buletin ini terbit secara rutin tiap hari Jum'at di masjid agung RMAA Tjokronegoro Ponorogo

Sabtu, 13 April 2013

NIAT SHALAT





Bulletin
TELAGA JIWA
Susunan Redaksi:
Pembina:
MABIN TPQ Ma’arif NU Ponorogo.
Penanggung Jawab: Ketua TPQ Ma’arif NU Kortan Ponorogo.  
Manager:
Mahfud
Redaktur:
Hadi PS, Dana AD, Eri WH, Rohmanuddin, Wasis W, Asyif NH.
Editor:   
Marsudi
Keuangan:
Herul Sabana
Alamat Redaksi:
Ponpes Hudatul Muna Jenes Brotonegaran Ponorogo.
Contact Persons: 087751884909, 085233977218 dan 085235666984
Website:
Bulletin Telaga Jiwa TPQ NU Kortan Ponorogo (*9)
group facebook:
TELAGA JIWA TPQ NU Koortan Ponorogo



Edisi  02 th IV :  12 April 2013 M / 1 Jumadil Akhir 1434 H



Penulis: Ust. Mahfud (TPQ Miftahul Huda, Jenes)
Segala puji tentunya memang hanya bagi Allah yang menjadi tujuan dalam segala amal ibadah kita. Kemudian shalawat salam semoga tercurah pada Rasulullah Muhammad saw yang telah memberikan berbagai macam contoh cara ibadah yang benar.
Setiap hari kita shalat. Terkadang kita melakukannya hanya sekedarnya saja, rutinitas yang terlaksana karena kita sudah hafal semua bacaan shalat. Sering kali saat shalat berlangsung pikiran justru melayang-layang entah ke mana, lalu kita terlupa sudah berapa rakaat yang kita kerjakan. Mungkin kemudian ada rasa jengkel pada diri sendiri karena sudah berusaha shalat tapi tetap saja tidak bisa khusuk. Untuk itu Rasulullah saw memberikan cara agar shalat bisa khusuk, yaitu dengan merasa saat shalat sudah berhadapan dengan Allah dan sedang berkomunikasi dengan-Nya, atau dengan merasa bahwa Allah melihat shalat kita dan mendengarkan semua bacaan kita. Mungkin hal ini memang mudah ditulis atau disampaikan, tapi sungguh tidak mudah dilaksanakan. Untuk bisa merasa bahwa Allah melihat setiap gerakan kita itu saja ternyata tidak mudah. Butuh latihan yang tiada henti.
Dalam faham Ahlus Sunnah wal Jamaah ada cara khusus yang bisa dilakukan agar shalat bisa khusuk, yaitu dengan mengucapkan niat shalat (ushalli …). Dengan cara ini kita berkonsentrasi dulu sebelum takbiratul ihram sehingga dapat meminima-lisir pecahnya konsentrasi ke hal-hal lain di luar shalat. Namun sebelum kita memba-has hukum melafadzkan niat, selayaknya kita ketahui terlebih dahulu tentang penger-tian serta fungsi niat. Pengertian niat menurut Ulama Syafi’iyah adalah bermaksud melakukan sesuatu disertai dengan pelaksanaannya. Contoh: niat shalat dilakukan bersamaan dengan melakukan rukun pertama shalat yakni takbiratul ihram. Adapun fungsi niat adalah untuk membedakan antara ibadah dengan ‘adah/kebiasaan.
مَقْصُوْدُ النِّيَّةِ تَمْيِيْزُ الْعِبَادَةِ وَالْعَادَةِ

Contoh membedakan antara ibadah dengan adat kebiasaan misalnya orang yang membasuh muka bisa jadi yang dilakukan adalah suatu ibadah yakni rangkaian tata cara berwudlu, akan tetapi bisa juga itu hanya kebiasaan membersihkan muka atau upaya memperoleh kesegaran. Maka kedua hal tersebut yang membedakan adalah niatnya. Fungsi niat juga untuk membedakan tingkatan ibadah, membedakan antara ibadah sunah dan wajib. Ketika seseorang shalat 2 rakaat di waktu subuh, bisa jadi ia shalat shubuh atau bisa juga ia shalat qabliyah shubuh. Yang membedakan dari hal tersebut adalah niatnya.
Dasar hukum disyari’atkannya niat adalah firman Allah swt dalam surat al- Bayyinah ayat 5: "Padahal mereka tidak disuruh kecuali supaya menyembah Allah dengan memurnikan ketaatan kepada-Nya ..." Adapun makna muhlisin (me-murnikan ketaatan …) pada ayat tersebut adalah niat. Memang niat itu letaknya da-lam hati sehingga apapun yang dilakukan seseorang, yang mengetahui niatnya ha-nyalah orang itu sendiri dan Allah saja. Misalnya ada seseorang yang bersedekah. Jika memang niatnya ikhlas tentunya akan mendapat pahala, tapi jika niatnya untuk pamer, mungkin orang lain tidak tahu, yang tahu hanya hati kecilnya sendiri dan Allah tidak akan memberinya pahala karena Allah juga mengetahui isi hati kecilnya tersebut. Begitu urgennya sebuah niat sehingga akan menentukan hasil akhir dan juga value (nilai) dari proses yang dilakukan.
Dalil lain yang digunakan sebagai acuan tentang niat adalah sebuah hadits sebagai berikut: “Dari Umar bin Khattab radhiallahu ‘anhu bahwa beliau ber-khutbah di atas mimbar: “Saya mendengar Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda: Sesungguhnya amal perbuatan hanya dinilai berdasarkan niatnya, dan sesungguhnya pahala yang diperoleh seseorang sesuai dengan niatnya. Barang siapa yang niat hijrahnya menuju Allah dan Rasul-Nya maka dia akan mendapat pahala hijrah menuju Allah dan Rasul-Nya, dan barang siapa yang hijrahnya dengan niat mendapatkan dunia atau wanita yang ingin dinikahi maka dia hanya mendapatkan hal yang dia inginkan. (HR al-Bukhari dan Muslim). Berdasarkan keterangan dalil dari al-Qur’an dan Hadits tersebut di atas, maka ulama Syafi’iyah menyatakan bahwa hukum niat adalah wajib sebab menjadi syarat syahnya suatu amal ibadah. Adapun letak niat adalah di dalam hati. Sedangkan hukum melafadz-kan niat shalat pada saat menjelang takbiratul ihram menurut kesepakatan para pengikut madzab Imam Syafi’iy (Syafi’iyah) dan pengikut madzab Imam Ahmad bin Hanbal (Hanabilah) adalah sunnah. Hal ini dikarenakan melafadzkan niat sebelum takbir dapat membantu untuk mengingatkan hati sehingga membuat seseorang lebih khusyu’ dalam melaksanakan shalatnya.
            Imam Ramli menyatakan dalam kitab Nihayah al-Mukhtaj juz 1 halaman 437 Disunnahkan melafadzkan niat menjelang takbir (shalat) agar mulut dapat membantu (ke-khusyu’-an) hati, sehingga terhindar dari gangguan hati dan karena menghindar dari perbedaan pendapat yang mewajibkan melafadzkan niat”. Dari penjelasan kitab ini maka dapat ditarik kesimpulan tujuan dari melafadzkan niat adalah agar membantu mengingatkan hati. Dengan melafadzkan niat akan timbul ketenangan dan kemantaban dalam hati terkait shalat yang akan dilakukan. Sangat dianjurkan melafadzkan niat bagi orang yang mempunyai penyakit was-was. Kalau tidak dibantu dengan melafadzkan niat, maka orang yang mempunyai penyakit was-was akan mengulang-ulang takbiratul ihram.

Rasulullah saw memang tidak mengucapkan niat shalat dengan suara keras ketika akan takbiratul ihram,tapi itu bukan berarti larangan atau celaan. Adakalanya Rasulullah tidak melakukan sesuatu itu karena khawatir umatnya menganggap hal tersebut menjadi wajib. Salah satu contohnya adalah saat beliau shalat tarawih dan shalat dluha. Ketika masyarakat beramai-ramai mengikuti beliau untuk shalat, justru beliau menghentikan aktifitas tersebut karena khawatir umat Islam akan mengang-gapnya sebagai shalat wajib. Beliau justru memilih mengerjakan shalat tersebut sendirian di rumah dan tidak menampakkannya pada orang lain.
Karena hal seperti inilah kemudian ada sebuah kaidah ushul fiqih yang menyebutkan

تَرْكُ الشَّيْءِ لاَيَدُلُّ عَلَى مَنْعِهِ
“Tidak melakukan sesuatu tidak menunjukan sesuatu tersebut dilarang”
Hal ini berarti ketika Rasulullah saw tidak melakukan suatu perbuatan, namun jika tidak ada dalil al-Qur’an, hadits atau atsar (perkataan sahabat) yang melarang perbuatan tersebut berarti perbuatan tersebut boleh dilakukan. Menganggap sesuatu haram atau berdosa adalah didasarkan pada dalil al-Qur’an, hadits atau atsar yang mengambil salah satu di antara tiga hal yaitu: Nahy (larangan), atau tahrim (mengharamkan), atau dicela serta diancam dengan dosa dan siksa.
Namun masalah melafadzkan niat memang menjadi masalah khilafiyah (per-bedaan pendapat) karena termasuk masalah ijtihadiyah (hasil ijtihad). Ada sebagian ulama Syafi’iyah yang mewajibkan niat namun ada juga sebagian ulama lain dari madzab Hanafiyah yang melarang melafadzkan niat. Maka jalan terbaik yang diambil memakai kaidah “al-huruj min al-khilaf mustahab”  yang artinya keluar dari ikhtilaf adalah dianjurkan. Kaidah inilah yang dipakai oleh Imam Ramli untuk menetapkan kesunahan melafadzkan niat menjelang takbiratul ihram. Adapun implementasinya, tentu saja diserahkan pada pribadi masing-masing individu untuk melafadzkan niat shalatnya atau mencukupkannya dalam hati saja. Wallahu a’lam...
*********
-


Tidak ada komentar:

Posting Komentar