Bulletin TELAGA
JIWA
Susunan Redaksi: Pembina: MABIN
TPQ Ma’arif NU Ponorogo. Penanggung Jawab: Ketua
TPQ Ma’arif NU Kortan Ponorogo. Manager: Mahfud. Redaktur: Hadi PS, Dana AD, Eri WH, Rohmanuddin,
Wasis W, Asyif NH. Editor: Marsudi. Keuangan: Herul Sabana. Alamat Redaksi: Ponpes Hudatul Muna Jenes Brotonegaran
Ponorogo. Contact
Persons: 085233977218 dan 085235666984 Website: Bulletin Telaga Jiwa TPQ NU Kortan Ponorogo (*9). group facebook: TELAGA JIWA TPQ NU Koortan
Ponorogo
Edisi 35 th IV : 29 Nopember 2013 M / 25 Muharam
1435 H
MUDAHNYA MENCARI
PAHALA
Penulis: Ust.
Marsudi (TPQ ad-Darajaat, Mayak)
Segala puji hanyalah bagi Allah swt yang telah berfirman dalam al-Qur’an su-rat an-Nisa’ ayat 134: “Barangsiapa yang menghendaki pahala di dunia
saja (maka ia merugi), karena di sisi Allah ada pahala dunia dan akhirat. Dan
Allah Maha Mendengar lagi Maha Melihat.” Shalawat dan salam semoga
tetap tercurah pada nabi Muhammad saw yang telah memberikan pencerahan luar
biasa pada umat manusia, sehingga mengetahui mana hal yang haq dan mana yang
bathil serta mana yang menghasilkan pahala dan mana yang menyebabkan dosa.
Allah menciptakan jin dan manusia adalah agar mengabdi beribadah. Adapun ibadah tersebut bukanlah untuk Allah,
melainkan untuk manusia sendiri. Allah tidaklah membutuhkan manusia, tetapi
manusialah yang membutuhkan Allah.
Ibadah ini akan mendapatkan kompensasi berupa pahala dari Allah. Kemurahan Allah dalam hal imbalan
ibadah ini bukan hanya pada masalah shalat saja, melainkan dalam berbagai hal.
Imbalan ibadah bisa berupa pahala yang akan dinikmati nanti di akhirat, namun
ada juga imbalan ibadah yang sebagian bisa dinikmati di dunia, sebagaimana
dijelaskan dalam al-Qur’an surat Ali Imran ayat 148: “Karena itu Allah
memberikan kepada mereka pahala di dunia dan pahala yang baik di akhirat. Dan
Allah menyukai orang-orang yang berbuat kebaikan.” Ayat ini menggunakan
gaya bahasa semacam akibat dan sebab. Jika ditafsirkan bebas
dapat berarti bahwa orang yang diberikan pahala di dunia dan pahala di akhirat adalah disebabkan orang
tersebut berbuat kebaikan. Dalam
konteks ini, kebaikan dapat kebaikan secara pribadi yaitu ibadah khusus berhubungan
dengan Allah, dan juga kebaikan sosial yaitu ibadah yang berhubungan
dengan orang lain.
Dalam konteks ibadah yang
menghasilkan pahala tersebut, banyak sekali variannya. Secara konseptual,
setiap ibadah wajib pastilah menghasilkan pahala, dan mau tidak mau ibadah
wajib tersebut haruslah dilaksanakan misalnya shalat 5 waktu. Berbeda dengan
ibadah wajib, maka ibadah sunnah meski juga berpahala namun tidak mutlak harus
dilakukan. Namun perlu digaris bawahi bahwa meski demikian, ibadah kategori
sunnah ini merupakan ibadah yang juga sangat penting. Paradigma bahwa ibadah sunnah jika dikerjakan mendapat pahala,
sedang jika ditinggalkan tidak apa-apa,
harus dirubah menjadi jika
dikerjakan mendapat pahala, sedang jika ditinggalkan maka rugilah dia. Dengan demikian, kita akan merasa ringan untuk melaksanakan ibadah
sunnah. Atau jika memang kita belum memungkinkan melaksanakan ibadah sunnah
yang agak berat, maka bolehlah kita mulai dengan hal-hal yang ringan dulu namun
berpahala besar. Dalam shalat yang biasa kita kerjakan pun ternyata banyak hal
ringan yang bersifat sunnah dan berpahala bagi kita, namun kita terlewati untuk
melaksanakannya sehingga sesungguhnya rugilah kita. Mari kita coba
memperhatikan hadits berikut dengan seksama:
عَنِ ابْنِ
عُمَرَ قَالَ كَانَ النَّبِيُّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ إِذَا قَامَ إِلىَ الصَّلاَةِ رَفَعَ يَدَيْهِ
حَتَّى ينكونا بِحَذْوِمَنْكِبَيْهِ ثُمَّ يُكَبِّرُ فَاِذَا اَرَادَ اَنْ
يَرْكَعَ رَفَعَهُمَا مِثْلُ ذَلِكَ وَاِذَا رَفَعَ رَأ ْسَهُ مِنَ الرُّكُوْعِ رَفَعَهْمَا
كَذَلِكَ (رواه البخاري و مسلم)
Artinya: “Dari Ibnu ‘Umar berkata: Apabila Nabi saw
berdiri akan memulai shalat, maka diangkatlah kedua tangan hingga setinggi
dengan kedua bahunya, kemudian mengucapkan takbir. Dan apabila akan ruku’
beliau juga mengangkat tangan seperti demikian, dan apabila bangun dari ruku’
beliau mengangkat tangan pula seperti demikian.” (HR Bukhari dan
Muslim)
Ternyata
ada hal sunnah yang ringan sekali namun seringkali kita lewatkan, yaitu
mengangkat tangan saat bertakbir akan ruku’. Padahal seandainya kita memahami
betapa besar pahalanya, tentu kita akan menyesal dan meratapi kecerobohan kita
tersebut. Seandainya shalat kita belum sempurna, sesungguhnya hal-hal sunnah
seperti ini akan mampu menutupinya. Lalu kenapa kita melewatinya begitu saja?
Masih
banyak hal-hal yang sepertinya sangat sepele namun bernilai pahala besar. Salah
satu contoh lagi adalah senyuman dan wajah yang berseri saat bertemu orang
lain. Dalam konteks hubungan sosial, hal ini sangatlah mendukung terjalinnya
interaksi harmonis antar warga masyarakat. Keharmonisan tersebut akan mampu
mewujudkan baldatun thayyibatun
wa rabbun ghaffur. Oleh karenanya,
tersenyum masuk kategori ibadah sunnah yang sangat dianjurkan dalam muamalah. Rasulullah saw bersabda bahwa manusia memiliki
kewajiban untuk bersedekah setiap harinya sejak matahari mulai terbit. Seorang
sahabat yang tidak memiliki apa pun untuk disedekahkan bertanya: “Jika kami
ingin bersedekah, namun kami tidak memiliki apa pun, lantas apa yang bisa kami
sedekahkan dan bagaimana kami menyedekah kannya?” Rasulullah saw pun
bersabda, “Senyum kalian bagi saudaranya adalah sedekah, beramar ma’ruf
dan nahi mungkar yang kalian lakukan untuk saudara juga sedekah, dan kalian
menunjukkan jalan bagi seseorang yang tersesat juga sedekah.” (HR
Tirmizi dari Abu Dzar). Dalam hadits lain juga disebutkan: “Terse-nyum
ketika bertemu saudaramu adalah ibadah.” (HR Trimidzi, Ibnu Hibban, dan
Bayhaqi). Kemudian juga Abdullah bin Harits, salah seorang sahabat pernah
bertu-tur tentang Rasulullah saw: “Tidak pernah aku melihat seseorang
yang lebih banyak tersenyum daripada Rasulullah saw.” (HR Tirmidzi).
Dari keterangan hadits-hadits di atas,
nyatalah bahwa meskipun ringan, senyum merupakan amal kebaikan yang tidak boleh
diremehkan. Tentu hal ini karena nilai pahalanya yang setara dengan pahala
sedekah. Mungkin kita sering berpikir bahwa sedekah itu berkaitan erat dengan
harta benda seperti pemberian uang, pakaian, atau apa pun yang bisa langsung
dinikmati penerima dalam bentuk materi. Hal itu juga mungkin yang ada dalam
pikiran para sahabat Rasulullah saw, sehingga mereka sangat gelisah kemudian
mempertanyakannya. Nah, dari ketera-ngan Rasulullah saw nyatalah bahwa setiap
manusia ternyata dapat melaksanakan sedekah dengan begitu ringannya yaitu hanya
melalui senyuman, tentu saja senyuman yang tulus. Hal ini merupakan ibadah
sunnah yang berpahala besar dan tidak boleh diremehkan. Rasulullah saw bersabda:
“Janganlah kamu meremehkan kebaikan sekecil apa pun, sekalipun itu hanya
bermuka manis saat berjumpa saudaramu.” (HR Muslim).
Semoga Allah swt meringankan kita dalam
melaksanakan ibadah-ibadah sunnah guna menambal ibadah wajib yang masih
compang-camping. Aamiin.
*********