Edisi 32 th V : 8 Agustus 2014 M / 12
Syawal 1435 H
SABAR
Penulis: ust. Mahfud (TPQ Miftahul Huda, Jenes)
Segala puji
hanyalah bagi Allah swt yang telah berfirman dalam al-Qur’an surat al-‘Ashr ayat
3: “kecuali orang-orang yang beriman dan mengerjakan amal saleh dan
nasehat menasehati supaya mentaati kebenaran dan nasehat menasehati supaya
menetapi kesabaran.” Shalawat dan salam semoga tetap tercurah pada Nabi
Muhammad saw sebagai manusia yang sempurna ketakwaannya sehingga kita harus
menjadikan beliau sebagi suri tauladan.
Bulan Ramadhan
yang telah kita lalui kemarin adalah bulan di mana kita dilatih untuk bersabar
menahan hawa nafsu, semenjak terbitnya fajar sampai terbenamnya matahari.
Seberapapun keinginan nafsu kita untuk makan, minum, berkumpul dengan istri dan
lain sebagainya, senyampang adzan maghrib belum berkumandang maka kita tidak
boleh melakukannya. Kita dilatih untuk menahan diri dari perkara yang halal
yang biasanya boleh kita lakukan. Kesabaran kita dilatih untuk menerima
ketentuan tersebut tanpa bantahan apapun. Sikap kesabaran yang telah dilatih
dan ditempa selama bulan Ramadhan, tentu akan sangat bagus jika diterapkan juga
di lain bulan Ramadhan.
Terkait dengan konsep kesabaran, Rasulullah saw
telah memberikan deskripsi tentang tingkatan kesabaran sebagaimana tergambar
dalam hadits: “Sabar ada tiga macam yaitu sabar dalam menghadapi musibah, sabar dalam melakukan
taat beribadah, dan sabar mengekang diri dari perbuatan maksiat. Barang siapa
yang sabar dalam menghadapi musibah, ditulis baginya ditingkatkan kedudukannya
300 derajat, jarak antara derajat satu dengan lainnya, sejauh langit dan bumi.
Barang
siapa yang sabar
dalam menjalankan taat beribadah, ditingkatkan kedudukannya 600 derajat, jarak
antara satu derajat dengan lainnya, sejauh permukaan/kulit bumi teratas dengan
landasan bumi ketujuh. Barang siapa yang sabar mengekang diri dari perilaku
maksiat, ditingkatkan kedudukannya 900 derajat, jarak antara derajat dengan lainnya,
sejauh Arsy dengan bumi.” (Zubdatul Wa’idzin).
Jika kita mencermati hadits tersebut di atas, kita akan mengetahui
bahwa definisi sabar yang selama ini digunakan dalam masyarakat umum yaitu
sabar dalam menerima musibah, ternyata secara hakikat baru masuk dalam kategori
sabar yang paling rendah. Dalam kehidupan manusia di dunia ini, sebuah musibah
adalah keniscayaan yang tak bisa dihindari, dan bahkan setiap manusia “harus”
merasakannya. Hal ini sebagaimana Firman Allah swt dalam surat al-Baqarah ayat 155:
“Dan sungguh akan Kami berikan cobaan kepadamu, dengan sedikit ketakutan,
kelaparan, kekurangan harta, jiwa dan buah-buahan. dan berikanlah berita
gembira kepada orang-orang yang sabar.” Salah satu bentuk musibah yang
dialamai manusia adalah rasa ketakutan. Takut karena adanya ancaman manusia
dzalim atau pencuri atau perampok, atau takut adanya bencana alam. Kemudian
juga bentuk musibah yang lain adalah adanya kelaparan, baik secara individu
yaitu karena kemiskinan atau secara umum yaitu paceklik pangan. Adapun dari
kesemua jenis musibah tersebut pada hakikatnya adalah untuk menyadarkan manusia
dan mengingatkan manusia kepada kuasa Allah swt. Allah swt berfirman dalam
surat al-Baqarah ayat 153: “Hai orang-orang yang beriman, mintalah
pertolongan (kepada Allah) dengan sabar dan (mengerjakan shalat) sesungguhnya
Allah beserta orang-orang yang sabar.” Musibah bagi orang yang taat
adalah cobaan, sedangkan musibah bagi orang yang maksiat adalah peringatan, dan
adapun musibah bagi orang kafir adalah siksaan. Musibah juga sebagai sarana
untuk menginstropeksi diri agar kita menjadi lebih baik. Kalau kita mampu sabar
menghadapi musibah, maka kita akan mendapat pahala yaitu ditingkatkan derajat
kita hingga 300 derajat. Atau sebenarnya pahala dari sabar itu sungguh tiada
terbatas, sebagaimana firman Allah dalam surat az-Zumar ayat 10: “Sungguh akan
dibayar upah (pahala) orang-orang yang sabar dengan tiada batas hitungan.” Musibah adalah sesuatu yang tidak kita sukai, namun sesuatu yang
tidak kita sukai bisa jadi itu adalah yang baik bagi kita, sebagaimana tersirat
dalam al-Qur’an surat al-Baqarah ayat 216: ”.... dan boleh jadi kamu benci kepada
sesuatu padahal ia baik bagi kamu dan boleh jadi kamu suka kepada sesuatu
padahal ia buruk bagi kamu. Dan (ingatlah), Allah jualah Yang mengetahui
(semuanya itu), sedang kamu tidak mengetahuinya.”
Tingkatan sabar selanjutnya adalah sabar dalam
taat kepada Allah swt. Dalam hal ini taat kepada Allah swt sama dengan melawan
keinginan hawa nafsu. Seperti disampaikan oleh Rasulullah saw bahwa perang
melawan hawa nafsu merupakan
perang yang
lebih besar dari perang Badar. Hal ini karena memang perang melawan hawa nafsu
tersebut adalah jalan menuju surga, sedang jalan menuju surga memang tidaklah
mudah sebagaimana hadits Rasulullah saw: “Surga diliputi hal-hal yg tak
menyenangkan, sedangkan neraka diliputi syahwat.” (HR at-Tirmidzi). Abu
Isa berkata: Hadits ini hasan gharib shahih melalui sanad ini. Kesenangan
duniawi yang begitu menggiyurkan tak lebih adalah tipu daya yang
menggelincirkan kita kepada neraka. Senang dengan dunia kalau sampai melalaikan
dari taat kepada Allah, tentu kita akan rugi kelak di akhirat. Oleh karena
itulah kita harus sabar dalam menjalankan ketaatan kepada Allah swt.
Tingkatan
tertinggi dalam kategori sabar adalah sabar dalam meninggalkan maksiat. Bagi
siapapun orangnya, sungguh meninggalkan maksiat itu sangatlah berat,
lebih-lebih kalau orang itu pernah berbuat kemaksiatan. Apalagi jika memiliki
teman-teman yang suka melakukan kemaksiatan yang setiap saat akan menggoda dan
mengajak ke dalam kemaksiatan. Maka dari itu pandai-pandailah memilih teman,
sebab kebiasaan teman itu menular. “Permisalan teman
yang baik dan teman duduk yang jelek seperti penjual minyak wangi dan pandai
besi. (Duduk dengan) penjual minyak wangi bisa jadi ia akan memberimu minyak
wanginya, bisa jadi engkau membeli darinya, dan bisa jadi engkau akan dapati
darinya aroma yang wangi. Sementara (duduk dengan) pandai besi, bisa jadi ia
akan membakar pakaianmu, dan bisa jadi engkau dapati darinya bau yang tak
sedap.” (HR Bukhari dan Muslim). Oleh
karena itu menahan diri dan bersabar dalam meninggalkan kemaksiatan menjadi
lebih sulit dari bersabar dalam menghadapi musibah ataupun dalam taat kepada
Allah. Bisa jadi seseorang itu rajin beribadah, namun dalam waktu yang sama
bisa jadi juga dia melakukan kemaksiatan (mungkin “sekedar” ghibah atau
“sekedar” ujub). Dalam point inilah sesungguhnya implementasi tentang
konsep takwa yaitu menjalankan perintah Allah “sesuai kadar kemampuan kita” dan
dalam waktu bersamaan “harus” meninggalkan semua larangan Allah.
Semoga Allah meridhai
kita agar masuk kategori “shabirin” yaitu orang-orang yang sabar dalam segala
hal. Aamiin…
*********
Tidak ada komentar:
Posting Komentar