buletin ini terbit secara rutin tiap hari Jum'at di masjid agung RMAA Tjokronegoro Ponorogo

Senin, 03 November 2014

ADIL



Edisi 44 th V : 30 Oktober 2014 M / 7 Muharram 1436 H
ADIL
Penulis: ust. Mahfud (TPQ Miftahul Huda, Jenes)
Segala puji dalam alam ini hanyalah bagi Allah swt, Tuhan Yang Maha Adil dan Maha Bijaksana. Tidak ada yang serupa dengan-Nya dalam hal apapun. Shalawat dan salam semoga tetap tercurah pada nabi Muhammad saw, manusia paling sempurna dalam mengimplementasikan konsep-konsep keadilan yang telah termaktub dalam kitab suci al-Qur’an yang menjadi pedoman utama bagi seluruh umat manusia.
 Adil adalah termasuk sifat terpuji yang harus dimiliki setiap muslim. Adil berarti lurus atau jujur, sehingga orang yang adil selalu berjalan pada kebenaran. Banyak yang mendefinisikan adil dengan suatu sikap yang tidak memihak atau sama rata, tidak ada yang lebih dan tidak ada yang kurang, tidak ada pilih kasih dan masih banyak lagi persepsi yang lainnya. Ada istilah yang sangat popular bahwa adil adalah menempatkan sesuatu pada tempatnya. Ini berlaku pada semua hal, manakala seseorang tidak mendudukkan sesuatu pada tempat yang semestinya berarti ia telah berlaku tidak adil. Adil sering dipakai untuk menilai seorang pemimpin, pemuka agama, tokoh masyarakat maupun pemerintah. Bahkan tidak jarang adil hanya ditujukan kepada aparat penegak hukum seperti polisi, atau hakim. Sehingga apabila kita mendengar istilah adil akan terbayangkan di benak kita bagaimana sang hakim memutuskan, apa sudah menetapkan orang yang bersalah sebagai orang yang bersalah dan divonis dengan hukuman yang sesuai dengan kadar kesalahannya. Tentu persepsi ini bukan tanpa alasan sebab dalam suatu hadits  disebutkan: ”Tujuh golongan manusia yang akan diberi perlindungan oleh Allah dalam naungannya di hari yang tiada naungan melainkan perlindungan Allah itu sendiri yaitu:

Imam (pemimpin) yang adil, pemuda yang sentiasa beribadah kepada Allah, lelaki yang hatinya senantiasa terpaut dengan masjid, dua orang yang saling cinta-mencintai karena Allah di mana keduanya berkumpul dan berpisah karena Allah, seorang lelaki yang diajak oleh wanita rupawan serta berkedudukan tinggi untuk melakukan zina, lalu ia menjawab, “Aku takut kepada Allah”, seseorang yang bersedekah dengan sesuatu sedekah lalu menyembunyikan sedekahnya itu sehingga tangan kirinya tidak mengetahui apa yang dibelanjakan oleh tangan kanannya, seseorang yang mengingati Allah di tempat yang sunyi lalu mengalir air matanya.” (Riwayat Abu Daud, Tirmidzi dan Ibnu Majah)
Sebenarnya keadilan tidak hanya ditujukan kepada pemimpin saja, namun setiap individu hendaknya memiliki sifat adil. Firman Allah dalam al-Qur’an surat al-Maidah ayat 8: Hai orang-orang yang beriman hendaklah kamu menadi orang-orang yang selalu menegakkan (kebenaran) karena Allah, menjadi saksi dengan adil. Dan janganlah sekali-kali kebencianmu terhadap sesuatu kaum, mendorong kamu untuk berlaku tidak adil. Berlaku adillah, karena adil itu lebih dekat kepada takwa. Dan bertakwalah kepada Allah, Sesungguhnya Allah Maha mengetahui apa yang kamu kerjakan.” Dan juga dalam surat an-Nahl ayat 90: Sesungguhnya Allah menyuruh (kamu) berlaku adil dan berbuat kebajikan, member kepada kaum kerabat, dan Allah melarang dari perbuatan keji, kemungkaran dan permusuhan. Dia member pengajaran kepadamu agar kamu dapat mengambil pelajaran.”. Demikian dalil al-Qur’an tentang sifat adil dan masih banyak ayat-ayat al-Qur’an yang senada dengan ayat tersebut. Adapun dalil dari hadits nabi Muhammad saw: “Dari Abdullah bin `Amr bin `Ash ra berkata: Rasulullah saw bersabda: “Sesungguhnya orang-orang yang berlaku adil menurut pandangan Allah, akan ditempatkan di atas mimbar dari cahaya sisi kanan Tuhan Yang Maha Pengasih. Mereka itulah orang-orang yang berlaku adil dalam keputusannya dan tidak bergeser dari keadilannya.”  (HR. Muslim danNasa`i).

Bentuk-bentuk keadilan yang dilakukan oleh seseorang meliputi 4 macam: 1) Adil terhadap dirinya sendiri. Sudahkah kita berlaku adil terhadap diri sendiri? Jawabannya ada di hati kita masing-masing. Adil terhadap diri sendiri yaitu berpegang kepada kebenaran, lurus atau jujur berani mengoreksi dan mengakui kesalahan sendiri, teguh pendirian, baik dalam beribadah maupun bermuamalah sesuai dengan norma-norma agama Islam. Melakukan hal yang berguna terhadap diri sendiri, serta meninggalkan hal yang tidak berguna terhadap diri sendiri. Belajar, bekerja, istirahat sesuai dengan waktunya. Makan, minum dan istirahat secukupnya juga merupakan contoh adil terhadap diri sendiri. Begitulah orang yang adil terhadap dirinya sendirinya sangat menyayangi dirinya sendiri baik lahir maupun batin. 2) Adil terhadap Allah swt. Sebagai makhluk-Nya, kita wajib beriman kepada-Nya dan tidak mempersekutukan-Nya. Kita hanya mohon pertolongan kepada-Nya serta menjalankan perintah dan menjauhi segala larangan-larangan-Nya. 3) Adil terhadap orang lain, yaitu berpihak pada yang benar atau berbuat secara jujur dan benar dalam hak dan kewajiban, baik dalam hukum, ukuran, timbangan maupun perlakuan. Kalau posisi kita sebagai pemimpin hendaknya ikhlas melayani rakyat tidak membeda-bedakan antara yang miskin dan yang kaya. Kalau posisi kita sebagai pedagang jangan sampai curang dalam timbangan dan lain sebagainya. Suami adil terhadap istrinya. Ayah adil terhadap anak-anaknya, dan lain-lain. Ini artinya apapun posisi kita, kita tetap harus berbuat adil. 4) Adil terhadap makhluk lain dan lingkunganya itu berbuat secara layak dan tidak semena-mena terhadap lingkungan. Dengan tidak menganiaya hewan, tidak merusak tumbuhan, menjaga kesuburan tanah dan kebersihan air.
Begitulah Islam menghendaki agar setiap individu memiliki mindset sebagai pelaku adil, baik terhadap dirinya sendiri mau pun terhadap orang lain. Dengan demikian, maka sikap adil individu ini akan melebar menjadi sikap adil masyarakat yang kemudian membawa kemashlahatan bagi umat manusia.  Semoga kita semua mendapat ridha dari Allah untuk dapat berlaku adil baik pada diri sendiri maupun pada orang lain. Aamiin…
*********






TAHUN BARU HIJRIYAH



Edisi 43 th V : 24 Oktober 2014 M / 29 Dzul Hijjah 1435 H
TAHUN BARU HIJRIYAH
Penulis: ust. Herul Sabana (TPQ al-Mansyur, Mangkujayan)
Segala puji dalam alam ini hanyalah bagi Allah swt yang telah menciptakan alam semesta sedemikian rupa, kemudian mengaturnya sehingga semuanya bergerak sesuai perintah-Nya, sehingga terbukalah kemudahan bagi manusia untuk menentukan bilangan hari, minggu, bulan dan tahun, sesuai dengan petunjuk dalam al-Qur’an surat Yasin ayat 39-40: “Dan bulanpun telah Kami tetapkan manzilah-manzilahnya sampai ia kembali berbentuk (melengkung) seperti pelepah tua yang kering. Tidaklah mungkin matahari mengejar bulan dan malam mendahului siang. Masing-masing (Kami tetapkan) beredar pada garis edarnya.” Betapa hebatnya ilmu astronomi dalam al-Qur’an, yang dalam hal ini membuktikan kebenaran al-Qur’an yang tak terbantahkan. Shalawat serta salam semoga tetap terlimpahkan pada manusia terhebat yang pernah terlahir ke dunia, yang merelakan sepenuh hidupnya untuk perjuangan perbaikan umat manusia, yang rela berhijrah dari tanah kelahirannya sendiri, yang kemudian menjadi pemimpin bagi seluruh umat manusia. Manusia terhebat tersebut yaitu Nabi Muhammad saw. Semoga kita termasuk dalam umat beliau yang beruntung.
Sejarah telah mencatat bahwa perjuangan syiar agama Islam yang dilakukan oleh nabi Muhammad saw tidaklah mengalami jalan yang mulus. Dakwah di tanah kelahiran yaitu Makkah, belumlah bisa dibilang sukses. Oleh karenanya, kemudian beliau melakukan hijrah ke Madinah. Dari tanah baru inilah Islam dapat tersebar luas, dan tahun hijrahnya nabi Muhammad saw ditetapkan permulaan perhitungan tahun kalender Hijriyah dengan bulan Muharram sebagai bulan pertama.

Tahun Hijriyah sudah berganti. Tidak seperti pergantian tahun Masehi yang disambut dengan gegap gempita oleh sebagian besar manusia, baik muslim maupun non muslim, maka pergantian tahun Hijriyah dilalui dengan biasa-biasa saja. Hanya di beberapa daerah (salah satunya di Ponorogo) yang terlihat ada budaya gegap gempita menyambut pergantian tahun baru Hijriyah. Namun hakikat penyambutan tahun baru sesunguhnya memang bukanlah gegap gempita melainkan perubahan yang harus dilakukan demi perbaikan diri pribadi maupun masyarakat. Sebagaimana ajaran Rasulullah saw bahwa jika kita membuktikan bahwa tahun ini kita mampu lebih baik dari tahun lalu dalam hal ketakwaan maupun hubungan sosial kemasyarakatan, maka berarti kita termasuk orang yang beruntung. Namun jika keadaan kita tetap sama seperti tahun lalu, maka kita termasuk orang yang merugi. Bahkan jika kita ternyata lebih buruk dari tahun lalu, maka itu artinya kita menjadi orang yang celaka.
Untuk membuat perubahan menjadi lebih baik dari tahun lalu ini, selayaknya kita berusaha dengan usaha dan do’a yang maksimal. Harus ada ikhtiyar dan tawakkal yang kita lakukan. Jika kita mengharapkan perubahan tanpa ada ikhtiyar, maka itu sama saja dengan mengharap hujan emas turun dari langit. Hidup ini bukanlah sinetron yang jalan ceritanya bisa terjadi dengan kebetulan saja. Rasulullah saw telah memberikan teladan bagaimana beliau selalu berusaha sekuat tenaga untuk membuat sebuah perubahan bagi kaumnya. Dan usaha yang beliau lakukan bukanlah sesuatu yang mudah dan ringan, melainkan penuh pengorbanan sampai-sampai harus berhijrah meninggalkan kampung halaman demi membangun peradaban yang lebih baik dari jahiliyyah. Hal tersebut selaras dengan firman Allah dalam al-Qur’an Surat ar-Ra’du ayat 12: “Bagi manusia ada malaikat yang selalu mengikutinya bergiliran di depan dan belakangnya, mereka menjaga atas perintah Allah. Sesungguhnya Allah tidak merubah keadaan suatu kaum sampai mereka berusaha merubah keadaan mereka itu sendiri…”
Berkaca pada beratnya perjuangan Rasulullah dalam merubah keadaan kaum-nya agar menjadi lebih baik dan tergolong kaum yang beruntung, maka selayaknya kitapun juga berjuang, demi kepentingan umum dan khususnya diri pribadi agar menjadi lebih baik dari tahun yang lalu. Terkait bulan Muharam ini, banyak sekali amalan ibadah yang dapat kita lakukan demi pencapaian predikat manusia beruntung dengan indikator mampu lebih baik dari tahun lalu. Diantara amalan sunnah di bulan ini adalah puasa asy-syura (tanggal 10) dan puasa tasu’a (tanggal 9) berdasarkan hadits-hadits berikut ini:
“Dari Abu Qatadah, bahwasanya Nabi saw ditanya tentang puasa di hari asy-syura, maka beliau menjawab: Puasa pada hari itu dapat menghapus dosa-dosa yang diperbuat selama satu tahun yang lalu.” (HR Muslim).

Kemudian ada lagi hadits lain: “Dari Ibnu Abas, bahwasanya Nabi saw bersabda: Jika usiaku dipanjangkan sampai tahun tahun depan, pasti aku akan puasa tasu’a (tgl 9 Muharam).” (HR Muslim). Dari hadits-hadits tersebut di atas kita bisa mencermati sesungguhnya betapa beruntungnya menjadi umat Nabi Muhammad saw. Kita banyak diberi fasilitas ibadah yang tidak dimiliki umat lain. Kita masih diberi kesempatan untuk menghapus dosa-dosa yang kita perbuat dengan cara puasa yang cuma sehari saja. Tentu saja dosa-dosa yang dimaksud adalah dosa terhadap Allah, bukan dosa terhadap manusia karena dosa terhadap manusia hanya dapat dihapuskan dengan saling memaafkan serta menghalalkan.
       Kemudian juga kita diperintahkan untuk memperbanyak sedekah terutama kepada anak yatim. Tuntunan Rasulullah untuk mengusap kepala anak yatim tidaklah harus diartikan secara harfiah saja melainkan juga secara hakikat. Dengan mengusap kepala anak yatim berarti memberikan rasa kasih sayang kepada mereka sehingga mereka akan mendapatkan perlindungan dan limpahan rasa cinta yang selama ini mereka rasakan ada yang tidak genap dengan wafatnya sang ayah. Sesuai pesan yang tersirat dalam surat al-Maun, maka selayaknya perhatian dan santunan kepada anak yatim tidak hanya berkisar pada bulan Muharam saja melainkan berkesinambungan dan dikondisikan sepanjang tahun. Hal ini tentunya akan dapat melecut semangat para aghniya’ (orang yang diluaskan rizqinya) agar tetap memiliki sarana untuk menyantuni anak yatim dan dhu’afa. Dengan demikian, masyarakat akan mengaplikasikan hikmah peringatan dari Allah yang terkandung dalam Surat ar-Ra’du ayat 26: “Allah meluaskan rizqi dan menyempitkannya bagi siapa saja yang dikehendaki. Dan mereka (manusia) pun bergembira dengan kehidupan dunia, padahal kehidupan dunia dibanding akhirat hanyalah kesenangan yang sedikit.”
         Akhirnya semoga kita semua mampu mampu meningkatkan ketakwaan dan rasa kepedulian sosial yang lebih tinggi dari tahun lalu sehingga masuk menjadi golongan orang-orang yang beruntung.
 Aamiin…
***