buletin ini terbit secara rutin tiap hari Jum'at di masjid agung RMAA Tjokronegoro Ponorogo

Selasa, 26 November 2013

MUDAHNYA MENCARI PAHALA








Bulletin TELAGA JIWA
Susunan Redaksi: Pembina: MABIN TPQ Ma’arif NU Ponorogo. Penanggung Jawab: Ketua TPQ Ma’arif NU Kortan Ponorogo. Manager: Mahfud. Redaktur: Hadi PS, Dana AD, Eri WH, Rohmanuddin, Wasis W, Asyif NH. Editor: Marsudi. Keuangan: Herul Sabana. Alamat Redaksi: Ponpes Hudatul Muna Jenes Brotonegaran Ponorogo. Contact Persons: 085233977218 dan 085235666984 Website: Bulletin Telaga Jiwa TPQ NU Kortan Ponorogo (*9). group facebook: TELAGA JIWA TPQ NU Koortan Ponorogo 


Edisi  35 th IV : 29 Nopember 2013 M / 25 Muharam 1435 H
MUDAHNYA MENCARI PAHALA
Penulis: Ust. Marsudi (TPQ ad-Darajaat, Mayak)
Segala puji hanyalah bagi Allah swt yang telah berfirman dalam al-Qur’an su-rat an-Nisa’ ayat 134: “Barangsiapa yang menghendaki pahala di dunia saja (maka ia merugi), karena di sisi Allah ada pahala dunia dan akhirat. Dan Allah Maha Mendengar lagi Maha Melihat.” Shalawat dan salam semoga tetap tercurah pada nabi Muhammad saw yang telah memberikan pencerahan luar biasa pada umat manusia, sehingga mengetahui mana hal yang haq dan mana yang bathil serta mana yang menghasilkan pahala dan mana yang menyebabkan dosa.
            Allah menciptakan jin dan manusia adalah agar mengabdi beribadah. Adapun ibadah tersebut bukanlah untuk Allah, melainkan untuk manusia sendiri. Allah tidaklah membutuhkan manusia, tetapi manusialah yang membutuhkan Allah. Ibadah ini akan mendapatkan kompensasi berupa pahala dari Allah. Kemurahan Allah dalam hal imbalan ibadah ini bukan hanya pada masalah shalat saja, melainkan dalam berbagai hal. Imbalan ibadah bisa berupa pahala yang akan dinikmati nanti di akhirat, namun ada juga imbalan ibadah yang sebagian bisa dinikmati di dunia, sebagaimana dijelaskan dalam al-Qur’an surat Ali Imran ayat 148: “Karena itu Allah memberikan kepada mereka pahala di dunia dan pahala yang baik di akhirat. Dan Allah menyukai orang-orang yang berbuat kebaikan.” Ayat ini menggunakan gaya bahasa semacam akibat dan sebab. Jika ditafsirkan bebas dapat berarti bahwa orang yang diberikan pahala di dunia dan pahala di akhirat adalah disebabkan orang tersebut berbuat kebaikan. Dalam konteks ini, kebaikan dapat kebaikan secara pribadi yaitu ibadah khusus berhubungan dengan Allah, dan juga kebaikan sosial yaitu ibadah yang berhubungan dengan orang lain.

            Dalam konteks ibadah yang menghasilkan pahala tersebut, banyak sekali variannya. Secara konseptual, setiap ibadah wajib pastilah menghasilkan pahala, dan mau tidak mau ibadah wajib tersebut haruslah dilaksanakan misalnya shalat 5 waktu. Berbeda dengan ibadah wajib, maka ibadah sunnah meski juga berpahala namun tidak mutlak harus dilakukan. Namun perlu digaris bawahi bahwa meski demikian, ibadah kategori sunnah ini merupakan ibadah yang juga sangat penting. Paradigma bahwa ibadah sunnah jika dikerjakan mendapat pahala, sedang jika ditinggalkan tidak apa-apa, harus dirubah menjadi jika dikerjakan mendapat pahala, sedang jika ditinggalkan maka rugilah dia. Dengan demikian, kita akan merasa ringan untuk melaksanakan ibadah sunnah. Atau jika memang kita belum memungkinkan melaksanakan ibadah sunnah yang agak berat, maka bolehlah kita mulai dengan hal-hal yang ringan dulu namun berpahala besar. Dalam shalat yang biasa kita kerjakan pun ternyata banyak hal ringan yang bersifat sunnah dan berpahala bagi kita, namun kita terlewati untuk melaksanakannya sehingga sesungguhnya rugilah kita. Mari kita coba memperhatikan hadits berikut dengan seksama:

عَنِ ابْنِ عُمَرَ قَالَ كَانَ النَّبِيُّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ  إِذَا قَامَ إِلىَ الصَّلاَةِ رَفَعَ يَدَيْهِ حَتَّى ينكونا بِحَذْوِمَنْكِبَيْهِ ثُمَّ يُكَبِّرُ فَاِذَا اَرَادَ اَنْ يَرْكَعَ رَفَعَهُمَا مِثْلُ ذَلِكَ وَاِذَا رَفَعَ رَأ ْسَهُ مِنَ الرُّكُوْعِ رَفَعَهْمَا كَذَلِكَ (رواه البخاري و مسلم)

Artinya: “Dari Ibnu ‘Umar berkata: Apabila Nabi saw berdiri akan memulai shalat, maka diangkatlah kedua tangan hingga setinggi dengan kedua bahunya, kemudian mengucapkan takbir. Dan apabila akan ruku’ beliau juga mengangkat tangan seperti demikian, dan apabila bangun dari ruku’ beliau mengangkat tangan pula seperti demikian.” (HR Bukhari dan Muslim)

Ternyata ada hal sunnah yang ringan sekali namun seringkali kita lewatkan, yaitu mengangkat tangan saat bertakbir akan ruku’. Padahal seandainya kita memahami betapa besar pahalanya, tentu kita akan menyesal dan meratapi kecerobohan kita tersebut. Seandainya shalat kita belum sempurna, sesungguhnya hal-hal sunnah seperti ini akan mampu menutupinya. Lalu kenapa kita melewatinya begitu saja?
            Masih banyak hal-hal yang sepertinya sangat sepele namun bernilai pahala besar. Salah satu contoh lagi adalah senyuman dan wajah yang berseri saat bertemu orang lain. Dalam konteks hubungan sosial, hal ini sangatlah mendukung terjalinnya interaksi harmonis antar warga masyarakat. Keharmonisan tersebut akan mampu mewujudkan baldatun thayyibatun wa rabbun ghaffur. Oleh karenanya, tersenyum masuk kategori ibadah sunnah yang sangat dianjurkan dalam muamalah. Rasulullah saw bersabda bahwa manusia memiliki kewajiban untuk bersedekah setiap harinya sejak matahari mulai terbit. Seorang sahabat yang tidak memiliki apa pun untuk disedekahkan bertanya: “Jika kami ingin bersedekah, namun kami tidak memiliki apa pun, lantas apa yang bisa kami sedekahkan dan bagaimana kami menyedekah kannya?” Rasulullah saw pun bersabda, “Senyum kalian bagi saudaranya adalah sedekah, beramar ma’ruf dan nahi mungkar yang kalian lakukan untuk saudara juga sedekah, dan kalian menunjukkan jalan bagi seseorang yang tersesat juga sedekah.” (HR Tirmizi dari Abu Dzar). Dalam hadits lain juga disebutkan: “Terse-nyum ketika bertemu saudaramu adalah ibadah.” (HR Trimidzi, Ibnu Hibban, dan Bayhaqi). Kemudian juga Abdullah bin Harits, salah seorang sahabat pernah bertu-tur tentang Rasulullah saw: “Tidak pernah aku melihat seseorang yang lebih banyak tersenyum daripada Rasulullah saw.” (HR Tirmidzi).
Dari keterangan hadits-hadits di atas, nyatalah bahwa meskipun ringan, senyum merupakan amal kebaikan yang tidak boleh diremehkan. Tentu hal ini karena nilai pahalanya yang setara dengan pahala sedekah. Mungkin kita sering berpikir bahwa sedekah itu berkaitan erat dengan harta benda seperti pemberian uang, pakaian, atau apa pun yang bisa langsung dinikmati penerima dalam bentuk materi. Hal itu juga mungkin yang ada dalam pikiran para sahabat Rasulullah saw, sehingga mereka sangat gelisah kemudian mempertanyakannya. Nah, dari ketera-ngan Rasulullah saw nyatalah bahwa setiap manusia ternyata dapat melaksanakan sedekah dengan begitu ringannya yaitu hanya melalui senyuman, tentu saja senyuman yang tulus. Hal ini merupakan ibadah sunnah yang berpahala besar dan tidak boleh diremehkan. Rasulullah saw bersabda: “Janganlah kamu meremehkan kebaikan sekecil apa pun, sekalipun itu hanya bermuka manis saat berjumpa saudaramu.” (HR Muslim).
Semoga Allah swt meringankan kita dalam melaksanakan ibadah-ibadah sunnah guna menambal ibadah wajib yang masih compang-camping. Aamiin.
*********

Rabu, 20 November 2013

BAHAYA MENINGGALKAN SHALAT



Bulletin TELAGA JIWA
Susunan Redaksi: Pembina: MABIN TPQ Ma’arif NU Ponorogo. Penanggung Jawab: Ketua TPQ Ma’arif NU Kortan Ponorogo. Manager: Mahfud. Redaktur: Hadi PS, Dana AD, Eri WH, Rohmanuddin, Wasis W, Asyif NH. Editor: Marsudi. Keuangan: Herul Sabana. Alamat Redaksi: Ponpes Hudatul Muna Jenes Brotonegaran Ponorogo. Contact Persons: 085233977218 dan 085235666984 Website: Bulletin Telaga Jiwa TPQ NU Kortan Ponorogo (*9). group facebook: TELAGA JIWA TPQ NU Koortan Ponorogo 


Edisi  34 th IV : 22 Nopember 2013 M / 18 Muharam 1435 H
BAHAYA MENINGGALKAN SHALAT
Penulis: Ust. Mahfud (TPQ Miftahul Huda, Jenes)
Segala puji hanyalah bagi Allah swt yang telah berfirman dalam al-Qur’an su-rat al-Ma’un ayat 4-5: “Maka kecelakaanlah bagi orang-orang yang shalat, (yaitu) orang-orang yang lalai dari shalatnya”. Shalawat dan salam semoga tetap mengalir tercurah pada nabi Muhammad saw yang telah bersabda dalam haditsnya: “Islam itu dibangun di atas lima perkara: Bersaksi bahwa tiada Tuhan yang berhak diibadahi kecuali Allah dan Muhammad itu utusan Allah, mendirikan shalat, menunaikan zakat, melaksanakan ibadah haji dan puasa pada bulan Ramadhan.” (HR. Bukhari, Muslim dan Ashabus Sunan).
Shalat merupakan hal yang sangat pokok dalam agama Islam, bahkan shalat merupakan tiang agama. Mendirikan shalat termasuk mendirikan agama, sedangkan meninggalkan shalat termasuk merobohkan agama. Hal ini jelas tersurat dalam hadits Rasulullah saw: “Shalat adalah tiang agama, barangsiapa yang menegakkannya, maka ia telah menegakkan agamanya dan barangsiapa yang merobohkannya, berarti ia telah merobohkan agamanya” (HR Baihaqi). Oleh Karena itu, shalat merupakan hal yang sangat penting bagi seorang muslim, sebab shalat menjadi tolok ukur kebaikan serta diterimanya amal. Dengan kata lain kalau ingin amalnya menjadi baik maka pertama kali yang harus diperbaiki adalah shalat. Dalam hal ini Rasulullah saw bersabda:Yang pertama kali akan diperhitungkan (dihisab) dari seorang hamba pada hari kiamat adalah shalat, jikalau shalatnya baik, maka baiklah seluruh amalnya, dan apabila shalatnya rusak, maka rusaklah seluruh amalnya.” (Shahihul jami’). Mengingat betapa sangat pentingnya shalat, maka tentu ada bahaya-bahaya jika meninggalkannya. Bahaya yang dimaksud adalah ancaman sebagai konsekuensi apabila seorang muslim meninggalkan shalat.

Ibnu Qayyim al-Jauziyah rahimahullah mengatakan: “Kaum muslimin bersepakat bahwa meninggalkan shalat lima waktu dengan sengaja adalah dosa besar yang paling besar dan dosanya lebih besar dari dosa membunuh, merampas harta orang lain, berzina, mencuri, dan minum minuman keras. Orang yang meninggalkannya akan mendapat hukuman dan kemurkaan Allah serta mendapatkan kehinaan di dunia dan akhirat.” (ash-Shalah, hal. 7). Kemudian juga dinukil oleh adz-Dzahabi dalam al-Kaba’ir, bahwa Ibnu Hazm rahimahullah telah berkata: “Tidak ada dosa setelah kejelekan yang paling besar daripada dosa meninggalkan shalat hingga keluar waktunya dan membunuh seorang mukmin tanpa alasan yang bisa dibenarkan.” (al-Kaba’ir, hal. 25). Adapun pendapat Adz-Dzahabi sendiri adalah: “Orang yang mengakhirkan shalat hingga keluar waktunya termasuk pelaku dosa besar. Dan yang meninggalkan shalat secara keseluruhan -meski satu shalat saja- dianggap seperti orang yang berzina dan mencuri. Karena meninggalkan shalat atau luput darinya termasuk dosa besar. Oleh karena itu, orang yang meninggalkannya sampai berkali-kali termasuk pelaku dosa besar sampai dia bertaubat. Sesungguhnya orang yang meninggalkan shalat termasuk orang yang merugi, celaka dan termasuk orang mujrim (yang berbuat dosa).” (al-Kaba’ir, hal. 26-27).
Pendapat para ulama tersebut di atas tentunya tidak lepas dari firman Allah swt dalam al-Qur’an surat al-Ma’un ayat 4-5: “Maka kecelakaanlah bagi orang-orang yang shalat, (yaitu) orang-orang yang lalai dari shalatnya”. Lalai dalam shalat maksudnya adalah shalat tidak tepat waktu, dalam artian ketika waktu sudah habis, baru melakukan shalat. Demikian orang yang shalat tidak tepat waktu saja diancam dengan kecelakaan, apalagi yang meninggalkan shalat. Diterangkan dalam kitab Ausath, diriwayatkan oleh Imam Thabrani: Barang siapa yang melakukan shalat tidak pada waktunya dan tidak menyempurkan wudhunya, tidak menyempurkanan khusyu’nya, ruku’ serta sujudnya, maka shalat kelak akan menjadi makhluk hitam nan gelap, kemudian berkata: sebagaimana kamu menyia-nyiakan aku semoga Allah menyia-nyiakan kamu. Sehingga pada suatu saatnya Allah melipatnya sebagaimana baju yang dilipat kemudian dilemparkan pada muka orang yang menyia-nyiakn shalat. Rasulullah saw bersabda:Barang siapa yang sengaja meninggalkan shalat, maka Allah akan mencatat namanya pada pintu neraka, yakni menjadi sebagian dari orang-orang yang akan masuk neraka. (HR Abu Nu’aim). Rasulullah saw juga bersabda: Barang siapa yang tidak menjaga shalat, maka kelak ia tidak akan memiliki nur, pertanda dan keselamatan serta di hari kiamat akan dikumpulkan bersama Qarun, Fir’aun, Hamman dan Ubaiy Bin Khalaf (HR Ahmad). Keempat nama orang yang disebutkan Rasulullah ini meru-pakan manusia-manusia pembangkang terhadap perintah Allah. Hal ini berarti jika kita tidak menjaga shalat, maka sama artinya dengan membangkang terhadap perintah Allah. Oleh karenanya ciri orang mukmin adalah shalat sedangkan ciri dari orang kafir adalah tidak melakukan shalat. Rasulullah saw bersabda: Barang siapa yang sengaja meninggalkan shalat, berarti ia telah kufur secara terang-terangan” (HR Imam Thabrani). Dalam kesempatan lain, Rasulullah saw juga bersabda: Diantara kufur dan iman adalah meninggalkan shalat” (HR Tirmi-dzi). Kemudian juga Rasulullah saw bersabda: “Barangsiapa yang telah mengerjakan shalat tetapi shalatnya tidak mampu mencegahnya dari perbuatan keji dan munkar, maka tidaklah ditambah sesuatu kepadanya melainkan semakin jauh dari Allah.”
            Hadits-hadits ini merupakan ancaman yang sangat berat bagi seorang muslim yang tidak mau benar-benar menjaga shalatnya. Padahal jika kita mau menjaga shalat kita dengan baik, maka tentunya pahala yang telah disiapkan oleh Allah sangatlah luar biasa. Hal ini tersirat dalam al-Qur’an surat al-Ma’aarij ayat 32—35 dijelaskan sebagai berikut: “Dan orang-orang yang memelihara amanah-amanah dan janjinya. Dan orang-orang yang memberikan kesaksiannya. Dan orang-orang yang memelihara shalatnya. Mereka itu di syurga lagi dimuliakan.” Memang segala sesuatu yang berpahala besar itu tidak boleh hanya diangan-angan saja, melainkan harus dilaksanakan tanpa kemalasan dan keragu-raguan.
Semoga kita senantiasa dijaga oleh Allah swt dari segala kemalasan dan keraguan sehingga kita tetap teguh dalam keislaman dengan indikator istiqamah dalam menjalankan shalat. Artikel yang singkat ini semoga bermanfaat, pembaca menjadi semakin memahami betapa shalat merupakan hal yang sangat penting dan meninggalkan shalat merupakan kerugian yang besar, sehingga pada akhirnya kita semua benar-benar menjaga shalat 5 waktu, tidak hanya shalat ketika shalat tarawih, ketika jum’atan atau ketika hari raya saja. Aamiin.
*********