Edisi 41 th VII : 14 Oktober 2016 M / 13 Muharram 1438 H
PRAHARA POLITIK MERENGGUT NYAWA
SANG SYAHID
Penulis:
ust. Dana A. Dahlany, Lc (TPQ ad-Darajaat, mayak)
Segala puji hanyalah bagi Allah swt yang telah menciptakan alam semesta
sedemikian rupa, kemudian
mengaturnya sehingga semuanya bergerak sesuai perintah-Nya, sehingga terbukalah kemudahan bagi
manusia untuk menentukan bilangan hari, minggu, bulan dan tahun, sesuai dengan
petunjuk dalam al-Qur’an surat Yasin ayat 39-40: “Dan bulanpun telah Kami
tetapkan manzilah-manzilahnya sampai ia kembali berbentuk (melengkung) seperti
pelepah tua yang kering. Tidaklah mungkin matahari mengejar bulan dan malam
mendahului siang. Masing-masing (Kami tetapkan) beredar pada garis edarnya.”
Shalawat dan salam semoga senantiasa tercurahkan pada nabi Muhammad saw
yang terjaga kesuciannya, beserta keluarga dan putra-putri serta cucu beliau.
Kita sudah memasuki tahun baru
hijriyah yang ditandai dengan datangnya bulan Muharram. Salah satu moment
penting dalam bulan Muharram selain tanggal 1 adalah tanggal 10 yang biasa kita
sebut Asyura. Setiap kali menyambut hari Asyura (10 Muharram), saya kembali
teringat sebuah perayaan akbar untuk memperingati haul wafatnya Sayyidina
Husein bin Ali radhiyallahu 'anhu dalam tragedi Karbala. Perayaan
tersebut dihelat di makam dan masjid Sayyidina Husein di kota Kairo. Konon, di
tempat itulah kepala beliau dikuburkan. Lokasinya tak jauh dari masjid Al-Azhar
di kawasan Darrasah, Kairo. Hanya berjarak sekitar 100 m dan cuma dipisah jalan
raya, masjid Al-Azhar dan masjid Husein termasuk dua masjid yang sering saya
kunjungi selama merantau di
negara Mesir. Masjid Al-Azhar sebagai tempat rihlah ilmiah dan masjid
Husein untuk rihlah batiniah.
Perayaan haul Imam Husein ra itu dipadati oleh
ribuan jamaah dari berbagai daerah, termasuk ratusan pelajar dan pelancong dari
luar negeri. Tak hanya dihadiri kaum Sunni, para penganut Syi'ah pun juga tak
canggung berbaur untuk bermujahadah bersama di dekat makam Imam Husein ra. Tidak seperti tradisi
kaum Syi'ah di Iran yang konon tega melukai diri sendiri saat perayaan Asyura,
di Mesir hari Asyura dirayakan dengan lantunan dzikir dan shalawat. Semalam
suntuk, mereka rela begadang untuk melantunkan puji-pujian yang ditujukan
kepada baginda Nabi saw dan cucu kesayangan beliau, Sayyidina Husein putra Ali ra. Kadang juga digelar
sebuah konser mini di depan masjid. Ini bukan konser rock atau orkes dangdut,
tapi konser shalawat dan madah yang dinyanyikan oleh vokalis-vokalis
sufi serta diiringi alat-alat musik khas Mesir seperti thabla, sejenis
ketipung/kendang berbadan langsing yang biasa dimainkan dalam kesenian gambus. Sound
systemnya dibuat sekencang mungkin. Tak jarang dentuman suaranya memekakkan
telinga orang asing yang belum terbiasa dengan gaya orang Mesir yang suka
memutar musik keras-keras.
Di luar itu,
kita juga bisa menikmati wisata kuliner yang menjajakan bermacam jenis jajanan
dan manisan untuk memeriahkan acara haul cucu sang Rasul. Di beberapa tempat,
para tuan rumah membuka pintunya lebar-lebar untuk menyambut tamu jauh yang
datang dari berbagai daerah. Mereka tak segan-segan menyembelih unta, sapi atau
kambing untuk menjamu para pecinta Ahli Bait yang malam itu sedang
merayakan haul Imam Husein.
Itulah kesan
yang sempat saya tangkap dari perayaan hari Asyura di Mesir. Suasananya tak beda
jauh dengan tradisi masyarakat Ponorogo merayakan puncak grebeg suro di
alun-alun kota. Sayyidina Husein memang mempunyai tempat tersendiri di hati
warga Mesir, khususnya kaum Sufi. Beliau sangat dihormati padahal belum pernah
menginjakkan kaki di bumi para Nabi. Tapi kini, salah satu bagian tubuh beliau
yang mulia telah tertanam di sana hingga makamnya tak henti-hentinya dikunjungi
peziarah dari berbagai negara.
***
Kedudukan
mulia Sayyidina Husein adalah sebuah anugerah yang diberikan Allah kepada beliau.
Namun ketinggian derajat itu tidak diraih dengan cuma-cuma. Pengorbanan demi
pengorbanan telah dirasakannya sepanjang hidup. Dan salah satu pengorbanan
terbesarnya adalah ketika beliau memutuskan untuk "keluar kandang"
dari kota Makkah, tempat tinggal beliau menuju "kandang singa" di
kota Kufah, Irak. Beliau berniat untuk membela rakyat yang selama ini tertindas
dan menerima perlakuan zalim dari penguasa bani Umayyah. Padahal di sanalah markas
para prajurit yang punya ambisi untuk membunuh beliau.
Sebenarnya
perjalanan tersebut sudah ditentang oleh beberapa sahabat di antaranya Ibnu
Zubair, Ibnu Umar dan Ibnu Abbas. Mereka menyarankan kepada sayyidina Husein
untuk melawan kekuasaan Yazid bin Mu’awiyah dari Makkah saja, namun sayyidina
Husein tetap berangkat membawa rombongan yang berjumlah kurang lebih 80 orang
termasuk wanita dan anak-anak. Namun sebelum sampai di kota tujuan, rombongan
kecil ini sudah dihadang oleh ribuan pasukan Bani Umayyah yang dikirim oleh
gubernur Kufah, Ubaidullah bin Ziyad. Pasukan ini dipimpin Umar bin Sa’ad. Pengepungan
rombongan sayyidina Husein terjadi di Karbala, sebelah barat daya dari Baghdad
pada tanggal 9 Muharram 61 H. Sayyidina Husein diberi pilihan agar membaiat
Yazid bin Mu’awiyah sebagai khalifah atau tetap dikepung.
Akhirnya pada
tanggal 10 Muharram 61 H, pertempuran yang tidak seimbang pun tak dapat
dielakkan. 80 pengikut sayyidina Husein melawan ribuan tentara Bani Umayyah.
Meski tak seimbang, nyatanya pertempuran berlangsung dari pagi sampai sore hari
hingga sayyidina Husein beserta pengikutnya menjadi syuhada’. Di akhir
pertempuran dengan kejamnya kepala sayyidina Husein dan 71 pengikutnya
dipenggal dan diserahkan pada penguasa Bani Umayyah di Mesir. Pembantaian itu
hanya menyisakan 3 orang dari anggota keluarga Nabi Muhammad saw yaitu Ummi
Kultsum binti Muhammad saw, Zainab binti Ali dan Ali Zainal Abidin bin Husein
yang menjadi satu-satunya lelaki yang selamat pada hari nahas itu. Ia bisa
selamat karena masih kecil dan sedang sakit. Kisah ini tertulis lengkap dan
terperinci dalam kitab sejarah Al-Bidayah wa an-Nihayah karya Syeikh
Ibnu Katsir.
Hari Asyura
(10 Muharram 61 H) itu menjadi peringatan bagi kita, betapa prahara politik
bisa memakan korban siapa saja, termasuk nyawa orang-orang mulia seperti
Sayyidina Husein ra cucu kesayangan Baginda Nabi saw. Sifat rakus terhadap
harta dan kuasa bisa membutakan mata hati setiap manusia, meskipun ia mengaku
Islam dan beriman kepada Allah dan Rasul-Nya. Jika mereka lebih mementingkan
ketamakan duniawi dibanding menjaga keamanan dan keselamatan alam semesta, maka
pantaskah mereka mengharap kasih sayang Tuhan pemilik jagat raya?
Semoga Allah
menyelamatkan kita dari segala prahara politik beserta tipu dayanya. Aamiin …
***
Tidak ada komentar:
Posting Komentar