buletin ini terbit secara rutin tiap hari Jum'at di masjid agung RMAA Tjokronegoro Ponorogo

Sabtu, 20 April 2013

SHALAWAT NABI


Bulletin
TELAGA JIWA
Susunan Redaksi:
Pembina: MABIN TPQ Ma’arif NU Ponorogo.
Penanggung Jawab: Ketua TPQ Ma’arif NU Kortan Ponorogo.  
Manager: Mahfud
Redaktur: Hadi PS, Dana AD, Eri WH, Rohmanuddin, Wasis W, Asyif NH.
Editor:  Marsudi
Keuangan: Herul Sabana

Alamat Redaksi: Ponpes Hudatul Muna Jenes Brotonegaran Ponorogo.
Contact Persons: 087751884909 dan 085235666984
Website: Bulletin Telaga Jiwa TPQ NU Kortan Ponorogo (*9)
group facebook: TELAGA JIWA TPQ NU Koortan Ponorogo


Edisi  03 th IV :  19 April 2013 M / 8 Jumadil Akhir 1434 H
SHALAWAT NABI
Penulis: Ust. Marsudi (TPQ ad-Darajaat, Mayak)
Segala puji tentunya memang hanya bagi Allah yang menjadi tujuan dalam segala amal ibadah dan perbuatan kita. Ketika semua amal ibadah sudah ditujukan pada Allah, maka tentunya selama amal perbuatan tersebut tidak ada dalil yang melarang, mencela atau sejenisnya, maka insyaAllah kita akan terbebas dari berbagai bentuk kesyirikan. Kemudian shalawat salam semoga tercurah pada Rasulullah Muhammad saw yang telah memberikan berbagai macam contoh cara ibadah yang benar. Sungguh sangat sombong sekali jika ada orang yang mengaku sebagai muslim namun tidak mau bershalawat pada Rasulullah saw.
Sehubungan dengan perintah untuk bershalawat, Allah telah berfirman dalam al-Qur’an surat al-Ahzab ayat 56: “Sesungguhnya Allah beserta para malaikat ber-shalawat kepada nabi (Muhammad). Wahai orang-orang yang beriman, ber-shalawatlah kamu semua kepadanya dan bersalamlah untuknya.” Perintah untuk bershalawat sudah jelas tertulis dalam al-Qur’an. Jadi tidak boleh ada lagi ada argument/pendapat yang menyatakan menolak ajakan bershalawat. Jika sampai ada yang menolak ajakan bershalawat, itu sama artinya dengan mengingkari al-Qur’an. Pada perkembangannya, redaksi bacaan sholawat semakin bervariasi, namun tetap ditujukan pada nabi Muhammad saw. Kaum muslimin Arab dikenal sebagai orang-orang yang sangat menghargai satra, mereka juga banyak yang pandai menyusun kata-kata sehingga menjadi untaian kalimat sastra bermutu tinggi.
Pada tahun 1184 M/580 H, sultan Salahuddin al-Ayyubi yang memimpin para pejuang muslim dalam perang melawan persekutuan tentara salib ketika mem-perebutkan tanah Palestina, mengadakan sayembara penulisan sastra Islam dengan tema mengenang perjuangan Nabi Muhammad saw dalam berdakwah agama Islam. Sayembara ini didikuti oleh para ahli sastra Islam yang berlomba-lomba menulis segala hal tentang nabi Muhammad saw dengan memuji dan bershalawat kepadanya.

Pemenang dari sayembara tersebut adalah Syaikh Ja’far al-Barzanjiy, sehingga kar-yanya pun disebut kitab Barzanjiy atau dalam bahasa Jawa disebut Berjanjen.
Di kemudian hari kalimat-kalimat yang mengutamakan tema bershalawat atas nabi ini terus bermunculan seperti shalawat badar, shalawat nariyah, shalawat burdah, shalawat munjiyat dan lain-lain. Beragam shalawat ini disusun oleh orang yang bukan sekedar ahli sastra, melainkan para ulama yang memang benar-benar mengenal ilmu sastra, balaghah dan bahasa Arab. Penyusunan kalimat-kalimatnya pun bukan sekedar menulis imajinasi tanpa dasar hukum, melainkan telah melalui proses penelitian hukum-hukum Islam dan sejarah Islam. Jadi ketika mengarang kalimat-kalimat tersebut, para ulama sudah mengkajinya dan menyeleksinya terha-dap kemungkinan terpengaruh budaya di luar Islam atau hal-hal yang menyesatkan.
Memang ada beberapa orang yang menyatakan bahwa shalawat-shalawat yang tidak diajarkan oleh Rasulullah maupun yang terlalu mengagungkan Rasulul-lah adalah termasuk bid’ah dan syirik. Hal-hal seperti inilah yang seharusnya kita luruskan pengertiannya. Bagaimanapun beragam kalimat dalam shalawat badar, sha-lawat nariyah, shalawat burdah, shalawat munjiyat dan lain-lain itu adalah ungkapan kecintaan dan kekaguman pada Rasulullah saw. Dalam setiap karya sastra di mana pun berada, kita pasti akan mendapati kata-kata dengan gaya bahasa hiperbolik (ber-lebih-lebihan) atau repetisi (pengulangan) atau pararel (berhubungan) dan lain-lain. Karya sastra manusia yang lain seperti sajak, puisi, syair lagu dan lain-lain pun sela-lu menggunakan diksi (pilihan kata) yang bergaya bahasa beragam.
Di sinilah kita harus bijaksana dalam menyikapi bermacam-macam gaya ba-hasa, karena hal ini tidak bisa dikategorikan syirik. Rasa kecintaan yang mendalam kepada Rasulullah saw tidak lantas menganggap beliau sebagai Tuhan, melainkan tetap sebagai manusia namun manusia yang sangat istimewa yang tiada bandingan-nya. Rasulullah saw juga merupakan rahmatan lil ‘alamin, rahmat bagi alam semes-ta. Beliau diutus adalah untuk menyempurnakan akhlak manusia, hal ini karena akhlak beliau adalah akhlak terbaik yang selayaknya dijadikan uswatun hasanah. Karena kesempurnaan Rasulullah saw itulah maka untaian kalimat seindah apapun sebenarnya belum mampu mengungkapkan segala sesuatu tentang beliau.
Kemudian yang terkadang diperdebatkan adalah kegiatan pembacaan shala-wat secara bersama-sama seperti kegiatan berjanjen atau nariyahan apakah diperbo-lehkan atau disunnahkan atau malah termasuk dilarang? Perlu digaris bawahi bahwa sesungguhnya agama Islam adalah agama yang fleksible, bersifat global, diperuntuk-kan bagi manusia di seluruh dunia sepanjang masa, bukan cuma diperuntukkan bagi orang Arab di masa dahulu saja. Karena itulah ketika terjadi perkembangan jaman, maka agama Islam tetap konsisten menjadi acuan utama bagi manusia. Di saat terja-di permasalahan atau perkara yang belum pernah ada pada jaman Rasulullah saw,

maka umat Islam tetap bisa berpegang pada al-Qur’an dan hadits. Jika tidak terdapat dalil khusus mengenai masalah atau perkara tersebut, maka cukuplah dipakai dalil umumnya. Dalam ushul fiqh tersebut lagi sebuah kaedah/ketentuan:

اَلْعَامُّ يُعْمَلُ بِهِ فِيْ جَمِيْعِ جٌزْئِيَّاتِهِ

Artinya: “Dalil umum digunakan dalam semua bagian-bagiannya (cakupannya).”
Untuk menyikapi segala hal terhadap kemungkinan terjadinya suatu perkara baru yang memang tidak dilakukan oleh Rasulullah saw dan para sahabat, maka imam Syafi’i mengeluarkan fatwa sebagai berikut:

كُلُّ مَا لَهُ مُسْتَنَدٌ مِنَ الشَّرْعِ فَلَيْسَ ِببدِْعَةِ وَلَوْلَمْ يَعْمَلْ بِهِ السَّلَفُ

Artinya: “Setiap perkara yang memiliki sandaran/dasar dari syara’ (baik al-Qur’an maupun hadits) bukanlah bid’ah (sesat) meskipun belum pernah dilakukan oleh ‘ulama salaf.”
Nah, dalam hal pembacaan shalawat secara berjamaah ini, karena memang tidak ada dalil khusus yang langsung berhubungan dengan permasalahan tersebut, maka dalil umum yang dipakai adalah al-Qur’an surat al-Ahzab ayat 56 sebagai mana tersebut di awal tadi, dimana disebutkan bahwa orang-orang yang beriman disuruh untuk bershalawat kepada nabi saw karena Allah dan malaikat pun ber-shalawat. Dari sinilah kemudian ditarik kesimpulan bahwa bershalawat itu diperin-tahkan oleh Allah, dan tidak ada batasan apakah bershalawat itu dilakukan sendiri-an ataukah bersama-sama, begitu juga tidak ada batasan dengan kalimat-kalimat shalawat karena dalam banyak hadits disebutkan adanya redaksi shalawat yang berbeda-beda, namun yang terpenting esensinya tetap sama. Dengan membaca sha-lawat ini, maka tentunya ungkapan kecintaan pada Rasulullah saw akan semakin mantap sehingga semangat kita untuk mengikuti jalan kebenaran yang ditunjuk-kannya semakin besar dan kuat. Semoga dengan begitu, kita akan termasuk manusia yang diakui menjadi umat beliau dan mendapatkan syafa’at.
Adapun perbedaan pendapat kita dengan saudara-saudara sesama muslim yang tidak mau melakukan amaliyah shalawat berjamaah seperti berjanjen atau nariyahan, maka janganlah hal ini diperdebatkan terlalu panjang. Karena bagai-manapun sudut pandangnya memang sudah berbeda sehingga hasil pendapatnya pun pasti berbeda. Ada baiknya kita kembangkan sikap at-tasammuh yaitu tole-ransi dengan menghargai perbedaan pendapat antara sesama muslim. InsyaAllah kehidupan ini akan semakin damai dan indah. Wa Allahu a’lam.
*********



Tidak ada komentar:

Posting Komentar