Bulletin
TELAGA JIWA
Susunan Redaksi:
Pembina:
MABIN TPQ Ma’arif NU Ponorogo.
Penanggung Jawab:
Ketua TPQ Ma’arif NU Kortan Ponorogo.
Manager:
Mahfud
Redaktur:
Hadi PS, Dana AD, Eri WH, Rohmanuddin, Wasis W, Asyif
NH.
Editor:
Marsudi
Keuangan:
Herul Sabana
Alamat Redaksi:
Ponpes Hudatul Muna Jenes Brotonegaran Ponorogo.
Contact Persons: 085233977218 dan 085235666984
Website:
Bulletin Telaga Jiwa TPQ NU Kortan
Ponorogo (*9)
group
facebook:
TELAGA JIWA TPQ NU Koortan Ponorogo
Edisi 19 th IV :
9 Agustus 2013 M / 2 Syawal 1434 H
LEBARAN
DALAM PERSPEKTIF PSIKOLOGI
Penulis: Ust. Marsudi (TPQ ad-Darajaat, Mayak)
Segala puji hanyalah bagi Allah swt yang telah memberi
kita kesempatan untuk menikmati Ramadhan yang telah berlalu dan Syawal yang
sedang kita jalani tahun ini. Shalawat dan salam semoga tetap tercurah pada
Nabi Muhammad saw sebagai manusia teristimewa, sang revolusioner sejati dalam
pencerahan jiwa manu-sia menuju manusia sempurna lahir batinnya.
Bulan Ramadhan yang
penuh keberkahan dan kemurahan pahala telah berlalu. Perlombaan untuk menjadi
yang terbaik dengan predikat “dibebaskan dari api neraka ” telah usai. Apakah
kita menjadi pemenangnya? Semoga saja iya, karena kini kita te-lah terlanjur
“menyepakati bersama” dengan menyebut lebaran sebagai hari kemena-ngan kita,
bukan kemenangan syetan yang selama Ramadhan terbelenggu. Selayak-nya dengan
kemenangan ini, kemudian kita menjadikan Ramadhan sebagai bekal un-tuk
menjalani 11 bulan ke depan sebelum Ramadhan datang lagi. Dengan kemena-ngan
ini pula, selayaknya kita menjadikan moment Ramadhan sebagai kawah
candra-dimuka untuk penggodokan ketakwaan kita agar kualitasnya menjadi lebih
baik dari sebelumnya.
Jika kita telah
mendapat ampunan dari Allah pada bulan Ramadhan yang telah berlalu itu, maka
kini tiba saatnya kita memohon maaf kepada sesama manusia secara lebih intensif
pada bulan Syawal ini. Telah menjadi adat kebiasaan kita untuk ber-silaturrahmi
lebaran kepada tetangga dan sanak saudara, guna meminta maaf atas segala
kesalahan yang disengaja maupun tidak disengaja. Inilah keunikan tradisi kita.
Tidak di setiap saat kita mampu mengakui kesalahan dan meminta maaf, bahkan
tidak di setiap saat kita mampu memaafkan orang lain dengan begitu ringan
rasanya seperti saat lebaran. Padahal seandainya kita mengetahui betapa besar
fadilah memaafkan orang lain, tentu kita akan berlebaran tiap hari dan tak
perlu menunggu datangnya bu-lan Syawal atau hari raya ‘iedul fitri seperti saat
ini. Banyak sekali dalil-dalil tentang maaf-memaafkan ini. Diantaranya al-Qur’an surat
asy-Syuura ayat 36-37: “Maka sesuatu yang diberikan kepadamu, itu adalah
kenikmatan hidup di dunia; dan yang ada pada sisi Allah lebih baik dan lebih
kekal bagi orang-orang yang beriman, dan hanya kepada Tuhan mereka, mereka itu
bertawakkal. Dan (bagi) orang-orang yang menjauhi dosa-dosa besar dan
perbuatan- perbuatan keji, dan apabila mereka marah mereka memberi maaf.”
Kemudian masih berkaitan dengan ini, ayat 40 dari surat asy-Syuura: “Dan
balasan suatu kejahatan adalah kejahatan yang serupa, maka barang siapa
memaafkan dan berbuat baik maka pahalanya atas (tanggungan) Allah. Sesungguhnya
Dia tidak menyukai orang-orang yang zalim.”
Pada dasarnya setiap muslim dituntut untuk
senantiasa berhubungan dengan Allah (ibadah)
dan juga berhubungan dengan manusia (muamalah).
Keduanya harus dilaksanakan dengan cara-cara yang baik. Dalam konteks muamalah,
sudah seharusnya dikembangkan sikap tasammuh,
saling menghormati agar tercipta konsep ta’awanu
‘alal birri wat taqwa (bekerjasama/berhubungan dalam hal kebaikan dan
ketakwaan). Dari konsep ini, jelas kita dilarang bermusuhan. Ini artinya kita
tidak boleh saling mendendam jika ada kesalahan. Maka saling memaafkan wajib
dilaku-kan agar menjadi hamba Allah yang dikasihi-Nya, yang mendapatkan pahala
yang tak terkira karena Allah sendiri yang menentukannya sebagaimana tersirat
dalam asy-Syuura ayat 40 tersebut di atas. Saling mema’afkan jika ditinjau dari
perspektif agama, sudah banyak ayat al-Qur’an dan hadits yang mengupasnya.
Berbagai hik-mah yang terkandung dalam kata “ma’af” akan terurai dalam bilangan yang sulit di-hitung lagi.
Sekarang mari kita coba sedikit menguraikannya dalam perspektif psikologi,
kajian ilmu jiwa yang sudah melalui berbagai eksperimen oleh para ahli yang
kemudian menghasilkan rumusan-rumusan tertentu.
Lebaran dengan tradisi
saling memaafkan merupakan moment yang spesial bagi setiap individu, baik orang
dewasa maupun anak-anak. Bagi anak-anak, akti-vitas
kognisinya yang dimulai dari fase
sensori-motorik sampai konkret-operasional,
moment lebaran merupakan sebuah stimulus
tahunan untuk membentuk karakter pemaaf dalam diri mereka. Dalam hubungannya
dengan kelompok sosialnya, mulai dari lingkup keluarga, RT, sekolahan sampai
masyarakat luas, melalui interaksi sosial
(hubungan individu dengan individu lain) akan dipengaruhi oleh beberapa factor imitasi yaitu meniru orang lain,
yang dalam hal ini terjadi sugesti
yaitu proses individu yang menerima cara pandang atau pedoman tingkah laku dari
orang lain tanpa ada kritik atau perlawanan argumentasi.
Ketika seorang anak melihat setiap orang dengan ikhlasnya membungkukkan badan
pada orang lain disertai jabat tangan dan ucapan permohonan ma’af, maka akan
terjadi persepsi positif dalam
jaringan otaknya. Kejadian ini akan menjadi sugesti
yang diserapnya mentah-mentah secara otomatis. Situasi ini juga akan direkam dalam otaknya
sehingga menjadi sebuah me-mory. Akan
tetapi memory ini akan berbeda proses
kelanjutannya tergantung intele-gensi
anak serta faktor-faktor hereditas,
situasi sosial serta proses
pendidikannya. Anak dengan intelegensi
tinggi tentu akan segera dapat menangkap makna dari apa yang dilihatnya yaitu
ketika ayah ibunya membungkuk seraya mencium tangan kakek nenek untuk
menghaturkan permintaan maaf, atau ayahnya yang dengan haru memeluk paman
seraya saling memaafkan, dan sebagainya. Namun hal inipun ma-sih tergantung
dengan situasi sosial yang tercipta
di hadapannya. Apakah sebegitu mengharukannya prosesi lebaran atau terkesan ala
kadarnya saja dengan sekedar saling berjabat tangan. Dalam konteks inilah factor imitasi (meniru orang lain)
men-jadi begitu urgen bagi proses
pendidikannya. Jika mengacu pada teori psikologi behaviorisme, maka stimulus tahunan berupa prosesi lebaran
ini akan menghasilkan respon yang menjadi pondasi dasar dalam sisi
kehidupan akhlaqnya. Pepatah mengatakan “ala bisa karena biasa”, maka si anak
akan muncul respon bisa mudah memaafkan orang lain di kemudian hari jika
semenjak kecil sudah dibiasakan atau diberi stimulus prosesi lebaran
yang baik.
Adapun kelanjutan dari serangkaian proses di atas ada beberapa
bentuk memory yang mungkin terjadi
pada si anak, yaitu:
1) Re-kognisi
yaitu si anak hanya sekedar mengingat moment lebaran saja.
2) Re-call
yaitu si anak menyadari pernah mengalami moment lebaran dan tingkah
laku minta ma’afnya.
3) Re-produksi
yaitu si anak mengalami re-kognisi
dan re-call kemudian mem-praktekkannya
kembali dengan sadar dan memahami maknanya yaitu me-minta ma’af pada
orang lain saat lebaran.
4) Performance yaitu si anak melakukan kebiasaan meminta ma’af pada
setiap saat tanpa adanya paksaan ataupun perencanaan, hal ini merupakan hasil stimu-lus lebarannya.
Pada bentuk performance inilah sebenarnya harapan
moment lebaran mam-pu membentuk karakter pemaaf pada seorang anak yang akan
terus berlanjut hingga dewasanya. Dengan demikian tentu kepribadian generasi
kita akan mencerminkan pribadi muslim yang dituntunkan oleh al-Qur’an melalui
surat Ali Imran ayat 134: “Orang-orang yang menafkahkan (harta) baik di
waktu lapang maupun sempit, dan orang-orang yang menahan amarahnya dan
mema'afkan (kesalahan) orang. Allah menyukai orang-orang yang berbuat
kebajikan.”
Akhir kata …
segenap crew bulletin Telaga Jiwa
mengucapkan selamat berlebaran, mohon maaf lahir batin. Semoga kita tetap dalam
ukhuwah islamiyah selamanya. Aamiin.
*********
Tidak ada komentar:
Posting Komentar