Edisi
40 th V : 3 Oktober 2014 M / 8 Dzul Hijjah 1435 H
PAHLAWAN MASA KINI
Penulis: ust. Marsudi (TPQ ad-Darajaat, Mayak)
Segala puji
hanyalah bagi Allah swt yang telah berfirman dalam al-Qur’an surat al-Baqarah ayat 193: “Dan perangilah mereka itu sehingga
tidak ada fitnah lagi dan agama itu hanya semata untuk Allah. Jika mereka
berhenti, maka tidak ada permusuhan lagi kecuali terhadap orang-orang yang
zalim.” Shalawat dan
salam semoga senantiasa tercurahkan pada nabi Muhammad saw yang telah memberikan
tauladan terbaik bagi kita tentang bagaimana cara berjuang yang benar di saat
perang dan di saat damai.
Majelis Ulama Indonesia (MUI) dalam fatwa tanggal 24 Januari 2004 mene-gaskan perbedaan antara
jihad dengan terorisme serta bom bunuh diri. Disebutkan berdasarkan para ulama
Indonesia yang merujuk pada ulama Islam di seluruh dunia bahwasanya ada
perbedaan yang sangat mendasar antara jihad dengan terorisme dan bom bunuh
diri. Jihad perang dilakukan khusus dalam wilayah
peperangan, sedangkan terorisme dilakukan dalam wilayah yang tidak sedang
berperang. Jika jihad perang dilakukan dengan tujuan menegakkan agama Islam dan
untuk perbaikan sehingga masih memperhatikan kode etik perang, maka terorisme
dilakukan dengan anarkis dan menghancurkan fasilitas umum tanpa memperhatikan
kode etik apapun. Jihad adalah sebuah usaha untuk menegakkan agama Islam dengan niat berjuang karena Allah yang
esensinya yaitu ke arah perbaikan umat manusia. Jihad tidak hanya diartikan
sebagai perang saja, melainkan juga berbagai amal usaha seperti berdakwah,
mengajar ilmu agama, mengurus berbagai organisasi sosial keagamaan dan lain
sebagainya. Jihad memiliki dasar hukum yang kuat dan batasan-batasan tertentu.
Terkait dengan konsep jihad maupun perjuangan, beberapa hari lalu bangsa Indonesia mengenang tragedi G30S/PKI.
Terlepas dari segala macam kontroversi sejarah yang diperdebatkan oleh beberapa
pihak, kita tetap wajib menghormati dan memberikan penghargaan yang
setinggi-tingginya kepada para pahlawan revolusi yang terkait dengan tragedi 30
September tersebut. Betapa mereka mengorbankan jiwa raga untuk bangsa ini tanpa
menuntut sesuatu. Boleh dibilang saat ini kita akan kesulitan mendapati anak
cucu para pahlawan revolusi tersebut berada di posisi penting negeri ini. Hal
ini membuktikan bahwa ternyata pola pikir para pahlawan adalah apa yang mereka
bisa berikan kepada negara, bukan apa yang negara berikan pada mereka.
Dengan berkaca pada keikhlasan perjuangan para pahlawan, selayaknya
kita sekarang ini berusaha mewarisi segala macam sifat-sifat kepahlawanan
beserta pola pikir yang mereka jadikan pegangan hidup. Pada era reformasi ini,
Negara sudah tidak terlalu membutuhkan pengorbanan jiwa seperti jaman revolusi.
Adapun yang Negara butuhkan adalah sikap patriotisme kita dalam segala macam
profesi yang kita jalani. Jangan sampai kita berebut jabatan atau posisi
tertentu dengan cara menjatuhkan yang lain. Juga bagi para pemangku kepentingan
Negara, jangan sampai kita mengeruk sebanyak-banyaknya harta Negara untuk
kepentingan pribadi ataupun keluarga. Selayaknya kembali kita perhatikan
jargon: “Jangan bertanya apa yang sudah diberikan Negara kepadamu. Tapi
bertanyalah apa yang sudah engkau berikan pada Negara?”
Memang kondisi Negara kita ini belum
mencapai kemakmuran seperti yang dicita-citakan bersama. Masih butuh proses
yang panjang dengan para personil yang berkompeten dan berlandaskan keimanan
yang teguh agar dapat mewujudkan Negara Indonesia
ini menjadi baldatun thayyibatun wa
rabbun ghafur. Karena itulah Negara ini membutuhkan manusia-manusia terbaik
untuk menjadi pahlawan-pahlawan berikutnya guna meneruskan perjuangan pahlawan
pendahulu. Dalam perspektif Islam, manusia terbaik adalah yang yakin kepada
Allah, dan mampu amar ma’ruf wa nahi
munkar. Hal ini mengacu pada ayat 70-71 surat al-Ahzab: “Hai
orang-orang yang beriman, bertakwalah kamu kepada Allah dan katakanlah
perkataan yang benar, niscaya Allah
memperbaiki bagimu amalan-amalanmu dan mengampuni bagimu dosa-dosamu. dan
barangsiapa mentaati Allah dan Rasul-Nya, maka sesungguhnya ia telah mendapat
kemenangan yang besar.” Jika kita kaji ayat ini, takwa pada Allah dan
berkata hal yang benar atau dalam konteks yang lebih luas adalah jujur dalam
segala hal, maka tentulah akan mendapatkan petunjuk dari Allah untuk kemudian
mendapatkan kemenangan tercapai apa yang dicita-citakan bangsa ini. Kejujuran
dan eksistensi merupakan kunci keberhasilan perjuangan. Meski banyak problematika
bangsa yang menerpa, namun dengan karakter manusia terbaik tersebut, maka tetap
akan terbuka jalan keluarnya.
Islam
senantiasa menyeru umatnya untuk meraih kebahagiaan melalui keme-nangan
sebagaimana yang dikumandangkan oleh para muadzin: “Hayya ‘alal falah”.
Akan tetapi, sebagaimana konsep lafadz adzan, untuk meraih kemenangan tersebut
haruslah dilandasi iman yang kuat dengan syahadatain dan pelaksanaan shalat
yang konsisten (“Hayya ‘alash-shalah”). Konsep ini sangat sinkron dengan
al-Qur’an surat al-Ankabut ayat 145: “…shalat itu mencegah dari (perbuatan) keji
dan munkar…” Jika para pelaku pembangunan negeri ini terbebas dari
perbuatan keji dan munkar, tentulah korupsi tidak meraja lela. Dan kemenangan
yang dicita-citakan
para pahlawan pun dapat terwujud.
Perubahan negeri ini ke arah yang
terbaik haruslah dengan jalan damai tanpa anarki. Perubahan untuk menjadikan
Indonesia sebagai baldatun thayyibatun wa rabbun ghafur.
Dan hal tersebut harus dicapai dengan karakter kuat yang berlandaskan iman
takwa sebagaimana tersirat dalam pembukaan UUD 1945: “Berkat rahmat Allah Yang
Maha Kuasa..” teks ini menunjukkan bahwa para pahlawan adalah orang-orang yang
menyadari hanya dengan iman takwalah kemerdekaan dan kemakmuran negeri ini
dapat terwujud sebagaimana tersirat dalam Qur’an Surat an-Nahl ayat 128: “Sesungguhnya
Allah beserta orang-orang yang bertakwa dan berbuat kebaikan.” Oleh karenanya, guna menyiapkan
pahlawan-pahlawan berikutnya, kita tidaklah cukup hanya dengan membekali dengan
ilmu pengetahuan dan rasa nasionalisme saja. Jika kita menginginkan mereka
menjadi pahlawan dengan karakter kuat seperti pahlawan jaman dulu, selayaknya
kita harus membekali mereka dengan beragam ilmu agama yang kuat sebagai
landasan berpikir dan berbuat. Hal mendasar yang harus terpatri dalam otak
setiap orang kita adalah bahwa agama Islam adalah rahmatan lil ‘alamin.
Karena itu berbagai perjuangan untuk menegakkan agama Islam semaksimal mungkin
haruslah dengan cara-cara yang damai dan menyejukkan agar berbagai pihak turut
merasakan indah dan damainya Islam.
Semoga Allah meridhai bangsa ini
agar menjadi bangsa yang merdeka, berdaulat, bermartabat, serta beriman kuat.
Aamiin …
***
Tidak ada komentar:
Posting Komentar