Edisi
06 th V : 7 Februari 2014 M / 7 Rabiul Akhir 1435 H
MANUSIA SEBAGAI
KHALIFAH
Penulis: Dana A. Dahlani
(mahasiswa al-Azhar, Kairo)
Segala puji hanyalah bagi Allah swt yang telah berfirman
dalam al-Qur’an surat al-Baqarah ayat 30: “Ingatlah ketika Tuhanmu
berfirman kepada para malai-kat: "Sesungguhnya Aku hendak menjadikan
seorang khalifah di muka bumi." Mereka berkata: "Mengapa Engkau
hendak menjadikan (khalifah) di bumi itu orang yang akan membuat kerusakan
padanya dan menumpahkan darah, padahal kami senantiasa bertasbih dengan memuji
Engkau dan mensucikan Engkau?" Tuhan berfirman: "Sesungguhnya Aku
mengetahui apa yang tidak kamu ketahui." Kemudian shalawat dan salam semoga tetap terlimpahkan
pada Nabi Muhammad saw sebagai sebaik-baik suri tauladan yang telah memberikan
tuntunan bagaimana cara menjadi khalifah yang benar sesuai dengan
syari’at.
Tujuan dari penciptaan
manusia dan hikmah menurunkannya ke muka bumi tak lain adalah menjadikan
manusia sebagai khalifah di planet biru ini. Islam yang datang sebagai rahmatan
lil ‘alamin dan penyempurna ajaran-ajaran sebelumnya telah mengatur segala
hal yang berkaitan dengan tugas-tugas umat manusia sebagai khalifah di
bumi. Al-Qur’an yang diturunkan sebagai kitab pedoman sudah menjelas-kan
batasan-batasannya, baik secara global maupun terperinci. Berangkat
dari konsep al-Qur’an tentang khalifah, maka muncul beberapa versi
tentang penafsiran dari kata khalifah itu sendiri. Beberapa ahli tafsir
berpendapat bahwa yang dimaksud khalifah di sini adalah manusia
sebagai makhluk yang menggantikan posisi dan peran makh-luk pendahulunya dari
bangsa jin yang dulu pernah mendiami bumi.(Lihat Tafsir Ath-Thabari).
Imam Ibnu Katsir menjelaskan bahwa manusia adalah makhluk yang selalu
ber-regenerasi, generasi selanjutnya akan menggantikan
peran generasi sebelumnya. Sementara Imam Qurthubi menafsirkan khalifah sebagai
makhluk yang mengganti-kan peran Allah dalam melaksanakan dan menegakkan
hukum-hukum-Nya di muka bumi. Pernyataan senada juga terdapat di Tafsir
Jalalain.
Terlepas dari perbedaan-perbedaan tersebut,
yang jelas salah satu peran kha-lifah
adalah memanfaatkan semua yang berada di alam ini untuk kesejahteraan dan
kelangsungan hidup manusia di dunia. Di samping itu juga berkewajiban menjaga
dan melestarikannya demi kepentingan anak cucu yang kelak akan menggantikan
tugasnya dalam mengemban kekhalifahan di bumi sebagaimana firman Allah
dalam surat al-Baqarah ayat 29: “Dialah (Allah) yang menjadikan segala
yang ada di bumi untuk kamu sekalian.” Tugas ini tentu tidaklah semudah
membalik telapak tangan. Usia bumi yang sudah tidak muda lagi, sumber daya alam
yang semakin berkurang, ledakan populasi penduduk yang luar biasa dan banyaknya
bencana yang terjadi semakin menambah beban manusia dalam mejaga kelestarian
bumi.
Pada hakikatnya, alam merupakan mitra hidup
manusia. Kepedulian terhadap lingkungan alam sangat penting ditanamkan pada
setiap individu. Islam sangat memperhatikan masalah ini. Terbukti dengan
banyaknya ayat al-Qur’an dan Hadits yang
memerintahkan kita untuk menjaga keseimbangan lingkungan dan melarang berbuat
kerusakan di muka bumi. Jika keasrian lingkungan tetap terjaga dengan baik
niscaya keseimbangan kehidupan manusia di muka bumi tetap akan terjamin.
Tetapi sayangnya fakta berkata sebaliknya.
Contoh nyata adalah negara kita dengan penduduk mayoritas muslim justru kurang
begitu peduli dengan masalah lingkungan. Banyak terjadi pembalakan liar di
hutan-hutan yang seharusnya diles-tarikan sebagai paru-paru dunia. Tingkat
pencemaran semakin memprihatinkan, baik polusi air, polusi udara maupun polusi
tanah. Berbagai jenis sampah menumpuk dan berserakan di sembarang tempat, tanpa
sarana pengolahan yang memadai. Sungai-sungai berubah warna karena limbah rumah
tangga dan pabrik-pabrik yang tak bertanggung jawab. Tak hanya sampai di situ,
masjid-masjid yang seharusnya men-jadi pusat kegiatan umat dan menjadi pionir
dalam menjaga keasrian lingkungan justru masih banyak yang terlihat kotor, jorok
dan terkesan tak terawat. Lembaga-lembaga pendidikan ‘Islami’ yang katanya
‘mengajarkan ilmu agama’ malah terke-san kumuh dan acuh tak acuh terhadap
kebersihan lingkungan setempat. Memang tidak semua seperti itu, namun tidaklah
dapat dipungkiri bahwa masih banyak yang seperti hal tersebut.
Tak pelak,
perilaku-perilaku buruk di atas bisa membawa dampak negatif terhadap
kelangsungan hidup masyarakatnya. Yang paling awal muncul adalah rasa tidak
nyaman. Selanjutnya akan mulai muncul berbagai jenis penyakit akibat dari
lingkungan yang tidak sehat. Dan dampak yang paling parah adalah terjadinya
berbagai bencana seperti banjir bandang disebabkan sampah yang menumpuk di aliran sungai, tanah longsor akibat illegal logging tanpa
adanya reboisasi hutan yang mema-dai, semburan lumpur panas yang menenggelamkan
berhektar-hektar tanah di sekitarnya, serta global warming yang
menimbulkan berbagai permasalahan dan ke-kacauan di muka bumi ini. ‘Kemarahan
alam’ ini tak hanya merenggut harta dan tahta, tetapi juga nyawa yang jadi
taruhannya. Itulah bukti-bukti kebenaran dari firman Allah dalam al-Qur’an
surat ar-Ruum ayat 41: “Telah tampak kerusakan di darat dan di laut
disebabkan karena perbuatan tangan manusia, supaya Allah merasakan kepada
mereka sebagian dari (akibat) perbuatan mereka, agar mereka kembali (ke jalan
yang benar).” Ayat ini begitu jelas menyampaikan berita bahwa di
samping karena gejolak alam, ulah tangan manusia juga ikut ‘mendukung’
terjadinya bencana. Meskipun yang berulah hanya sebagian oknum yang tak ber-tanggung
jawab, tetapi dampaknya juga memakan korban jiwa orang-orang yang tak berdosa.
Kenapa demikian? Tentu karena ‘nila’ yang hanya setitik saja, maka ‘susu’
sebelanga pun akan ikut rusak. Sangatlah tepat apa yang termaktub dalam surat
al-Anfal ayat 25: “Dan jagalah dirimu dari
siksaan yang tidak hanya menim pa orang-orang yang zalim saja di antara kamu.
Dan ketahuilah bahwa Allah amat keras siksaan-Nya.”
Kita tentu tahu slogan “Kebersihan Sebagian
dari Iman” terpampang di mana-mana, didengungkan di mana-mana. Tetapi itu hanya
sekedar untaian kata tanpa aksi yang nyata. No more than a motto. Cinta
lingkungan bukan sekedar slogan, tapi butuh implementasi di lapangan. Inilah
slah satu lahan potensial yang harusnya bisa digarap secara maksimal oleh para
juru dakwah. Dengn misi mengembalikan umat kepada esensi Islam yang sangat
peduli terhadap lingkungan, maka tentunya gerakan penyelamatan kehidupan dunia
yang mulai terancam akan terealisasikan. Dengan begitu tujuan menegakkan
kembali Islam yang rahmatan lil ‘alamin akan dapat menginspirasi umat
lain agar meniru cara Islam dan secara otomatis mengakui kebenaran Islam.
Pertanyaannya adalah … siapkah kita?
***
Tidak ada komentar:
Posting Komentar