buletin ini terbit secara rutin tiap hari Jum'at di masjid agung RMAA Tjokronegoro Ponorogo

Kamis, 25 April 2013

TAKBIRATUL IHRAM






Bulletin
TELAGA JIWA
Susunan Redaksi:
Pembina:
MABIN TPQ Ma’arif NU Ponorogo.
Penanggung Jawab: Ketua TPQ Ma’arif NU Kortan Ponorogo.  
Manager:
Mahfud
Redaktur:
Hadi PS, Dana AD, Eri WH, Rohmanuddin, Wasis W, Asyif NH.
Editor:   
Marsudi
Keuangan:
Herul Sabana
Alamat Redaksi:
Ponpes Hudatul Muna Jenes Brotonegaran Ponorogo.
Contact Persons: 087751884909, 085233977218 dan 085235666984
Website:
Bulletin Telaga Jiwa TPQ NU Kortan Ponorogo (*9)
group facebook:
TELAGA JIWA TPQ NU Koortan Ponorogo


Edisi  04 th IV :  26 April 2013 M / 15 Jumadil Akhir 1434 H
TAKBIRATUL IHRAM
Penulis: Ust. Mahfud (TPQ Miftahul Huda, Jenes)
Segala puji hanya bagi Allah yang menjadi tujuan dalam segala amal ibadah kita. Sesungguhnya shalat kita, ibadah kita, hidup kita serta mati kita hanyalah bagi Allah semata. Kemudian shalawat salam semoga tercurah pada nabi Muhammad saw yang telah menjadi pamungkasnya para rasul dan nabi.
Setiap kali kita shalat pastilah dimulai dengan niat serta takbiratul ihram. Takbir artinya mengagungkan, sedangkan ihram artinya mengharamkan yakni meng-haramkan sesuatu yang sebenarnya diperbolehkan ketika di luar shalat. Misalnya di luar shalat seseorang diperbolehkan makan, tetapi sewaktu ia shalat maka diharamkan makan. Kedudukan takbiratul ihram dalam shalat ialah sebagai rukun qauliy. Apabila seseorang yang shalat meninggalkan takbiratul ihram, maka shalatnya tidak sah.  Semenjak seseorang takbiratul ihram itulah seseorang mulai melakukan shalat. Dengan ini kemudian dipahami apa saja yang dilakukan oleh seseorang sebelum takbiratul ihram selama hal itu baik maka itu diperbolehkan, misalnya melafadzkan niat, membaca surat an-Nas atau membaca suatu ayat dalam al-Qur’an. Sebagaimana yang dilakukan oleh Ustadz Abu Al-Hasan Al-Syadzily, ketika mengetahui teman-teman beliau selalu was-was dalam takbiratul ihram. Beliau menyarankan kepada mereka agar meletakkan tangan kanan mereka di atas dadanya dan hendaknya mengucapkan: “subhanal malikil quddus khallaqil fa’al”  sebanyak 7 kali kemudian mengucapkan: “in yasya’ yudzhibkum wa ya’ti bi khalqin jadid, wa ma dzalika ‘alallahi bi’aziz”. (kitab Nihayatuz-zain karya imam An-Nawawi Al-Bantani hal. 87)
Dalil tentang wajibnya membaca takbiratul ihram di dalam shalat adalah hadits Nabi Muhammad saw: “jika beliau nabi saw memulai shalatnya, Beliau menghadap ke kiblat dan mengangkat kedua tangannya serta bertakbir Allahu Akbar” (HR Ibnu Majah). Berdasarkan hadits di atas, tata cara takbiratul ihram ialah dengan mengangkat kedua tangan, yakni dengan mengangkat kedua telapak tangan

yang terbuka tepat di atas bahu dan setinggi telinga. Hadits lain juga menjelaskan tentang hal ini:
عَنِ ابْنِ عُمَرَ اَنَّ النَّبِيَّ صلى الله عليه وسلم كَانَ يَرْفَعُ يَدَيْهِ حَذْوَ مَنْكِبَيْهِ حِيْنَ يُكَبِّرُ
(رواه البخاري و المسلم)
Artinya: “Dari Ibnu Umar: bahwasanya Nabi saw biasanya mengangkat kedua tangannya setinggi kedua bahunya sewaktu takbiratul ihram.” (HR Bukhori dan Muslim). Dari hadits ini ditafsirkan bahwa yang diangkat setinggi bahu bukan telapak tangan melainkan lengan, adapun telapak tangan sejajar dengan telinga.
Adapun ketentuan-ketentuan dalam takbiratul ihram adalah sebagai berikut: (1)Membaca takbiratul ihram pada saat berdiri tegak, apabila shalat wajib. Berdiri pada shalat wajib termasuk rukun fi’liy bagi yang mampu. Maka tidak boleh ketika masih melangkah sambil takbiratul ihram. (2)Menggunakan bahasa Arab dengan lafadz yang sudah tertentu yakni Allahu Akbar, tidak boleh memakai lafadz Al-Rahmanu Akbar atau memakai asmaul-husna yg lain. (3)Tidak boleh membaca pan-jang alif/hamzah fat-hahnya lafadz Allahu sebab akan merubah arti. Jika memper-panjang alif/hamzah lafadznya menjadi Aallahu akbar, maka artinya adalah Apakah Allah Maha Besar? Apabila seseorang sengaja melakukannya sedang ia mengeta-hui maknanya maka ia telah kufur. (4)Diperbolehkan tidak membaca alif/ hamzah-nya lafadz Allahu apabila disambungkan dengan lafadz sebelumnya misalnya Imamallahu akbar namun hal ini khilaful aula (menyelisihi yang utama) maka yang lebih utama adalah tidak menyambung lafadz Allahu dengan lafadz sebelumnya. (5)Tidak boleh menghilangkan alif/hamzah fat-hahnya lafadz Akbar sehingga ber-bunyi Allahu Kabar. (6)Tidak boleh memanjangkan ba’ fat-hahnya lafadz akbar sehingga menjadi akbaar, (7) Tidak boleh mentasydid ba’ nya lafadz akbar sehingga menjadi akebbar, (8)Tidak menambahkan wawu baik wawu hidup atau mati di antara lafadz takbiratul ihram sehingga menjadi Allahuw Akbar atau Allahu wakbar (9)Tidak pula menambahkan wawu sebelumnya sehingga menjadi wallahu akbar, (10)Tidak boleh berhenti diantara dua kata Allahu dan akbar. (11)Pelafalannya harus dapat didengar oleh dirinya sendiri, apabila ia orang yang normal pendengarannya. (12)Membaca takbiratul ihram ketika sudah masuk shalat dan dilaksanakan dengan menghadap kiblat. (13)Apabila ia makmum maka harus setelah imam takbiratul ih-ram (tidak boleh mendahului atau bersamaan dengan imam). (14)Tidak boleh me-manjangkan mad diantara lam dan ha’ pada lafadz Allahu melebihi 14 harakat. (15)Tidak boleh berpaling artinya orang yang shalat harus benar-benar niat tak-biratul ihram, misalnya makmum masbuk yang menemukan imamnya dalam keada-an ruku’ kemudian ia takbir tapi tidak berniat takbiratul ihram, maka shalatnya tidak sah. (kitab Nihayatuzzain karya imam An-Nawawi Al-Bantani hal. 86). Jadi kesimpulannya dalam Takbiratul Ihram tidak boleh merubah lafadz Allahu akbar karena lafadz Allahu akbar sifatnya tauqifi dan juga tidak boleh merubah huruf atau panjang pendeknya sebab hal itu juga dapat merubah arti dari Allahu Akbar tsb.

Adapun setelah takbiratul ihram kemudian meletakkan tangan kanan di atas tangan kiri di dada atau di atas pusar (kitab Kifayatul Akhyar juz I hal. 115). Ada beberapa hadits yang menjadi dasarnya.
عن وائل بن حجر رضي الله عنه قال صليت مع النبي صلى الله عليه وسلم فوضع يده اليمنى على يده اليسرى على صدره
Artinya: “Dari Wail bin Hujr ra berkata: aku sholat bersama Nabi saw, beliau meletakkan tangan kanan di atas tangan kiri di dadanya.” (HR Ibnu Khuzaimah)
Dari hadits di atas, jelas terlihat bahwa Rasulullah saw meletakkan tangan kanannya di atas tangan kiri dan meletakkannya di dada. Dalam pemaknaannya, yang dimaksud dada bukanlah rongga dada yang dekat dengan leher, melainkan bagian di atas pusar dan sekitar jantung. Ada hadits lain yang diriwayatkan oleh Imam Ahmad dan Abu Dawud yang menceritakan bahwa Rasulullah saw pernah melihat seorang laki-laki yang sedang sholat dengan meletakkan tangan kirinya di atas tangan kanan. Maka beliau melepaskan tangan tersebut dan meletakkan yang kanan di atas yang kiri.
            Hal lain yang perlu diperhatikan adalah arah pandangan mata kita saat shalat. Sebuah hadits shahih yang diriwayatkan oleh Bukhari dan Muslim menjelaskan bahwasanya Rasulullah saw apabila menunaikan shalat menundukkan kepalanya dan memandang ke arah tanah (tempat sujud). Oleh karena itu jangan sampai ketika kita shalat (ataupun berdo’a) wajah kita dongakkan ke atas dan melihat langit. Rasulullah melarang hal tersebut berdasar hadits berikut

عن جابر بن سمرة رضي الله عنه قال : قال رسول الله صلى الله عليه و سلم : لينتهين اقوام يرفعون ابصارهم الى السماء فى الصلاة اولا ترجع اليهم (رواه مسلم)
Artinya: “Dari Jabir bin Samurah ra berkata Rasulullah saw bersabda: hendaklah benar-benar berhenti orang-orang yang memandang ke langit saat shalat atau panda-ngan itu tidak kembali pada mereka (Allah tidak memandang mereka).” (HR Muslim). Dalam hadits lain yang diriwayatkan oleh Tirmidzi, Rasulullah saw melarang menolehkan kepala saat shalat, karena sesungguhnya Allah memperhatikan wajah hambanya saat shalat selama hamba tersebut tidak pernah menolehkan wajahnya.
Semoga kita semua dapat menjaga shalat kita dengan baik sehingga mampu menjadi hamba yang mendapat ridho dari Allah swt. Aamiin.
*********