Edisi 11 th VIII : 17 Maret 2017 M / 18 Jumadits Tsani
1438 H
CUKUPLAH KEMATIAN MENJADI
PELAJARAN
Penulis:
Herul Sabana, S.E (Mayak, Tonatan)
Segala puji hanyalah bagi
Allah yang telah berfirman dalam al-Qur’an surat al-Anbiya’ ayat 35 yang
artinya: “Tiap-tiap yang berjiwa akan merasakan mati. Kami akan menguji
kamu dengan keburukan dan kebaikan sebagai cobaan (yang sebenar-benarnya). dan
hanya kepada Kami-lah kamu dikembalikan.” Shalawat dan salam semoga
tercurah pada baginda pamungkas para Nabi dan Rasul yaitu Nabi Muhammad saw,
yang meskipun merupakan manusia paling istimewa yang pernah ada di dunia, namun
kenyataannya tetap juga kembali kepada Sang Pencipta-nya.
Kita hidup di dunia yang fana.
Ada dua hal yang senantiasa berpasang-pasangan, ada laki-laki dan ada wanita,
ada langit dan ada bumi, ada siang dan ada malam, begitu juga ada hidup maka
pasti ada pula mati. Tak ada suatu makhluk apapun di dunia ini yang bisa hidup
abadi. Di film, barangkali kita mengenal ada drakula yang hidup abadi dengan
menghisap darah, ada pula highlander yang merupakan manusia abadi yang tak
pernah menua dan mati. Tapi semua itu hanyalah cerita fiktif yang tidak terjadi
secara nyata. Realita yang kita temui, manusia pasti mati entah kapan waktunya.
Dan yang harus kita pahami adalah bahwa kematian datang tidak memandang waktu,
tempat, maupun pangkat. Seorang pengemis bisa saja meninggal dunia di kasur
empuk rumah sakit. Seorang pejabat tinggi bisa juga meninggal dunia di tengah
jalan dalam serangan jantung mendadak. Malaikat ‘Izrail memang tidak peduli
siapapun dan di manapun targetnya, bahkan sang malaikat ini sulit terdeteksi
kedatangannya.
Marilah kita
senantiasa meningkatkan keimanan dan ketaqwaan kepada Allah swt dengan
senantiasa meningkatkan amal shalih seraya mendekatkan diri kepada-Nya serta
menjauhi segala bentuk kemaksiatan yang mendatangkan adzab dan siksa dari Allah
swt. Hal seperti ini memang harus dilakukan karena kita tidak akan pernah
mengetahui sampai batas kapan umur kita. Disebutkan dalam al-Qur’an surat
al-A’raf ayat 34 yang artinya: “Tiap-tiap
umat memiliki batas waktu. Maka apabila telah datang waktunya mereka tidak
dapat mengundurkannya walau sesaatpun dan tidak dapat (pula) memajukannya.” Meskipun
ayat ini menyebut kata umat yang kemudian ditafsirkan sebagai masa kejayaan
suatu umat atau bangsa, namun dapat juga ditafsirkan sebagai individu manusia
yang memiliki batas waktu kehidupan di dunia. Oleh karenanya ayat ini dapat
dikaitkan dengan Surat Ali Imran ayat 102 yang artinya: “Hai orang-orang
yang beriman, bertakwalah kepada Allah dengan sebenar-benar takwa kepada-Nya,
dan janganlah sekali-kali kamu mati melainkan dalam keadaan beragama Islam.” Kemudian
ayat ini mengisyaratkan betapa pentingnya menjaga ketakwaan yang menjadi
landasan dasar bagi semua amal ibadah manusia. Dengan semakin meningkatnya
ketakwaan, maka tentunya semakin bagus kualitas dan kuantitas ibadah seseorang.
Dengan begitu persiapan bekal untuk kehidupan setelah kematianpun akan terasa
semakin mantap.
Bagaimanapun
kematian adalah sesuatu yang pasti akan menimpa manusia, sebagaimana tersirat
dalam al-Qur’an surat al-Anbiyaa’ ayat 35 yang artinya: “Tiap-tiap yang berjiwa
(bernyawa) pastilah menemui kematian …” Oleh
karena itu kita haruslah mempersiapkan diri terhadap kematian yang datangnya
tidak akan pernah memberi kabar terlebih dahulu. Dalam rangka persiapan tersebut,
ada beberapa hal yang harus dilakukan diantaranya adalah dzikrul maut
(mengingat kematian). Adapun dzikrul
maut ini bukan berarti menjadikan kita pesimistis terhadap kehidupan
dunia kemudian melalaikan pekerjaan untuk mencari nafkah dan bersosialisasi dengan
orang lain. Akan tetapi justru akan menjadi sugesti diri untuk menjadi manusia
yang selalu terus bersemangat dalam hal-hal kebaikan dan setelah mati nanti
akan dikenang sebagai orang baik.
Dengan senantiasa dzikrul maut mengingat mati, diharapkan kita akan tersadar
untuk lebih memperbaiki amal ibadah. Rasulullah pun bersabda dalam hadits yang
diriwayatkan oleh Ibnu Majah yang artinya: “Cukuplah kematian menjadi
pelajaran bagimu.”
Sebelum kematian, tentunya kita memang hidup
di dunia ini. Dan setiap manusia yang hidup di dunia ini selain diberi
nikmat, juga akan diberi ujian dunia. Ujian tidak selamanya berupa keburukan
dan musibah. Ujian dapat berupa kemiskinan, kekurangan fisik, “nasib” yang terasa
selalu sial, dan sebagainya. Namun ujian juga dapat berupa pangkat jabatan,
kekayaan, ketampanan, kecantikan, dan sebagainya.
Khalifah Umar
ibn Khattab diuji dengan pangkat khalifah yang diamanatkan kepadanya. Namun
beliau selalu takut berbuat sesuatu yang sekiranya menyalahi amanat tersebut.
Dalam sebuah kisah diceritakan bahwa putra beliau merasa malu dengan banyaknya
tambalan yang melekat di baju yang dikenakannya setiap hari. Maka diapun
merengek-rengek pada sang ayah yang merupakan khalifah dari sebuah Negara yang
sangat luas wilayahnya, demi hanya meminta baju baru yang lebih pantas
dikenakan. Melihat kesedihan putranya, khalifah Umar pun mendatangi bendahara
negara untuk sekedar meminjam uang guna membelikan baju sang putra. Namun
respon jawaban dari bendahara kas negara sungguh mengagetkan sekaligus
menjadikan bahan renungan mendalam bagi sang khalifah. Si bendahara kas Negara
berkata: “Wahai Khalifah, apakah engkau
menjamin akan mengembalikan uang ini?” Maka yang ada dalam pikiran khalifah
Umar bukanlah apakah ia nanti akan punya uang untuk mengembalikannya, melainkan
apakah ia nanti masih memiliki waktu untuk mengembalikan jika berhutang pada
negara, mengingat bahwa kematian akan datang tanpa permisi terlebih dulu. Akhirnya
khalifah Umar pun mengurungkaan niatnya karena takut menanggung hutang.
Karena hidup di
dunia tidak abadi, maka setiap manusia pastilah mati dan sampai di alam kubur.
Pada hakikatnya, hidup di dunia ini adalah untuk mengabdi pada Allah sehingga
mendapatkan rahmat serta ridha-Nya. Karena itulah kita diberi tuntunan oleh
Rasulullah saw agar tidak salah langkah dalam pencarian rahmat serta ridha
tersebut. Tuntunan Rasulullah saw yang terangkum dalam konsep keimanan dan
ketakwaan akan menjadikan kita sebagai manusia yang seutuhnya, menjadi insan
kamil yang mendapatkan kebahagiaan di dunia dan juga di akhirat. Adapun
yang lebih penting sesungguhnya adalah kebahagiaan akhirat karena kehidupan
akhirat adalah abadi sedang kehidupan dunia adalah hanya sementara saja.
Semoga Allah
meridhai kita agar senantiasa mampu dzikrul maut dan senantiasa
bersemangat untuk segera berbuat kebaikan guna bekal kita dalam perjalanan yang
teramat panjang sejak liang kubur, mengalami hari kebangkitan, melewati padang
mahsyar dan sampai yaumul hisab. Aamiin.
***
Tidak ada komentar:
Posting Komentar