buletin ini terbit secara rutin tiap hari Jum'at di masjid agung RMAA Tjokronegoro Ponorogo

Rabu, 13 Agustus 2014

SABAR



      Edisi 32 th V : 8 Agustus 2014 M / 12 Syawal 1435 H
SABAR
Penulis: ust. Mahfud (TPQ Miftahul Huda, Jenes)
Segala puji hanyalah bagi Allah swt yang telah berfirman dalam al-Qur’an surat al-‘Ashr ayat 3: “kecuali orang-orang yang beriman dan mengerjakan amal saleh dan nasehat menasehati supaya mentaati kebenaran dan nasehat menasehati supaya menetapi kesabaran.” Shalawat dan salam semoga tetap tercurah pada Nabi Muhammad saw sebagai manusia yang sempurna ketakwaannya sehingga kita harus menjadikan beliau sebagi suri tauladan.
Bulan Ramadhan yang telah kita lalui kemarin adalah bulan di mana kita dilatih untuk bersabar menahan hawa nafsu, semenjak terbitnya fajar sampai terbenamnya matahari. Seberapapun keinginan nafsu kita untuk makan, minum, berkumpul dengan istri dan lain sebagainya, senyampang adzan maghrib belum berkumandang maka kita tidak boleh melakukannya. Kita dilatih untuk menahan diri dari perkara yang halal yang biasanya boleh kita lakukan. Kesabaran kita dilatih untuk menerima ketentuan tersebut tanpa bantahan apapun. Sikap kesabaran yang telah dilatih dan ditempa selama bulan Ramadhan, tentu akan sangat bagus jika diterapkan juga di lain bulan Ramadhan.
Terkait dengan konsep kesabaran, Rasulullah saw telah memberikan deskripsi tentang tingkatan kesabaran sebagaimana tergambar dalam hadits: Sabar ada tiga macam yaitu sabar dalam menghadapi musibah, sabar dalam melakukan taat beribadah, dan sabar mengekang diri dari perbuatan maksiat. Barang siapa yang sabar dalam menghadapi musibah, ditulis baginya ditingkatkan kedudukannya 300 derajat, jarak antara derajat satu dengan lainnya, sejauh langit dan bumi. Barang
siapa yang sabar dalam menjalankan taat beribadah, ditingkatkan kedudukannya 600 derajat, jarak antara satu derajat dengan lainnya, sejauh permukaan/kulit bumi teratas dengan landasan bumi ketujuh. Barang siapa yang sabar mengekang diri dari perilaku maksiat, ditingkatkan kedudukannya 900 derajat, jarak antara derajat dengan lainnya, sejauh Arsy dengan bumi.” (Zubdatul Wa’idzin).
Jika kita mencermati hadits tersebut di atas, kita akan mengetahui bahwa definisi sabar yang selama ini digunakan dalam masyarakat umum yaitu sabar dalam menerima musibah, ternyata secara hakikat baru masuk dalam kategori sabar yang paling rendah. Dalam kehidupan manusia di dunia ini, sebuah musibah adalah keniscayaan yang tak bisa dihindari, dan bahkan setiap manusia “harus” merasakannya. Hal ini sebagaimana Firman Allah swt dalam surat al-Baqarah ayat 155: Dan sungguh akan Kami berikan cobaan kepadamu, dengan sedikit ketakutan, kelaparan, kekurangan harta, jiwa dan buah-buahan. dan berikanlah berita gembira kepada orang-orang yang sabar.” Salah satu bentuk musibah yang dialamai manusia adalah rasa ketakutan. Takut karena adanya ancaman manusia dzalim atau pencuri atau perampok, atau takut adanya bencana alam. Kemudian juga bentuk musibah yang lain adalah adanya kelaparan, baik secara individu yaitu karena kemiskinan atau secara umum yaitu paceklik pangan. Adapun dari kesemua jenis musibah tersebut pada hakikatnya adalah untuk menyadarkan manusia dan mengingatkan manusia kepada kuasa Allah swt. Allah swt berfirman dalam surat al-Baqarah ayat 153:  “Hai orang-orang yang beriman, mintalah pertolongan (kepada Allah) dengan sabar dan (mengerjakan shalat) sesungguhnya Allah beserta orang-orang yang sabar.” Musibah bagi orang yang taat adalah cobaan, sedangkan musibah bagi orang yang maksiat adalah peringatan, dan adapun musibah bagi orang kafir adalah siksaan. Musibah juga sebagai sarana untuk menginstropeksi diri agar kita menjadi lebih baik. Kalau kita mampu sabar menghadapi musibah, maka kita akan mendapat pahala yaitu ditingkatkan derajat kita hingga 300 derajat. Atau sebenarnya pahala dari sabar itu sungguh tiada terbatas, sebagaimana firman Allah dalam surat az-Zumar ayat 10:  “Sungguh akan dibayar upah (pahala) orang-orang yang sabar dengan tiada batas hitungan.” Musibah adalah sesuatu yang tidak kita sukai, namun sesuatu yang tidak kita sukai bisa jadi itu adalah yang baik bagi kita, sebagaimana tersirat dalam al-Qur’an surat al-Baqarah ayat 216: ”.... dan boleh jadi kamu benci kepada sesuatu padahal ia baik bagi kamu dan boleh jadi kamu suka kepada sesuatu padahal ia buruk bagi kamu. Dan (ingatlah), Allah jualah Yang mengetahui (semuanya itu), sedang kamu tidak mengetahuinya.”
Tingkatan sabar selanjutnya adalah sabar dalam taat kepada Allah swt. Dalam hal ini taat kepada Allah swt sama dengan melawan keinginan hawa nafsu. Seperti disampaikan oleh Rasulullah saw bahwa perang melawan hawa nafsu merupakan
perang yang lebih besar dari perang Badar. Hal ini karena memang perang melawan hawa nafsu tersebut adalah jalan menuju surga, sedang jalan menuju surga memang tidaklah mudah sebagaimana hadits Rasulullah saw: Surga diliputi hal-hal yg tak menyenangkan, sedangkan neraka diliputi syahwat.” (HR at-Tirmidzi). Abu Isa berkata: Hadits ini hasan gharib shahih melalui sanad ini. Kesenangan duniawi yang begitu menggiyurkan tak lebih adalah tipu daya yang menggelincirkan kita kepada neraka. Senang dengan dunia kalau sampai melalaikan dari taat kepada Allah, tentu kita akan rugi kelak di akhirat. Oleh karena itulah kita harus sabar dalam menjalankan ketaatan kepada Allah swt.
Tingkatan tertinggi dalam kategori sabar adalah sabar dalam meninggalkan maksiat. Bagi siapapun orangnya, sungguh meninggalkan maksiat itu sangatlah berat, lebih-lebih kalau orang itu pernah berbuat kemaksiatan. Apalagi jika memiliki teman-teman yang suka melakukan kemaksiatan yang setiap saat akan menggoda dan mengajak ke dalam kemaksiatan. Maka dari itu pandai-pandailah memilih teman, sebab kebiasaan teman itu menular. “Permisalan teman yang baik dan teman duduk yang jelek seperti penjual minyak wangi dan pandai besi. (Duduk dengan) penjual minyak wangi bisa jadi ia akan memberimu minyak wanginya, bisa jadi engkau membeli darinya, dan bisa jadi engkau akan dapati darinya aroma yang wangi. Sementara (duduk dengan) pandai besi, bisa jadi ia akan membakar pakaianmu, dan bisa jadi engkau dapati darinya bau yang tak sedap.” (HR Bukhari dan Muslim). Oleh karena itu menahan diri dan bersabar dalam meninggalkan kemaksiatan menjadi lebih sulit dari bersabar dalam menghadapi musibah ataupun dalam taat kepada Allah. Bisa jadi seseorang itu rajin beribadah, namun dalam waktu yang sama bisa jadi juga dia melakukan kemaksiatan (mungkin “sekedar” ghibah atau “sekedar” ujub). Dalam point inilah sesungguhnya implementasi tentang konsep takwa yaitu menjalankan perintah Allah “sesuai kadar kemampuan kita” dan dalam waktu bersamaan “harus” meninggalkan semua larangan Allah.
Semoga Allah meridhai kita agar masuk kategori “shabirin” yaitu orang-orang yang sabar dalam segala hal. Aamiin…
*********

Tidak ada komentar:

Posting Komentar