buletin ini terbit secara rutin tiap hari Jum'at di masjid agung RMAA Tjokronegoro Ponorogo

Rabu, 13 Agustus 2014

ADIL



      Edisi 33 th V : 15 Agustus 2014 M / 17 Syawal 1435 H
ADIL
Penulis: ust. Herul Sabana (TPQ al-Mansyur, Mangkujayan)
Segala puji hanyalah milik Allah swt, Tuhan Yang Maha Adil atas seluruh makhlukNya, baik makhluk yang kasat mata maupun yang tidak kasat mata. KeMaha Adilan Allah meliputi langit, bumi dan semesta raya tanpa batas. KeMaha Adilan tersebut tak terbantahkan, bahkan oleh makhluk yang durhaka seperti  iblis sekalipun. Shalawat serta salam semoga tetap tercurahkan kepada junjungan kita nabi Muhammad saw, sang suri tauladan pelaku implementasi keadilan bagi manusia, baik dari perspektif individual maupun sebagai pemimpin umat.
Setiap manusia pastilah tidak ingin mengalami kehidupan yang menderita dan sengsara, tetapi setiap manusia pasti menginginkan kehidupan yang damai dan penuh kebahagiaan. Kedamaian dan kebahagiaan kehidupan di dunia ini, akan terwujud apabila setiap individu mampu menempati posisinya dengan memenuhi hak dan kewajibannya masing-masing secara proporsional. Berkaitan dengan hal ini, Islam memperkenalkan konsep keadilan di setiap lini kehidupan manusia. Islam sangat menghendaki dan menganjurkan umatnya untuk berbuat adil, sehingga dengan keadilan inilah, tercipta kehidupan yang harmonis antar sesama umat manusia. Konsep ini merupakan salah satu implementasi dari “Islam sebagai rahmatan lil ‘alamin”. Firman Allah swt dalam al-Qur’an surat an-Nahl ayat 90: “Sesungguhnya Allah menyuruh (kamu) berlaku adil dan berbuat kebajikan, memberi kepada kaum kerabat, dan Allah melarang dari perbuatan keji, kemungkaran, dan permusuhan. Dia memberi pengajaran kepadamu agar kamu dapat mengambil pelajaran.”

Kemudian keadilan juga sangat dekat dengan ketaqwaan. Dalam al-Qur’an surat al-Maidah ayat 8 menerangkan: “Dan janganlah sekali-kali kebencianmu terhadap suatu kaum, mendorong kamu untuk berlaku tidak adil. Berlaku adillah, karena adil itu lebih dekat kepada takwa. Dan bertakwalah kepada Allah, sesungguhnya Allah Maha Mengetahui apa yang kamu kerjakan”. Demikianlah Islam sangat menganjurkan keadilan sekaligus melarang kejahatan dan permusuhan. Keadilan akan membawa pada kebahagiaan dan kesejahteraan, sedangkan ketidak adilan akan membawa pada penderitaan, kekacauan serta permusuhan. Terlebih apabila keadilan tak ada dalam pribadi pemimpin, maka yang akan ada adalah penderitaan rakyatnya. Seperti ketika aparat pemerintah melakukan korupsi (ini adalah salah satu bentuk ketidak adilan karena mengeruk keuntungan pribadi atas kepentingan orang lain) maka akibatnya masyarakatnya tidak sejahtera. Padahal sebagai pemimpin akan senantiasa dituntut untuk berbuat adil sebagaimana syariat islam yang telah difirmankan oleh Allah swt dalam surat an-Nisa’ ayat 58: “Dan (menyuruh kamu) apabila menetapkan hukum di antara manusia supaya kamu menetapkan dengan adil.”
Pemimpin yang adil bagi audiennya (dalam konteks ini rakyat maupun orang lain yang berkepentingan dengannya) akan mendapat kedudukan yang istimewa di akhirat yakni akan mendapat pertolongan pada hari yang tiada pertolongan kecuali pertolongan dari Allah swt. Rasulullah saw bersabda dalam sebuah hadits: Abi Hurairah ra berkata, bahwa Nabi saw telah bersabda: "Tujuh golongan manusia, yang pada hari kiamat nanti akan berteduh di dalam naungan Allah, yang ketika itu tidak ada tempat berteduh kecuali berteduh dalam naungan Allah. Yakni penguasa /pemimpin yang berlaku adil, pemuda yang konsisten dalam beribadah kepada Allah, seseorang yang hatinya selalu merindukan masjid, dua orang yang saling mencintai karena Allah, mereka berpisah dan bertemu karena mencari ridha Allah, seseorang yang diajak bertindak zina oleh seorahg wanita terpandang lagi cantik jelita sedangkan dia menjawab (menolaknya): “aku takut kepada Allah”, seseorang yang bersedekah dengan sangat rahasia, hingga ibarat tangan kanan yang bersedekah sementara tangan kirinya tidak mengetahui, dan seseorang yang menyendiri berdzikir ke­pada Allah hingga berurai air mata karena ingat dan takut kepada siksa Allah yang sangat menyedihkan." (HR Bukhari dan Muslim). Dalam matan hadits ini jelas bahwa pemimpin yang adil termasuk salah satu dari 7 golongan istimewa yang mendapat pertolongan Allah swt kelak di akhirat. Semisal ketika manusia merasakan panasnya padang mahsyar, maka pemimpin yang adil tidak akan merasakan panas itu sebab ia dilindungi oleh Allah swt.
Selain adanya janji pertolongan dari Allah terhadap pemimpin yang adil, maka ada juga pertanggungjawaban atas amanat yang diembannya. Orang yang tidak

bertanggung jawab atas kepemimpinannya dapat dikatakan tidak adil. Adapun Rasulullah saw telah bersabda: "Setiap kalian adalah ra’in dan setiap kalian akan ditanya tentang ra’iyahnya. Imam a’zham (pemimpin negara) yang berkuasa atas manusia adalah ra’in dan ia akan ditanya tentang ra’iyahnya. Seorang lelaki/suami adalah ra’in bagi ahli bait (keluarga)nya dan ia akan ditanya tentang ra’iyahnya. Wanita/istri adalah ra’in terhadap ahli bait suaminya dan anak suaminya dan ia akan ditanya tentang mereka. Budak seseorang adalah ra’in terhadap harta tuannya dan ia akan ditanya tentang harta tersebut. Ketahuilah setiap kalian adalah ra’in dan setiap kalian akan ditanya tentang ra’iyahnya." Makna ra’in adalah seorang penjaga, yang diberi amanah, yang harus memegangi perkara yang dapat membuat baik amanah yang ada dalam penjagaannya. Ia dituntut untuk berlaku adil dan menunaikan perkara yang dapat memberi maslahat bagi apa yang diamanahkan kepadanya. (Al-Minhaj 12/417, Fathul Bari, 13/140). Dalam konteks yang lebih fleksibel, ra’in ditafsirkan sebagai “pemimpin”. Dalam arti luas setiap manusia adalah pemimpin terhadap anggota tubuhnya, maka juga akan dimintai pertanggungjawaban atas kepemimpinannya tersebut. Pemimpin dalam arti sempit adalah aparat pemerintah ataupun pemegang kendali sosial ataupun tokoh di masyarakat. Dalam konteks lain, pemimpin semisal seorang suami akan dimintai pertanggungjawaban atas kepemimpinannya terhadap istri dan anak-anaknya. Seorang istri dimintai pertanggungjawaban atas kepemimpinan manajemen rumah tangganya. Seorang kyai akan dimintai pertanggungjawaban atas tugas mendidik santrinya. Seorang ulama akan dimintai pertanggungjawaban atas tugas membina umatnya. Dan seterusnya.
Begitulah Islam menghendaki agar setiap individu memiliki mindset sebagai pemimpin sehingga dapat berbuat adil, baik terhadap dirinya sendiri mau pun terhadap orang lain. Dengan demikian, maka sikap adil individu ini akan melebar menjadi sikap adil masyarakat yang kemudian membawa kemashlahatan bagi umat manusia.  Semoga kita semua mendapat ridha dari Allah untuk dapat berlaku adil baik pada diri sendiri maupun pada orang lain. Aamiin…
*********

SABAR



      Edisi 32 th V : 8 Agustus 2014 M / 12 Syawal 1435 H
SABAR
Penulis: ust. Mahfud (TPQ Miftahul Huda, Jenes)
Segala puji hanyalah bagi Allah swt yang telah berfirman dalam al-Qur’an surat al-‘Ashr ayat 3: “kecuali orang-orang yang beriman dan mengerjakan amal saleh dan nasehat menasehati supaya mentaati kebenaran dan nasehat menasehati supaya menetapi kesabaran.” Shalawat dan salam semoga tetap tercurah pada Nabi Muhammad saw sebagai manusia yang sempurna ketakwaannya sehingga kita harus menjadikan beliau sebagi suri tauladan.
Bulan Ramadhan yang telah kita lalui kemarin adalah bulan di mana kita dilatih untuk bersabar menahan hawa nafsu, semenjak terbitnya fajar sampai terbenamnya matahari. Seberapapun keinginan nafsu kita untuk makan, minum, berkumpul dengan istri dan lain sebagainya, senyampang adzan maghrib belum berkumandang maka kita tidak boleh melakukannya. Kita dilatih untuk menahan diri dari perkara yang halal yang biasanya boleh kita lakukan. Kesabaran kita dilatih untuk menerima ketentuan tersebut tanpa bantahan apapun. Sikap kesabaran yang telah dilatih dan ditempa selama bulan Ramadhan, tentu akan sangat bagus jika diterapkan juga di lain bulan Ramadhan.
Terkait dengan konsep kesabaran, Rasulullah saw telah memberikan deskripsi tentang tingkatan kesabaran sebagaimana tergambar dalam hadits: Sabar ada tiga macam yaitu sabar dalam menghadapi musibah, sabar dalam melakukan taat beribadah, dan sabar mengekang diri dari perbuatan maksiat. Barang siapa yang sabar dalam menghadapi musibah, ditulis baginya ditingkatkan kedudukannya 300 derajat, jarak antara derajat satu dengan lainnya, sejauh langit dan bumi. Barang
siapa yang sabar dalam menjalankan taat beribadah, ditingkatkan kedudukannya 600 derajat, jarak antara satu derajat dengan lainnya, sejauh permukaan/kulit bumi teratas dengan landasan bumi ketujuh. Barang siapa yang sabar mengekang diri dari perilaku maksiat, ditingkatkan kedudukannya 900 derajat, jarak antara derajat dengan lainnya, sejauh Arsy dengan bumi.” (Zubdatul Wa’idzin).
Jika kita mencermati hadits tersebut di atas, kita akan mengetahui bahwa definisi sabar yang selama ini digunakan dalam masyarakat umum yaitu sabar dalam menerima musibah, ternyata secara hakikat baru masuk dalam kategori sabar yang paling rendah. Dalam kehidupan manusia di dunia ini, sebuah musibah adalah keniscayaan yang tak bisa dihindari, dan bahkan setiap manusia “harus” merasakannya. Hal ini sebagaimana Firman Allah swt dalam surat al-Baqarah ayat 155: Dan sungguh akan Kami berikan cobaan kepadamu, dengan sedikit ketakutan, kelaparan, kekurangan harta, jiwa dan buah-buahan. dan berikanlah berita gembira kepada orang-orang yang sabar.” Salah satu bentuk musibah yang dialamai manusia adalah rasa ketakutan. Takut karena adanya ancaman manusia dzalim atau pencuri atau perampok, atau takut adanya bencana alam. Kemudian juga bentuk musibah yang lain adalah adanya kelaparan, baik secara individu yaitu karena kemiskinan atau secara umum yaitu paceklik pangan. Adapun dari kesemua jenis musibah tersebut pada hakikatnya adalah untuk menyadarkan manusia dan mengingatkan manusia kepada kuasa Allah swt. Allah swt berfirman dalam surat al-Baqarah ayat 153:  “Hai orang-orang yang beriman, mintalah pertolongan (kepada Allah) dengan sabar dan (mengerjakan shalat) sesungguhnya Allah beserta orang-orang yang sabar.” Musibah bagi orang yang taat adalah cobaan, sedangkan musibah bagi orang yang maksiat adalah peringatan, dan adapun musibah bagi orang kafir adalah siksaan. Musibah juga sebagai sarana untuk menginstropeksi diri agar kita menjadi lebih baik. Kalau kita mampu sabar menghadapi musibah, maka kita akan mendapat pahala yaitu ditingkatkan derajat kita hingga 300 derajat. Atau sebenarnya pahala dari sabar itu sungguh tiada terbatas, sebagaimana firman Allah dalam surat az-Zumar ayat 10:  “Sungguh akan dibayar upah (pahala) orang-orang yang sabar dengan tiada batas hitungan.” Musibah adalah sesuatu yang tidak kita sukai, namun sesuatu yang tidak kita sukai bisa jadi itu adalah yang baik bagi kita, sebagaimana tersirat dalam al-Qur’an surat al-Baqarah ayat 216: ”.... dan boleh jadi kamu benci kepada sesuatu padahal ia baik bagi kamu dan boleh jadi kamu suka kepada sesuatu padahal ia buruk bagi kamu. Dan (ingatlah), Allah jualah Yang mengetahui (semuanya itu), sedang kamu tidak mengetahuinya.”
Tingkatan sabar selanjutnya adalah sabar dalam taat kepada Allah swt. Dalam hal ini taat kepada Allah swt sama dengan melawan keinginan hawa nafsu. Seperti disampaikan oleh Rasulullah saw bahwa perang melawan hawa nafsu merupakan
perang yang lebih besar dari perang Badar. Hal ini karena memang perang melawan hawa nafsu tersebut adalah jalan menuju surga, sedang jalan menuju surga memang tidaklah mudah sebagaimana hadits Rasulullah saw: Surga diliputi hal-hal yg tak menyenangkan, sedangkan neraka diliputi syahwat.” (HR at-Tirmidzi). Abu Isa berkata: Hadits ini hasan gharib shahih melalui sanad ini. Kesenangan duniawi yang begitu menggiyurkan tak lebih adalah tipu daya yang menggelincirkan kita kepada neraka. Senang dengan dunia kalau sampai melalaikan dari taat kepada Allah, tentu kita akan rugi kelak di akhirat. Oleh karena itulah kita harus sabar dalam menjalankan ketaatan kepada Allah swt.
Tingkatan tertinggi dalam kategori sabar adalah sabar dalam meninggalkan maksiat. Bagi siapapun orangnya, sungguh meninggalkan maksiat itu sangatlah berat, lebih-lebih kalau orang itu pernah berbuat kemaksiatan. Apalagi jika memiliki teman-teman yang suka melakukan kemaksiatan yang setiap saat akan menggoda dan mengajak ke dalam kemaksiatan. Maka dari itu pandai-pandailah memilih teman, sebab kebiasaan teman itu menular. “Permisalan teman yang baik dan teman duduk yang jelek seperti penjual minyak wangi dan pandai besi. (Duduk dengan) penjual minyak wangi bisa jadi ia akan memberimu minyak wanginya, bisa jadi engkau membeli darinya, dan bisa jadi engkau akan dapati darinya aroma yang wangi. Sementara (duduk dengan) pandai besi, bisa jadi ia akan membakar pakaianmu, dan bisa jadi engkau dapati darinya bau yang tak sedap.” (HR Bukhari dan Muslim). Oleh karena itu menahan diri dan bersabar dalam meninggalkan kemaksiatan menjadi lebih sulit dari bersabar dalam menghadapi musibah ataupun dalam taat kepada Allah. Bisa jadi seseorang itu rajin beribadah, namun dalam waktu yang sama bisa jadi juga dia melakukan kemaksiatan (mungkin “sekedar” ghibah atau “sekedar” ujub). Dalam point inilah sesungguhnya implementasi tentang konsep takwa yaitu menjalankan perintah Allah “sesuai kadar kemampuan kita” dan dalam waktu bersamaan “harus” meninggalkan semua larangan Allah.
Semoga Allah meridhai kita agar masuk kategori “shabirin” yaitu orang-orang yang sabar dalam segala hal. Aamiin…
*********