buletin ini terbit secara rutin tiap hari Jum'at di masjid agung RMAA Tjokronegoro Ponorogo

Senin, 30 September 2013

WAKTU-WAKTU YANG DIMAKRUHKAN MELAKUKAN SHALAT



Bulletin
TELAGA JIWA
Susunan Redaksi:
Pembina:
MABIN TPQ Ma’arif NU Ponorogo.
Penanggung Jawab:
Ketua TPQ Ma’arif NU Kortan Ponorogo.  
Manager:
Mahfud
Redaktur:
Hadi PS, Dana AD, Eri WH, Rohmanuddin, Wasis W, Asyif NH.
Editor:   
Marsudi
Keuangan:
Herul Sabana

Alamat Redaksi:
Ponpes Hudatul Muna Jenes Brotonegaran Ponorogo.
Contact Persons: 085233977218 dan 085235666984
Website:
Bulletin Telaga Jiwa TPQ NU Kortan Ponorogo (*9)
group facebook:
TELAGA JIWA TPQ NU Koortan Ponorogo 

WAKTU-WAKTU YANG DIMAKRUHKAN MELAKUKAN SHALAT
Penulis: Ust. Mahfud (TPQ Miftahul Huda, Jenes)

            Segala puja puji syukur hanya pantas dipanjatkan pada Sang Maha Pencipta yaitu Allah swt yang telah berfirman dalam al-Qur’an surat al-Isra’ ayat 78: “Dirikanlah shalat dari sesudah matahari tergelincir sampai gelap malam dan (dirikanlah pula shalat) subuh. Sesungguhnya shalat subuh itu disaksikan (oleh malaikat).” Shalawat salam semoga tetap tercurah pada nabi Muhammad saw dan semoga meluber hingga pada semua umat Islam yang tetap teguh mengikuti apa-apa yang telah beliau sampaikan.
Ibadah merupakan salah satu bentuk pembuktian ketaatan hamba pada Khaliq-nya. Namun perlu dipahami bahwa melakukan Ibadah meskipun dengan tujuan yang baik, apabila tidak diimbangi dengan ilmu yang cukup maka hanya akan menjadikan ibadah itu sia-sia. Konsep ini tentu sinkron dengan pemahaman bahwa orang berilmu lebih tinggi beberapa derajat dari orang yang beribadah. Tentu saja orang berilmu dalam konteks ini adalah orang berilmu serta mengamalkan ilmu tersebut dalam ibadahnya dibandingkan dengan orang beribadah yang tidak menggunakan ilmu.
Dalam ilmu Fiqh bab shalat, ada pembahasan tentang waktu yang makruh untuk melakukan shalat. Padahal hukum asli shalat adalah wajib ‘ain bagi shalat fardhu serta hukum sunnah bagi shalat sunnah. Namun ternyata ada waktu-waktu tertentu yang justru makruh digunakan untuk shalat. Namun perlu digaris bawahi bahwa yang dimaksud adalah shalat yang tidak ada sebabnya. Dengan demikian, hukum makruh tidak berlaku bagi shalat yang mempunyai sebab tertentu.
            Adapun shalat yang mempunyai sebab tertentu adalah sebab yang terdahulu atau sebab yang bersamaan. Shalat-shalat yang mempunyai sebab, antara lain:
1.     Shalat yang mempunyai sebab yang terdahulu, contohnya: shalat Qodho’ terhadap shalat fardhu atau shalat sunah yang biasa dilakukan dengan istiqomah yang karena lupa atau kesibukan yang mendesak sehingga meninggalkan shalat tersebut, Shalat Jenazah, Shalat Gerhana, Shalat Istisqo’
2.     Shalat yang mempunyai sebab di akhir contohnya shalat Istikhoroh
3.     Shalat yang mempunyai sebab yang bersamaan adalah shalat Tahiyatul Masjid kalau ketika masuk masjid bersamaan dengan tujuan i’tikaf atau mencari ilmu.
Dari pemaparan di atas itu, maka kemudian dapat ditarik kesimpulan bahwa shalat selain tersebut di atas memiliki waktu-waktu yang makruh untuk dilakukan, yaitu:
1.     Waktu terbitnya matahari sehingga matahari setinggi 1 (satu) tombak.
2. Waktu Istiwa’ (matahari tepat di atas kepala) sampai tergelincirnya matahari (ke
cuali hari Jum’at).



3. Waktu matahari berwarna kuning (ketika akan terbenam) sampai terbenamnya matahari. Hal ini berdasar hadits dari Uqbah bin Amir ra beliau berkata: “Tiga waktu yang Rasulullah saw melarang kami untuk mengerjakan shalat atau menguburkan orang mati pada waktu tersebut: Ketika terbit matahari dalam keadaan terang hingga meninggi. Waktu ketika orang berdiri tegak tidak memiliki bayangan hingga condongnya matahari ke arah barat. Ketika matahari mengalami proses untuk tenggelam hingga hilangnya bulatan matahari di ufuk barat” (Shahih, HR Muslim, Abu Dawud, Tirmidzi, Nasai dan Ibnu Majah). Juga hadits yang menjelaskan alasan pelarangan waktu-waktu tersebut dalam sabda kepada Amr bin Abasah: “Tegakkanlah sholat shubuh kemudian berhentilah mengerjakan sholat, hingga matahari terbit dan agak meninggi, karena terbitnya matahari pada waktu itu di antara dua tanduk setan, dan ketika itu [sebagian] orang-orang kafir [penyembah matahari] sujud kepada matahari, kemudian setelah itu kerjakankah sholat, karena sesungguhnya sholat pada waktu itu disaksikan dan dihadiri [oleh malaikat], hingga hilangnya bayang-bayang pada sebuah tombak, kemudian tahanlah diri dari mengerjakan sholat, karena saat itu neraka jahannam sedang dibakar, kemudian jika telah muncul bayang-bayang maka kerjakanlah sholat [sunnah] karena sesungguhnya sholat pada waktu itu disaksikan dan dihadiri [oleh malaikat], hingga engkau mengerjakan sholat ‘ashar, kemudian berhentilah mengerjakan sholat sampai matahari benar-benar tenggelam, karena waktu itu tenggelamnya matahari diantara dua tanduk setan, dan pada saat itu orang-orang kafir [penyembah matahari] bersujud menyembah matahari.” ( HR. Muslim).
4. Waktu setelah Shalat Shubuh
5. Waktu setelah Shalat ‘Ashar. Berdasarkan hadits, dari Abi Hurairah r.a: “Sesungguhnya Rasulullah saw melarang melakukan shalat setelah melakukan shalat ‘ashar sehingga matahari terbenam, juga shalat setelah melakukan shalat shubuh.” ( Mutafaq ’Alaih).
Dari waktu-waktu yang disebutkan di atas, masih ada pengecualian tidak dimakruh-kan shalat sebab berkaitan dengan tempat pelaksanaan shalat yaitu di Makkah  apabila shalatnya di masjidil haram.
            Demikianlah pemaparan tentang waktu-waktu yang dimakruhkan untuk shalat, sehingga jika tetap saja dilakukan maka sudah akan berbeda nilainya dengan shalat sunnah lainnya. Semoga sekelumit tulisan ini ada guna manfaatnya agar kita lebih bagus lagi kualitas ibadahnya. Aamiin …
*********

SELAMATAN KEMATIAN


Bulletin
TELAGA JIWA
Susunan Redaksi:
Pembina:
MABIN TPQ Ma’arif NU Ponorogo.
Penanggung Jawab:
Ketua TPQ Ma’arif NU Kortan Ponorogo.  
Manager:
Mahfud
Redaktur:
Hadi PS, Dana AD, Eri WH, Rohmanuddin, Wasis W, Asyif NH.
Editor:   
Marsudi
Keuangan:
Herul Sabana
Alamat Redaksi:
Ponpes Hudatul Muna Jenes Brotonegaran Ponorogo.
Contact Persons: 085233977218 dan 085235666984
Website:
Bulletin Telaga Jiwa TPQ NU Kortan Ponorogo (*9)
group facebook:
TELAGA JIWA TPQ NU Koortan Ponorogo  


Edisi  25 th IV :  20 September 2013 M / 14 Dzul Qo’dah 1434 H
SELAMATAN KEMATIAN
Penulis: Dana Ahmad Dahlani (mahasiswa al-Azhar Cairo) 



Segala bentuk pujian dan pujaan hanyalah bagi Allah swt, yang masih memberikan kesempatan kepada kita untuk menghirup udara hingga detik ini guna mencari anugerah-Nya di bumi ini dan mengumpulkan bekal sebanyak-banyaknya untuk kehidupan yang kekal di akhirat kelak.
Shalawat dan salam senantiasa terlantun untuk sang baginda Nabi Muhammad saw, pembawa ajaran Islam yang takkan lekang oleh zaman.
Setiap jiwa pasti memiliki ajal. Kematian merupakan suatu keniscayaan dan menjadi pintu gerbang untuk memasuki alam barzakh, alam yang menjadi batas antara kehidupan dunia dan kehidupan akhirat. Allah berfirman dalam al-Qur’an surat al-A’raf ayat 34:  
Tiap-tiap umat mempunyai batas waktu (ajal), maka apabila telah datang ajalnya, mereka tidak dapat mengundurkannya barang sesaat pun dan tidak dapat (pula) memajukannya.”

Untuk itulah setiap ada kematian selalu diadakan selamatan, tahlilan dan yasinan. Selamatan, tahlilan dan yasinan setelah kematian memang merupakan tradisi yang berkembang luas di kalangan warga Indonesia khususnya kaum nahdliyin. Biasanya acara ini digelar mulai hari wafat sampai hari ke-7, hari ke-40, ke-100, ke-1000 dan selanjutnya diperingati setiap tahun. Ritual seperti ini merupakan adat yang diwariskan secara turun-temurun oleh para ulama’ tradisional termasuk para wali songo.  Akan tetapi beberapa tahun terakhir, mulai muncul segolongan umat yang mempertanyakan ritual seperti ini. Mereka berkata, ”Apakah acara selamatan kematian ada dalilnya dalam Al-Qur’an dan Al-Hadits? Apakah ini tidak termasuk bid’ah?” 
yang mampu, majlis ini juga bisa dimanfaatkan untuk bershadaqah dengan memberikan makanan dan minuman sekedarnya kepada para hadirin. Namun ini bukan hal yang diwajibkan karena yang terpenting adalah do’anya. Hal ini sering disalah artikan oleh sebagian orang bahwa pemberian hidangan adalah hal yang wajib, yang terkadang terasa memberatkan bagi keluarga yang kurang mampu.
Sebenarnya acara selamatan kematian bisa dideskripsikan sebagai ajang berdo’a bersama melalui bacaan yasin, tahlil dan kalimah-kalimah thayyibah. Acara ini juga bisa digunakan sebagai sarana silaturahim antar warga dan sanak kerabat. Bagi orang 
Serangkaian kegiatan tersebut dimaksudkan agar pahala dari pembacaan yasin, tahlil, kalimah-kalimah thayyibah serta pahala dari shadaqah bisa dihadiahkan kepada si mayit untuk menambah bekalnya di alam kubur. Selain itu, majlis tersebut juga bisa digunakan untuk menghibur keluarga yang ditinggalkan dan sekaligus mengambil i’tibar bahwa kelak kita juga akan menyusul si mayit di kemudian hari. Dengan senantiasa mengingat kematian diharapkan para hadirin akan tersadar untuk lebih memperbaiki amal ibadahnya juga tingkah lakunya.
Dalam sebuah hadits, Rasullullah saw telah bersabda: “Apabila anak turun Adam (manusia) meninggal dunia maka terputuslah segala amalnya kecuali tiga perkara, yaitu: shadaqah jariyah (yang terus mengalir), atau ilmu yang bermanfaat, atau anak shalih yang mendo’akannya.”  Dalam konteks hadits ini, mendo’akan orang yang telah meninggal dunia dengan membaca ayat-ayat Al-Qur’an atau kalimah-kalimah thayyibah adalah pekara yang disunnahkan. Dalam hadits yang lain disebutkan: Dari Ma’qal bin Yasar, ia berkata: Rasullullah bersabda: “Bacalah surat Yasin untuk mayit-mayit kamu sekalian!” (HR. Abu Dawud, Ibnu Hibban). Membaca Al-Qur’an untuk mayit di kuburan adalah tradisi para sahabat Anshar sebagaimana perkataan Asy-Sya’bi yang diriwayatkan Al-Khallal dalam kitab Al-Jami’i: “Tradisi para sahabat Anshar jika salah seorang di antara mereka meninggal, mereka akan datang ke kuburannya silih berganti dan membacakan al-Qur’an untuknya (mayit).” Begitu juga dengan bershadaqah dan bersilaturahim. Ada beberapa hadits yang membahas mengenai hal ini, diantaranya: Dari ‘Amr bin ‘Abasah ia berkata: “Aku mendatangi Rasulullah, lalu aku bertanya: Ya Rasulullah, apakah Islam itu?” Beliau menjawab: “Bertutur kata yang baik dan menyuguhkan makanan.” (HR. Ahmad)
Lalu apakah do’a dan pahala dari yasin, tahlil dan shadaqah itu bisa benar-benar sampai kepada si mayit yang sudah berada di alam kubur? Apakah pahala tersebut masih bermanfaat dan bisa memberikan dampak positif bagi si mayit?
Allah telah menjelaskan hal ini dalam al-Qur’an surat al-Hasyr ayat 10: “Dan orang-orang yang datang sesudah mereka (Muhajirin dan Anshar), mereka berdoa: "Ya Tuhan kami, berilah ampun kami dan saudara-saudara kami yang telah beriman lebih dahulu dari kami, dan janganlah Engkau membiarkan kedengkian dalam hati kami terhadap orang-orang yang beriman; Ya Tuhan kami, sesungguhnya Engkau Maha Penyantun lagi Maha Penyayang".
Para Imam Madzhab Empat yaitu Imam Abu Hanifah, Imam Malik, Imam Syafi’i, dan Imam Ahmad bin Hanbal serta para ulama pengikutnya telah sepakat mengenai kebolehan menghadiahkan pahala bacaan al-Qur’an kepada orang yang telah meninggal dunia. Mereka juga berkeyakinan bahwa pahala itu akan sampai kepada si mayit jika memang diniatkan untuk dihadiahkan. Tetapi Imam Syafi’i mensyaratkan harus ada do’a ishal setelahnya (agar pahalanya sampai kepada si mayit). Ibnu ‘Allan menyatakan dalam kitab Dalil Al-Falihin: “Disunnahkan dibacakan ayat-ayat al-Qur’an di samping mayit, dan jika dibacakan al-Qur’an sampai khatam itu sangat baik.” Bahkan dalam kitab Hukm al-Syari’ah al-Islamiyah fi Ma’tamil Arba’in, Ibnu Taimiyyah berpendapat bahwa yang benar adalah mayit itu bisa mendapatkan manfaat dari semua ibadah badaniyyah (shalat,  membaca al-Qur’an dsb) maupun yang bersifat maliyyah (shadaqah).
Lalu bagaimana halnya dengan selamatan kematian yang selalu diperingati pada hari ke-7, ke-40, ke-100 dan seterusnya? Imam Suyuthi berkomentar dalam kitab Al-Hawiy: Imam Thawus berkata: Seorang yang mati akan mendapat ujian dari Allah dalam kuburnya selama 7 hari. Untuk itu sebaiknya mereka (yang masih hidup) mengadakan jamuan makan untuknya selama hari-hari tersebut.” Syeikh Muhammad Nawawiy al-Banteniy juga membahas hal ini dalam kitab Nihayah Al-Zain: “Dan shadaqah untuk mayit dengan cara syar’i itu diperlukan dan tidak dibatasi harus tujuh hari atau lebih atau kurang dan tidak dibatasi dengan beberapa hari dari kematiannya, sebagaimana fatwa Sayyid Ahmad Dahlan. Dan telah menjadi kebiasaan manusia: shadaqah untuk mayit pada hari ke-3 dari kematian, hari ke-7, ke-20, ke-40, ke-100, dan setelah itu setiap tahun sebagai haul dari hari kematian, sebagaimana didukung oleh Syeikh kita Yusuf Sunbulawainiy.”
Namun alangkah lebih baiknya, tanpa menunggu 3,7,40,100 ataupun haul, jika kita bisa meluangkan sedikit waktu kita setiap harinya untuk mendo’akan para pendahulu kita, meskipun hanya sekedar bacaan al-Fatihah satu kali saja, syukur-syukur kalau bisa sampai 100 kali atau lebih banyak dari itu. Kita bisa menghadiahkan pahalanya kepada seluruh kaum muslimin, khususnya sanak famili yang telah tiada, semoga mereka diberi tempat yang layak di sisi-Nya. Dengan keistiqamahan kita, insya Allah mereka akan diberi keringanan dalam menjalani kehidupannya di alam barzakh. Kita pun juga masih bisa mendulang pahala dari ayat Al-Qur’an yang kita baca tersebut.
“Istiqamah lebih baik daripada seribu karamah.”
   ÙˆØ§Ù„له أعلم بالصواب
*********


Selasa, 10 September 2013

HAL-HAL YANG MEMBATALKAN SHALAT



Bulletin
TELAGA JIWA
Susunan Redaksi:
Pembina:
MABIN TPQ Ma’arif NU Ponorogo.
Penanggung Jawab:
Ketua TPQ Ma’arif NU Kortan Ponorogo.  
Manager:
Mahfud
Redaktur:
Hadi PS, Dana AD, Eri WH, Rohmanuddin, Wasis W, Asyif NH.
Editor:   
Marsudi
Keuangan:
Herul Sabana

Alamat Redaksi:
Ponpes Hudatul Muna Jenes Brotonegaran Ponorogo.
Contact Persons: 085233977218 dan 085235666984
Website:
Bulletin Telaga Jiwa TPQ NU Kortan Ponorogo (*9)
group facebook:
TELAGA JIWA TPQ NU Koortan Ponorogo



Edisi  24 th IV :  13 September 2013 M / 7 Dzul Qo’dah 1434 H
HAL-HAL YANG MEMBATALKAN SHALAT
Penulis: Ust. Mahfud (TPQ Miftahul Huda, Jenes)
            Segala puji hanyalah bagi Allah swt yang telah berfirman dalam al-Qur’an surat al-‘Ankabut ayat 45: “Bacalah apa yang telah diwahyukan kepadamu yaitu kitab (al-Qur’an) dan dirikanlah shalat. Sesungguhnya shalat itu mencegah dari (perbuatan) keji dan munkar. Dan sesungguhnya mengingat Allah (dalam shalat) adalah lebih besar (keutamaannya). Dan Allah mengetahui apa yang kamu kerjakan.” Shalawat dan salam semoga tercurah pada manusia termulia yang pernah dilahirkan di bumi ini yaitu nabi Muhammad saw, yang diberi kesempatan oleh Allah swt untuk menerima perintah shalat di Sidratul Muntaha.
      Shalat adalah tiang agama. Adapun belajar ilmu agama sangatlah penting sebab ibadah -yang merupakan hakikat agama- tidak akan sempurna tanpa disertai ilmu. Syaikh Zarnuji dalam kitab Ta’limul Muta’alim menyatakan: Syaikhul imam Ajall Burhanuddin Shahibul Hidayah menyanyikan syair gubahan sebagian ulama :
·         *Hancur lebur, orang alim tak teratur  *Lebih lebur, bila si jahil ibadah ngawur 
·         *Keduanya menjadi fitnah *menimpa ganas di dunia
Berkaitan dengan ilmu, ada kata-kata yang cukup indah untuk kita renungkan yaitu “ilmu itu perlu diamalkan, sedangkan amal itu perlu ilmu”. Seperti kalau kita hendak shalat, maka terlebih dahulu kita harus mengetahui ilmu tentang shalat, sehingga pada akhirnya amal kita benar-benar diterima oleh Allah swt. Oleh karena itu pada edisi kali ini kita kami suguhkan tentang perkara-perkara yang membatalkan shalat, dengan harapan setelah mengetahuinya kita mampu menghindarinya, sehingga shalat kita benar-benar sah dan insyaAllah diterima oleh Allah swt.
Dalam kitab Hasiyah al-Bajuri ‘ala Ibni Qasim, dijelaskan perihal perkara-perkara yang membatalkan shalat, yaitu ada 11 macam:
1) Berbicara dengan sengaja yang memakai kalimat untuk berbincang-bincang de-ngan orang lain, meski itu yang ada hubungannya dengan kemashlahatan shalat se-perti mengingatkan kesalahan jumlah rakaat atau bacaan imam shalat dengan kata kata yang menyebutkan bilangan rakaat atau yang biasa untuk berbincang. Ada-pun  membaca subhanallah untuk mengingatkan imam harus diniati dzikir dan mengingatkannya. Hal ini sesuai hadits Nabi Muhammad saw: “Sesungguhnya shalat itu tidak layak diisi dengan percakapan orang”. (lihat kitab shahih Muslim 537-33). Menurut lughat Arab, yang dimaksud berbicara di sini adalah mengucapkan dua huruf walaupun tidak memberikan kepahaman kepada orang lain contoh “aba” (huruf alif dan ba’) atau hanya satu huruf namun memberikan kepahaman kepada orang lain contoh “qi” (huruf qof saja) yang artinya “jagalah dirimu”. Sedangkan mengucapkan satu huruf tapi membaca dengan panjang, ma-ka tetap membatalkan shalat karena yang demikian itu disamakan dengan dua huruf. Adapun pada kasus orang tua yang memanggil anaknya waktu shalat wajib maka hukum menjawabnya adalah haram dan shalatnya menjadi batal. Berbeda dengan shalat sunah, maka menjawab panggilan orang tua adalah boleh dan shalatnya tetap menjadi batal. Jika orang tua memanggil, maka sebagai isyarat sedang shalat, diperbolehkan mengeraskan suara bacaan shalatnya. Namun apabila panggilan tersebut adalah hajat yang mendesak, maka boleh menjawab panggilan kedua orang tua, karena hal ini termasuk dhorurot.

2) Bergerak tiga gerakan berturut-turut yang menyebabkan sebagian besar anggota tubuh ikut bergerak, baik sengaja maupun tidak seperti melangkahkan kaki tiga kali. Adapun gerakan yang sedikit (semisal menggerakkan jari karena digigit nyamuk) maka tidak membatalkan shalat kecuali apabila gerakan ini dari jenisnya shalat seperti menambah ruku’ dengan sengaja, maka hal ini membatalkan shalat. Gerakan yang sedikit juga akan membatalkan shalat apabila dengan niat bermain-main.
3) Berhadats, baik hadats kecil maupun hadats besar sebelum melakukan salam yang pertama. Adapun apabila setelah salam yang pertama maka tidak batal shalatnya walaupun sebelum salam yang kedua.
4) Terkena najis yang tidak dima’fu. Apabila sesesorang sedang shalat kemudian terkena najis pada anggota badan atau bajunya, sedang najis tersebut menetap, maka shalatnya menjadi batal. Namun bagi orang yang sedang shalat dan terkena najis yang kering, kemudian orang tersebut mampu membuang seketika dengan gerakan yang sekiranya tidak membatalkan shalat, maka shalatnya tidak batal.
5) Terbukanya aurat dengan sengaja, maka batal shalatnya. Adapun bila terbukanya karena angin atau dibuka oleh hewan, kemudian orang yang shalat tersebut dapat menutup seketika (tidak lebih lama dari tumaninah), maka hal ini tidak memba-talkan shalat.
6) Berubah niat dalam hati maka membatalkan shalat, seperti mengganti niat dari shalat dzuhur menjadi shalat ashar, atau berubah niat dengan itikad menghentikan shalat di tengah shalatnya, atau ragu-ragu antara menghentikan shalat atau mene-ruskannya, atau menggantungkan niat pada sesuatu (misalnya: niat menghenti-kan shalat jika hujan turun). Semua ini menyebabkan shalat menjadi batal.

7) Merubah arah dari menghadap kiblat, seperti membelakangi kiblat atau menyerongnya dengan sengaja maka membatalkan shalat. Kemudian juga sangat dimakruhkan jika wajahnya tidak menghadap kiblat dan pandangan matanya ke arah tempat sujud. Hal ini berdasarkan hadits: Dari Jabir bin Samurah ra berkata Rasulullah saw bersabda: hendaklah benar-benar berhenti orang-orang yang memandang langit saat shalat atau pandangan itu tidak kembali pada mereka (Allah tidak memandang mereka).” (HR Muslim). Dalam hadits lain yang diriwayatkan oleh Tirmidzi, Rasulullah saw melarang menolehkan kepala saat shalat, karena sesungguhnya Allah memperhatikan wajah hamba saat shalat selama hamba tersebut tidak pernah menolehkan wajahnya.
8) Masuknya makanan ke perut walaupun hanya sedikit, maka shalatnya tetap batal. Sedangkan mengunyah makanan yang banyak walaupun tidak sampai menelan-nya, maka hal ini tetap membatakan shalat karena masuk kategori bergerak-gerak lebih dari 3 kali berturut-turut.
9)  Masuknya minuman ke rongga perut, maka shalatnya juga batal.
10) Tertawa terbahak-bahak, yakni tertawa yang bersuara. Tertawa  membatalkan shalat adalah apabila mengandung dua huruf atau satu huruf yang memahamkan. Adapun apabila dalam keadaan terpaksa, tertawa sedikit tidak batal, kecuali apabila tertawa banyak, maka tetap batal walau terpaksa. Berbeda dengan terta-wa, tersenyum tidaklah membatalkan shalat, Rasulullah saw pernah tersenyum waktu shalat, setelah selesai para sahabat pun bertanya: “Mengapa Rasulullah tersenyum waktu shalat?” maka Rasulullah saw menjawab: “Saya melihat Malaikat Mikail tertawa, maka saya pun tersenyum kepadanya”.
11) Murtad, yakni keluar dari agama islam, murtad ada kalanya Qoulun seperti mengatakan Allah adalah tuhan ke 3 dari 3 Tuhan, Fi’lun seperti menyembah berhala, ‘Azmun seperti menyengaja untuk kufur besok
Demikianlah beberapa hal yang harus kita pahami menyangkut ibadah shalat. Tentu kita harus berhati-hati dalam setiap pelaksanaan ibadah, karena kita tidak akan pernah mampu mengetahui, apakah ibadah kita sesungguhnya diterima oleh Allah atau justru tertolak karena tidak sah. Ada baiknya juga jika kita banyak bertanya pada para ahli yang berkompeten tentang fiqh. Hal ini untuk mengantisipasi ke-salahpahaman kita dalam memahami suatu fiqh yang kita dapat dari bahan bacaan. Semoga Allah swt menjaga kita dari segala kekeliruan dan kesesatan. Aamiin …
*********