buletin ini terbit secara rutin tiap hari Jum'at di masjid agung RMAA Tjokronegoro Ponorogo

Rabu, 02 November 2016

PRAHARA POLITIK MERENGGUT NYAWA SANG SYAHID



       Edisi 41 th VII : 14 Oktober 2016 M / 13 Muharram 1438 H
PRAHARA POLITIK MERENGGUT NYAWA SANG SYAHID
Penulis: ust. Dana A. Dahlany, Lc (TPQ ad-Darajaat, mayak)
Segala puji hanyalah bagi Allah swt yang telah menciptakan alam semesta sedemikian rupa, kemudian mengaturnya sehingga semuanya bergerak sesuai perintah-Nya, sehingga terbukalah kemudahan bagi manusia untuk menentukan bilangan hari, minggu, bulan dan tahun, sesuai dengan petunjuk dalam al-Qur’an surat Yasin ayat 39-40: “Dan bulanpun telah Kami tetapkan manzilah-manzilahnya sampai ia kembali berbentuk (melengkung) seperti pelepah tua yang kering. Tidaklah mungkin matahari mengejar bulan dan malam mendahului siang. Masing-masing (Kami tetapkan) beredar pada garis edarnya.” Shalawat dan salam semoga senantiasa tercurahkan pada nabi Muhammad saw yang terjaga kesuciannya, beserta keluarga dan putra-putri serta cucu beliau.
Kita sudah memasuki tahun baru hijriyah yang ditandai dengan datangnya bulan Muharram. Salah satu moment penting dalam bulan Muharram selain tanggal 1 adalah tanggal 10 yang biasa kita sebut Asyura. Setiap kali menyambut hari Asyura (10 Muharram), saya kembali teringat sebuah perayaan akbar untuk memperingati haul wafatnya Sayyidina Husein bin Ali radhiyallahu 'anhu dalam tragedi Karbala. Perayaan tersebut dihelat di makam dan masjid Sayyidina Husein di kota Kairo. Konon, di tempat itulah kepala beliau dikuburkan. Lokasinya tak jauh dari masjid Al-Azhar di kawasan Darrasah, Kairo. Hanya berjarak sekitar 100 m dan cuma dipisah jalan raya, masjid Al-Azhar dan masjid Husein termasuk dua masjid yang sering saya

kunjungi selama merantau di negara Mesir. Masjid Al-Azhar sebagai tempat rihlah ilmiah dan masjid Husein untuk rihlah batiniah.
Perayaan haul Imam Husein ra itu dipadati oleh ribuan jamaah dari berbagai daerah, termasuk ratusan pelajar dan pelancong dari luar negeri. Tak hanya dihadiri kaum Sunni, para penganut Syi'ah pun juga tak canggung berbaur untuk bermujahadah bersama di dekat makam Imam Husein ra. Tidak seperti tradisi kaum Syi'ah di Iran yang konon tega melukai diri sendiri saat perayaan Asyura, di Mesir hari Asyura dirayakan dengan lantunan dzikir dan shalawat. Semalam suntuk, mereka rela begadang untuk melantunkan puji-pujian yang ditujukan kepada baginda Nabi saw dan cucu kesayangan beliau, Sayyidina Husein putra Ali ra. Kadang juga digelar sebuah konser mini di depan masjid. Ini bukan konser rock atau orkes dangdut, tapi konser shalawat dan madah yang dinyanyikan oleh vokalis-vokalis sufi serta diiringi alat-alat musik khas Mesir seperti thabla, sejenis ketipung/kendang berbadan langsing yang biasa dimainkan dalam kesenian gambus. Sound systemnya dibuat sekencang mungkin. Tak jarang dentuman suaranya memekakkan telinga orang asing yang belum terbiasa dengan gaya orang Mesir yang suka memutar musik keras-keras.
Di luar itu, kita juga bisa menikmati wisata kuliner yang menjajakan bermacam jenis jajanan dan manisan untuk memeriahkan acara haul cucu sang Rasul. Di beberapa tempat, para tuan rumah membuka pintunya lebar-lebar untuk menyambut tamu jauh yang datang dari berbagai daerah. Mereka tak segan-segan menyembelih unta, sapi atau kambing untuk menjamu para pecinta Ahli Bait yang malam itu sedang merayakan haul Imam Husein.
Itulah kesan yang sempat saya tangkap dari perayaan hari Asyura di Mesir. Suasananya tak beda jauh dengan tradisi masyarakat Ponorogo merayakan puncak grebeg suro di alun-alun kota. Sayyidina Husein memang mempunyai tempat tersendiri di hati warga Mesir, khususnya kaum Sufi. Beliau sangat dihormati padahal belum pernah menginjakkan kaki di bumi para Nabi. Tapi kini, salah satu bagian tubuh beliau yang mulia telah tertanam di sana hingga makamnya tak henti-hentinya dikunjungi peziarah dari berbagai negara.
***
Kedudukan mulia Sayyidina Husein adalah sebuah anugerah yang diberikan Allah kepada beliau. Namun ketinggian derajat itu tidak diraih dengan cuma-cuma. Pengorbanan demi pengorbanan telah dirasakannya sepanjang hidup. Dan salah satu pengorbanan terbesarnya adalah ketika beliau memutuskan untuk "keluar kandang" dari kota Makkah, tempat tinggal beliau menuju "kandang singa" di kota Kufah, Irak. Beliau berniat untuk membela rakyat yang selama ini tertindas dan menerima perlakuan zalim dari penguasa bani Umayyah. Padahal di sanalah markas para prajurit yang punya ambisi untuk membunuh beliau.

Sebenarnya perjalanan tersebut sudah ditentang oleh beberapa sahabat di antaranya Ibnu Zubair, Ibnu Umar dan Ibnu Abbas. Mereka menyarankan kepada sayyidina Husein untuk melawan kekuasaan Yazid bin Mu’awiyah dari Makkah saja, namun sayyidina Husein tetap berangkat membawa rombongan yang berjumlah kurang lebih 80 orang termasuk wanita dan anak-anak. Namun sebelum sampai di kota tujuan, rombongan kecil ini sudah dihadang oleh ribuan pasukan Bani Umayyah yang dikirim oleh gubernur Kufah, Ubaidullah bin Ziyad. Pasukan ini dipimpin Umar bin Sa’ad. Pengepungan rombongan sayyidina Husein terjadi di Karbala, sebelah barat daya dari Baghdad pada tanggal 9 Muharram 61 H. Sayyidina Husein diberi pilihan agar membaiat Yazid bin Mu’awiyah sebagai khalifah atau tetap dikepung.
Akhirnya pada tanggal 10 Muharram 61 H, pertempuran yang tidak seimbang pun tak dapat dielakkan. 80 pengikut sayyidina Husein melawan ribuan tentara Bani Umayyah. Meski tak seimbang, nyatanya pertempuran berlangsung dari pagi sampai sore hari hingga sayyidina Husein beserta pengikutnya menjadi syuhada’. Di akhir pertempuran dengan kejamnya kepala sayyidina Husein dan 71 pengikutnya dipenggal dan diserahkan pada penguasa Bani Umayyah di Mesir. Pembantaian itu hanya menyisakan 3 orang dari anggota keluarga Nabi Muhammad saw yaitu Ummi Kultsum binti Muhammad saw, Zainab binti Ali dan Ali Zainal Abidin bin Husein yang menjadi satu-satunya lelaki yang selamat pada hari nahas itu. Ia bisa selamat karena masih kecil dan sedang sakit. Kisah ini tertulis lengkap dan terperinci dalam kitab sejarah Al-Bidayah wa an-Nihayah karya Syeikh Ibnu Katsir.
Hari Asyura (10 Muharram 61 H) itu menjadi peringatan bagi kita, betapa prahara politik bisa memakan korban siapa saja, termasuk nyawa orang-orang mulia seperti Sayyidina Husein ra cucu kesayangan Baginda Nabi saw. Sifat rakus terhadap harta dan kuasa bisa membutakan mata hati setiap manusia, meskipun ia mengaku Islam dan beriman kepada Allah dan Rasul-Nya. Jika mereka lebih mementingkan ketamakan duniawi dibanding menjaga keamanan dan keselamatan alam semesta, maka pantaskah mereka mengharap kasih sayang Tuhan pemilik jagat raya?
Semoga Allah menyelamatkan kita dari segala prahara politik beserta tipu dayanya. Aamiin … ***








Tidak ada komentar:

Posting Komentar