buletin ini terbit secara rutin tiap hari Jum'at di masjid agung RMAA Tjokronegoro Ponorogo

Minggu, 18 Juni 2017

REKONSILIASI PASCA PILKADA



       Edisi 08 th VIII : 24 Februari 2017 M / 27 Jumadil Ula 1438 H
REKONSILIASI PASCA PILKADA
Penulis: Dana A. Dahlany, Lc (TPQ ad-Darajaat, Mayak)
Segala puji hanya kepada Allah sebagai Raja Diraja Malikul Mulki yang menguasai bumi seisinya serta seluruh alam semesta, yang telah berfirman dalam al-Qur’an surat al-Hujurat ayat 9 yang artinya “dan kalau ada dua golongan dari mereka yang beriman itu berperang hendaklah kamu damaikan antara keduanya! tapi kalau yang satu melanggar perjanjian terhadap yang lain, hendaklah yang melanggar perjanjian itu kamu perangi sampai surut kembali pada perintah Allah. kalau dia telah surut, damaikanlah antara keduanya menurut keadilan, dan hendaklah kamu berlaku adil; Sesungguhnya Allah mencintai orang-orang yang berlaku adil.” Kemudian shalawat dan salam senantiasa kita sanjungkan pada Nabi Muhammad saw sebagai manusia ciptaan Allah yang paling sempurna yang telah menunjukkan cara memimpin yang baik bagi segenap umat manusia.
Alhamdulillah, gelaran Pilkada serentak tahun ini telah dilaksanakan. Meski kota kita tidak ikut melaksanakan pilkada, namun tetaplah puji syukur kita haturkan untuk Sang Maha Pengatur. Beberapa bulan terakhir, kita begitu disibukkan dengan kampanye dan perang opini untuk mengunggulkan jago masing-masing.  Berbagai cara ditempuh, mulai dari cara sportif yang halus nan persuasif, sampai cara kotor yang berlumuran trik dan intrik. Kampanye hitam (black campaign) tak segan dilakukan. Bahkan kita seakan sudah terbiasa dengan fitnah dan berita dusta (hoax) yang berseliweran di media sosial. Menista agama dan ulama tidak lagi dianggap tabu. Atau sebaliknya, memanfaatkan ayat-ayat Tuhan untuk meraih kekuasaan menjadi biasa.

Alhamdulillah, segala pujian bagi Allah, hal-hal yang menurut kami sangat menjijikkan itu telah berakhir dengan dilakukannya pemungutan suara. Kami pikir setelah itu tidak akan ada lagi aksi saling hujat dan saling hina antar sesama. Sirna sudah segala berita hoax dan dusta dari lini masa. Tapi ternyata kami salah sangka.  Media massa masih dipenuhi klaim-klaim sepihak untuk membangun opini tentang kemenangan. Yang menang merasa jumawa, dan yang kalah mencari-cari kecurangan yang dilakukan oleh sang pemenang. Strategi susulan disiapkan untuk menyongsong putaran kedua, atau malah menggugat lawan secara hukum melalui Mahkamah Konstitusi. Kalau kita terus-menerus disibukkan dengan hal-hal seperti ini, kapan kita bisa bersatu untuk membangun bangsa dan negara?
Sebagai umat muslim, mungkin kita perlu merenungkan kembali pesan Ilahi yang tertuang dalam al-Qur’an surat Al-Hujurat ayat 9 sebagaimana kami sebutkan di awal tulisan. Kita tahu, saat masa-masa kampanye, masyarakat Indonesia ikut terpecah menjadi beberapa kubu untuk mendukung calon pemimpin Jakarta. Masing-masing kubu berusaha sekuat tenaga untuk memenangkan pasangan calon yang mereka usung. Tak jarang terjadi saling serang antar pendukung. Berbagai cacian dan hinaan dengan mudahnya meluncur dari mulut dan jari-jari mereka. Nah, setelah pilkada ini selesai, tugas mereka yang masih "waras" akal pikirnya adalah mendamaikan antar kubu yang masih berseteru. Rekonsiliasi adalah sebuah keharusan jika kita ingin bangsa ini maju dan memperoleh kesejahteraan. Setelah hasil resmi pilkada dari KPU diumumkan, tak jarang pihak yang kalah belum bisa menerima keputusan. Jika mereka menggugat hasil itu melalui Mahkamah Konstitusi, maka hadapilah tuntutan mereka secara fair dan profesional. Tapi jika mereka bertindak anarkis dan cenderung sparatis, maka tugas aparat keamanan untuk melawan dan menangkap mereka, serta mendidik mereka supaya bisa legowo menerima keputusan final yang sah.
            Selayaknya kemudian kita juga mencermati ayat ke 10 dari surat al-Hujurat yang artinya “orang-orang beriman itu sesungguhnya bersaudara. sebab itu damaikanlah (perbaikilah hubungan) antara kedua saudaramu itu dan takutlah terhadap Allah, supaya kamu mendapat rahmat.” Mayoritas warga Indonesia adalah kaum beriman. Meskipun memiliki perbedaan pandangan politik, kita semua tetap bersaudara. Sudah seharusnya kita merawat persaudaraan itu sekuat tenaga. Perdamaian wajib ditegakkan. Jangan sekali-kali berani mengoyak persatuan kita sebagai sesama mukmin maupun sebagai bangsa. Dan semua itu harus didasari takwa, karena takwa tidak akan mengajak kita menuju permusuhan,  perseteruan dan perpecahan. Takwa selalu mengajak kita menuju kemaslahatan. Dengan begitu, semoga Allah berkenan menurunkan rahmat kasih sayang-Nya, sehingga bangsa ini menjadi bangsa yang damai, makmur dan sejahtera.

            Lalu juga kita harus memperhatikan surat al-Hujurat ayat 11 yang artinya “Hai orang-orang yang beriman, janganlah sekumpulan orang laki-laki merendahkan kumpulan yang lain, boleh jadi yang ditertawakan itu lebih baik dari mereka. dan jangan pula sekumpulan perempuan merendahkan kumpulan lainnya, boleh jadi yang direndahkan itu lebih baik. dan janganlah suka mencela dirimu sendiri dan jangan memanggil dengan gelaran yang mengandung ejekan. seburuk-buruk panggilan adalah (panggilan) yang buruk sesudah iman dan barangsiapa yang tidak bertobat, maka mereka itulah orang-orang yang zalim.” Dalam Tafsir Al-Wasith, Syeikh Thanthawi menjelaskan bahwa mencela sesama mukmin itu berarti sama dengan mencela diri sendiri. Karena sesama mukmin itu bersaudara, bagaikan satu tubuh dan satu bangunan. Jika sesama mukmin saling mencela,  berarti dia mencela bagian tubuhnya sendiri. Sementara, memanggil saudara dengan gelar buruk merupakan sebuah kebiasaan yang harus dihindari. Panggilan-panggilan semacam kafir, fasiq, munafik; merupakan gelar-gelar jelek yang tidak patut disematkan pada orang beriman. Bisa jadi, orang yang terbiasa melontarkan gelar-gelar buruk tersebut justru terperosok ke dalam lembah kefasikan yang penuh dosa, tapi kebanyakan dari mereka tidak menyadari karena terlampau asyiknya. Jika sudah terbiasa dan terlampau asyik mencela dan mengumbar fitnah, orang akan tertutup mata hatinya. Intuisinya makin tumpul sehingga ia merasa paling benar sendiri. Jangankan mau tobat, ia sendiri tidak sadar kalau apa yang dilakukannya telah menyakiti hati orang lain. Dan selama dia tidak bertobat dan memperbaiki sikapnya, ia termasuk orang-orang yang zalim, tukang menganiaya, aniaya terhadap orang lain maupun aniaya terhadap dirinya sendiri, karena penyakit iri dengki telah tertanam kuat dalam hatinya. Tiap melihat orang lain sukses,  ia selalu menderita.  
Semoga pasca pilkada ini, kita bisa mempraktekkan pesan Ilahi ini bersama-sama. Jangan biarkan fenomena "gagal move on" pasca pilpres 2014 kembali terulang. Usai pilkada, saatnya bergandengan tangan, membangun negara menuju kemakmuran dan kemajuan. Rekonsiliasi adalah harga pasti yang harus kita tebus untuk menggapai cita-cita "baldatun thayyibatun wa rabbun ghafur" "gemah ripah loh jinawi". Semoga!
Wallâhu a'lam bish-shawâb. ***








Tidak ada komentar:

Posting Komentar