Bulletin
TELAGA JIWA
Susunan Redaksi:
Pembina:
MABIN TPQ Ma’arif NU Ponorogo.
Penanggung Jawab:
Ketua TPQ Ma’arif NU Kortan Ponorogo.
Manager:
Mahfud
Redaktur:
Hadi PS, Dana AD, Eri WH, Rohmanuddin, Wasis W, Asyif NH.
Editor:
Marsudi
Keuangan:
Herul Sabana
Alamat Redaksi:
Ponpes Hudatul Muna Jenes
Brotonegaran Ponorogo.
Contact Persons: 085233977218 dan 085235666984
Website:
Bulletin Telaga Jiwa TPQ NU Kortan
Ponorogo (*9)
group facebook:
TELAGA JIWA TPQ NU Koortan
Ponorogo
WAKTU-WAKTU YANG DIMAKRUHKAN MELAKUKAN SHALAT
Penulis:
Ust. Mahfud (TPQ Miftahul Huda, Jenes)
Segala
puja puji syukur hanya pantas dipanjatkan pada Sang Maha Pencipta yaitu Allah
swt yang telah berfirman dalam al-Qur’an surat al-Isra’ ayat 78: “Dirikanlah
shalat dari sesudah matahari tergelincir sampai gelap malam dan (dirikanlah
pula shalat) subuh. Sesungguhnya shalat subuh itu disaksikan (oleh malaikat).”
Shalawat salam semoga tetap tercurah pada nabi Muhammad saw dan semoga meluber
hingga pada semua umat Islam yang tetap teguh mengikuti apa-apa yang telah
beliau sampaikan.
Ibadah merupakan salah satu bentuk pembuktian
ketaatan hamba pada Khaliq-nya. Namun perlu dipahami bahwa melakukan Ibadah
meskipun dengan tujuan yang baik, apabila tidak diimbangi dengan ilmu yang
cukup maka hanya akan menjadikan ibadah itu sia-sia. Konsep ini tentu sinkron
dengan pemahaman bahwa orang berilmu lebih tinggi beberapa derajat dari orang
yang beribadah. Tentu saja orang berilmu dalam konteks ini adalah orang berilmu
serta mengamalkan ilmu tersebut dalam ibadahnya dibandingkan dengan orang
beribadah yang tidak menggunakan ilmu.
Dalam ilmu Fiqh bab shalat, ada pembahasan
tentang waktu yang makruh untuk melakukan shalat. Padahal hukum asli shalat
adalah wajib ‘ain bagi shalat fardhu serta hukum sunnah bagi shalat sunnah.
Namun ternyata ada waktu-waktu tertentu yang justru makruh digunakan untuk
shalat. Namun perlu digaris bawahi bahwa yang dimaksud adalah shalat yang
tidak ada sebabnya. Dengan demikian, hukum makruh tidak berlaku bagi
shalat yang mempunyai sebab tertentu.
Adapun
shalat yang mempunyai sebab tertentu adalah sebab yang terdahulu atau sebab
yang bersamaan. Shalat-shalat yang mempunyai sebab, antara lain:
1.
Shalat
yang mempunyai sebab yang terdahulu, contohnya: shalat Qodho’ terhadap shalat
fardhu atau shalat sunah yang biasa dilakukan dengan istiqomah yang karena lupa
atau kesibukan yang mendesak sehingga meninggalkan shalat tersebut, Shalat
Jenazah, Shalat Gerhana, Shalat Istisqo’
2.
Shalat
yang mempunyai sebab di akhir contohnya shalat Istikhoroh
3.
Shalat
yang mempunyai sebab yang bersamaan adalah shalat Tahiyatul Masjid kalau ketika
masuk masjid bersamaan dengan tujuan i’tikaf atau mencari ilmu.
Dari pemaparan di atas itu, maka kemudian dapat ditarik
kesimpulan bahwa shalat selain tersebut di atas memiliki waktu-waktu yang
makruh untuk dilakukan, yaitu:
1.
Waktu
terbitnya matahari sehingga matahari setinggi 1 (satu) tombak.
2. Waktu
Istiwa’ (matahari tepat di atas kepala) sampai tergelincirnya matahari (ke
cuali
hari Jum’at).
3. Waktu matahari berwarna
kuning (ketika akan terbenam) sampai terbenamnya matahari. Hal ini berdasar
hadits dari Uqbah bin Amir ra beliau berkata: “Tiga waktu yang Rasulullah saw melarang
kami untuk mengerjakan shalat atau menguburkan orang mati pada waktu tersebut: Ketika
terbit matahari dalam keadaan terang hingga meninggi. Waktu ketika orang berdiri tegak tidak
memiliki bayangan hingga condongnya matahari ke arah barat. Ketika matahari
mengalami proses untuk tenggelam hingga hilangnya bulatan matahari di ufuk
barat” (Shahih,
HR Muslim, Abu Dawud, Tirmidzi, Nasai dan Ibnu Majah). Juga hadits yang menjelaskan
alasan pelarangan waktu-waktu tersebut dalam sabda kepada Amr bin Abasah: “Tegakkanlah
sholat shubuh kemudian berhentilah mengerjakan sholat, hingga matahari terbit
dan agak meninggi, karena terbitnya matahari pada waktu itu di antara dua
tanduk setan, dan ketika itu [sebagian] orang-orang kafir [penyembah
matahari] sujud kepada matahari, kemudian setelah itu kerjakankah sholat,
karena sesungguhnya sholat pada waktu itu disaksikan dan dihadiri [oleh
malaikat], hingga hilangnya bayang-bayang pada sebuah tombak, kemudian tahanlah
diri dari mengerjakan sholat, karena saat itu neraka jahannam sedang
dibakar, kemudian jika telah muncul bayang-bayang maka kerjakanlah sholat
[sunnah] karena sesungguhnya sholat pada waktu itu disaksikan dan dihadiri
[oleh malaikat], hingga engkau mengerjakan sholat ‘ashar, kemudian berhentilah
mengerjakan sholat sampai matahari benar-benar tenggelam, karena waktu
itu tenggelamnya matahari diantara dua tanduk setan, dan pada saat
itu orang-orang kafir [penyembah matahari] bersujud menyembah matahari.”
( HR. Muslim).
4. Waktu setelah Shalat Shubuh
5. Waktu setelah Shalat ‘Ashar.
Berdasarkan hadits, dari Abi Hurairah r.a: “Sesungguhnya Rasulullah saw melarang
melakukan shalat setelah melakukan shalat ‘ashar sehingga matahari terbenam,
juga shalat setelah melakukan shalat shubuh.” ( Mutafaq ’Alaih).
Dari waktu-waktu yang disebutkan di atas, masih ada
pengecualian tidak dimakruh-kan shalat sebab berkaitan dengan tempat
pelaksanaan shalat yaitu di Makkah apabila shalatnya di masjidil haram.
Demikianlah pemaparan tentang
waktu-waktu yang dimakruhkan untuk shalat, sehingga jika tetap saja dilakukan
maka sudah akan berbeda nilainya dengan shalat sunnah lainnya. Semoga sekelumit
tulisan ini ada guna manfaatnya agar kita lebih bagus lagi kualitas ibadahnya. Aamiin …
*********