dengan senantiasa menyebut dan mengingat Allah. Hal ini dilandasi sebuah pengertian bahwa Allah lah yang menciptakan manusia dari segumpal darah. Padahal sebagaimana kita ketahui bahwa banyak juga manusia yang merasa jijik ataupun risih dengan wujud darah. Secara filosofis, hal ini menunjukkan asal muasal manusia pada hakikatnya “seperti” sesuatu yang tidak begitu “bagus”. Namun segalanya bisa berubah total, dari segumpal darah menjadi sebuah wujud manusia dengan karunia hati, otak dan akal yang kemudian menjadi sarana baginya untuk menunjukkan eksistensinya sebagai makhluk paling sempurna (lihat surat at-Tin ayat ke 4: “Sesungguhnya Kami telah menciptakan manusia dalam bentuk yang sebaik-baiknya”). Pada point inilah urgensinya perintah “iqra’ membaca/belajar” yaitu untuk menunjukkan kelebihan manusia dibandingkan makhluk lain.
            Kemudian jika manusia sudah mau “membaca/belajar” maka sesungguhnya Allah adalah Maha Pemurah yaitu pemurah dalam memberikan ilmunya. Kita harus memahami bahwa segala ilmu yang ada di dunia ini adalah ilmu Allah. Bahkan ilmu Allah tak kan habis dituliskan dengan tinta sepenuh lautan dunia. Oleh karenanya jika kita belajar dengan diawali dan senantiasa diiringi menyebut asma Allah yang dalam hal ini berarti dilandasi keimanan, maka segala ilmu akan tercurah sehingga kita dapat mengetahui segala sesuatu yang sebelumnya tidak kita ketahui. Adapun perbe-daan jika belajar tanpa landasan keimanan adalah adanya barakah ilmu yang didapat. Seperti kita ketahui, banyak orang non muslim yang pandai dalam ilmu, tapi tentunya ilmu mereka tidaklah ada barakahnya.
Surat al-‘Alaq ayat 4 menunjukkan secara implisit (tersirat) suatu syarat bagi manusia untuk mendapatkan ilmu, yaitu dengan perantaraan qalam (pena). Dalam konsep ini, qalam yang dimaksud adalah sarana-prasarana dapat berupa apapun yang berhubungan dengan proses belajar-mengajar. Qalam tersebut dapat berupa buku atau kitab-kitab yang ada, dapat juga berbagai kejadian atau fenomena atau benda-benda dan makhluk yang ada di alam ini. Semua harus dipelajari oleh manusia agar kemudian dengan perantaraan sarana tersebut Allah memberikan ilmu yang sebelum-nya tidak diketahui oleh manusia. Oleh sebab itu, manusia tidak boleh bermalas-malas dalam belajar atau sekedar mengandalkan turunnya hidayah dari Allah berupa ilmu laduni yang ilmu tersebut dapat diperoleh tanpa belajar. Manusia harus tetap ikhtiyar belajar sepanjang hayatnya agar mendapatkan berbagai ilmu yang maslahah fid-dini wad dun-ya wal akhirah. Hal ini sesuai dengan tuntunan Rasulullah saw melalui hadits yang artinya: “Tuntutlah ilmu sejak dalam buaian sampai liang lahat”. Inilah konsep belajar sepanjang hayat dalam Islam. Adapun belajar tidaklah melulu dalam sekolah saja. Belajar bisa di dalam majlis ta’lim, pengajian umum, kuliah shubuh, kultum, membaca buku, mendengar siraman rohani di radio, melihat ceramah agama di TV, dan lain sebagainya.
Semoga kita semua diberi hidayah oleh Allah untuk menjadi manusia yang senantiasa giat belajar mencari ilmu. Semoga kita semakin termotivasi dengan adanya janji Allah melalui sabda Rasulullah saw yaitu “… barangsiapa menempuh jalan dalam mencari ilmu, maka Allah akan memudahkan baginya jalannya ke surga …” (HR Muslim). Juga hadits lain tentang hebatnya orang yang telah memiliki ilmu yaitu “Keutamaan orang ahli ilmu atas orang ahli ibadah adalah seperti keutamaan bulan pada malam purnama atas seluruh bintang-bintang.” (HR Abu Dawud, at-Tirmidzi, an-Nasa'i dan Ibnu Hibban). Semoga juga ilmu yang telah kita peroleh dapat bermanfaat bagi orang lain sehingga kita akan mendapatkan pahala yang terus mengalir sebagai mana hadits rasulullah saw: Apabila seseorang telah meninggal, maka semua amalnya terputus kecuali tiga perkara: shadaqah jariyah, ilmu yang bermanfaat, dan anak shaleh yang senantiasa mendoakan kepada kedua orang tuanya." (HR. Muslim). Semoga Allah meridhai, aamiin … ###

Kamis, 10 Juli 2014

SURAT AL-IKHLAS



      Edisi 28 th V : 11 Juli 2014 M / 13 Ramadhan 1435 H
SURAT AL-IKHLAS
Penulis: ust. Marsudi (TPQ ad-Darajaat, Mayak)
Segala puji hanyalah bagi Allah swt yang telah berfirman dalam al-Qur’an surat al-Ikhlas: “Katakanlah: "Dia-lah Allah, yang Maha Esa. Allah adalah Tuhan yang bergantung kepada-Nya segala sesuatu. Dia tiada beranak dan tidak pula diperanakkan, dan tidak ada seorangpun yang setara dengan Dia." Kemudian shalawat dan salam semoga tetap tercurah pada Nabi Muhammad saw, sang pembawa risalah agama Islam sebagai satu-satunya agama saat ini yang diridhai oleh Allah sebagaimana termaktub dalam al-Qur’an surat Ali ‘Imran ayat 19: “Sesungguhnya agama (yang diridhai) di sisi Allah adalah Islam …”.
Bulan ini, bulan Ramadhan penuh berkah. Di dalam bulan ini, umat Islam berlomba-lomba dalam amal shalih, baik sedekah, taddarus al-Qur’an maupun shalat tarawih. Dalam taddarus al-Qur’an di masjid atau mushala, secara bergantian kita membaca al-Qur’an ayat demi ayat mulai dari ayat pertama sampai terakhir. Pada saat yang sama, ada pula yang memberikan sedekah makanan minuman bagi para pembaca. Adapun dalam shalat tarawih, kita laksanakan dengan berjamaah baik 20 rakaat plus 3 witir maupun 8 rakaat plus 3 witir. Ada satu hal yang menarik bagi kita, bahwasanya dalam tarawih yang dikerjakan 20 rakaat, biasanya surat yang dibaca pada rakaat pertama adalah surat at-Takatsur sampai al-Lahab. Adapun pada rakaat kedua biasanya adalah surat al-Ikhlas. Barangkali ada terbersit sebuah pertanyaan, mengapa surat al-Ikhlas begitu sering dibaca, bahkan berulangkali dalam setiap rakaat kedua? Apa sebenarnya keistimewaan surat al-Ikhlas sehingga terasa begitu dominan dalam hampir setiap rakaat kedua?

Ada sebuah hadits dari Aisyah yang menyatakan tentang keutamaan surat al-Ikhlas: "Sesungguhnya Nabi saw mengutus seseorang kepada sekelompok pasukan, dan ketika orang itu mengimami yang lainnya di dalam shalatnya, ia membaca, dan mengakhiri (bacaannya) dengan قُلْ هُوَ اللهُ أَحَدٌ, maka tatkala mereka kembali pulang, mereka menceritakan hal itu kepada Rasulullah saw, lalu beliau pun bersabda: “Tanyalah ia, mengapa ia berbuat demikian?” Lalu mereka bertanya kepadanya. Ia pun menjawab: “Karena surat ini (mengandung) sifat ar-Rahman, dan aku mencintai untuk membaca surat ini,” lalu Nabi saw bersabda: “Beritahu dia, sesungguhnya Allah pun mencintainya” (HR Bukhari dan Muslim). Dari hadits ini jelas tersirat bahwa barangsiapa mencintai surat al-Ikhlas dan sering membacanya dalam shalat, maka Allah pun akan mencintainya. Dan apabila seorang manusia sudah dicintai oleh Allah, maka tiada penghalang untuk memperoleh kebaikan dan kebahagiaan.
            Ada lagi hadits lain yang berasal dari Anas bin Malik ra: "Seseorang (sahabat) dari golongan Anshar mengimami (shalat) mereka (para shahabat lainnya) di Masjid Quba. Setiap ia membuka bacaan (di dalam shalatnya), ia membaca sebuah surat dari surat-surat (lainnya) yang ia (selalu) membacanya. Ia membuka bacaan surat di dalam shalatnya dengan قُلْ هُوَ اللهُ أَحَدٌ, sampai ia selesai membacanya, kemudian ia lanjutkan dengan membaca surat lainnya bersamanya. Ia pun melakukan hal demikan itu di setiap raka’at (shalat)nya. (Akhirnya) para sahabat lainnya berbicara kepadanya, mereka berkata: “Sesungguhnya engkau membuka bacaanmu dengan surat ini, kemudian engkau tidak menganggap hal itu telah cukup bagimu sampai (engkau pun) membaca surat lainnya. Maka (jika engkau ingin membacanya) bacalah surat itu (saja), atau engkau tidak membacanya dan engkau (hanya boleh) membaca surat lainnya”. Ia berkata: “Aku tidak akan meninggalkannya. Jika kalian suka untuk aku imami kalian dengannya, maka aku lakukan. Namun jika kalian tidak suka, aku tinggalkan kalian,” dan mereka telah menganggapnya orang yang paling utama di antara mereka, sehingga mereka pun tidak suka jika yang mengimami (shalat) mereka adalah orang selainnya. Sehingga tatkala Nabi saw mendatangi mereka, maka mereka pun menceritakan kabar (tentang itu), lalu ia (Nabi) bersabda: “Wahai fulan, apa yang menghalangimu untuk melakukan sesuatu yang telah diperintahkan para sahabatmu? Dan apa pula yang membuatmu selalu membaca surat ini di setiap raka’at (shalat)?” Dia menjawab,"Sesungguhnya aku mencintai surat ini,” lalu Rasulullah bersabda: “Cintamu kepadanya memasukkanmu ke dalam surga” (HR Bukhari, Tirmidzi dan Ahmad). Luar biasa sekali. Jika pada hadits yang di atas, kecintaan pada surat al-Ikhlas yang dibaca dalam setiap shalat akan berbalas dengan kecintaan Allah, maka kali ini lebih jelas lagi, yaitu surga.

Selain itu, ada lagi hadits lain dari Abu Sa’id al-Khudri ra

أَنَّ رَجُلاً سَمِعَ رَجُلاً يَقْرَأُ: قُلْ هُوَ اللهُ أَحَدٌ يُرَدِّدُهَا، فَلَمَّا أَصْبَحَ جَاءَ إِلَى رَسُوْلِ اللهِ ، فَذَكَرَ ذَلِكَ لَهُ، وَكَأَنَّ الرَّجُلَ يَتَقَالُّهَا، فَقَالَ رَسُوْلُ اللهِ  وَالَّذِيْ نَفْسِيْ بِيَدِهِ، إِنَّهَا لَتَعْدِلُ ثُلُثَ القُرْآنِ

"Sesungguhnya seseorang mendengar orang lain membaca قُلْ هُوَ اللهُ أَحَدٌ dengan mengulang-ulangnya, maka tatkala pagi harinya, ia mendatangi Rasulullah dan menceritakan hal itu kepadanya, dan seolah-olah orang itu menganggap remeh surat itu, maka bersabdalah Rasulullah saw: “Demi Dzat yang jiwaku berada di tangan-Nya, sesungguhnya surat itu sebanding dengan sepertiga al-Qur`an” (HR Bukhari, Abu Dawud dan an-Nasa’i). Betapa hebatnya surat al-Ikhlas sehingga membacanya bisa sebanding dengan membaca sepertiga al-Qur’an. Hal ini tentu karena kandungan yang dahsyat dalam surat al-Ikhlas. Dan memang kita bisa melihat bahwa inti ilmu tauhid ada dalam surat ini. Sedangkan tauhid merupakan pondasi keimanan seseorang.
 Terlepas dari betapa dahsyatnya surat al-Ikhlas, tentu kita tidak boleh mengesampingkan surat-surat al-Qur’an yang lainnya. Harus kita pahami bahwasanya setiap surat maupun ayat dalam al-Qur’an memiliki hikmah sendiri-sendiri sehingga antara satu dengan lainnya memiliki karakteristik istimewa. Sesungguhnya memang tidak ada satupun yang sia-sia dalam al-Qur’an. Bahkan seperti kita telah ketahui bersama, orang yang hanya mampu mendengarkan bacaan al-Qur’an pun, dan dia menghormati serta mencintai al-Qur’an yang dibaca tersebut, maka insyaAllah baginya pahala.
Semoga Allah membukakan hati kita untuk senantiasa mencintai setiap detail dari al-Qur’an, dan semoga rasa cinta kita tersebut akan menjadi sarana bagi kita untuk lebih mencintai Allah yang telah menurunkan al-Qur’an sehingga kita mendapatkan balasan cinta dari-Nya. Aamiin…
*********