Edisi 31 th V : 1 Agustus 2014 M / 5
Syawal 1435 H
LEBARAN
Penulis: ust. Marsudi (TPQ ad-Darajat, Mayak)
Segala puji
hanyalah bagi Allah swt yang telah memberi kita kesempatan untuk menikmati
Ramadhan yang telah berlalu dan Syawal yang sedang kita jalani tahun ini.
Shalawat dan salam semoga tetap tercurah pada Nabi Muhammad saw sebagai manusia
teristimewa, sang revolusioner sejati dalam pencerahan jiwa manu-sia menuju
manusia sempurna lahir batinnya.
Bulan Ramadhan yang penuh keberkahan dan
kemurahan pahala telah berlalu. Perlombaan untuk menjadi yang terbaik dengan
predikat “dibebaskan dari neraka” telah usai. Apakah kita menjadi pemenangnya?
Semoga saja iya, karena kini kita te-lah terlanjur “menyepakati bersama” dengan
menyebut lebaran sebagai hari kemena-ngan kita, bukan kemenangan syetan yang
selama Ramadhan terbelenggu. Selayak-nya dengan kemenangan ini, kemudian kita
menjadikan Ramadhan sebagai bekal un-tuk menjalani 11 bulan ke depan sebelum
Ramadhan datang lagi. Dengan kemena-ngan ini pula, selayaknya kita menjadikan
moment Ramadhan sebagai kawah candra-dimuka untuk penggodokan ketakwaan kita
agar kualitasnya menjadi lebih baik dari sebelumnya.
Jika kita telah
mendapat ampunan dari Allah pada bulan Ramadhan yang telah berlalu itu, maka
kini tiba saatnya kita memohon maaf kepada sesama manusia secara lebih intensif
pada bulan Syawal ini. Telah menjadi adat kebiasaan kita untuk ber-silaturrahmi
lebaran kepada tetangga dan sanak saudara, guna meminta maaf atas segala
kesalahan yang disengaja maupun tidak disengaja. Inilah keunikan tradisi kita.
Tidak di setiap saat kita mampu mengakui kesalahan dan meminta maaf, bahkan
tidak di setiap saat kita mampu memaafkan orang lain dengan begitu ringan
rasanya seperti saat lebaran. Padahal seandainya kita mengetahui betapa besar
fadilah memaafkan orang lain, tentu kita akan berlebaran tiap hari dan tak
perlu menunggu datangnya bu-lan Syawal atau hari raya ‘iedul fitri seperti saat
ini. Banyak sekali dalil-dalil tentang
maaf-memaafkan
ini. Diantaranya al-Qur’an surat asy-Syuura ayat 36-37: “Maka sesuatu
yang diberikan kepadamu, itu adalah kenikmatan hidup di dunia; dan yang ada
pada sisi Allah lebih baik dan lebih kekal bagi orang-orang yang beriman, dan
hanya kepada Tuhan mereka, mereka itu bertawakkal. Dan (bagi) orang-orang yang
menjauhi dosa-dosa besar dan perbuatan- perbuatan keji, dan apabila mereka
marah mereka memberi maaf.” Kemudian masih berkaitan dengan ini, ayat
40 dari surat asy-Syuura: “Dan balasan suatu kejahatan adalah kejahatan
yang serupa, maka barang siapa memaafkan dan berbuat baik maka pahalanya atas
(tanggungan) Allah. Sesungguhnya Dia tidak menyukai orang-orang yang zalim.”
Pada dasarnya setiap muslim dituntut untuk senantiasa berhubungan
dengan Allah (ibadah) dan juga
berhubungan dengan manusia (muamalah).
Keduanya harus dilaksanakan dengan cara-cara yang baik. Dalam konteks muamalah,
sudah seharusnya dikembangkan sikap tasammuh,
saling menghormati agar tercipta konsep ta’awanu
‘alal birri wat taqwa (bekerjasama/berhubungan dalam hal kebaikan dan
ketakwaan). Dari konsep ini, jelas kita dilarang bermusuhan. Ini artinya kita
tidak boleh saling mendendam jika ada kesalahan. Maka saling memaafkan wajib
dilaku-kan agar menjadi hamba Allah yang dikasihi-Nya, yang mendapatkan pahala
yang tak terkira karena Allah sendiri yang menentukannya sebagaimana tersirat
dalam asy-Syuura ayat 40 tersebut di atas. Saling mema’afkan jika ditinjau dari
perspektif agama, sudah banyak ayat al-Qur’an dan hadits yang mengupasnya.
Berbagai hik-mah yang terkandung dalam kata “ma’af” akan terurai dalam bilangan yang sulit di-hitung lagi.
Sekarang mari kita coba sedikit menguraikannya dalam perspektif psikologi,
kajian ilmu jiwa yang sudah melalui berbagai eksperimen oleh para ahli yang
kemudian menghasilkan rumusan-rumusan tertentu.
Lebaran dengan tradisi saling memaafkan merupakan moment yang
spesial bagi setiap individu, baik orang dewasa maupun anak-anak. Bagi
anak-anak, akti-vitas kognisinya yang
dimulai dari fase sensori-motorik
sampai konkret-operasional, moment
lebaran merupakan sebuah stimulus
tahunan untuk membentuk karakter pemaaf dalam diri mereka. Dalam hubungannya
dengan kelompok sosialnya, mulai dari lingkup keluarga, RT, sekolahan sampai
masyarakat luas, melalui interaksi sosial
(hubungan individu dengan individu lain) akan dipengaruhi oleh beberapa factor imitasi yaitu meniru orang lain,
yang dalam hal ini terjadi sugesti
yaitu proses individu yang menerima cara pandang atau pedoman tingkah laku dari
orang lain tanpa ada kritik atau perlawanan argumentasi.
Ketika seorang anak melihat setiap orang dengan ikhlasnya membungkukkan badan
pada orang lain disertai jabat tangan dan ucapan permohonan ma’af, maka akan
terjadi persepsi positif dalam
jaringan otaknya. Kejadian ini akan menjadi sugesti
yang diserapnya mentah-mentah secara
otomatis.
Situasi ini juga akan direkam dalam otaknya sehingga menjadi sebuah me-mory. Akan tetapi memory ini akan berbeda proses
kelanjutannya tergantung intele-gensi
anak serta faktor-faktor hereditas,
situasi sosial serta proses
pendidikannya. Anak dengan intelegensi
tinggi tentu akan segera dapat menangkap makna dari apa yang dilihatnya yaitu
ketika ayah ibunya membungkuk seraya mencium tangan kakek nenek untuk
menghaturkan permintaan maaf, atau ayahnya yang dengan haru memeluk paman
seraya saling memaafkan, dan sebagainya. Namun hal inipun ma-sih tergantung
dengan situasi sosial yang tercipta
di hadapannya. Apakah sebegitu mengharukannya prosesi lebaran atau terkesan ala
kadarnya saja dengan sekedar saling berjabat tangan. Dalam konteks inilah factor imitasi (meniru orang lain)
men-jadi begitu urgen bagi proses
pendidikannya. Jika mengacu pada teori psikologi behaviorisme, maka stimulus tahunan berupa prosesi lebaran
ini akan menghasilkan respon yang menjadi pondasi dasar dalam sisi
kehidupan akhlaqnya. Pepatah mengatakan “ala bisa karena biasa”, maka si anak
akan muncul respon bisa mudah memaafkan orang lain di kemudian hari jika
semenjak kecil sudah dibiasakan atau diberi stimulus prosesi lebaran
yang baik.
Adapun
kelanjutan dari serangkaian proses di atas ada beberapa bentuk memory yang mungkin terjadi pada si
anak, yaitu:
1)
Re-kognisi yaitu si anak
hanya sekedar mengingat moment lebaran saja.
2)
Re-call yaitu si anak menyadari
pernah mengalami moment lebaran dan tingkah laku minta ma’afnya.
3)
Re-produksi yaitu si anak
mengalami re-kognisi dan re-call kemudian mem-praktekkannya
kembali dengan sadar dan memahami maknanya yaitu me-minta ma’af pada
orang lain saat lebaran.
4)
Performance yaitu si anak melakukan
kebiasaan meminta ma’af pada setiap saat tanpa adanya paksaan ataupun
perencanaan, hal ini merupakan hasil stimu-lus
lebarannya.
Pada bentuk performance inilah sebenarnya harapan moment lebaran mam-pu
membentuk karakter pemaaf pada seorang anak yang akan terus berlanjut hingga
dewasanya. Dengan demikian tentu kepribadian generasi kita akan mencerminkan
pribadi muslim yang dituntunkan oleh al-Qur’an melalui surat Ali Imran ayat
134: “Orang-orang yang menafkahkan (harta) baik di waktu lapang maupun
sempit, dan orang-orang yang menahan amarahnya dan mema'afkan (kesalahan)
orang. Allah menyukai orang-orang yang berbuat kebajikan.”
Akhir kata … segenap crew bulletin Telaga Jiwa mengucapkan selamat berlebaran, mohon maaf lahir batin. Semoga kita
tetap dalam ukhuwah islamiyah selamanya. Aamiin.
*********
Tidak ada komentar:
Posting Komentar