buletin ini terbit secara rutin tiap hari Jum'at di masjid agung RMAA Tjokronegoro Ponorogo

Selasa, 27 Agustus 2013

KAJIAN PSIKOLOGIS DALAM PENDIDIKAN ANAK MUSLIM








Mengalirkan pengetahuan, menyejukkan nurani

 
Bulletin
TELAGA JIWA
Susunan Redaksi:
Pembina:
MABIN TPQ Ma’arif NU Ponorogo.
Penanggung Jawab:
Ketua TPQ Ma’arif NU Kortan Ponorogo.  
Manager:
Mahfud
Redaktur:
Hadi PS, Dana AD, Eri WH, Rohmanuddin, Wasis W, Asyif NH.
Editor:   
Marsudi
Keuangan:
Herul Sabana
Alamat Redaksi:
Ponpes Hudatul Muna Jenes Brotonegaran Ponorogo.
Contact Persons: 
085233977218 dan 085235666984
Website:
Bulletin Telaga Jiwa TPQ NU Kortan Ponorogo (*9)
group facebook:
TELAGA JIWA TPQ NU Koortan Ponorogo

 
Edisi  22 th IV :  30 Agustus 2013 M / 23 Syawal 1434 H
KAJIAN PSIKOLOGIS DALAM PENDIDIKAN ANAK MUSLIM
Penulis: Ust. Marsudi (TPQ ad-Darajaat, Mayak)
Segala puji hanyalah bagi Allah swt yang telah berfirman dalam al-Qur’an surat al-‘Alaq ayat 1: “Bacalah, dengan (menyebut) nama Tuhanmu yang Mencip-takan.” Shalawat dan salam semoga tetap tercurah pada Nabi Muhammad saw sebagai manusia teristimewa, sang revolusioner sejati dalam pendidikan jiwa manusia menuju insan kamil yang sempurna lahir batinnya.
Jika kita telaah lebih teliti, hakikat dari lafadz iqra’ dalam surat al-‘Alaq ayat 1 tersebut di atas merupakan sebuah perintah agar manusia senantiasa belajar sehing-ga tidak terjebak dalam kebodohan. Menurut ilmu asbabun-nuzul, wahyu pertama ini turun saat nabi Muhammad saw sendirian di gua hira’, sedang beliau adalah seorang yang tidak bisa baca-tulis. Lalu kenapa disuruh “membaca”. Maka kita dapat menarik kesimpulan bahwa perintah “membaca” tersebut pada hakikatnya ditujukan bagi selu-ruh umat manusia, dengan asumsi bahwa “membaca” identik dengan belajar. Namun belajar bukanlah sembarang belajar, melainkan belajar yang dilandasi dengan iman dan takwa yang diindikasikan dengan lafadz “… bismi rabbikal-ladzi khalaq”. Dalam ruang lingkup yang lebih luas, belajar ini disebut juga pendidikan.
Pendidikan adalah sebuah proses untuk mempengaruhi orang lain agar menja-di seperti yang dimaksud. Sejalan dengan pengertian tersebut maka Pendidikan Islam didefinisikan sebagai suatu proses perubahan individu agar menjadi lebih baik menu-rut agama Islam. Dalam konsep ini, seringkali kita mendengar khatib jum’at mengu-mandangkan ayat ke-102 dari surat Ali Imran: “Hai orang-orang yang beriman, ber-takwalah kepada Allah dengan sebenar-benar takwa kepada-Nya, dan janganlah sekali-kali kamu mati melainkan dalam keadaan beragama Islam.” Pesan agar “jangan mati kecuali dalam keadaan Islam” ini merupakan sebuah isyarat bahwa pendidikan merupakan proses panjang tiada henti sampai kematian datang, sebab jika berhenti pada suatu waktu maka bisa jadi landasan iman dan takwa menjadi terkikis.
Kita tentu sudah mengenal sebuah hadits masyhur yang menyebutkan: “Ca-rilah ilmu sejak dari buaian hingga liang lahat.” Ini artinya pendidikan seumur hidup sudah harus dimulai sejak usia sangat dini dan berakhir jika sudah mencapai husnul khatimah. Dari perspektif psikologis, proses pendidikan sejak usia sangat dini tersebutlah sangatlah tepat. Adapun dalam pendidikan Islam, masa bayi ketika masih dalam buaian juga merupakan masa penting. Hal yang harus didengar secara seksa-ma oleh bayi yang baru lahir adalah adzan yang dikumandangkan di telinga kanan dan iqamah di telinga kiri. Ajakan untuk bersyahadat, shalat serta menuju kebaha-giaan ini mengiringi beberapa tahapan penyesuaian bayi yang baru memasuki dunia baru setelah meninggalkan dunia rahim ibu. Penyesuaian tersebut diantaranya: pe-nyesuaian perubahan temperatur (temperatur dalam rahim ibu berkisar 36 derajat celcius, sedang di luarnya berkisar 20 derajat celcius dan bisa berubah-ubah), pe-nyesuaian system pernapasan, konsumsi dan pembuangan (dalam rahim ibu, semua system melalui plasenta dari tali pusat).
Kemudian masa bayi yang merupakan masa ketergantungan akan berakhir sekitar tahun ke-2, dan si bayi akan memasuki masa kanak-kanak yang merupakan masa pertumbuhan kemandirian. Para ahli psikologi Barat menyebut masa kanak-kanak sebagai periode diletakkannya dasar struktur perilaku kompleks yang di-bangun sepanjang kehidupan. Masa ini disebut juga masa meniru, yaitu si anak men-jadi peniru ulung dengan cara meniru pembicaraan maupun perbuatan orang lain tanpa perlu mengetahui apa makna yang ditirunya tersebut.
Pada usia 5 tahun, pertumbuhan otak seorang anak sudah mencapai 75% dari ukuran otak orang dewasa. Bahkan pada usia 6 tahun sudah mencapai 90%-nya. Oleh karenanya masa kanak-kanak menjadi masa yang potensial untuk mempelajari sesuatu. Intelektualnya berkembang dengan cepat, sehingga para ahli psikologi me-nyebutnya “periode emas”. John Piaget (ahli psikologi) mengkategorikan masa ini sebagai tahap berpikir pra operasional dan membaginya dalam dua bagian, yaitu umur 2-4 tahun dengan perkembangan pemikiran simbolis dan umur 4-7 tahun dengan perkembangan intuitif. Dalam ajaran Islam, diterangkan dalam surat Luqman ayat 14: “Dan Kami perintahkan kepada manusia (berbuat baik) kepada kedua orang ibu bapanya; ibunya telah mengandungnya dalam keadaan lemah yang bertambah-tambah, dan menyapihnya dalam dua tahun, bersyukurlah kepadaKu dan kepada dua orang ibu bapakmu, hanya kepada-Kulah kembalimu.” Maka terlihat jelas bahwa masa bayi menurut Islam memang berakhir sejak penyapihan pada usia 2 tahun. Kemudian hal yang harus dilakukan oleh orang tua setelah si anak keluar dari masa bayi adalah dengan mulai mendidiknya. Pendidikan keluarga menja di sangat penting bagi si anak untuk membentenginya dari pengaruh negative lingku-ngan sosialnya. Pendidikan dengan menggunakan symbol akan sangat efektif dalam masa ini. Misalnya jika terdengar adzan dari masjid atau mushala, maka si anak diberikan songkok atau mukena kecil. Stimulus ini akan membuat si anak meminta songkok atau mukena saat mendengar adzan berkumandang. Namun harus diingat bahwa masa kanak-kanak awal ini merupakan masa bermain, sehingga Ki Hadjar Dewantara (tokoh pejuang pendidikan nasional) menganjurkan agar pada masa usia dini, anak jangan dicabut dari suasana keluarga dan dunia bermain. Bahkan Bruner (tokoh psikologi Barat) mengkonsep bahwa bermain merupakan “kegiatan yang serius” bagi anak. Karena itulah, pada masa ini, kegiatan shalatpun dianggap ber-main bagi anak. Mereka masih bersifat egocentris yaitu memandang segala sesuatu dari perspektif mereka sendiri. Jangan terlalu berharap mereka dapat melakukan shalat dengan tenang sebagaimana anak usia remaja.

Selain itu, pendidikan tentang budi pekerti juga sangat urgen bagi kehidupan masa kanak-kanak awal. Jika kita mendapati seorang anak bertindak semaunya sendiri dan menjadi trouble maker, maka secara otomatis orang-orang akan bertanya: siapa sih orang tuanya? Dalam hal ini secara implisit mereka menyalahkan orang tua yang tidak mampu mendidik anaknya. Secara psikologis, menurut Dr. Langeveld bahwa konsep pendidikan dapat diterima individu sejak usia tiga setengah tahun. Maka jauh sebelum konsep para ahli psikologi Barat ini dikemukakan, Islam sudah terlebih dahulu mengajukan konsepnya melalui berbagai hal yang diajarkan nabi Muhammad saw, seperti sebuah hadits: “Sahabat Ayub bin Musa meriwayatkan hadits dari ayahnya dari kakeknya, bahwa Rasulullah saw telah bersabda: "Mendidik budi pekerti luhur kepada anak lebih utama daripada bersedekah setakar buah kurma." (HR. Tirmidzi, dan menurutnya termasuk hadis hasan). Hadits ini menunjukkan sebuah konsep bahwa pendidikan lebih utama dari harta atau apapun. Jika para ahli psikologi Barat menyebut masa kanak-kanak sebagai periode diletakkannya dasar struktur perilaku kompleks yang dibangun sepanjang kehidupan, maka Islam mengkonsep bahwa mendidik anak dengan baik dapat menjadi investasi luar biasa dalam kehidupan dunia akhirat. Seorang anak shalih yang mau mendoakan orang tuanya akan menjadi amal yang tiada putus meski si orang tua sebagai aktor pembentuk keshalihan si anak telah wafat. Bahkan jika orang tua mampu juga mendidik anaknya dan pendidikan tersebut terus diimple-mentasikan oleh si anak, maka ini juga menjadi amal yang tiada putus.
Semoga kita benar-benar mampu mendidik generasi muda kita dengan lebih baik dengan metode-metode baru yang sinkron dengan perkembangan mereka seba-gaimana difatwakan oleh khalifah Ali bin Abi Thalib: Didiklah anak-anakmu, karena mereka diciptakan untuk jamannya bukan jamanmu.” Semoga Allah melimpahkan ridho-Nya. Aamiin.
*********