buletin ini terbit secara rutin tiap hari Jum'at di masjid agung RMAA Tjokronegoro Ponorogo

Minggu, 18 Juni 2017

KEJUJURAN



       Edisi 10 th VIII : 10 Maret 2017 M / 11 Jumadits Tsani 1438 H
KEJUJURAN
Penulis: Marsudi, S.pd.I (TPQ al-Mukmin, Bangunsari)
Segala puji hanyalah bagi Allah yang telah berfirman dalam al-Qur’an surat at-Taubah ayat 119 yang artinya: “Wahai orang-orang yang beriman, bertaqwalah kepada Allah dan hendaklah bersama orang-orang yang jujur”.  Kemudian shalawat salam semoga tercurah pada Rasulullah saw, pribadi sederhana yang memiliki sifat shiddiq, amanah, tabligh dan fathonah. Sifat wajib pertama yang harus ada pada diri setiap nabi dan Rasul adalah Shiddiq yang artinya jujur.
Ada suatu keistimewaan dalam konteks kejujuran sehingga dalam al-Qur’an pun orang yang bertaqwa dianjurkan untuk bergaul dengan orang yang jujur. Kejujuran akan menunjukkan pada kebaikan dan kebaikan menunjukkan pada surga. Nabi saw bersabda dalam sebuah hadits yang artinya: “Sesungguhnya kejujuran menunjukkan pada kebaikan dan kebaikan menunjukkan pada surga, sesungguhnya seorang laki-laki itu berlaku jujur sehingga di hadapan Allah dicatat sebagai orang yang jujur, dan sesungguhnya dusta menunjukkan pada keburukan dan keburukan menunjukkan pada neraka, sesungguhnya seorang laki-laki itu berlaku dusta, sehingga di hadapan Allah swt dicatat sebagai pendusta.” (HR Bukhari dan Muslim). Bagaimana jika kita telah tercatat sebagai orang jujur? Tentunya kenikmatan akan kita dapatkan baik di dunia maupun akhirat. Sebaliknya jika telah tercatat sebagai pendusta, tentunya kita akan tidak tenang dalam hidup di dunia, terlebih saat di akhirat. Oleh karena itu, benarlah kata pepatah bahwa kejujuran itu pahit namun mahal harganya.

Dalam sebuah kisah hikmah, ada seorang muslim yang suka melakukan perbuatan maksiat namun sesungguhnya ia ingin bertaubat. Maka ia pun meminta nasehat kepada Rasulullah saw agar ia dapat berhenti dari maksiatnya. Nasehat Rasululah saw kepadanya sangatlah sederhana yaitu jujurlah”. Nasehat ini ternyata sangat manjur baginya dan menjadi elemen penting dalam kerangka proses taubatnya. Setiap kali ia ingin berbuat maksiat dan tak bisa menahan keinginan tersebut, ia pun teringat nasehat Rasulullah saw agar selalu jujur. Maka jauh di lubuk hatinya pun merasa malu seandainya nanti ia ditanya oleh Rasulullah dan harus jujur menceritakan maksiatnya. Akhir cerita, dengan stimulus kejujuran ini, ia pun mendapat respons positif dengan menuai keberhasilan menghentikan maksiatnya.
Karena begitu urgennya hikmah kejujuran, maka kejujuran ini hendaknya dimiliki oleh setiap muslim, baik itu pejabat maupun rakyat biasa, baik yang tua maupun yang muda, baik yang kaya maupun yang miskin tak memiliki apa-apa. Apabila kesadaran tentang kejujuran ini melekat pada hati para pejabat tentu ia tidak akan berani untuk melakukan korupsi, kolusi ataupun nepotisme. Para pedagang yang jujur tidak akan berani curang dalam cara berdagangnya, tidak akan berani mempermainkan harga sehingga merugikan produsen maupun konsumen.
            Kebalikan dari kejujuran adalah kedustaan. Hal yang satu ini sangat merugikan baik diri sendiri maupun orang lain. Misalnya karena suka berdusta ada pejabat yang korupsi, negara dirugikan dan berarti orang banyak pun dirugikan juga. Kemudian bagi diri orang yang berdusta atau korupsi tersebut tentunya harta hasil korusi adalah harta yang haram, ia makan harta yang haram masuk ke dalam perut menjadi darah serta menjadi daging yang berasal dari barang haram. Akibatnya hati dan pikiran menjadi sulit untuk mendapat petunjuk dari Allah swt. Selain itu anak dan istri yang tidak tahu menahu pun ikut makan barang haram, sehingga darah dan dagingnya tumbuh dari makanan yang tidak halal dan pada akhirnya condong pada keburukan, na’udzu billah min dzalik.
Selain itu akibat dari kedustaan, seorang pendusta tidak akan dipercaya oleh orang lain. Sekali dua kali seseorang berani berdusta, ia tidak akan dipercaya lagi oleh orang lain sebab orang lain akan menjatuhkan sanksi tidak tertulis yaitu tidak mempercayai berita dari orang tersebut, tidak peduli berita tersebut sesungguhnya benar adanya. Dalam konteks ilmu pengetahuan, semisal ulumul hadits, apabila jalur periwayatannya ada salah satu perawi yang dikenal sebagai pendusta meski hanya sekali berdusta dalam beritanya, maka hadits yang diriwayatkannya dinilai sebagai hadits dho’if yang lemah jika digunakan untuk berhujjah. Sedangkan dalam konteks ilmu sosial, seorang pendusta akan dicacat dan diberi label buruk oleh masyarakat. Koneksinya akan semakin menyempit sehingga dengan sendirinya alur rizkinya juga menyempit. Rasulullah saw juga memberikan warning kepada umatnya agar berhati-

hati terhadap sepak terjang pendusta. Dusta merupakan maksiat lidah yang berujung menyakiti orang lain. Oleh karena itu Rasulullah saw bersabda dalam hadits yang artinya: “Orang muslim itu adalah orang-orang yang selamat dari (efek buruknya) lidah dan tangannya” (HR Ahmad). Dalam matan hadits ini kata “lidah” didahulukan daripada kata “tangan”, sebab sakit akibat lidah itu melebihi sakit akibat tangan (pukulan). Sakit fisik akibat tangan, sehari-dua hari dapat sembuh, tetapi sakit psikologis akibat lidah (yang dilukai adalah perasaan) terkadang seumur hidup belum tentu sembuh.
Dusta juga termasuk tanda orang-orang munafik penyebab kehancuran. Dalam hadits lain, Rasulullah saw bersabda yang artinya: “Tanda-tanda orang munafik itu ada 3 yaitu apabila berbicara ia berdusta, apabila berjanji tidak menepati, apabila dipercaya berkhianat.” (HR Bukhari dan Muslim). Orang munafik sangat dibenci oleh Rasulullah saw. Oleh karena itu, setiap muslim berkewajiban untuk memelihara kejujurannya agar dicintai oleh Rasulullah saw. Adapun apabila terlanjur sering tidak jujur, maka sebaiknya segera bertaubat dan memperbaiki diri. Sebab sekecil apa pun ketidak jujuran akan mengakibatkan hal yang fatal jika sering dilakukan. Mari kita cermati sebuah hadits yang artinya: Sahabat Abi Hurairah ra berkata bahwa Rasulullah saw telah bersabda: "Seorang mukmin apabila berbuat dosa, maka akan menjadi sebuah noda hitam di dalam hati. Apabila dia bertaubat, maka noda hitam itu terhapus. Dan apabila perbuatan dosa itu bertambah, maka noda hitam di dalam hati itu pun akan bertambah, hingga kemudian memenuhi rongga hati. Demikian itu adalah kotoran, sebagaimana yang telah ditegaskan dalam firman Allah: "Demikianlah, mereka memenuhi kotoran pada hati mereka sendiri." (HR. Tirmidzi ,Nasai, Ibnu Majah, dan Ibnu Hibban). Hadits ini menunjukkan bahwa betapa pun kecilnya hal jelek (semisal dusta) kita lakukan, maka itu tetap berpengaruh pada kualitas hati kita.
Semoga Allah melimpahkan rahmat dan ridha-Nya pada kita semua sehingga kita mampu istiqomah dalam kejujuran dan menjauhi kedustaan. Aamiin.
***

 





Tidak ada komentar:

Posting Komentar