buletin ini terbit secara rutin tiap hari Jum'at di masjid agung RMAA Tjokronegoro Ponorogo

Rabu, 13 Agustus 2014

LEBARAN



      Edisi 31 th V : 1 Agustus 2014 M / 5 Syawal 1435 H
LEBARAN
Penulis: ust. Marsudi (TPQ ad-Darajat, Mayak)
Segala puji hanyalah bagi Allah swt yang telah memberi kita kesempatan untuk menikmati Ramadhan yang telah berlalu dan Syawal yang sedang kita jalani tahun ini. Shalawat dan salam semoga tetap tercurah pada Nabi Muhammad saw sebagai manusia teristimewa, sang revolusioner sejati dalam pencerahan jiwa manu-sia menuju manusia sempurna lahir batinnya.
Bulan Ramadhan yang penuh keberkahan dan kemurahan pahala telah berlalu. Perlombaan untuk menjadi yang terbaik dengan predikat “dibebaskan dari neraka” telah usai. Apakah kita menjadi pemenangnya? Semoga saja iya, karena kini kita te-lah terlanjur “menyepakati bersama” dengan menyebut lebaran sebagai hari kemena-ngan kita, bukan kemenangan syetan yang selama Ramadhan terbelenggu. Selayak-nya dengan kemenangan ini, kemudian kita menjadikan Ramadhan sebagai bekal un-tuk menjalani 11 bulan ke depan sebelum Ramadhan datang lagi. Dengan kemena-ngan ini pula, selayaknya kita menjadikan moment Ramadhan sebagai kawah candra-dimuka untuk penggodokan ketakwaan kita agar kualitasnya menjadi lebih baik dari sebelumnya.
Jika kita telah mendapat ampunan dari Allah pada bulan Ramadhan yang telah berlalu itu, maka kini tiba saatnya kita memohon maaf kepada sesama manusia secara lebih intensif pada bulan Syawal ini. Telah menjadi adat kebiasaan kita untuk ber-silaturrahmi lebaran kepada tetangga dan sanak saudara, guna meminta maaf atas segala kesalahan yang disengaja maupun tidak disengaja. Inilah keunikan tradisi kita. Tidak di setiap saat kita mampu mengakui kesalahan dan meminta maaf, bahkan tidak di setiap saat kita mampu memaafkan orang lain dengan begitu ringan rasanya seperti saat lebaran. Padahal seandainya kita mengetahui betapa besar fadilah memaafkan orang lain, tentu kita akan berlebaran tiap hari dan tak perlu menunggu datangnya bu-lan Syawal atau hari raya ‘iedul fitri seperti saat ini. Banyak sekali dalil-dalil tentang

maaf-memaafkan ini. Diantaranya al-Qur’an surat asy-Syuura ayat 36-37: “Maka sesuatu yang diberikan kepadamu, itu adalah kenikmatan hidup di dunia; dan yang ada pada sisi Allah lebih baik dan lebih kekal bagi orang-orang yang beriman, dan hanya kepada Tuhan mereka, mereka itu bertawakkal. Dan (bagi) orang-orang yang menjauhi dosa-dosa besar dan perbuatan- perbuatan keji, dan apabila mereka marah mereka memberi maaf.” Kemudian masih berkaitan dengan ini, ayat 40 dari surat asy-Syuura: “Dan balasan suatu kejahatan adalah kejahatan yang serupa, maka barang siapa memaafkan dan berbuat baik maka pahalanya atas (tanggungan) Allah. Sesungguhnya Dia tidak menyukai orang-orang yang zalim.”
Pada dasarnya setiap muslim dituntut untuk senantiasa berhubungan dengan Allah (ibadah) dan juga berhubungan dengan manusia (muamalah). Keduanya harus dilaksanakan dengan cara-cara yang baik. Dalam konteks muamalah, sudah seharusnya dikembangkan sikap tasammuh, saling menghormati agar tercipta konsep ta’awanu ‘alal birri wat taqwa (bekerjasama/berhubungan dalam hal kebaikan dan ketakwaan). Dari konsep ini, jelas kita dilarang bermusuhan. Ini artinya kita tidak boleh saling mendendam jika ada kesalahan. Maka saling memaafkan wajib dilaku-kan agar menjadi hamba Allah yang dikasihi-Nya, yang mendapatkan pahala yang tak terkira karena Allah sendiri yang menentukannya sebagaimana tersirat dalam asy-Syuura ayat 40 tersebut di atas. Saling mema’afkan jika ditinjau dari perspektif agama, sudah banyak ayat al-Qur’an dan hadits yang mengupasnya. Berbagai hik-mah yang terkandung dalam kata “ma’af” akan terurai dalam bilangan yang sulit di-hitung lagi. Sekarang mari kita coba sedikit menguraikannya dalam perspektif psikologi, kajian ilmu jiwa yang sudah melalui berbagai eksperimen oleh para ahli yang kemudian menghasilkan rumusan-rumusan tertentu.
Lebaran dengan tradisi saling memaafkan merupakan moment yang spesial bagi setiap individu, baik orang dewasa maupun anak-anak. Bagi anak-anak, akti-vitas kognisinya yang dimulai dari fase sensori-motorik sampai konkret-operasional, moment lebaran merupakan sebuah stimulus tahunan untuk membentuk karakter pemaaf dalam diri mereka. Dalam hubungannya dengan kelompok sosialnya, mulai dari lingkup keluarga, RT, sekolahan sampai masyarakat luas, melalui interaksi sosial (hubungan individu dengan individu lain) akan dipengaruhi oleh beberapa factor imitasi yaitu meniru orang lain, yang dalam hal ini terjadi sugesti yaitu proses individu yang menerima cara pandang atau pedoman tingkah laku dari orang lain tanpa ada kritik atau perlawanan argumentasi. Ketika seorang anak melihat setiap orang dengan ikhlasnya membungkukkan badan pada orang lain disertai jabat tangan dan ucapan permohonan ma’af, maka akan terjadi persepsi positif dalam jaringan otaknya. Kejadian ini akan menjadi sugesti yang diserapnya mentah-mentah secara

otomatis. Situasi ini juga akan direkam dalam otaknya sehingga menjadi sebuah me-mory. Akan tetapi memory ini akan berbeda proses kelanjutannya tergantung intele-gensi anak serta faktor-faktor hereditas, situasi sosial serta proses pendidikannya. Anak dengan intelegensi tinggi tentu akan segera dapat menangkap makna dari apa yang dilihatnya yaitu ketika ayah ibunya membungkuk seraya mencium tangan kakek nenek untuk menghaturkan permintaan maaf, atau ayahnya yang dengan haru memeluk paman seraya saling memaafkan, dan sebagainya. Namun hal inipun ma-sih tergantung dengan situasi sosial yang tercipta di hadapannya. Apakah sebegitu mengharukannya prosesi lebaran atau terkesan ala kadarnya saja dengan sekedar saling berjabat tangan. Dalam konteks inilah factor imitasi (meniru orang lain) men-jadi begitu urgen bagi proses pendidikannya. Jika mengacu pada teori psikologi behaviorisme, maka stimulus tahunan berupa prosesi lebaran ini akan menghasilkan respon yang menjadi pondasi dasar dalam sisi kehidupan akhlaqnya. Pepatah mengatakan “ala bisa karena biasa”, maka si anak akan muncul respon bisa mudah memaafkan orang lain di kemudian hari jika semenjak kecil sudah dibiasakan atau diberi stimulus prosesi lebaran yang baik.
Adapun kelanjutan dari serangkaian proses di atas ada beberapa bentuk memory yang mungkin terjadi pada si anak, yaitu:
1)      Re-kognisi yaitu si anak hanya sekedar mengingat moment lebaran saja.
2)      Re-call yaitu si anak menyadari pernah mengalami moment lebaran dan tingkah laku minta ma’afnya.
3)      Re-produksi yaitu si anak mengalami re-kognisi dan re-call kemudian mem-praktekkannya kembali dengan sadar dan memahami maknanya yaitu me-minta ma’af pada orang lain saat lebaran.
4)      Performance yaitu si anak melakukan kebiasaan meminta ma’af pada setiap saat tanpa adanya paksaan ataupun perencanaan, hal ini merupakan hasil stimu-lus lebarannya.
Pada bentuk performance inilah sebenarnya harapan moment lebaran mam-pu membentuk karakter pemaaf pada seorang anak yang akan terus berlanjut hingga dewasanya. Dengan demikian tentu kepribadian generasi kita akan mencerminkan pribadi muslim yang dituntunkan oleh al-Qur’an melalui surat Ali Imran ayat 134: “Orang-orang yang menafkahkan (harta) baik di waktu lapang maupun sempit, dan orang-orang yang menahan amarahnya dan mema'afkan (kesalahan) orang. Allah menyukai orang-orang yang berbuat kebajikan.”
Akhir kata … segenap crew bulletin Telaga Jiwa mengucapkan selamat berlebaran, mohon maaf lahir batin. Semoga kita tetap dalam ukhuwah islamiyah selamanya. Aamiin.
*********

Tidak ada komentar:

Posting Komentar