buletin ini terbit secara rutin tiap hari Jum'at di masjid agung RMAA Tjokronegoro Ponorogo

Senin, 30 September 2013

SELAMATAN KEMATIAN


Bulletin
TELAGA JIWA
Susunan Redaksi:
Pembina:
MABIN TPQ Ma’arif NU Ponorogo.
Penanggung Jawab:
Ketua TPQ Ma’arif NU Kortan Ponorogo.  
Manager:
Mahfud
Redaktur:
Hadi PS, Dana AD, Eri WH, Rohmanuddin, Wasis W, Asyif NH.
Editor:   
Marsudi
Keuangan:
Herul Sabana
Alamat Redaksi:
Ponpes Hudatul Muna Jenes Brotonegaran Ponorogo.
Contact Persons: 085233977218 dan 085235666984
Website:
Bulletin Telaga Jiwa TPQ NU Kortan Ponorogo (*9)
group facebook:
TELAGA JIWA TPQ NU Koortan Ponorogo  


Edisi  25 th IV :  20 September 2013 M / 14 Dzul Qo’dah 1434 H
SELAMATAN KEMATIAN
Penulis: Dana Ahmad Dahlani (mahasiswa al-Azhar Cairo) 



Segala bentuk pujian dan pujaan hanyalah bagi Allah swt, yang masih memberikan kesempatan kepada kita untuk menghirup udara hingga detik ini guna mencari anugerah-Nya di bumi ini dan mengumpulkan bekal sebanyak-banyaknya untuk kehidupan yang kekal di akhirat kelak.
Shalawat dan salam senantiasa terlantun untuk sang baginda Nabi Muhammad saw, pembawa ajaran Islam yang takkan lekang oleh zaman.
Setiap jiwa pasti memiliki ajal. Kematian merupakan suatu keniscayaan dan menjadi pintu gerbang untuk memasuki alam barzakh, alam yang menjadi batas antara kehidupan dunia dan kehidupan akhirat. Allah berfirman dalam al-Qur’an surat al-A’raf ayat 34:  
Tiap-tiap umat mempunyai batas waktu (ajal), maka apabila telah datang ajalnya, mereka tidak dapat mengundurkannya barang sesaat pun dan tidak dapat (pula) memajukannya.”

Untuk itulah setiap ada kematian selalu diadakan selamatan, tahlilan dan yasinan. Selamatan, tahlilan dan yasinan setelah kematian memang merupakan tradisi yang berkembang luas di kalangan warga Indonesia khususnya kaum nahdliyin. Biasanya acara ini digelar mulai hari wafat sampai hari ke-7, hari ke-40, ke-100, ke-1000 dan selanjutnya diperingati setiap tahun. Ritual seperti ini merupakan adat yang diwariskan secara turun-temurun oleh para ulama’ tradisional termasuk para wali songo.  Akan tetapi beberapa tahun terakhir, mulai muncul segolongan umat yang mempertanyakan ritual seperti ini. Mereka berkata, ”Apakah acara selamatan kematian ada dalilnya dalam Al-Qur’an dan Al-Hadits? Apakah ini tidak termasuk bid’ah?” 
yang mampu, majlis ini juga bisa dimanfaatkan untuk bershadaqah dengan memberikan makanan dan minuman sekedarnya kepada para hadirin. Namun ini bukan hal yang diwajibkan karena yang terpenting adalah do’anya. Hal ini sering disalah artikan oleh sebagian orang bahwa pemberian hidangan adalah hal yang wajib, yang terkadang terasa memberatkan bagi keluarga yang kurang mampu.
Sebenarnya acara selamatan kematian bisa dideskripsikan sebagai ajang berdo’a bersama melalui bacaan yasin, tahlil dan kalimah-kalimah thayyibah. Acara ini juga bisa digunakan sebagai sarana silaturahim antar warga dan sanak kerabat. Bagi orang 
Serangkaian kegiatan tersebut dimaksudkan agar pahala dari pembacaan yasin, tahlil, kalimah-kalimah thayyibah serta pahala dari shadaqah bisa dihadiahkan kepada si mayit untuk menambah bekalnya di alam kubur. Selain itu, majlis tersebut juga bisa digunakan untuk menghibur keluarga yang ditinggalkan dan sekaligus mengambil i’tibar bahwa kelak kita juga akan menyusul si mayit di kemudian hari. Dengan senantiasa mengingat kematian diharapkan para hadirin akan tersadar untuk lebih memperbaiki amal ibadahnya juga tingkah lakunya.
Dalam sebuah hadits, Rasullullah saw telah bersabda: “Apabila anak turun Adam (manusia) meninggal dunia maka terputuslah segala amalnya kecuali tiga perkara, yaitu: shadaqah jariyah (yang terus mengalir), atau ilmu yang bermanfaat, atau anak shalih yang mendo’akannya.”  Dalam konteks hadits ini, mendo’akan orang yang telah meninggal dunia dengan membaca ayat-ayat Al-Qur’an atau kalimah-kalimah thayyibah adalah pekara yang disunnahkan. Dalam hadits yang lain disebutkan: Dari Ma’qal bin Yasar, ia berkata: Rasullullah bersabda: “Bacalah surat Yasin untuk mayit-mayit kamu sekalian!” (HR. Abu Dawud, Ibnu Hibban). Membaca Al-Qur’an untuk mayit di kuburan adalah tradisi para sahabat Anshar sebagaimana perkataan Asy-Sya’bi yang diriwayatkan Al-Khallal dalam kitab Al-Jami’i: “Tradisi para sahabat Anshar jika salah seorang di antara mereka meninggal, mereka akan datang ke kuburannya silih berganti dan membacakan al-Qur’an untuknya (mayit).” Begitu juga dengan bershadaqah dan bersilaturahim. Ada beberapa hadits yang membahas mengenai hal ini, diantaranya: Dari ‘Amr bin ‘Abasah ia berkata: “Aku mendatangi Rasulullah, lalu aku bertanya: Ya Rasulullah, apakah Islam itu?” Beliau menjawab: “Bertutur kata yang baik dan menyuguhkan makanan.” (HR. Ahmad)
Lalu apakah do’a dan pahala dari yasin, tahlil dan shadaqah itu bisa benar-benar sampai kepada si mayit yang sudah berada di alam kubur? Apakah pahala tersebut masih bermanfaat dan bisa memberikan dampak positif bagi si mayit?
Allah telah menjelaskan hal ini dalam al-Qur’an surat al-Hasyr ayat 10: “Dan orang-orang yang datang sesudah mereka (Muhajirin dan Anshar), mereka berdoa: "Ya Tuhan kami, berilah ampun kami dan saudara-saudara kami yang telah beriman lebih dahulu dari kami, dan janganlah Engkau membiarkan kedengkian dalam hati kami terhadap orang-orang yang beriman; Ya Tuhan kami, sesungguhnya Engkau Maha Penyantun lagi Maha Penyayang".
Para Imam Madzhab Empat yaitu Imam Abu Hanifah, Imam Malik, Imam Syafi’i, dan Imam Ahmad bin Hanbal serta para ulama pengikutnya telah sepakat mengenai kebolehan menghadiahkan pahala bacaan al-Qur’an kepada orang yang telah meninggal dunia. Mereka juga berkeyakinan bahwa pahala itu akan sampai kepada si mayit jika memang diniatkan untuk dihadiahkan. Tetapi Imam Syafi’i mensyaratkan harus ada do’a ishal setelahnya (agar pahalanya sampai kepada si mayit). Ibnu ‘Allan menyatakan dalam kitab Dalil Al-Falihin: “Disunnahkan dibacakan ayat-ayat al-Qur’an di samping mayit, dan jika dibacakan al-Qur’an sampai khatam itu sangat baik.” Bahkan dalam kitab Hukm al-Syari’ah al-Islamiyah fi Ma’tamil Arba’in, Ibnu Taimiyyah berpendapat bahwa yang benar adalah mayit itu bisa mendapatkan manfaat dari semua ibadah badaniyyah (shalat,  membaca al-Qur’an dsb) maupun yang bersifat maliyyah (shadaqah).
Lalu bagaimana halnya dengan selamatan kematian yang selalu diperingati pada hari ke-7, ke-40, ke-100 dan seterusnya? Imam Suyuthi berkomentar dalam kitab Al-Hawiy: Imam Thawus berkata: Seorang yang mati akan mendapat ujian dari Allah dalam kuburnya selama 7 hari. Untuk itu sebaiknya mereka (yang masih hidup) mengadakan jamuan makan untuknya selama hari-hari tersebut.” Syeikh Muhammad Nawawiy al-Banteniy juga membahas hal ini dalam kitab Nihayah Al-Zain: “Dan shadaqah untuk mayit dengan cara syar’i itu diperlukan dan tidak dibatasi harus tujuh hari atau lebih atau kurang dan tidak dibatasi dengan beberapa hari dari kematiannya, sebagaimana fatwa Sayyid Ahmad Dahlan. Dan telah menjadi kebiasaan manusia: shadaqah untuk mayit pada hari ke-3 dari kematian, hari ke-7, ke-20, ke-40, ke-100, dan setelah itu setiap tahun sebagai haul dari hari kematian, sebagaimana didukung oleh Syeikh kita Yusuf Sunbulawainiy.”
Namun alangkah lebih baiknya, tanpa menunggu 3,7,40,100 ataupun haul, jika kita bisa meluangkan sedikit waktu kita setiap harinya untuk mendo’akan para pendahulu kita, meskipun hanya sekedar bacaan al-Fatihah satu kali saja, syukur-syukur kalau bisa sampai 100 kali atau lebih banyak dari itu. Kita bisa menghadiahkan pahalanya kepada seluruh kaum muslimin, khususnya sanak famili yang telah tiada, semoga mereka diberi tempat yang layak di sisi-Nya. Dengan keistiqamahan kita, insya Allah mereka akan diberi keringanan dalam menjalani kehidupannya di alam barzakh. Kita pun juga masih bisa mendulang pahala dari ayat Al-Qur’an yang kita baca tersebut.
“Istiqamah lebih baik daripada seribu karamah.”
   والله أعلم بالصواب
*********


1 komentar:

  1. Banyak orang bisa berdalil tetapi tidak bisa menempatkan dalil pada tempatnya. Bandingkan dengan:
    https://tulisansulaifi.wordpress.com/2017/07/27/selamatan-kematian-menurut-islam/

    BalasHapus