Bulletin
TELAGA JIWA
Susunan Redaksi:
Pembina:
MABIN TPQ Ma’arif NU Ponorogo.
Penanggung Jawab:
Ketua TPQ Ma’arif NU Kortan Ponorogo.
Manager:
Mahfud
Redaktur:
Hadi PS, Dana AD, Eri WH, Rohmanuddin, Wasis W, Asyif
NH.
Editor:
Marsudi
Keuangan:
Herul Sabana
Alamat Redaksi:
Ponpes Hudatul Muna Jenes
Brotonegaran Ponorogo.
Contact Persons: 085233977218 dan 085235666984
Website:
Bulletin Telaga Jiwa TPQ NU Kortan
Ponorogo (*9)
group facebook:
TELAGA JIWA TPQ NU Koortan Ponorogo
Edisi 25 th IV :
20 September 2013 M / 14 Dzul Qo’dah 1434 H
SELAMATAN KEMATIAN
Penulis: Dana Ahmad Dahlani (mahasiswa al-Azhar Cairo)
Segala bentuk pujian dan pujaan hanyalah bagi Allah swt, yang masih memberikan kesempatan kepada kita untuk menghirup udara hingga
detik ini guna mencari anugerah-Nya di bumi ini dan mengumpulkan bekal
sebanyak-banyaknya untuk kehidupan yang kekal di akhirat kelak.
Shalawat dan salam senantiasa terlantun untuk sang
baginda Nabi Muhammad saw, pembawa ajaran Islam yang takkan
lekang oleh zaman.
Setiap jiwa pasti memiliki ajal. Kematian merupakan
suatu keniscayaan dan menjadi pintu gerbang untuk memasuki alam barzakh,
alam yang menjadi batas antara kehidupan dunia dan kehidupan akhirat. Allah
berfirman dalam al-Qur’an surat al-A’raf ayat 34: “Tiap-tiap umat mempunyai batas waktu (ajal), maka
apabila telah datang ajalnya, mereka tidak dapat mengundurkannya barang sesaat
pun dan tidak dapat (pula) memajukannya.”
Untuk itulah setiap ada kematian selalu diadakan
selamatan, tahlilan dan yasinan. Selamatan, tahlilan dan yasinan
setelah kematian memang merupakan tradisi yang berkembang luas di kalangan
warga Indonesia khususnya kaum nahdliyin. Biasanya acara ini digelar
mulai hari wafat sampai hari ke-7, hari ke-40, ke-100, ke-1000 dan selanjutnya
diperingati setiap tahun. Ritual seperti ini merupakan adat yang diwariskan
secara turun-temurun oleh para ulama’ tradisional termasuk para wali songo. Akan tetapi beberapa tahun terakhir,
mulai muncul segolongan umat yang mempertanyakan ritual seperti ini. Mereka
berkata, ”Apakah acara selamatan kematian ada dalilnya dalam
Al-Qur’an dan Al-Hadits? Apakah ini tidak termasuk bid’ah?”
yang mampu, majlis ini juga bisa dimanfaatkan untuk
bershadaqah dengan memberikan makanan dan minuman sekedarnya kepada para
hadirin. Namun ini bukan hal yang diwajibkan karena yang terpenting adalah
do’anya. Hal ini sering disalah artikan oleh sebagian orang bahwa pemberian
hidangan adalah hal yang wajib, yang terkadang terasa memberatkan bagi keluarga
yang kurang mampu.
Sebenarnya acara selamatan kematian bisa dideskripsikan
sebagai ajang berdo’a bersama melalui bacaan yasin, tahlil dan kalimah-kalimah thayyibah.
Acara ini juga bisa digunakan sebagai sarana silaturahim antar warga dan sanak
kerabat. Bagi orang
Serangkaian kegiatan tersebut
dimaksudkan agar pahala dari pembacaan yasin, tahlil, kalimah-kalimah thayyibah
serta pahala dari shadaqah bisa dihadiahkan kepada si mayit untuk menambah
bekalnya di alam kubur. Selain itu, majlis tersebut juga bisa digunakan untuk
menghibur keluarga yang ditinggalkan dan sekaligus mengambil i’tibar bahwa
kelak kita juga akan menyusul si mayit di kemudian hari. Dengan senantiasa
mengingat kematian diharapkan para hadirin akan tersadar untuk lebih
memperbaiki amal ibadahnya juga tingkah lakunya.
Dalam sebuah hadits, Rasullullah saw
telah bersabda: “Apabila anak turun Adam (manusia) meninggal dunia maka
terputuslah segala amalnya kecuali tiga perkara, yaitu: shadaqah jariyah (yang
terus mengalir), atau ilmu yang bermanfaat, atau anak shalih yang
mendo’akannya.” Dalam konteks
hadits ini, mendo’akan orang yang telah meninggal dunia dengan membaca
ayat-ayat Al-Qur’an atau kalimah-kalimah thayyibah adalah pekara yang
disunnahkan. Dalam hadits yang lain disebutkan:
Dari Ma’qal bin
Yasar, ia berkata: Rasullullah bersabda: “Bacalah surat Yasin untuk mayit-mayit
kamu sekalian!” (HR. Abu
Dawud, Ibnu Hibban). Membaca Al-Qur’an untuk mayit di kuburan adalah
tradisi para sahabat Anshar sebagaimana perkataan Asy-Sya’bi yang diriwayatkan
Al-Khallal dalam kitab Al-Jami’i: “Tradisi para sahabat Anshar jika
salah seorang di antara mereka meninggal, mereka akan datang ke kuburannya
silih berganti dan membacakan al-Qur’an untuknya (mayit).” Begitu juga
dengan bershadaqah dan bersilaturahim. Ada beberapa hadits yang membahas
mengenai hal ini, diantaranya: Dari ‘Amr bin ‘Abasah ia berkata: “Aku
mendatangi Rasulullah, lalu aku bertanya: Ya Rasulullah, apakah Islam itu?”
Beliau menjawab: “Bertutur kata yang baik dan menyuguhkan makanan.” (HR.
Ahmad)
Lalu apakah do’a dan pahala dari
yasin, tahlil dan shadaqah itu bisa benar-benar sampai kepada si mayit yang
sudah berada di alam kubur? Apakah pahala tersebut masih bermanfaat dan bisa
memberikan dampak positif bagi si mayit?
Allah telah menjelaskan hal ini dalam al-Qur’an surat
al-Hasyr ayat 10: “Dan orang-orang yang datang sesudah mereka (Muhajirin
dan Anshar), mereka berdoa: "Ya Tuhan kami, berilah ampun kami dan
saudara-saudara kami yang telah beriman lebih dahulu dari kami, dan janganlah
Engkau membiarkan kedengkian dalam hati kami terhadap orang-orang
yang beriman; Ya Tuhan kami, sesungguhnya Engkau Maha Penyantun lagi Maha
Penyayang".
Para Imam Madzhab Empat yaitu Imam
Abu Hanifah, Imam Malik, Imam Syafi’i, dan Imam Ahmad bin Hanbal serta para
ulama pengikutnya telah sepakat mengenai kebolehan menghadiahkan pahala bacaan al-Qur’an kepada orang yang telah meninggal dunia. Mereka juga berkeyakinan
bahwa pahala itu akan sampai kepada si mayit jika memang diniatkan untuk
dihadiahkan. Tetapi Imam Syafi’i mensyaratkan harus ada do’a ishal
setelahnya (agar pahalanya sampai kepada si mayit). Ibnu ‘Allan menyatakan dalam kitab Dalil Al-Falihin: “Disunnahkan dibacakan ayat-ayat al-Qur’an di samping mayit, dan jika
dibacakan al-Qur’an sampai khatam itu sangat
baik.” Bahkan dalam kitab Hukm al-Syari’ah al-Islamiyah fi
Ma’tamil Arba’in, Ibnu Taimiyyah berpendapat bahwa yang benar adalah mayit
itu bisa mendapatkan manfaat dari semua ibadah badaniyyah (shalat, membaca al-Qur’an dsb) maupun yang bersifat maliyyah (shadaqah).
Lalu bagaimana halnya dengan
selamatan kematian yang selalu diperingati pada hari ke-7, ke-40, ke-100 dan
seterusnya? Imam Suyuthi berkomentar dalam kitab Al-Hawiy: ”Imam Thawus berkata: Seorang yang
mati akan mendapat ujian dari Allah dalam kuburnya selama 7 hari. Untuk itu
sebaiknya mereka (yang masih hidup) mengadakan jamuan makan untuknya selama
hari-hari tersebut.” Syeikh Muhammad Nawawiy al-Banteniy
juga membahas hal ini dalam kitab Nihayah Al-Zain: “Dan shadaqah untuk mayit
dengan cara syar’i itu diperlukan dan tidak dibatasi harus tujuh hari atau
lebih atau kurang dan tidak dibatasi dengan beberapa hari dari kematiannya,
sebagaimana fatwa Sayyid Ahmad Dahlan. Dan telah menjadi kebiasaan manusia:
shadaqah untuk mayit pada hari ke-3 dari kematian, hari ke-7, ke-20, ke-40,
ke-100, dan setelah itu setiap tahun sebagai haul dari hari kematian,
sebagaimana didukung oleh Syeikh kita Yusuf Sunbulawainiy.”
Namun alangkah lebih baiknya, tanpa menunggu 3,7,40,100 ataupun haul, jika kita bisa meluangkan sedikit
waktu kita setiap harinya untuk mendo’akan para pendahulu kita, meskipun hanya
sekedar bacaan al-Fatihah satu kali saja,
syukur-syukur kalau bisa sampai 100 kali atau lebih banyak dari itu. Kita bisa
menghadiahkan pahalanya kepada seluruh kaum muslimin, khususnya sanak famili
yang telah tiada, semoga mereka diberi tempat yang layak di sisi-Nya. Dengan keistiqamahan
kita, insya Allah mereka akan diberi keringanan dalam menjalani
kehidupannya di alam barzakh. Kita pun juga masih bisa mendulang pahala
dari ayat Al-Qur’an yang kita baca tersebut.
“Istiqamah lebih baik daripada
seribu karamah.”
والله أعلم بالصواب
*********
Banyak orang bisa berdalil tetapi tidak bisa menempatkan dalil pada tempatnya. Bandingkan dengan:
BalasHapushttps://tulisansulaifi.wordpress.com/2017/07/27/selamatan-kematian-menurut-islam/