Mengalirkan pengetahuan, menyejukkan nurani
Bulletin
TELAGA JIWA
Susunan Redaksi:
Pembina:
MABIN TPQ Ma’arif NU Ponorogo.
Penanggung Jawab:
Ketua TPQ Ma’arif NU Kortan Ponorogo.
Manager:
Mahfud
Redaktur:
Hadi PS, Dana AD, Eri WH, Rohmanuddin, Wasis W, Asyif
NH.
Editor:
Marsudi
Keuangan:
Herul Sabana
Alamat Redaksi:
Ponpes Hudatul Muna Jenes Brotonegaran Ponorogo.
Contact Persons:
085233977218 dan 085235666984
Website:
Bulletin Telaga Jiwa TPQ NU Kortan
Ponorogo (*9)
group
facebook:
TELAGA JIWA TPQ NU Koortan Ponorogo
Edisi 22 th IV :
30 Agustus 2013 M / 23 Syawal 1434 H
KAJIAN
PSIKOLOGIS DALAM PENDIDIKAN ANAK MUSLIM
Penulis: Ust. Marsudi (TPQ ad-Darajaat, Mayak)
Segala puji hanyalah bagi Allah swt yang telah berfirman
dalam al-Qur’an surat al-‘Alaq ayat 1: “Bacalah, dengan (menyebut) nama
Tuhanmu yang Mencip-takan.” Shalawat dan salam semoga tetap tercurah
pada Nabi Muhammad saw sebagai manusia teristimewa, sang revolusioner sejati
dalam pendidikan jiwa manusia menuju insan kamil yang sempurna lahir
batinnya.
Jika kita telaah lebih teliti, hakikat dari lafadz iqra’
dalam surat al-‘Alaq ayat 1 tersebut di atas merupakan sebuah perintah agar
manusia senantiasa belajar sehing-ga tidak terjebak dalam kebodohan. Menurut
ilmu asbabun-nuzul, wahyu pertama ini turun saat nabi Muhammad saw
sendirian di gua hira’, sedang beliau adalah seorang yang tidak bisa
baca-tulis. Lalu kenapa disuruh “membaca”. Maka kita dapat menarik kesimpulan
bahwa perintah “membaca” tersebut pada hakikatnya ditujukan bagi selu-ruh umat
manusia, dengan asumsi bahwa “membaca” identik dengan belajar. Namun belajar
bukanlah sembarang belajar, melainkan belajar yang dilandasi dengan iman dan
takwa yang diindikasikan dengan lafadz “… bismi rabbikal-ladzi khalaq”.
Dalam ruang lingkup yang lebih luas, belajar ini disebut juga pendidikan.
Pendidikan adalah sebuah proses
untuk mempengaruhi orang lain agar menja-di seperti yang dimaksud. Sejalan
dengan pengertian tersebut maka Pendidikan Islam didefinisikan sebagai suatu
proses perubahan individu agar menjadi lebih baik menu-rut agama Islam. Dalam
konsep ini, seringkali kita mendengar khatib jum’at mengu-mandangkan ayat
ke-102 dari surat
Ali Imran: “Hai orang-orang yang
beriman, ber-takwalah kepada Allah dengan
sebenar-benar takwa kepada-Nya, dan janganlah sekali-kali kamu mati melainkan
dalam keadaan beragama Islam.” Pesan agar “jangan mati kecuali dalam keadaan Islam” ini
merupakan sebuah isyarat bahwa pendidikan merupakan proses panjang tiada henti
sampai kematian datang, sebab jika berhenti pada suatu waktu maka bisa jadi
landasan iman dan takwa menjadi terkikis.
Kita tentu sudah mengenal sebuah hadits masyhur yang
menyebutkan: “Ca-rilah ilmu sejak dari buaian hingga liang lahat.”
Ini artinya pendidikan seumur hidup sudah harus dimulai sejak usia sangat dini
dan berakhir jika sudah mencapai husnul khatimah. Dari perspektif
psikologis, proses pendidikan sejak usia sangat dini tersebutlah sangatlah
tepat. Adapun dalam pendidikan Islam, masa bayi ketika masih dalam buaian juga
merupakan masa penting. Hal yang harus didengar secara seksa-ma oleh bayi yang
baru lahir adalah adzan yang dikumandangkan di telinga kanan dan iqamah di
telinga kiri. Ajakan untuk bersyahadat, shalat serta menuju kebaha-giaan ini
mengiringi beberapa tahapan penyesuaian bayi yang baru memasuki dunia baru setelah
meninggalkan dunia rahim ibu. Penyesuaian tersebut diantaranya: pe-nyesuaian
perubahan temperatur (temperatur dalam rahim ibu berkisar 36 derajat celcius,
sedang di luarnya berkisar 20 derajat celcius dan bisa berubah-ubah), pe-nyesuaian
system pernapasan, konsumsi dan pembuangan (dalam rahim ibu, semua system
melalui plasenta dari tali pusat).
Kemudian masa bayi yang merupakan masa
ketergantungan akan berakhir sekitar tahun ke-2, dan si bayi akan memasuki masa
kanak-kanak yang merupakan masa pertumbuhan kemandirian. Para ahli psikologi
Barat menyebut masa kanak-kanak sebagai periode diletakkannya dasar struktur
perilaku kompleks yang di-bangun sepanjang kehidupan. Masa ini disebut juga
masa meniru, yaitu si anak men-jadi peniru ulung dengan cara meniru pembicaraan
maupun perbuatan orang lain tanpa perlu mengetahui apa makna yang ditirunya
tersebut.
Pada usia 5 tahun, pertumbuhan otak seorang
anak sudah mencapai 75% dari ukuran otak orang dewasa. Bahkan pada usia 6 tahun
sudah mencapai 90%-nya. Oleh karenanya masa kanak-kanak menjadi masa yang
potensial untuk mempelajari sesuatu. Intelektualnya berkembang dengan cepat,
sehingga para ahli psikologi me-nyebutnya “periode emas”. John Piaget (ahli
psikologi) mengkategorikan masa ini sebagai tahap berpikir pra operasional dan
membaginya dalam dua bagian, yaitu umur 2-4 tahun dengan perkembangan pemikiran
simbolis dan umur 4-7 tahun dengan perkembangan intuitif. Dalam ajaran Islam,
diterangkan dalam surat Luqman ayat 14: “Dan Kami perintahkan kepada manusia (berbuat
baik) kepada kedua orang ibu bapanya; ibunya telah mengandungnya dalam keadaan
lemah yang bertambah-tambah, dan menyapihnya dalam dua tahun, bersyukurlah
kepadaKu dan kepada dua orang ibu bapakmu, hanya kepada-Kulah kembalimu.” Maka terlihat jelas bahwa masa bayi menurut
Islam memang berakhir sejak penyapihan pada usia 2 tahun. Kemudian hal yang
harus dilakukan oleh orang tua setelah si anak keluar dari masa bayi adalah
dengan mulai mendidiknya. Pendidikan keluarga menja di sangat penting bagi si
anak untuk membentenginya dari pengaruh negative lingku-ngan sosialnya.
Pendidikan dengan menggunakan symbol akan sangat efektif dalam masa ini. Misalnya
jika terdengar adzan dari masjid atau mushala, maka si anak diberikan songkok
atau mukena kecil. Stimulus ini akan membuat si anak meminta songkok atau
mukena saat mendengar adzan berkumandang. Namun harus diingat bahwa masa
kanak-kanak awal ini merupakan masa bermain, sehingga Ki Hadjar Dewantara (tokoh pejuang pendidikan nasional) menganjurkan agar
pada masa usia dini, anak jangan dicabut dari suasana keluarga dan dunia
bermain. Bahkan Bruner (tokoh psikologi Barat) mengkonsep bahwa bermain
merupakan “kegiatan yang serius” bagi anak. Karena itulah, pada masa ini,
kegiatan shalatpun dianggap ber-main bagi anak. Mereka masih bersifat egocentris
yaitu memandang segala sesuatu dari perspektif mereka sendiri. Jangan terlalu
berharap mereka dapat melakukan shalat dengan tenang sebagaimana anak usia
remaja.
Selain itu,
pendidikan tentang budi pekerti juga sangat urgen bagi kehidupan masa
kanak-kanak awal. Jika kita mendapati seorang anak bertindak semaunya sendiri
dan menjadi trouble maker, maka secara otomatis orang-orang akan
bertanya: siapa sih orang tuanya? Dalam hal ini secara implisit mereka
menyalahkan orang tua yang tidak mampu mendidik anaknya. Secara psikologis,
menurut Dr. Langeveld bahwa konsep pendidikan dapat diterima individu sejak
usia tiga setengah tahun. Maka jauh sebelum konsep para ahli psikologi Barat ini
dikemukakan, Islam sudah terlebih dahulu mengajukan konsepnya melalui berbagai
hal yang diajarkan nabi Muhammad saw, seperti sebuah hadits: “Sahabat
Ayub bin Musa meriwayatkan hadits dari ayahnya
dari kakeknya, bahwa Rasulullah saw telah bersabda: "Mendidik budi pekerti luhur kepada anak
lebih utama daripada bersedekah
setakar buah kurma." (HR.
Tirmidzi, dan menurutnya termasuk
hadis hasan). Hadits ini menunjukkan sebuah konsep bahwa pendidikan lebih utama
dari harta atau apapun. Jika para ahli psikologi Barat menyebut masa
kanak-kanak sebagai periode diletakkannya dasar struktur perilaku kompleks yang
dibangun sepanjang kehidupan, maka Islam mengkonsep bahwa mendidik anak dengan
baik dapat menjadi investasi luar biasa dalam kehidupan dunia akhirat. Seorang
anak shalih yang mau mendoakan orang tuanya akan menjadi amal yang tiada putus
meski si orang tua sebagai aktor pembentuk keshalihan si anak telah wafat.
Bahkan jika orang tua mampu juga mendidik anaknya dan pendidikan tersebut terus
diimple-mentasikan oleh si anak, maka ini juga menjadi amal yang tiada putus.
Semoga kita
benar-benar mampu mendidik generasi muda kita dengan lebih baik dengan
metode-metode baru yang sinkron dengan perkembangan mereka seba-gaimana
difatwakan oleh khalifah Ali bin Abi Thalib: “Didiklah anak-anakmu,
karena mereka diciptakan untuk jamannya bukan jamanmu.” Semoga Allah melimpahkan ridho-Nya. Aamiin.
*********