Bulletin
TELAGA JIWA
Susunan Redaksi:
Pembina:
MABIN TPQ Ma’arif NU Ponorogo.
Penanggung Jawab: Ketua
TPQ Ma’arif NU Kortan Ponorogo.
Manager:
Mahfud
Redaktur:
Hadi PS, Dana AD, Eri WH, Rohmanuddin, Wasis W, Asyif
NH.
Editor:
Marsudi
Keuangan:
Herul Sabana
Alamat Redaksi:
Ponpes Hudatul Muna Jenes Brotonegaran Ponorogo.
Contact Persons: 087751884909, 085233977218 dan 085235666984
Website:
Bulletin Telaga Jiwa TPQ NU Kortan Ponorogo (*9)
group
facebook:
TELAGA JIWA TPQ NU Koortan Ponorogo
Edisi 04 th IV :
26 April 2013 M / 15 Jumadil Akhir 1434 H
TAKBIRATUL
IHRAM
Penulis: Ust. Mahfud (TPQ Miftahul Huda, Jenes)
Segala puji hanya bagi Allah yang menjadi tujuan dalam
segala amal ibadah kita. Sesungguhnya shalat kita, ibadah kita, hidup kita
serta mati kita hanyalah bagi Allah semata. Kemudian shalawat salam semoga
tercurah pada nabi Muhammad saw yang telah menjadi pamungkasnya para rasul dan
nabi.
Setiap kali kita shalat pastilah dimulai dengan niat serta
takbiratul ihram. Takbir artinya mengagungkan, sedangkan ihram
artinya mengharamkan yakni meng-haramkan sesuatu yang sebenarnya diperbolehkan
ketika di luar shalat. Misalnya di luar shalat seseorang diperbolehkan makan, tetapi
sewaktu ia shalat maka diharamkan makan. Kedudukan takbiratul ihram
dalam shalat ialah sebagai rukun qauliy. Apabila seseorang yang shalat
meninggalkan takbiratul ihram, maka shalatnya tidak sah. Semenjak seseorang takbiratul ihram itulah
seseorang mulai melakukan shalat. Dengan ini kemudian dipahami apa saja yang
dilakukan oleh seseorang sebelum takbiratul ihram selama hal itu baik
maka itu diperbolehkan, misalnya melafadzkan niat, membaca surat an-Nas atau
membaca suatu ayat dalam al-Qur’an. Sebagaimana yang dilakukan oleh Ustadz Abu
Al-Hasan Al-Syadzily, ketika mengetahui teman-teman beliau selalu was-was dalam
takbiratul ihram. Beliau menyarankan kepada mereka agar meletakkan
tangan kanan mereka di atas dadanya dan hendaknya mengucapkan: “subhanal malikil quddus khallaqil fa’al” sebanyak 7 kali kemudian mengucapkan: “in yasya’ yudzhibkum wa ya’ti bi khalqin
jadid, wa ma dzalika ‘alallahi bi’aziz”. (kitab Nihayatuz-zain karya imam
An-Nawawi Al-Bantani hal. 87)
Dalil tentang wajibnya
membaca takbiratul ihram di dalam shalat adalah hadits Nabi Muhammad
saw: “jika beliau nabi saw memulai
shalatnya, Beliau menghadap ke kiblat dan mengangkat kedua tangannya serta
bertakbir Allahu Akbar” (HR Ibnu Majah). Berdasarkan hadits di atas, tata cara
takbiratul ihram ialah dengan mengangkat kedua tangan, yakni dengan mengangkat
kedua telapak tangan
yang terbuka tepat di atas bahu dan setinggi telinga. Hadits
lain juga menjelaskan tentang hal ini:
عَنِ
ابْنِ عُمَرَ اَنَّ النَّبِيَّ صلى الله عليه وسلم كَانَ يَرْفَعُ يَدَيْهِ حَذْوَ مَنْكِبَيْهِ حِيْنَ يُكَبِّرُ
(رواه
البخاري و المسلم)
Artinya: “Dari Ibnu Umar: bahwasanya
Nabi saw biasanya mengangkat kedua tangannya setinggi kedua bahunya sewaktu
takbiratul ihram.” (HR Bukhori dan Muslim). Dari hadits ini ditafsirkan bahwa yang diangkat setinggi
bahu bukan telapak tangan melainkan lengan, adapun telapak tangan sejajar dengan telinga.
Adapun ketentuan-ketentuan dalam takbiratul
ihram adalah sebagai berikut: (1)Membaca takbiratul ihram pada saat berdiri
tegak, apabila shalat wajib. Berdiri pada shalat wajib termasuk rukun fi’liy
bagi yang mampu. Maka tidak boleh ketika masih melangkah sambil takbiratul
ihram. (2)Menggunakan bahasa Arab dengan lafadz yang sudah tertentu yakni Allahu Akbar, tidak boleh memakai lafadz
Al-Rahmanu Akbar atau memakai
asmaul-husna yg lain. (3)Tidak boleh membaca pan-jang alif/hamzah fat-hahnya
lafadz Allahu sebab akan merubah arti. Jika memper-panjang alif/hamzah
lafadznya menjadi Aallahu akbar, maka artinya adalah
Apakah Allah Maha Besar? Apabila seseorang sengaja melakukannya
sedang ia mengeta-hui maknanya maka ia telah kufur. (4)Diperbolehkan tidak
membaca alif/ hamzah-nya lafadz Allahu apabila disambungkan dengan
lafadz sebelumnya misalnya Imamallahu akbar namun hal ini khilaful aula (menyelisihi yang
utama) maka yang lebih utama adalah tidak menyambung lafadz Allahu
dengan lafadz sebelumnya. (5)Tidak boleh menghilangkan alif/hamzah
fat-hahnya lafadz Akbar sehingga ber-bunyi Allahu Kabar. (6)Tidak boleh
memanjangkan ba’ fat-hahnya lafadz akbar sehingga menjadi akbaar,
(7) Tidak boleh mentasydid ba’ nya lafadz akbar sehingga menjadi akebbar,
(8)Tidak menambahkan wawu baik wawu hidup atau mati di antara lafadz takbiratul
ihram sehingga menjadi Allahuw
Akbar atau Allahu wakbar
(9)Tidak pula menambahkan wawu sebelumnya sehingga menjadi wallahu akbar, (10)Tidak boleh berhenti diantara dua kata Allahu
dan akbar. (11)Pelafalannya harus dapat didengar oleh dirinya sendiri,
apabila ia orang yang normal pendengarannya. (12)Membaca takbiratul ihram
ketika sudah masuk shalat dan dilaksanakan dengan menghadap kiblat. (13)Apabila
ia makmum maka harus setelah imam takbiratul ih-ram (tidak boleh
mendahului atau bersamaan dengan imam). (14)Tidak boleh me-manjangkan mad
diantara lam dan ha’ pada lafadz Allahu melebihi 14 harakat. (15)Tidak
boleh berpaling artinya orang yang shalat harus benar-benar niat tak-biratul
ihram, misalnya makmum masbuk yang menemukan imamnya dalam keada-an ruku’
kemudian ia takbir tapi tidak berniat takbiratul ihram, maka shalatnya
tidak sah. (kitab Nihayatuzzain karya imam An-Nawawi Al-Bantani hal. 86). Jadi
kesimpulannya dalam Takbiratul Ihram tidak boleh merubah
lafadz Allahu akbar karena lafadz Allahu akbar sifatnya tauqifi
dan juga tidak boleh merubah huruf atau panjang pendeknya sebab hal itu juga
dapat merubah arti dari Allahu Akbar tsb.
Adapun setelah takbiratul ihram
kemudian meletakkan tangan kanan di atas tangan kiri di dada atau di atas pusar
(kitab Kifayatul Akhyar juz I hal. 115). Ada beberapa hadits yang menjadi
dasarnya.
عن وائل بن حجر رضي الله
عنه قال صليت مع النبي صلى الله عليه وسلم فوضع يده اليمنى على يده اليسرى على
صدره
Artinya: “Dari Wail bin Hujr ra berkata: aku sholat
bersama Nabi saw, beliau meletakkan tangan kanan di atas tangan kiri di
dadanya.” (HR Ibnu Khuzaimah)
Dari hadits di atas, jelas terlihat bahwa Rasulullah saw meletakkan
tangan kanannya di atas tangan kiri dan meletakkannya di dada. Dalam
pemaknaannya, yang dimaksud dada bukanlah rongga dada yang dekat dengan leher,
melainkan bagian di atas pusar dan sekitar jantung. Ada hadits lain yang
diriwayatkan oleh Imam Ahmad dan Abu Dawud yang menceritakan bahwa Rasulullah saw
pernah melihat seorang laki-laki yang sedang sholat dengan meletakkan tangan
kirinya di atas tangan kanan. Maka beliau melepaskan tangan tersebut dan
meletakkan yang kanan di atas yang kiri.
Hal lain
yang perlu diperhatikan adalah arah pandangan mata kita saat shalat. Sebuah
hadits shahih yang diriwayatkan oleh Bukhari dan Muslim menjelaskan bahwasanya
Rasulullah saw apabila menunaikan shalat menundukkan kepalanya dan memandang ke
arah tanah (tempat sujud). Oleh karena itu jangan sampai ketika kita shalat
(ataupun berdo’a) wajah kita dongakkan ke atas dan melihat langit. Rasulullah
melarang hal tersebut berdasar hadits berikut
عن جابر بن سمرة رضي الله عنه قال
: قال رسول الله صلى الله عليه و سلم : لينتهين اقوام يرفعون ابصارهم الى السماء
فى الصلاة اولا ترجع اليهم (رواه مسلم)
Artinya: “Dari Jabir bin Samurah ra berkata
Rasulullah saw bersabda: hendaklah benar-benar berhenti orang-orang yang
memandang ke langit saat shalat atau panda-ngan itu tidak kembali pada mereka (Allah
tidak memandang mereka).” (HR Muslim). Dalam hadits lain yang
diriwayatkan oleh Tirmidzi, Rasulullah saw melarang menolehkan kepala saat shalat,
karena sesungguhnya Allah memperhatikan wajah hambanya saat shalat selama hamba
tersebut tidak pernah menolehkan wajahnya.
Semoga kita semua dapat menjaga shalat kita dengan baik
sehingga mampu menjadi hamba yang mendapat ridho dari Allah swt. Aamiin.
*********
lanjutkan Pak
BalasHapus