Edisi 17 th VII : 22 April 2016 M / 14 Rajab 1437 H
MATA’UL GHURUR
Penulis:
ust. Herul Sabana, S.E (Mayak Tonatan)
Segala puji hanyalah bagi Allah
swt yang telah memberi berbagai macam kenikmatan yang tak akan bisa terhitung
banyaknya. Oleh karena itu dalam al-Qur’an surat ar-Rahman berkali-kali
ditanyakan: “Maka nikmat Tuhan mana lagikah yang engkau dustakan?”.
Kemudian shalawat dan salam semoga tetap terlimpahkan pada Nabi Muhammad saw
sebagai sebaik-baik suri tauladan yang telah memberikan tuntunan bagaimana cara
bersyukur yang bagus yaitu senantiasa menambah kualitas ketakwaan dengan
melaksanakan perintah Allah dengan hati tulus ikhlas dan menjauhi semua
laranganNya tanpa syarat apapun.
Hidup di
dunia ini penuh dengan kenikmatan yang terkadang kita tidak menyadarinya
sehingga lupa untuk bersyukur. Padahal sejak pagi hari sampai gelap malam serta
menjelang fajar tiba lagi, tak akan terhitung berapa nikmat yang dilimpahkan
pada kita. Dalam surat Ibrahim ayat 7 dijelaskan bahwa: “Dan ketika Tuhanmu
memaklumatkan: sesungguhnya jika kamu bersyukur, maka pasti akan Kami tambah
(nikmat) kepadamu, dan jika kamu mengingkari (nikmat-ku) maka sesunguhnya
azab-Ku teramat pedih.” Ayat ini bukan termasuk ayat mutasyabihat yang
perlu dita’wil dengan berbagai cara. Tapi ayat ini cukup jelas maknanya
sehingga hanya perlu ditafsirkan saja. Ketika kita mampu dan mau untuk
bersyukur, karena syukur itu letaknya dalam hati, maka hal yang kita syukuri
tersebut akan terasa lebih nikmat, dikarenakan hati kita menerimanya dengan
baik. Kenikmatan dunia jangan sampai membuat kita semakin menjauh dari Allah.
Pada dasarnya
dunia ini hanyalah mata’ul ghurur, kesenangan yang menipu. Banyak
disebutkan dalam al-Qur’an oleh para khatib dan da’i, betapa kebahagiaan yang
sempurna adalah kebahagiaan dunia dan akhirat. Namun kenyataannya tetap saja
banyak orang yang terlena dan hanya seperti bermain-main saja dalam
melaksanakan syari’at agama seolah-olah kehidupan akhirat tidak akan pernah
ada. Padahal akibat dari perspektif yang salah itu sangat fatal sebagaimana
termaktub dalam al-Qur’an surat
al-A’raf ayat 51:
“Orang-orang yang menjadikan
agama mereka main-main dan sendau gurau, sehingga tertipulah mereka oleh
kehidupan dunia. Maka pada hari (kiamat)
ini, Kami (Allah) melupakan mereka sebagaimana mereka (di dunia) melupakan
pertemuannya (dengan Kami) pada hari ini dan (sebagaimana) mereka selalu
mengingkari ayat-ayat Kami.”
Dijelaskan bahwa jika kita
melupakan akhirat pada saat kita masih di dunia, maka Allah akan melupakannya, dalam arti
Allah tidak mau memperhatikan serta tidak memberi rahmatNya pada saat semua
manusia membutuhkan hal tersebut, yaitu mulai saat dibangkitkan dari kubur,
berkumpul di padang mahsyar, saat yaumul hisab sampai meniti shiratal mustaqim.
Dan sungguh sangat celaka orang-orang seperti itu.
Padahal di dunia
saja, jika kita tidak diperhatikan atau dalam bahasa jawa “ora digape” oleh
orang-orang sekitar, maka rasanya sangat tidak menyenangkan. Di akhirat nanti,
kita tidak bisa minta bantuan siapapun. Bahkan meminta kepada Allah pun sudah
tidak bisa. Apalagi kepada bapak ibu atau anak. Semua manusia dalam keadaan
bingung sendiri.
Dan disinilah
pertanggung jawaban sejati diminta oleh Yang Maha Kuasa. Maka yang kita
perlukan saat itu hanyalah syafaat Nabi Muhammad saw dan rahmat dari Allah
saja. Syafaat Nabi Muhammad saw hanya akan diberikan kepada umat yang rajin
bershalawat atas nama nabi, sedangkan rahmat akan diberikan pada siapapun yang
dikehendaki Allah.
Akan tetapi,
jika kita mencermati surat al-A’raf ayat 51 di atas, kita bisa menarik
kesimpulan bahwa orang-orang yang menganggap remeh agama dan hanya membuatnya
mainan, maka sudah dipastikan tidak akan mendapat rahmat tersebut. Al-Qur’an
memperku-atnya dengan penjelasan dalam surat Luqman ayat 33:
“Hai manusia, bertakwalah kepada
Tuhanmu dan takutlah kepada satu hari dimana bapak tidak dapat menolong anaknya
dan anak tidak dapat menolong bapaknya sedikitpun. Sesungguhnya janji Allah
adalah benar, maka janganlah sekali-kali kehidupan dunia ini memperdayakan kamu
dan jangan pula para penipu (syetan) memperdayakanmu dalam (mentaati) Allah.”
Dari ayat inipun kita disuruh
senantiasa mengingat hari kiamat dimana amal baik akan dinilai baik dan amal
buruk akan dinilai buruk. Tidak ada sesuatu pun yang terlewatkan.
Jika manusia mau melaksanakan
peringatan Allah ini maka tentunya siapapun akan selalu berpikir ribuan bahkan
mungkin jutaan kali untuk melakukan hal yang buruk. Mungkin saja tidak ada
koruptor karena setiap pejabat akan menyadari bahwa sesedikit apapun yang
dikorupsi, tetap harus dipertanggungjawabkan di muka Hakim Yang Maha Adil di
pengadilan akhirat. Saat itu semua barang bukti akan dihadirkan tanpa bisa
mengelak atau membela diri, karena semua rekaman hidup di dunia mulai dari
lahir sampai mati akan diputar kembali. Mulut tidak bisa bicara, yang bicara adalah
tangan, kaki dan anggota badan yang lain. Tak ada sesuatu yang dialami di dunia
yang terlewatkan. Saat itulah keadilan hakiki akan ditegakkan.
Kebaikan sesedikit apapun akan
diberi pahala, sedang keburukan sesedikit apa pun tetap akan terlihat. Dalam
al-Qur’an ada perumpamaan tentang hal ini sebagaimana tersirat dalam surat az-Zalzalah ayat 7
dan 8:
“Maka barang siapa yang berbuat
kebaikan meski hanya seberat dzahrah (seperti biji sawi) niscaya ia akan
melihat (balasan)nya. Dan barang siapa yang berbuat keburukan meski hanya seberat
dzahrah (seperti biji sawi) niscaya ia akan melihat (balasan)nya pula.”
Mencermati isi
ayat di atas, tentunya kita harus lebih berhati-hati lagi agar mampu menjaga
diri dari segala macam tipu daya dunia ini. Karena memang dunia mata’ul
ghurur, kesenangan yang menipu. Apalagi di dunia ini syetan pun diberi
kesempatan untuk menggoda kita dari segala arah, sehingga jiwa kita sering kali
maju-mundur tak tentu arah. Syetan itupun bisa dari bangsa jin yang membisiki
hati sehingga mengalami keraguan dalam mentaati Allah dan RasulNya, atau juga
syetan dari bangsa manusia yang mengajak kita untuk berbuat keburukan atas nama
teman atau persaudaraan ataupun karena ada kesempatan.
Maka hal yang
terbaik bagi kita adalah menjadikan dunia ini sebagai mazra’atul akhirah,
sebagai ladang akhirat tempat kita menanam kebaikan agar dapat panen kebaikan
pula.
***