buletin ini terbit secara rutin tiap hari Jum'at di masjid agung RMAA Tjokronegoro Ponorogo

Senin, 03 November 2014

PAHLAWAN MASA KINI



Edisi 40 th V : 3 Oktober 2014 M / 8 Dzul Hijjah 1435 H
PAHLAWAN MASA KINI
Penulis: ust. Marsudi (TPQ ad-Darajaat, Mayak)
Segala puji hanyalah bagi Allah swt yang telah berfirman dalam al-Qur’an surat al-Baqarah ayat 193: “Dan perangilah mereka itu sehingga tidak ada fitnah lagi dan agama itu hanya semata untuk Allah. Jika mereka berhenti, maka tidak ada permusuhan lagi kecuali terhadap orang-orang yang zalim.” Shalawat dan salam semoga senantiasa tercurahkan pada nabi Muhammad saw yang telah memberikan tauladan terbaik bagi kita tentang bagaimana cara berjuang yang benar di saat perang dan di saat damai.
            Majelis Ulama Indonesia (MUI) dalam fatwa tanggal 24 Januari 2004 mene-gaskan perbedaan antara jihad dengan terorisme serta bom bunuh diri. Disebutkan berdasarkan para ulama Indonesia yang merujuk pada ulama Islam di seluruh dunia bahwasanya ada perbedaan yang sangat mendasar antara jihad dengan terorisme dan bom bunuh diri. Jihad perang dilakukan khusus dalam wilayah peperangan, sedangkan terorisme dilakukan dalam wilayah yang tidak sedang berperang. Jika jihad perang dilakukan dengan tujuan menegakkan agama Islam dan untuk perbaikan sehingga masih memperhatikan kode etik perang, maka terorisme dilakukan dengan anarkis dan menghancurkan fasilitas umum tanpa memperhatikan kode etik apapun.  Jihad adalah sebuah usaha untuk menegakkan agama Islam dengan niat berjuang karena Allah yang esensinya yaitu ke arah perbaikan umat manusia. Jihad tidak hanya diartikan sebagai perang saja, melainkan juga berbagai amal usaha seperti berdakwah, mengajar ilmu agama, mengurus berbagai organisasi sosial keagamaan dan lain sebagainya. Jihad memiliki dasar hukum yang kuat dan batasan-batasan tertentu.

Terkait dengan konsep jihad maupun perjuangan, beberapa hari lalu bangsa Indonesia mengenang tragedi G30S/PKI. Terlepas dari segala macam kontroversi sejarah yang diperdebatkan oleh beberapa pihak, kita tetap wajib menghormati dan memberikan penghargaan yang setinggi-tingginya kepada para pahlawan revolusi yang terkait dengan tragedi 30 September tersebut. Betapa mereka mengorbankan jiwa raga untuk bangsa ini tanpa menuntut sesuatu. Boleh dibilang saat ini kita akan kesulitan mendapati anak cucu para pahlawan revolusi tersebut berada di posisi penting negeri ini. Hal ini membuktikan bahwa ternyata pola pikir para pahlawan adalah apa yang mereka bisa berikan kepada negara, bukan apa yang negara berikan pada mereka.
Dengan berkaca pada keikhlasan perjuangan para pahlawan, selayaknya kita sekarang ini berusaha mewarisi segala macam sifat-sifat kepahlawanan beserta pola pikir yang mereka jadikan pegangan hidup. Pada era reformasi ini, Negara sudah tidak terlalu membutuhkan pengorbanan jiwa seperti jaman revolusi. Adapun yang Negara butuhkan adalah sikap patriotisme kita dalam segala macam profesi yang kita jalani. Jangan sampai kita berebut jabatan atau posisi tertentu dengan cara menjatuhkan yang lain. Juga bagi para pemangku kepentingan Negara, jangan sampai kita mengeruk sebanyak-banyaknya harta Negara untuk kepentingan pribadi ataupun keluarga. Selayaknya kembali kita perhatikan jargon: “Jangan bertanya apa yang sudah diberikan Negara kepadamu. Tapi bertanyalah apa yang sudah engkau berikan pada Negara?”
        Memang kondisi Negara kita ini belum mencapai kemakmuran seperti yang dicita-citakan bersama. Masih butuh proses yang panjang dengan para personil yang berkompeten dan berlandaskan keimanan yang teguh agar dapat mewujudkan Negara  Indonesia ini menjadi baldatun thayyibatun wa rabbun ghafur. Karena itulah Negara ini membutuhkan manusia-manusia terbaik untuk menjadi pahlawan-pahlawan berikutnya guna meneruskan perjuangan pahlawan pendahulu. Dalam perspektif Islam, manusia terbaik adalah yang yakin kepada Allah, dan mampu amar ma’ruf wa nahi munkar. Hal ini mengacu pada ayat 70-71 surat al-Ahzab: “Hai orang-orang yang beriman, bertakwalah kamu kepada Allah dan katakanlah perkataan yang benar,  niscaya Allah memperbaiki bagimu amalan-amalanmu dan mengampuni bagimu dosa-dosamu. dan barangsiapa mentaati Allah dan Rasul-Nya, maka sesungguhnya ia telah mendapat kemenangan yang besar.” Jika kita kaji ayat ini, takwa pada Allah dan berkata hal yang benar atau dalam konteks yang lebih luas adalah jujur dalam segala hal, maka tentulah akan mendapatkan petunjuk dari Allah untuk kemudian mendapatkan kemenangan tercapai apa yang dicita-citakan bangsa ini. Kejujuran dan eksistensi merupakan kunci keberhasilan perjuangan. Meski banyak problematika bangsa yang menerpa, namun dengan karakter manusia terbaik tersebut, maka tetap akan terbuka jalan keluarnya.

            Islam senantiasa menyeru umatnya untuk meraih kebahagiaan melalui keme-nangan sebagaimana yang dikumandangkan oleh para muadzin: “Hayya ‘alal falah”. Akan tetapi, sebagaimana konsep lafadz adzan, untuk meraih kemenangan tersebut haruslah dilandasi iman yang kuat dengan syahadatain dan pelaksanaan shalat yang konsisten (“Hayya ‘alash-shalah”). Konsep ini sangat sinkron dengan al-Qur’an surat al-Ankabut ayat 145: “…shalat itu mencegah dari (perbuatan) keji dan munkar…” Jika para pelaku pembangunan negeri ini terbebas dari perbuatan keji dan munkar, tentulah korupsi tidak meraja lela. Dan kemenangan yang dicita-citakan para pahlawan pun dapat terwujud.   
Perubahan negeri ini ke arah yang terbaik haruslah dengan jalan damai tanpa anarki. Perubahan untuk menjadikan Indonesia sebagai baldatun thayyibatun wa rabbun ghafur. Dan hal tersebut harus dicapai dengan karakter kuat yang berlandaskan iman takwa sebagaimana tersirat dalam pembukaan UUD 1945: “Berkat rahmat Allah Yang Maha Kuasa..” teks ini menunjukkan bahwa para pahlawan adalah orang-orang yang menyadari hanya dengan iman takwalah kemerdekaan dan kemakmuran negeri ini dapat terwujud sebagaimana tersirat dalam Qur’an Surat an-Nahl ayat 128: “Sesungguhnya Allah beserta orang-orang yang bertakwa dan berbuat kebaikan.”       Oleh karenanya, guna menyiapkan pahlawan-pahlawan berikutnya, kita tidaklah cukup hanya dengan membekali dengan ilmu pengetahuan dan rasa nasionalisme saja. Jika kita menginginkan mereka menjadi pahlawan dengan karakter kuat seperti pahlawan jaman dulu, selayaknya kita harus membekali mereka dengan beragam ilmu agama yang kuat sebagai landasan berpikir dan berbuat. Hal mendasar yang harus terpatri dalam otak setiap orang kita adalah bahwa agama Islam adalah rahmatan lil ‘alamin. Karena itu berbagai perjuangan untuk menegakkan agama Islam semaksimal mungkin haruslah dengan cara-cara yang damai dan menyejukkan agar berbagai pihak turut merasakan indah dan damainya Islam.
Semoga Allah meridhai bangsa ini agar menjadi bangsa yang merdeka, berdaulat, bermartabat, serta beriman kuat. Aamiin …
***







Tidak ada komentar:

Posting Komentar