TELAGA JIWA
Susunan Redaksi:
Pembina:
MABIN TPQ Ma’arif NU Ponorogo.
Penanggung Jawab: Ketua
TPQ Ma’arif NU Kortan Ponorogo.
Manager:
Mahfud
Redaktur:
Hadi PS, Dana AD, Eri WH, Rohmanuddin, Wasis W, Asyif
NH.
Editor:
Marsudi
Keuangan:
Herul Sabana
Alamat Redaksi:
Ponpes Hudatul Muna Jenes Brotonegaran Ponorogo.
Contact Persons: 087751884909, 085233977218 dan 085235666984
Website:
Bulletin Telaga Jiwa TPQ NU Kortan Ponorogo (*9)
group
facebook:
TELAGA JIWA TPQ NU Koortan Ponorogo
Edisi 02 th IV :
12 April 2013 M / 1 Jumadil Akhir 1434 H
Penulis: Ust. Mahfud (TPQ Miftahul Huda, Jenes)
Segala puji tentunya memang hanya bagi Allah yang menjadi
tujuan dalam segala amal ibadah kita. Kemudian shalawat salam semoga tercurah
pada Rasulullah Muhammad saw yang telah memberikan berbagai macam contoh cara
ibadah yang benar.
Setiap hari kita shalat. Terkadang kita
melakukannya hanya sekedarnya saja, rutinitas yang terlaksana karena kita sudah
hafal semua bacaan shalat. Sering kali saat shalat berlangsung pikiran justru
melayang-layang entah ke mana, lalu kita terlupa sudah berapa rakaat yang kita
kerjakan. Mungkin kemudian ada rasa jengkel pada diri sendiri karena sudah
berusaha shalat tapi tetap saja tidak bisa khusuk. Untuk itu Rasulullah saw memberikan
cara agar shalat bisa khusuk, yaitu dengan merasa saat shalat sudah berhadapan
dengan Allah dan sedang berkomunikasi dengan-Nya, atau dengan merasa bahwa
Allah melihat shalat kita dan mendengarkan semua bacaan kita. Mungkin hal ini
memang mudah ditulis atau disampaikan, tapi sungguh tidak mudah dilaksanakan.
Untuk bisa merasa bahwa Allah melihat setiap gerakan kita itu saja ternyata
tidak mudah. Butuh latihan yang tiada henti.
Dalam faham Ahlus
Sunnah wal Jamaah ada cara khusus yang bisa dilakukan agar shalat bisa khusuk,
yaitu dengan mengucapkan niat shalat (ushalli …). Dengan cara ini kita berkonsentrasi
dulu sebelum takbiratul ihram sehingga dapat meminima-lisir pecahnya
konsentrasi ke hal-hal lain di luar shalat. Namun sebelum kita memba-has hukum melafadzkan niat, selayaknya
kita ketahui terlebih dahulu tentang penger-tian serta fungsi niat. Pengertian
niat menurut Ulama Syafi’iyah adalah bermaksud melakukan sesuatu disertai
dengan pelaksanaannya. Contoh: niat shalat dilakukan bersamaan dengan melakukan
rukun pertama shalat yakni takbiratul ihram. Adapun fungsi niat
adalah untuk membedakan antara ibadah dengan ‘adah/kebiasaan.
مَقْصُوْدُ النِّيَّةِ تَمْيِيْزُ الْعِبَادَةِ وَالْعَادَةِ
Contoh membedakan antara ibadah dengan adat kebiasaan
misalnya orang yang membasuh muka bisa jadi yang dilakukan adalah suatu ibadah
yakni rangkaian tata cara berwudlu, akan tetapi bisa juga itu hanya kebiasaan
membersihkan muka atau upaya memperoleh kesegaran. Maka kedua hal tersebut yang
membedakan adalah niatnya. Fungsi niat juga untuk membedakan tingkatan
ibadah, membedakan antara ibadah sunah dan wajib. Ketika
seseorang shalat 2 rakaat di waktu subuh, bisa jadi ia shalat shubuh
atau bisa juga ia shalat qabliyah shubuh. Yang membedakan dari hal
tersebut adalah niatnya.
Dasar hukum disyari’atkannya niat adalah firman
Allah swt dalam surat al- Bayyinah ayat 5: "Padahal mereka tidak disuruh kecuali
supaya menyembah Allah dengan memurnikan ketaatan kepada-Nya ..." Adapun
makna muhlisin (me-murnikan ketaatan …) pada ayat tersebut adalah
niat. Memang niat itu letaknya da-lam hati sehingga apapun yang
dilakukan seseorang, yang mengetahui niatnya ha-nyalah orang itu sendiri dan
Allah saja. Misalnya ada seseorang yang bersedekah. Jika memang niatnya ikhlas
tentunya akan mendapat pahala, tapi jika niatnya untuk pamer, mungkin orang
lain tidak tahu, yang tahu hanya hati kecilnya sendiri dan Allah tidak akan
memberinya pahala karena Allah juga mengetahui isi hati kecilnya tersebut.
Begitu urgennya sebuah niat sehingga akan menentukan hasil akhir dan juga value
(nilai) dari proses yang dilakukan.
Dalil lain yang digunakan sebagai acuan
tentang niat adalah sebuah hadits sebagai berikut: “Dari Umar bin Khattab radhiallahu ‘anhu bahwa beliau ber-khutbah di atas mimbar: “Saya
mendengar Nabi shallallahu ‘alaihi
wa sallam bersabda: Sesungguhnya amal
perbuatan hanya dinilai berdasarkan niatnya, dan sesungguhnya pahala yang
diperoleh seseorang sesuai dengan niatnya. Barang siapa yang niat hijrahnya
menuju Allah dan Rasul-Nya maka dia akan mendapat pahala hijrah menuju Allah
dan Rasul-Nya, dan barang siapa yang hijrahnya dengan niat mendapatkan dunia
atau wanita yang ingin dinikahi maka dia hanya mendapatkan hal yang dia
inginkan.” (HR al-Bukhari dan Muslim). Berdasarkan
keterangan dalil dari al-Qur’an dan Hadits tersebut di atas, maka ulama
Syafi’iyah menyatakan bahwa hukum niat adalah wajib sebab menjadi
syarat syahnya suatu amal ibadah. Adapun letak niat adalah di dalam hati. Sedangkan
hukum melafadz-kan niat shalat pada saat menjelang takbiratul ihram
menurut kesepakatan para pengikut madzab Imam Syafi’iy (Syafi’iyah) dan
pengikut madzab Imam Ahmad bin Hanbal (Hanabilah) adalah sunnah. Hal ini
dikarenakan melafadzkan niat sebelum takbir dapat membantu untuk mengingatkan
hati sehingga membuat seseorang lebih khusyu’ dalam melaksanakan shalatnya.
Imam Ramli menyatakan
dalam kitab Nihayah al-Mukhtaj juz 1 halaman 437 “Disunnahkan melafadzkan niat menjelang takbir (shalat)
agar mulut dapat membantu (ke-khusyu’-an) hati, sehingga terhindar dari
gangguan hati dan karena menghindar dari perbedaan pendapat yang mewajibkan
melafadzkan niat”. Dari
penjelasan kitab ini maka dapat ditarik kesimpulan tujuan dari melafadzkan niat
adalah agar membantu mengingatkan hati. Dengan melafadzkan niat akan timbul
ketenangan dan kemantaban dalam hati terkait shalat yang akan dilakukan. Sangat
dianjurkan melafadzkan niat bagi orang yang mempunyai penyakit was-was. Kalau
tidak dibantu dengan melafadzkan niat, maka orang yang mempunyai penyakit was-was
akan mengulang-ulang takbiratul ihram.
Rasulullah
saw memang tidak mengucapkan niat shalat dengan suara keras ketika akan takbiratul
ihram,tapi itu bukan berarti larangan atau celaan. Adakalanya Rasulullah
tidak melakukan sesuatu itu karena khawatir umatnya menganggap hal tersebut menjadi
wajib. Salah satu contohnya adalah saat beliau shalat tarawih dan shalat dluha.
Ketika masyarakat beramai-ramai mengikuti beliau untuk shalat, justru beliau
menghentikan aktifitas tersebut karena khawatir umat Islam akan mengang-gapnya
sebagai shalat wajib. Beliau justru memilih mengerjakan shalat tersebut
sendirian di rumah dan tidak menampakkannya pada orang lain.
Karena hal seperti inilah kemudian ada sebuah
kaidah ushul fiqih yang menyebutkan
تَرْكُ الشَّيْءِ لاَيَدُلُّ عَلَى مَنْعِهِ
“Tidak melakukan sesuatu tidak menunjukan sesuatu tersebut
dilarang”
Hal
ini berarti ketika Rasulullah saw tidak melakukan suatu perbuatan, namun jika
tidak ada dalil al-Qur’an, hadits atau atsar (perkataan sahabat) yang melarang
perbuatan tersebut berarti perbuatan tersebut boleh dilakukan. Menganggap
sesuatu haram atau berdosa adalah didasarkan pada dalil al-Qur’an, hadits atau
atsar yang mengambil salah satu di antara tiga hal yaitu: Nahy (larangan), atau tahrim
(mengharamkan), atau dicela serta diancam dengan dosa dan siksa.
Namun masalah melafadzkan niat memang menjadi
masalah khilafiyah (per-bedaan pendapat) karena termasuk masalah ijtihadiyah
(hasil ijtihad). Ada sebagian ulama Syafi’iyah yang mewajibkan niat
namun ada juga sebagian ulama lain dari madzab Hanafiyah yang melarang
melafadzkan niat. Maka jalan terbaik yang diambil memakai kaidah “al-huruj min al-khilaf mustahab” yang artinya keluar dari ikhtilaf adalah
dianjurkan. Kaidah inilah yang dipakai oleh Imam Ramli untuk menetapkan
kesunahan melafadzkan niat menjelang takbiratul ihram. Adapun implementasinya,
tentu saja diserahkan pada pribadi masing-masing individu untuk melafadzkan
niat shalatnya atau mencukupkannya dalam hati saja. Wallahu a’lam...
*********
-
Tidak ada komentar:
Posting Komentar