Bulletin
TELAGA JIWA
Susunan Redaksi:
Pembina: MABIN TPQ Ma’arif NU Ponorogo.
Penanggung Jawab: Ketua
TPQ Ma’arif NU Kortan Ponorogo.
Manager: Mahfud
Redaktur: Hadi PS, Dana AD, Eri WH, Rohmanuddin, Wasis W, Asyif
NH.
Editor: Marsudi
Keuangan: Herul Sabana
Alamat Redaksi: Ponpes Hudatul Muna Jenes Brotonegaran Ponorogo.
Contact Persons: 087751884909 dan 085235666984
Website: Bulletin Telaga Jiwa TPQ NU Kortan Ponorogo (*9)
group
facebook: TELAGA JIWA TPQ NU Koortan Ponorogo
Edisi 03 th IV :
19 April 2013 M / 8 Jumadil Akhir 1434 H
SHALAWAT
NABI
Penulis: Ust. Marsudi (TPQ ad-Darajaat, Mayak)
Segala puji tentunya memang hanya bagi Allah yang menjadi
tujuan dalam segala amal ibadah dan perbuatan kita. Ketika semua amal ibadah
sudah ditujukan pada Allah, maka tentunya selama amal perbuatan tersebut tidak
ada dalil yang melarang, mencela atau sejenisnya, maka insyaAllah kita akan
terbebas dari berbagai bentuk kesyirikan. Kemudian shalawat salam semoga
tercurah pada Rasulullah Muhammad saw yang telah memberikan berbagai macam
contoh cara ibadah yang benar. Sungguh sangat sombong sekali jika ada orang
yang mengaku sebagai muslim namun tidak mau bershalawat pada Rasulullah saw.
Sehubungan dengan perintah untuk bershalawat, Allah telah
berfirman dalam al-Qur’an surat al-Ahzab ayat 56: “Sesungguhnya Allah
beserta para malaikat ber-shalawat kepada nabi (Muhammad). Wahai orang-orang
yang beriman, ber-shalawatlah kamu semua kepadanya dan bersalamlah untuknya.” Perintah
untuk bershalawat sudah jelas tertulis dalam al-Qur’an. Jadi tidak boleh ada
lagi ada argument/pendapat yang menyatakan menolak ajakan bershalawat. Jika
sampai ada yang menolak ajakan bershalawat, itu sama artinya dengan mengingkari
al-Qur’an. Pada perkembangannya, redaksi bacaan sholawat semakin bervariasi,
namun tetap ditujukan pada nabi Muhammad saw. Kaum muslimin Arab dikenal
sebagai orang-orang yang sangat menghargai satra, mereka juga banyak yang
pandai menyusun kata-kata sehingga menjadi untaian kalimat sastra bermutu
tinggi.
Pada tahun 1184 M/580 H,
sultan Salahuddin al-Ayyubi yang memimpin para pejuang muslim dalam perang
melawan persekutuan tentara salib ketika mem-perebutkan tanah Palestina, mengadakan
sayembara penulisan sastra Islam dengan tema mengenang perjuangan Nabi Muhammad
saw dalam berdakwah agama Islam. Sayembara ini didikuti oleh para ahli sastra
Islam yang berlomba-lomba menulis segala hal tentang nabi Muhammad saw dengan
memuji dan bershalawat kepadanya.
Pemenang dari sayembara tersebut
adalah Syaikh Ja’far al-Barzanjiy, sehingga kar-yanya pun disebut kitab
Barzanjiy atau dalam bahasa Jawa disebut Berjanjen.
Di
kemudian hari kalimat-kalimat yang mengutamakan tema bershalawat atas nabi ini
terus bermunculan seperti shalawat badar, shalawat nariyah, shalawat burdah,
shalawat munjiyat dan lain-lain. Beragam shalawat ini disusun oleh orang yang
bukan sekedar ahli sastra, melainkan para ulama yang memang benar-benar mengenal
ilmu sastra, balaghah dan bahasa Arab. Penyusunan kalimat-kalimatnya pun bukan
sekedar menulis imajinasi tanpa dasar hukum, melainkan telah melalui proses
penelitian hukum-hukum Islam dan sejarah Islam. Jadi ketika mengarang
kalimat-kalimat tersebut, para ulama sudah mengkajinya dan menyeleksinya terha-dap
kemungkinan terpengaruh budaya di luar Islam atau hal-hal yang menyesatkan.
Memang
ada beberapa orang yang menyatakan bahwa shalawat-shalawat yang tidak diajarkan
oleh Rasulullah maupun yang terlalu mengagungkan Rasulul-lah adalah
termasuk bid’ah dan syirik. Hal-hal seperti inilah yang seharusnya kita
luruskan pengertiannya. Bagaimanapun beragam kalimat dalam shalawat badar, sha-lawat
nariyah, shalawat burdah, shalawat munjiyat dan lain-lain itu adalah ungkapan
kecintaan dan kekaguman pada Rasulullah saw. Dalam setiap karya sastra di mana
pun berada, kita pasti akan mendapati kata-kata dengan gaya bahasa hiperbolik
(ber-lebih-lebihan) atau repetisi (pengulangan) atau pararel (berhubungan) dan
lain-lain. Karya sastra manusia yang lain seperti sajak, puisi, syair lagu dan
lain-lain pun sela-lu menggunakan diksi (pilihan kata) yang bergaya bahasa beragam.
Di
sinilah kita harus bijaksana dalam menyikapi bermacam-macam gaya ba-hasa,
karena hal ini tidak bisa dikategorikan syirik. Rasa kecintaan yang mendalam
kepada Rasulullah saw tidak lantas menganggap beliau sebagai Tuhan, melainkan
tetap sebagai manusia namun manusia yang sangat istimewa yang tiada bandingan-nya.
Rasulullah saw juga merupakan rahmatan lil ‘alamin, rahmat bagi alam
semes-ta. Beliau diutus adalah untuk menyempurnakan akhlak manusia, hal
ini karena akhlak beliau adalah akhlak terbaik yang selayaknya dijadikan uswatun
hasanah. Karena kesempurnaan Rasulullah saw itulah maka untaian kalimat seindah
apapun sebenarnya belum mampu mengungkapkan segala sesuatu tentang beliau.
Kemudian yang terkadang
diperdebatkan adalah kegiatan pembacaan shala-wat secara bersama-sama seperti
kegiatan berjanjen atau nariyahan apakah diperbo-lehkan atau disunnahkan atau
malah termasuk dilarang? Perlu digaris bawahi bahwa sesungguhnya agama Islam
adalah agama yang fleksible, bersifat global, diperuntuk-kan bagi manusia di
seluruh dunia sepanjang masa, bukan cuma diperuntukkan bagi orang Arab di masa
dahulu saja. Karena itulah ketika terjadi perkembangan jaman, maka agama Islam
tetap konsisten menjadi acuan utama bagi manusia. Di saat terja-di permasalahan
atau perkara yang belum pernah ada pada jaman Rasulullah saw,
maka umat Islam tetap bisa berpegang
pada al-Qur’an dan hadits. Jika tidak terdapat dalil khusus mengenai masalah
atau perkara tersebut, maka cukuplah dipakai dalil umumnya. Dalam ushul fiqh
tersebut lagi sebuah kaedah/ketentuan:
اَلْعَامُّ يُعْمَلُ
بِهِ فِيْ جَمِيْعِ جٌزْئِيَّاتِهِ
Artinya: “Dalil umum digunakan
dalam semua bagian-bagiannya (cakupannya).”
Untuk menyikapi segala hal terhadap
kemungkinan terjadinya suatu perkara baru yang memang tidak dilakukan oleh
Rasulullah saw dan para sahabat, maka imam Syafi’i mengeluarkan fatwa sebagai
berikut:
كُلُّ مَا لَهُ
مُسْتَنَدٌ مِنَ الشَّرْعِ فَلَيْسَ ِببدِْعَةِ وَلَوْلَمْ يَعْمَلْ بِهِ
السَّلَفُ
Artinya: “Setiap perkara yang
memiliki sandaran/dasar dari syara’ (baik al-Qur’an maupun hadits) bukanlah
bid’ah (sesat) meskipun belum pernah dilakukan oleh ‘ulama salaf.”
Nah,
dalam hal pembacaan shalawat secara berjamaah ini, karena memang tidak ada
dalil khusus yang langsung berhubungan dengan permasalahan tersebut, maka dalil
umum yang dipakai adalah al-Qur’an surat al-Ahzab ayat 56 sebagai mana
tersebut di awal tadi, dimana disebutkan bahwa orang-orang yang beriman
disuruh untuk bershalawat kepada nabi saw karena Allah dan malaikat pun ber-shalawat.
Dari sinilah kemudian ditarik kesimpulan bahwa bershalawat itu diperin-tahkan
oleh Allah, dan tidak ada batasan apakah bershalawat itu dilakukan sendiri-an ataukah
bersama-sama, begitu juga tidak ada batasan dengan kalimat-kalimat shalawat
karena dalam banyak hadits disebutkan adanya redaksi shalawat yang berbeda-beda,
namun yang terpenting esensinya tetap sama. Dengan membaca sha-lawat ini, maka
tentunya ungkapan kecintaan pada Rasulullah saw akan semakin mantap sehingga
semangat kita untuk mengikuti jalan kebenaran yang ditunjuk-kannya semakin
besar dan kuat. Semoga dengan begitu, kita akan termasuk manusia yang diakui
menjadi umat beliau dan mendapatkan syafa’at.
Adapun
perbedaan pendapat kita dengan saudara-saudara sesama muslim yang tidak mau
melakukan amaliyah shalawat berjamaah seperti berjanjen atau nariyahan, maka
janganlah hal ini diperdebatkan terlalu panjang. Karena bagai-manapun sudut
pandangnya memang sudah berbeda sehingga hasil pendapatnya pun pasti berbeda. Ada baiknya kita
kembangkan sikap at-tasammuh yaitu tole-ransi dengan menghargai
perbedaan pendapat antara sesama muslim. InsyaAllah kehidupan ini akan semakin
damai dan indah. Wa Allahu a’lam.
*********
Tidak ada komentar:
Posting Komentar