buletin ini terbit secara rutin tiap hari Jum'at di masjid agung RMAA Tjokronegoro Ponorogo

Rabu, 06 November 2013

IMAM SHALAT JAMA’AH








Bulletin TELAGA JIWA
Susunan Redaksi: Pembina: MABIN TPQ Ma’arif NU Ponorogo. Penanggung Jawab: Ketua TPQ Ma’arif NU Kortan Ponorogo. Manager: Mahfud. Redaktur: Hadi PS, Dana AD, Eri WH, Rohmanuddin, Wasis W, Asyif NH. Editor: Marsudi. Keuangan: Herul Sabana. Alamat Redaksi: Ponpes Hudatul Muna Jenes Brotonegaran Ponorogo. Contact Persons: 085233977218 dan 085235666984 Website: Bulletin Telaga Jiwa TPQ NU Kortan Ponorogo (*9). group facebook: TELAGA JIWA TPQ NU Koortan Ponorogo 



Edisi  32 th IV : 8 Nopember 2013 M / 4 Muharam 1435 H
IMAM SHALAT JAMA’AH
Penulis: Ust. Mahfud (TPQ Miftahul Huda, Jenes)
Segala puji bagi Allah yang telah berfirman dalam al-Qur’an surat al-Baqarah ayat 43: “Dan dirikanlah shalat, tunaikanlah zakat dan ruku'lah beserta orang-orang yang ruku'.” Shalawat dan salam semoga tetap terlimpahkan pada nabi Muhammad saw sebagai nabi dan utusan yang teristimewa karena pernah menghadap langsung pada Allah untuk menerima perintah shalat.
Ayat ke-43 dari surat al-Baqarah tersebut di atas merupakan perintah untuk shalat berjamaah dengan indikator perintah ruku’ bersama orang yang ruku’. Hal ini diperkuat dengan lafadz di awal ayat yang memerintahkan agar mendirikan shalat yang berarti bukan cuma melakukan shalat melainkan lebih dari itu, yaitu dengan berjamaah agar tercipta kondisi sosial yang harmonis dalam masyarakat muslim. Sesungguhnya banyak sekali fadhilah dari shalat berjamaah, diantaranya insyaAllah akan memberikan label yang bagus terhadap shalat kita, meskipun sebenarnya shalat kita belum bagus. Ibaratnya adalah setandan pisang, meskipun kita adalah sebuah pisang yang cacat dan jelek, namun karena kita berada di tengah-tengah pisang yang bagus-bagus dalam tandan, maka kita akan ikut dihargai semahal pisang yang bagus tersebut karena orang akan membeli setandan pisang, bukan per biji-nya.
 Adapun dalam shalat berjamaah, kita harus mengikuti imam shalat selama berlangsungnya shalat jamaah tersebut. Untuk itu, menjadi imam bukanlah perkara yang ringan atau sepele karena menyangkut tanggung jawab secara mutlak terhadap makmum. Tidak sembarangan orang boleh menjadi imam dalam suatu shalat jamaah. Ada beberapa hal yang perlu diperhatikan agar shalat jamaah menjadi proporsional.

Secara umum, kriteria untuk menjadi imam shalat jamaah dalam skala prioritas adalah laki-laki yang lebih pandai ilmu agamanya, lebih bagus bacaan al-Qur’annya, dan yang lebih tua umurnya. Tidak diperbolehkan atau tidak sah seorang laki-laki baligh bermakmum pada wanita. Hal ini berdasar pada firman Allah dalam al-Qur’an surat an-Nisa’ ayat 34: “Laki-laki itu adalah pemimpin bagi perempuan karena Allah telah mengunggulkannya atas sebagian mereka ...”. Juga hadits yang menyatakan bahwa Rasulullah saw bersabda: “Ingat, jangan menjadi imam seorang perempuan atas orang laki-laki.” (HR Ibnu Hibban). Sebagian ulama berhujjah dengan hadits sabda Rasululah saw yang lain yaitu: “Tidak akan beruntung seorang kaum kalau dipimpin oleh seorang wanita.” (HR Bukhari, Nasa’i, Tirmidzi dan Ahmad bin Hambal). Hal lain yang mendasarinya bagi sebagian ulama adalah karena suara orang perempuan dewasa termasuk aurat yang dapat mengundang hawa nafsu bagi laki-laki. Dengan demikian jika si perempuan menjadi imam shalat dan membaca fatihah secara jahr, bisa jadi akan merusak konsentrasi atau kekhusukan laki-laki yang menjadi makmumnya.
Demikian pula tidak diperbolehkan orang yang ahli membaca al-Qur’an bermakmum pada seorang yang ummiy (orang yang tidak pandai membaca al-Qur’an atau tidak hafal surat al-Fatihah). Hal ini berdasar pada hadits: “Dan telah menceritakan kepada kami Muhammad bin al-Mutsanna dan Ibnu Basyar,  kata  Ibnul-Mutsanna; telah menceritakan kepada kami yaitu Muhammad bin Ja’far  dari  Syu’bah  dari  Ismail bin Raja’ katanya; aku mende-ngar  Aus bin Dham’aj  mengatakan; Aku mendengar  Abu Mas’ud berkata; Rasu-lullah saw bersabda kepada kami: “Hendaknya yang berhak menjadi imam suatu kaum adalah yang paling banyak dan paling baik bacaan kitabullah (al-Qur’an), jika dalam bacaan sama, maka yang paling dahulu hijrah, jika mereka dalam hijrah sama, maka yang lebih dewasa.” (HR. Muslim no.1079, Abu Daud no.1079, Ahmad no.21308, Ibnu Majah no.970). Berdasarkan hadits ini, seorang ummiy tidak diperbolehkan menjadi imam dikarenakan konsekwensi menjadi imam diantaranya adalah menanggung bacaan makmum, sedang orang yang ummiy tidak mampu menanggung bacaan al-Qur’an karena dia memang tidak mampu membacanya.
Termasuk dalam kategori ummiy adalah al-arot yakni orang yang meng- idzghom-kan huruf satu pada huruf yang lain tetapi tidak pada tempatnya. Demikian juga termasuk ummiy adalah al-altsagh yakni orang yang mengganti huruf satu dengan huruf yang lain, seperti mengganti ro’ dengan ghoin. Juga tidak diperboleh-kan bermakmum terhadap orang yang tidak mampu mengucapkan huruf yang bertasydid. Secara garis besar adalah orang yang membaca al-Qur’an namun tidak mengenal tajwid. Sedangkan orang yang ummiy bermakmum kepada orang yang ummiy hukumnya sah, sebagaimana orang wanita bermakmum pada orang wanita.

Dalam kasus yang lain, yaitu seorang anak menjadi imam dalam shalat jamaah, maka sesungguhnya seorang anak yang belum baligh tapi sudah mumayiz (mampu membedakan sesuatu yang baik dan buruk) boleh menjadi imam, tentu dengan syarat bacaan al-Qur’annya lebih bagus dari orang-orang yang hadir dalam jamaah. Sebuah hadits yang diriwayatkan Imam Bukhari menceritakan bahwa pada masa Rasulullah saw, Umar bin Salamah pernah menjadi imam shalat untuk kaumnya sedang ia masih berusia 6 atau 7 tahun. Namun yang lebih utama menjadi imam tetaplah orang yang sudah baligh daripada anak yang belum baligh walaupun lebih pandai. Hal ini dikarenakan daya nalar laki-laki baligh tentunya lebih bagus daripada yang belum baligh. Adapun anak yang belum baligh serta belum mumayiz tidak boleh menjadi imam, karena shalatnya secara hakikat memang belum sah.
Lalu barangkali suatu saat kita menemukan imam yang membaca basmalah dalam surat al-Fatihah dengan sirri/nyaris tak terdengar. Menurut madzhab Syafi’i hukum membaca basmalah dalam Fatihah adalah wajib. Maka tidak sah shalat seseorang tanpa membaca basmalah. Apabila menemukan imam yang mensirrikan bacaan basmalah, selama makmum meyakini bahwa imam tersebut memang membaca basmalah namun lirih/sirri, maka shalatnya tetap sah. Sedangkan jika makmum meyakini bahwa imamnya tidak membaca basmalah, maka shalatnya tidak sah. (Fath al-Muin Hamisy I’anah al-Thalibin (II): 49-50, Nihayah Zain: 127).
Adapun hukum bermakmum pada orang fasiq, maka ulama berbeda penda-pat antara yang memperbolehkan dan yang tidak memperbolehkan (Bidayah al-Mujtahid hal. 105). Dan bagi yang membolehkan berdasar pada perkataan Nabi: “shalatlah kalian semua di belakang orang yang mengucapkan lafadz Laa Ilaaha illa Allah dan di depan orang yang mengucapkan lafadz Laa Ilaaha illa Allah” dan karena sesungguhnya Ibnu Umar ra pernah shalat bermakmum di belakang orang yang ahli perdebatan dengan kefasikkannya (al-Muhadzab fii Fiqh al-Imam al-Syafi’i, bab Sifat al-Aimmah).
Demikianlah beberapa hal tentang imam shalat jamaah. Semoga kita diberi hidayah oleh Allah agar mendapatkan seorang imam yang baik dalam shalat jamaah yang kita lakukan. Aamiin … ***

Tidak ada komentar:

Posting Komentar