buletin ini terbit secara rutin tiap hari Jum'at di masjid agung RMAA Tjokronegoro Ponorogo

Rabu, 02 November 2016

KENDALI LISAN DAN TANGAN



       Edisi 44 th VII : 04 November 2016 M / 04 Shafar 1438 H
KENDALI LISAN DAN TANGAN
Penulis: ust. Marsudi, S.Pd.I (TPQ al-Mukmin, Bangunsari)
Segala puji hanyalah bagi Allah swt yang telah berfirman dalam al-Qur’an surat an-Nahl ayat 125 yang artinya “serulah (manusia) kepada jalan Tuhan-mu dengan hikmah dan pelajaran yang baik dan bantahlah mereka dengan cara yang baik. Sesungguhnya Tuhanmu, Dialah yang lebih mengetahui tentang siapa yang tersesat dari jalan-Nya dan Dia-lah yang lebih mengetahui orang-orang yang mendapat petunjuk.” Shalawat dan salam semoga tetap tercurah pada nabi Muhammad saw, sang guru sejati bagi seluruh umat manusia sampai akhir jaman, yang memberikan tuntunan terbaik bagaimana cara kita menghadapi setiap masalah dalam kehidupan.
Pada hari ini, saudara-saudara kita sedang menyuarakan aspirasinya di jalan dan tempat-tempat tertentu. Kita semua tentunya berdoa semoga aksi ini benar-benar berlangsung damai dan tidak memperkeruh situasi. Kita juga berharap, melalui aksi ini akan tercapai hasil yang memuaskan berbagai pihak, meskipun secara hitung-hitungan logika, tidaklah mungkin semua pihak akan puas terhadap sebuah hasil yang sama. Ada berbagai “sudut pandang” yang berbeda bahkan mungkin berseberangan, ada “cara pandang” yang tentu juga berbeda, bahkan pasti ada juga “jarak pandang” yang berbeda. Dari berbagai hal tentang “pandangan” terhadap sebuah masalah inilah yang harus kita sikapi dengan bijak. Kita pasti berbeda dengan orang lain, namun bukan berarti kita harus menendang mereka dari daftar teman ataupun saudara seiman kita.

Situasi dan kondisi kota Ponorogo yang juga dikenal sebagai kota santri ini, tentunya harus tetap kita jaga ke-kondusif-annya. Sebagai muslim yang baik, kita bisa melakukan tindakan yang sekiranya tidak menyakiti orang lain, terutama sesama muslim yang mungkin berbeda pendapat dengan kita. Ada sebuah hadits yang harus kita jadikan pegangan saat kita akan melakukan tindakan yang sekiranya berbeda dengan saudara muslim lainnya. Rasulullah saw bersabda

اَلْمُسْلِمُ مَنْ سَلِمَ الْمُسْلِمُوْنَ مِنْ لِسَانِهِ وَيَدِهِ  وَالْمُهَاجِرُ مَنْ هَجَرَ مَانَهَى اللهُ عَنْهُ
Artinya: “Yang disebut muslim (orang islam) yaitu orang yang memberikan rasa selamat tentram damai bagi orang islam lainnya dari lisan dan tangannya, dan yang disebut muhajir (orang yang hijrah) yaitu seseorang yang pindah berpaling dari larangan Allah terhadapnya.” (HR Bukhari dan Muslim).
Pesan Rasulullah saw ini sepertinya sederhana, namun sesungguhnya butuh keteguhan hati untuk mengimplementasikannya. Di era digital dengan beragam media sosial mulai dari WA, FB, BBM dan lain sebagainya, kita bisa menuliskan aspirasi kita sesuka hati kita sebagai pengganti lisan. Namun pada konteks inilah pesan Rasulullah saw dalam hadits tersebut harus kita pegang teguh. Jika kita tidak menjaga lisan kita dalam menyuarakan tulisan, bisa jadi kita menyinggung saudara kita yang memang tidak sependapat dengan kita. Fenomena yang terjadi dalam minggu-minggu terakhir ini, betapa mudah kita menemukan tulisan yang menyebut kata “kafir” – “munafik” – “pengecut” dan sebagainya. Betapa mudah dan entengnya melontarkan tuduhan-tuduhan pada sesama saudara seiman. Dan yang memprihatinkan, tulisan tersebut dibalas dengan hal yang senada. Jadilah media sosial sebagai sarana saling mengejek sesama orang Islam.
Selain perihal menjaga “lisan”, Rasulullah saw juga mengingatkan perihal menjaga “tangan” yang dimaknai sebagi tindakan. Sebagai muslim yang sejati, kita tidak diperkenankan melakukan tindakan-tindakan yang sekiranya membuat muslim lainnya merasa tidak aman dan tidak tentram. Sebagaimana kita ketahui, banyak “tindakan” pertumpahan darah hanya karena berawal dari “lisan”. Hal ini bisa dikategorikan “dhalim” karena memang tidak menempatkan sesuatu pada tempat yang semestinya. Mari kita cermati sabda Rasulullah saw berikut ini

 اِتَّقُواالظُّلْمَ ظُلُمَاتٌ يَوْمَ الْقِيَامَةِ وَاتَّقُواالشُّحَّ اَهْلَكَ مَنْ كَانَ قَبْلَكُمْ حَمَلَهُمْ عَلَى اَنْ سَفَكُوْا دِمَاءَهُمْ وَاسْتَحَلُّوْا مَحَارِمَهُمْ

Artinya: “Takutlah berbuat dhalim karena akan menggelapkan kalian di hari kiamat, dan takutlah pada perilaku kikir, karena hal itu mampu menghancurkan umat terdahulu, hal itu juga yang mengakibatkan terjadinya pertumpahan darah dan nafsu angkara menghalalkan segala cara haram.” (HR Muslim).

            Dari dua hadits tersebut, kita dapat mengambil benang merah, betapa pentingnya menjaga diri kita pribadi khususnya dan jamaah kita pada umumnya terkait dengan peristiwa hari ini. Kita harus menyadari bahwa ada yang berbeda pendapat dengan kita, namun mereka tetap saudara sesama muslim bagi kita. Jangan menganggap mereka musuh. Kita harus tetap menjaga ukhuwah Islamiyah walau apapun yang terjadi. Jangan sampai kekhawatiran Rasulullah saw terjadi di sini, di kota Ponorogo tercinta ini khususnya dan di negara Indonesia pada umumnya. Mari kita cermati kekhawatiran Rasulullah saw yang tercurah dalam salah satu hadits

لاَ تَرْجـِعُوْا بَعْدِى كـُفـَّارًا يَضْرِبُ بَعْضُكُمْ رِقـَابَ بَعْضٍ
Artinya: “Janganlah sepeninggalku kelak kalian kembali kafir yakni saling membunuh, yang satu memenggal leher yang lain.” (HR Bukhari dan Muslim).
            Betapa menyeramkannya kekhawatiran Rasulullah saw. Dan kekhawatiran tersebut sudah menjadi kenyataan di sana, di kawasan Timur Tengah sana, di negrinya para Nabi. Betapa negri-negri yang dipenuhi mayoritas warganya muslim, justru saling berperang membunuh antar kelompok yang tidak sependapat. Bukan hanya perang militer, namun juga menjadi perang sipil yang melibatkan militan yang sebenarnya orang biasa kemudian melakukan tindakan militer. Dalam konteks ini, kita sebagai warga Ponorogo, tentunya mengharapkan keadaan kota ini kondusif meski ada kelompok-kelompok yang berbeda pendapat. Mari kita himbau teman dan saudara kita untuk menjaga lisan dan tangannya demi kemashlahatan bersama. Namun ada baiknya jika kita juga mencermati al-Qur’an surat al-Baqarah ayat 44 yang artinya “Mengapa kamu suruh orang lain (mengerjakan) kebaikan, sedang kamu sendiri melupakan nya, padahal kamu telah membaca kitab? Maka tidakkah kamu berpikir?”. Oleh karena itu, segala sesuatunya mari kita mulai dari diri kita sendiri terlebih dahulu. Semoga Allah meridhai hidup dan mati kita. Aamiin.
***












LUAR BIASANYA ILMU



       Edisi 43 th VII : 28 Oktober 2016 M / 27 Muharram 1438 H
LUAR BIASANYA ILMU
Penulis: ust. Marsudi, S.Pd.I (TPQ al-Mukmin, Bangunsari)
Segala puji hanyalah bagi Allah swt yang telah berfirman dalam al-Qur’an surat az-Zumar ayat 9 yang artinya: "… Adakah sama orang-orang yang mengetahui dengan orang-orang yang tidak mengetahui? Sesungguhnya orang yang berakal lah yang dapat menerima pelajaran.” Shalawat dan salam semoga tetap tercurah pada nabi Muhammad saw, sang guru sejati bagi seluruh umat manusia sampai akhir jaman.
Kami di sini tiap Jum’at bisa menerbitkan buletin Telaga Jiwa ini, dan anda mampu membaca buletin ini. Terkait dengan buletin Telaga Jiwa ini, baik kami maupun anda, tentu tak akan ada artinya bila tanpa ilmu baca-tulis yang kita miliki. Dan dengan ilmu baca-tulis jugalah kita mampu menjelajah dunia yang kita inginkan. Dalam konteks ini, kita bisa melihat betapa besar peran ilmu dalam keseharian kita. Tanpa ilmu yang kita miliki, bagaimana kita bisa terus berkompetisi dalam kehidupan yang keras ini?
Sesungguhnya ilmu merupakan bekal penting bagi kita untuk bertahan hidup. Ilmu bukanlah monoton tentang baca tulis, melainkan tentang segala hal ketrampilan berpikir, bertindak maupun bersikap. Ilmu pada awalnya dapat kita cari melalui bimbingan guru, untuk kemudian jika kita sudah mahir berpikir, bertindak maupun bersikap, maka kita bisa mencari sendiri melalui perenungan, pemikiran, percobaan dan lain sebagainya. Namun betapa pun pandainya kita, hakikatnya kita tetaplah membutuhkan bimbingan guru.

Dari sekian banyak ilmu yang ada di dunia ini, ilmu yang paling urgen atau begitu penting adalah ilmu agama. Jika seseorang pandai ilmu apapun namun bodoh dalam ilmu agama, maka orang tersebut akan merasakan kehampaan hati dan jiwa. Ilmu agama yang dimaksud dalam konteks ini adalah ilmu yang diamalkan atau diwujudkan dalam kehidupan sehari-hari, bukan cuma ilmu yang ada dalam pikiran dan teoritis semata. Ilmu agama yang diamalkan tentu akan menyediakan imbal balik yang luar biasa. Ilmu agama tersebut akan membuat si pengamalnya mendapatkan titel “orang baik”. Rasulullah saw bersabda dalam sebuah hadits:
مَنْ يُرِدِ اللهُ بِهِ خَيْرًا يُفَقّـِهْهُ فِى الدّ ِيْنِ
Artinya: “Barangsiapa dikehendaki oleh Allah menjadi orang baik, maka Allah membuatnya pandai (faqih) dalam ilmu agama.” (HR Bukhari dan Muslim).
            Seorang faqih (pandai ilmu agama) tentu akan menjadi orang yang dibutuhkan masyarakat. Entah dalam skala masyarakat besar ataupun kecil, bimbingan dan pengarahannya akan sangat membantu terwujudnya masyarakat yang ideal. Dan dalam hal ini, Allah memberikan imbalan yang luar biasa bagi siapapun yang dengan ilmunya membantu orang lain menunjukkan ke arah yang benar. Rasulullah saw memberikan gambaran penjelasan dalam hadits
مَنْ دَعَا أِلَى هُدًى كَانَ لَهُ مِنَ الْاَجْرِ مِثْلُ أُجُوْرِ مَنْ تَبِعَهُ لاَ يَنْقُصُ ذَلِكَ مِنْ أُجُوْرِهِمْ شَيْئًا
Artinya: “Barangsiapa membimbing orang lain ke arah petunjuk jalan yang benar maka baginya pahala sejumlah orang yang mengikutinya dalam petunjuk tersebut dengan tiada mengurangi sedikitpun dari pahala mereka. (HR Muslim). Dari hadits ini kita bisa melihat betapa luar biasanya sebuah ilmu. Kita bisa mendapatkan banyak pahala yang terus mengalir dari orang lain tanpa kita sadari. Bayangkan jika kita membimbing seseorang agar mampu mengucapkan lafadz basmalah dengan benar. Kemudian orang yang kita bimbing tersebut setiap hari berkali-kali melafadzkan basmalah dengan benar sesuai apa yang kita ajarkan. Padahal melafadzkan basmalah pahalanya sama dengan 19 kebaikan karena melafadzkan satu huruf dari al-Qur’an pahalanya sama dengan satu kebaikan. Inilah sejatinya yang disebut dengan the real Level-Multi-Marketing, kerja keras yang sedikit lalu menghasilkan banyak sekali hasil yang terus mengalir pada kita. Oleh karena inilah kita diperbolehkan “iri” pada orang yang berilmu sebagaimana hadits Rasulullah saw
لاَ حَسَدَ اِلاّ َ فِى اثْنَتَيْنِ :  رَجُل ٌ اَتَاهُ اللهُ مَالاً فَسَلّـَطَهُ عَلَى هَلَكَتِهِ فِى الْحَقّ ِ  وَرَجُلٌ أَتَاهُ اللهُ الْحِكْمَةَ فَهُوَ يَقْضِى بِهَا وَيُعَلّـِمُهَا
Artinya: “Tiada diperbolehkkan iri hati (menginginkan sesuatu yang ada pada orang lain) kecuali dalam dua perkara, yaitu (pertama) iri pada orang yang diberi harta oleh Allah lalu memanfaatkannya untuk kepentingan yang haq (benar), dan (kedua) iri pada orang yang diberi hikmah ilmu pengetahuan oleh Allah lalu mempraktekkannya dalam kehidupannya serta mengajarkan ilmu pengetahuan tersebut.” (HR Bukhari dan Muslim).

Dalam konteks hadits tersebut, iri yang dimaksud adalah keinginan kita untuk menjadi seperti orang-orang yang berilmu. Keinginan tersebut kita wujudkan dengan segala upaya untuk mencari ilmu dari guru maupun sumber-sumber yang terpercaya. Dan ternyata, hal seperti ini pun mendapatkan apresiasi yang luar biasa dari Allah, sebagaimana tersirat dari hadits Rasulullah saw
وَمَنْ سَلَكَ طَرِيْقًا يَلْتَمِسُ فِيْهِ عِلْمًا سَهّـَلَ اللهُ طَرِيْقًا أِلَى الْجَنَّةِ
Artinya: Dan barangsiapa menempuh suatu jalan demi mencari ilmu, pasti Allah memudahkan baginya jalan menuju surga. (HR Muslim). Siapapun orang yang mencari ilmu, ternyata diapresiasi oleh Allah sama dengan orang yang mencari surga. Padahal orang yang mencari surga itu sama saja dengan mencari pahala. Pencarian ilmu ini, selain dengan cara menemui sang guru melalui sekolah, madrasah, pesantren, majlis ta’lim dan sejenisnya, dapat juga melalui sumber-sumber terpercaya semisal kitab-kitab atau buku-buku yang dapat dipertanggungjawabkan. Kemudian setahap demi setahap, kita bisa memasuki dunia ilmu untuk kemudian kita pahami dan lebih lanjut kita praktek dalam kehidupan sehari-hari. Serta jangan lupa untuk berbagi ilmu agar kita mendapat manfaat dari ilmu tersebut. Anjuran untuk berbagi ilmu ini dapat kita cermati dari hadits Rasulullah saw
بَلّـِغُوْا عَنّـِى وَلَوْ اَيَةً ...
Artinya: “Sampaikanlah (ajarkanlah) dariku meskipun hanya satu ayat ...” (HR Bukhari).
            Semoga Allah melimpahkan rahmat dan karunia pada kita semua, sehingga kita mendapatkan kemudahan untuk mendapatkan ilmu dan mendapatkan kemudahan mempraktekannya untuk kemudian merasakan luar biasanya sebuah ilmu. Aamiin.
***