Edisi 08 th VIII : 24 Februari 2017 M / 27 Jumadil Ula 1438
H
REKONSILIASI PASCA PILKADA
Penulis:
Dana A. Dahlany, Lc (TPQ ad-Darajaat, Mayak)
Segala puji hanya kepada Allah
sebagai Raja Diraja Malikul Mulki yang menguasai bumi seisinya serta seluruh
alam semesta, yang telah berfirman dalam al-Qur’an surat al-Hujurat ayat 9 yang
artinya “dan kalau ada dua golongan dari mereka yang beriman itu
berperang hendaklah kamu damaikan antara keduanya! tapi kalau yang satu
melanggar perjanjian terhadap yang lain, hendaklah yang melanggar perjanjian
itu kamu perangi sampai surut kembali pada perintah Allah. kalau dia telah
surut, damaikanlah antara keduanya menurut keadilan, dan hendaklah kamu berlaku
adil; Sesungguhnya Allah mencintai orang-orang yang berlaku adil.” Kemudian shalawat
dan salam senantiasa kita sanjungkan pada Nabi Muhammad saw sebagai manusia
ciptaan Allah yang paling sempurna yang telah menunjukkan cara memimpin yang
baik bagi segenap umat manusia.
Alhamdulillah, gelaran Pilkada
serentak tahun ini telah dilaksanakan. Meski kota kita tidak ikut melaksanakan
pilkada, namun tetaplah puji syukur kita haturkan untuk Sang Maha Pengatur. Beberapa
bulan terakhir, kita begitu disibukkan dengan kampanye dan perang opini untuk
mengunggulkan jago masing-masing.
Berbagai cara ditempuh, mulai dari cara sportif yang halus nan
persuasif, sampai cara kotor yang berlumuran trik dan intrik. Kampanye hitam
(black campaign) tak segan dilakukan. Bahkan kita seakan sudah terbiasa dengan
fitnah dan berita dusta (hoax) yang berseliweran di media sosial.
Menista agama dan ulama tidak lagi dianggap tabu. Atau sebaliknya, memanfaatkan
ayat-ayat Tuhan untuk meraih kekuasaan menjadi biasa.
Alhamdulillah,
segala pujian bagi Allah, hal-hal yang menurut kami sangat menjijikkan itu
telah berakhir dengan dilakukannya pemungutan suara. Kami pikir setelah itu
tidak akan ada lagi aksi saling hujat dan saling hina antar sesama. Sirna sudah
segala berita hoax dan dusta dari lini masa. Tapi ternyata kami salah
sangka. Media massa masih dipenuhi
klaim-klaim sepihak untuk membangun opini tentang kemenangan. Yang menang
merasa jumawa, dan yang kalah mencari-cari kecurangan yang dilakukan oleh sang
pemenang. Strategi susulan disiapkan untuk menyongsong putaran kedua, atau
malah menggugat lawan secara hukum melalui Mahkamah Konstitusi. Kalau kita
terus-menerus disibukkan dengan hal-hal seperti ini, kapan kita bisa bersatu
untuk membangun bangsa dan negara?
Sebagai umat
muslim, mungkin kita perlu merenungkan kembali pesan Ilahi yang tertuang dalam
al-Qur’an surat Al-Hujurat ayat 9 sebagaimana kami sebutkan di awal tulisan. Kita
tahu, saat masa-masa kampanye, masyarakat Indonesia ikut terpecah menjadi
beberapa kubu untuk mendukung calon pemimpin Jakarta. Masing-masing kubu
berusaha sekuat tenaga untuk memenangkan pasangan calon yang mereka usung. Tak
jarang terjadi saling serang antar pendukung. Berbagai cacian dan hinaan dengan
mudahnya meluncur dari mulut dan jari-jari mereka. Nah, setelah pilkada ini
selesai, tugas mereka yang masih "waras" akal pikirnya adalah
mendamaikan antar kubu yang masih berseteru. Rekonsiliasi adalah sebuah
keharusan jika kita ingin bangsa ini maju dan memperoleh kesejahteraan. Setelah
hasil resmi pilkada dari KPU diumumkan, tak jarang pihak yang kalah belum bisa
menerima keputusan. Jika mereka menggugat hasil itu melalui Mahkamah
Konstitusi, maka hadapilah tuntutan mereka secara fair dan profesional. Tapi
jika mereka bertindak anarkis dan cenderung sparatis, maka tugas aparat
keamanan untuk melawan dan menangkap mereka, serta mendidik mereka supaya bisa
legowo menerima keputusan final yang sah.
Selayaknya
kemudian kita juga mencermati ayat ke 10 dari surat al-Hujurat yang artinya “orang-orang
beriman itu sesungguhnya bersaudara. sebab itu damaikanlah (perbaikilah
hubungan) antara kedua saudaramu itu dan takutlah terhadap Allah, supaya kamu
mendapat rahmat.” Mayoritas warga Indonesia adalah kaum beriman.
Meskipun memiliki perbedaan pandangan politik, kita semua tetap bersaudara.
Sudah seharusnya kita merawat persaudaraan itu sekuat tenaga. Perdamaian
wajib ditegakkan. Jangan sekali-kali berani mengoyak persatuan kita sebagai
sesama mukmin maupun sebagai bangsa. Dan semua itu harus didasari takwa, karena
takwa tidak akan mengajak kita menuju permusuhan, perseteruan dan perpecahan. Takwa selalu
mengajak kita menuju kemaslahatan. Dengan begitu, semoga Allah berkenan
menurunkan rahmat kasih sayang-Nya, sehingga bangsa ini menjadi bangsa yang
damai, makmur dan sejahtera.
Lalu
juga kita harus memperhatikan surat al-Hujurat ayat 11 yang artinya “Hai
orang-orang yang beriman, janganlah sekumpulan orang laki-laki merendahkan
kumpulan yang lain, boleh jadi yang ditertawakan itu lebih baik dari mereka.
dan jangan pula sekumpulan perempuan merendahkan kumpulan lainnya, boleh jadi
yang direndahkan itu lebih baik. dan janganlah suka mencela dirimu sendiri dan
jangan memanggil dengan gelaran yang mengandung ejekan. seburuk-buruk panggilan
adalah (panggilan) yang buruk sesudah iman dan barangsiapa yang tidak bertobat,
maka mereka itulah orang-orang yang zalim.” Dalam Tafsir Al-Wasith, Syeikh
Thanthawi menjelaskan bahwa mencela sesama mukmin itu berarti sama dengan
mencela diri sendiri. Karena sesama mukmin itu bersaudara, bagaikan satu tubuh
dan satu bangunan. Jika sesama mukmin saling mencela, berarti dia mencela bagian tubuhnya sendiri.
Sementara, memanggil saudara dengan gelar buruk merupakan sebuah kebiasaan yang
harus dihindari. Panggilan-panggilan semacam kafir, fasiq, munafik;
merupakan gelar-gelar jelek yang tidak patut disematkan pada orang beriman.
Bisa jadi, orang yang terbiasa melontarkan gelar-gelar buruk tersebut justru
terperosok ke dalam lembah kefasikan yang penuh dosa, tapi kebanyakan dari
mereka tidak menyadari karena terlampau asyiknya. Jika sudah terbiasa dan
terlampau asyik mencela dan mengumbar fitnah, orang akan tertutup mata hatinya.
Intuisinya makin tumpul sehingga ia merasa paling benar sendiri. Jangankan mau
tobat, ia sendiri tidak sadar kalau apa yang dilakukannya telah menyakiti hati
orang lain. Dan selama dia tidak bertobat dan memperbaiki sikapnya, ia termasuk
orang-orang yang zalim, tukang menganiaya, aniaya terhadap orang lain maupun
aniaya terhadap dirinya sendiri, karena penyakit iri dengki telah tertanam kuat
dalam hatinya. Tiap melihat orang lain sukses,
ia selalu menderita.
Semoga pasca
pilkada ini, kita bisa mempraktekkan pesan Ilahi ini bersama-sama. Jangan
biarkan fenomena "gagal move on" pasca pilpres 2014 kembali
terulang. Usai pilkada, saatnya bergandengan tangan, membangun negara menuju
kemakmuran dan kemajuan. Rekonsiliasi adalah harga pasti yang harus kita tebus
untuk menggapai cita-cita "baldatun thayyibatun wa rabbun ghafur"
"gemah ripah loh jinawi". Semoga!
Wallâhu a'lam bish-shawâb. ***
Tidak ada komentar:
Posting Komentar