Edisi 10 th VIII : 10 Maret 2017 M / 11 Jumadits Tsani
1438 H
KEJUJURAN
Penulis:
Marsudi, S.pd.I (TPQ al-Mukmin, Bangunsari)
Segala puji hanyalah bagi
Allah yang telah berfirman dalam al-Qur’an surat at-Taubah ayat 119 yang
artinya: “Wahai orang-orang yang beriman, bertaqwalah kepada Allah dan
hendaklah bersama orang-orang yang jujur”. Kemudian shalawat
salam semoga tercurah pada Rasulullah saw, pribadi sederhana yang memiliki
sifat shiddiq, amanah, tabligh dan fathonah. Sifat wajib pertama yang harus ada pada
diri setiap nabi dan Rasul adalah Shiddiq yang
artinya jujur.
Ada suatu keistimewaan dalam
konteks kejujuran sehingga dalam al-Qur’an pun orang yang bertaqwa dianjurkan
untuk bergaul dengan orang yang jujur. Kejujuran akan menunjukkan pada kebaikan
dan kebaikan menunjukkan pada surga. Nabi saw bersabda dalam sebuah hadits yang
artinya: “Sesungguhnya kejujuran menunjukkan pada kebaikan dan kebaikan
menunjukkan pada surga, sesungguhnya seorang laki-laki itu berlaku jujur
sehingga di hadapan Allah dicatat sebagai orang yang jujur, dan sesungguhnya
dusta menunjukkan pada keburukan dan keburukan menunjukkan pada neraka,
sesungguhnya seorang laki-laki itu berlaku dusta, sehingga di hadapan Allah swt
dicatat sebagai pendusta.” (HR Bukhari dan Muslim). Bagaimana jika kita
telah tercatat sebagai orang jujur? Tentunya kenikmatan akan kita dapatkan baik
di dunia maupun akhirat. Sebaliknya jika telah tercatat sebagai pendusta,
tentunya kita akan tidak tenang dalam hidup di dunia, terlebih saat di akhirat.
Oleh karena itu, benarlah kata pepatah bahwa kejujuran itu pahit namun mahal
harganya.
Dalam sebuah
kisah hikmah, ada seorang muslim yang suka melakukan perbuatan maksiat namun
sesungguhnya ia ingin bertaubat. Maka ia pun meminta nasehat kepada Rasulullah
saw agar ia dapat berhenti dari maksiatnya. Nasehat Rasululah saw kepadanya
sangatlah sederhana yaitu “jujurlah”. Nasehat ini ternyata sangat
manjur baginya dan menjadi elemen penting dalam kerangka proses taubatnya.
Setiap kali ia ingin berbuat maksiat dan tak bisa menahan keinginan tersebut,
ia pun teringat nasehat Rasulullah saw agar selalu jujur. Maka jauh di lubuk
hatinya pun merasa malu seandainya nanti ia ditanya oleh Rasulullah dan harus
jujur menceritakan maksiatnya. Akhir cerita, dengan stimulus kejujuran ini, ia
pun mendapat respons positif dengan menuai keberhasilan menghentikan
maksiatnya.
Karena begitu
urgennya hikmah kejujuran, maka kejujuran ini hendaknya dimiliki oleh setiap
muslim, baik itu pejabat maupun rakyat biasa, baik yang tua maupun yang muda,
baik yang kaya maupun yang miskin tak memiliki apa-apa. Apabila kesadaran
tentang kejujuran ini melekat pada hati para pejabat tentu ia tidak akan berani
untuk melakukan korupsi, kolusi ataupun nepotisme. Para pedagang yang jujur
tidak akan berani curang dalam cara berdagangnya, tidak akan berani
mempermainkan harga sehingga merugikan produsen maupun konsumen.
Kebalikan
dari kejujuran adalah kedustaan. Hal yang satu ini sangat merugikan baik diri
sendiri maupun orang lain. Misalnya karena suka berdusta ada pejabat yang
korupsi, negara dirugikan dan berarti orang banyak pun dirugikan juga. Kemudian
bagi diri orang yang berdusta atau korupsi tersebut tentunya harta hasil korusi
adalah harta yang haram, ia makan harta yang haram masuk ke dalam perut menjadi
darah serta menjadi daging yang berasal dari barang haram. Akibatnya hati dan
pikiran menjadi sulit untuk mendapat petunjuk dari Allah swt. Selain itu anak
dan istri yang tidak tahu menahu pun ikut makan barang haram, sehingga darah
dan dagingnya tumbuh dari makanan yang tidak halal dan pada akhirnya condong
pada keburukan, na’udzu billah min dzalik.
Selain itu
akibat dari kedustaan, seorang pendusta tidak akan dipercaya oleh orang lain.
Sekali dua kali seseorang berani berdusta, ia tidak akan dipercaya lagi oleh
orang lain sebab orang lain akan menjatuhkan sanksi tidak tertulis yaitu tidak
mempercayai berita dari orang tersebut, tidak peduli berita tersebut
sesungguhnya benar adanya. Dalam konteks ilmu pengetahuan, semisal ulumul
hadits, apabila jalur periwayatannya ada salah satu perawi yang dikenal
sebagai pendusta meski hanya sekali berdusta dalam beritanya, maka hadits yang
diriwayatkannya dinilai sebagai hadits dho’if yang lemah jika digunakan
untuk berhujjah. Sedangkan dalam konteks ilmu sosial, seorang pendusta akan
dicacat dan diberi label buruk oleh masyarakat. Koneksinya akan semakin
menyempit sehingga dengan sendirinya alur rizkinya juga menyempit. Rasulullah
saw juga memberikan warning kepada umatnya agar berhati-
hati terhadap sepak terjang
pendusta. Dusta merupakan maksiat lidah yang berujung menyakiti orang lain.
Oleh karena itu Rasulullah saw bersabda dalam hadits yang artinya: “Orang
muslim itu adalah orang-orang yang selamat dari (efek buruknya) lidah dan
tangannya” (HR Ahmad). Dalam matan hadits ini kata “lidah”
didahulukan daripada kata “tangan”, sebab sakit akibat lidah itu melebihi sakit
akibat tangan (pukulan). Sakit fisik akibat tangan, sehari-dua hari dapat
sembuh, tetapi sakit psikologis akibat lidah (yang dilukai adalah perasaan)
terkadang seumur hidup belum tentu sembuh.
Dusta juga
termasuk tanda orang-orang munafik penyebab kehancuran. Dalam hadits lain,
Rasulullah saw bersabda yang artinya: “Tanda-tanda orang munafik itu ada
3 yaitu apabila berbicara ia berdusta, apabila berjanji tidak menepati, apabila
dipercaya berkhianat.” (HR Bukhari dan Muslim). Orang munafik sangat
dibenci oleh Rasulullah saw. Oleh karena itu, setiap muslim berkewajiban untuk
memelihara kejujurannya agar dicintai oleh Rasulullah saw. Adapun apabila
terlanjur sering tidak jujur, maka sebaiknya segera bertaubat dan memperbaiki
diri. Sebab sekecil apa pun ketidak jujuran akan mengakibatkan hal yang fatal
jika sering dilakukan. Mari kita cermati sebuah hadits yang artinya: Sahabat
Abi Hurairah ra berkata bahwa Rasulullah saw telah bersabda: "Seorang
mukmin apabila berbuat dosa, maka akan menjadi sebuah noda hitam di dalam hati.
Apabila dia bertaubat, maka noda hitam itu terhapus. Dan apabila perbuatan dosa
itu bertambah, maka noda hitam di dalam hati itu pun akan bertambah, hingga
kemudian memenuhi rongga hati. Demikian itu adalah kotoran, sebagaimana yang
telah ditegaskan dalam firman Allah: "Demikianlah, mereka memenuhi kotoran
pada hati mereka sendiri." (HR. Tirmidzi ,Nasai, Ibnu Majah, dan
Ibnu Hibban). Hadits ini menunjukkan bahwa betapa pun kecilnya hal jelek
(semisal dusta) kita lakukan, maka itu tetap berpengaruh pada kualitas hati
kita.
Semoga Allah
melimpahkan rahmat dan ridha-Nya pada kita semua sehingga kita mampu istiqomah
dalam kejujuran dan menjauhi kedustaan. Aamiin.
***
Tidak ada komentar:
Posting Komentar