Bulletin TELAGA
JIWA
Susunan Redaksi: Pembina: MABIN
TPQ Ma’arif NU Ponorogo. Penanggung Jawab: Ketua
TPQ Ma’arif NU Kortan Ponorogo. Manager: Mahfud. Redaktur: Hadi PS, Dana AD, Eri WH, Rohmanuddin,
Wasis W, Asyif NH. Editor: Marsudi. Keuangan: Herul Sabana. Alamat Redaksi: Ponpes Hudatul Muna Jenes Brotonegaran
Ponorogo. Contact
Persons: 085233977218 dan 085235666984 Website: Bulletin Telaga Jiwa TPQ NU Kortan Ponorogo (*9). group facebook: TELAGA JIWA TPQ NU Koortan
Ponorogo
Edisi 32 th IV : 8 Nopember 2013 M / 4 Muharam 1435
H
IMAM SHALAT
JAMA’AH
Penulis: Ust.
Mahfud (TPQ Miftahul Huda, Jenes)
Segala puji bagi Allah yang telah berfirman dalam al-Qur’an surat al-Baqarah ayat 43: “Dan
dirikanlah shalat, tunaikanlah zakat dan ruku'lah beserta orang-orang yang
ruku'.” Shalawat dan salam semoga tetap terlimpahkan pada nabi Muhammad
saw sebagai nabi dan utusan yang teristimewa
karena pernah menghadap langsung pada Allah untuk menerima perintah shalat.
Ayat ke-43 dari surat al-Baqarah tersebut di atas
merupakan perintah untuk shalat berjamaah dengan indikator perintah ruku’
bersama orang yang ruku’. Hal ini diperkuat dengan lafadz di awal ayat yang
memerintahkan agar mendirikan shalat yang berarti bukan cuma melakukan shalat
melainkan lebih dari itu, yaitu dengan berjamaah agar tercipta kondisi sosial
yang harmonis dalam masyarakat muslim. Sesungguhnya banyak sekali fadhilah dari
shalat berjamaah, diantaranya insyaAllah akan memberikan label yang bagus
terhadap shalat kita, meskipun sebenarnya shalat kita belum bagus. Ibaratnya
adalah setandan pisang, meskipun kita adalah sebuah pisang yang cacat dan
jelek, namun karena kita berada di tengah-tengah pisang yang bagus-bagus dalam
tandan, maka kita akan ikut dihargai semahal pisang yang bagus tersebut karena
orang akan membeli setandan pisang, bukan per biji-nya.
Adapun dalam
shalat berjamaah, kita harus mengikuti imam shalat selama berlangsungnya shalat
jamaah tersebut. Untuk itu, menjadi imam bukanlah perkara yang ringan atau
sepele karena menyangkut tanggung jawab secara mutlak terhadap makmum. Tidak
sembarangan orang boleh menjadi imam dalam suatu shalat jamaah. Ada beberapa
hal yang perlu diperhatikan agar shalat jamaah menjadi proporsional.
Secara umum, kriteria untuk menjadi imam
shalat jamaah dalam skala prioritas adalah laki-laki yang lebih pandai ilmu
agamanya, lebih bagus bacaan al-Qur’annya, dan yang lebih tua umurnya. Tidak
diperbolehkan atau tidak sah seorang laki-laki baligh bermakmum pada wanita.
Hal ini berdasar pada firman Allah dalam al-Qur’an surat an-Nisa’ ayat 34: “Laki-laki
itu adalah pemimpin bagi perempuan karena Allah telah mengunggulkannya atas
sebagian mereka ...”. Juga hadits yang menyatakan bahwa Rasulullah saw
bersabda: “Ingat, jangan menjadi imam seorang perempuan atas orang laki-laki.” (HR
Ibnu Hibban). Sebagian ulama berhujjah dengan hadits sabda Rasululah saw yang
lain yaitu: “Tidak akan beruntung seorang kaum kalau dipimpin oleh seorang wanita.”
(HR Bukhari, Nasa’i, Tirmidzi dan Ahmad bin Hambal). Hal lain yang mendasarinya
bagi sebagian ulama adalah karena suara orang perempuan dewasa termasuk aurat
yang dapat mengundang hawa nafsu bagi laki-laki. Dengan demikian jika si
perempuan menjadi imam shalat dan membaca fatihah secara jahr, bisa jadi
akan merusak konsentrasi atau kekhusukan laki-laki yang menjadi makmumnya.
Demikian pula tidak diperbolehkan orang yang
ahli membaca al-Qur’an bermakmum pada seorang yang ummiy (orang yang
tidak pandai membaca al-Qur’an atau tidak hafal surat al-Fatihah). Hal ini
berdasar pada hadits: “Dan telah
menceritakan kepada kami Muhammad bin al-Mutsanna dan Ibnu Basyar, kata
Ibnul-Mutsanna; telah menceritakan kepada kami yaitu Muhammad bin
Ja’far dari Syu’bah dari Ismail bin Raja’ katanya; aku
mende-ngar Aus bin Dham’aj mengatakan; Aku mendengar Abu
Mas’ud berkata; Rasu-lullah saw bersabda kepada kami: “Hendaknya yang berhak menjadi imam suatu kaum adalah yang paling
banyak dan paling baik bacaan kitabullah (al-Qur’an), jika dalam bacaan sama,
maka yang paling dahulu hijrah, jika mereka dalam hijrah sama, maka yang lebih
dewasa.” (HR. Muslim
no.1079, Abu Daud no.1079, Ahmad no.21308, Ibnu Majah no.970). Berdasarkan hadits
ini, seorang ummiy tidak diperbolehkan menjadi imam dikarenakan
konsekwensi menjadi imam diantaranya adalah menanggung bacaan makmum, sedang
orang yang ummiy tidak mampu menanggung bacaan al-Qur’an karena dia
memang tidak mampu membacanya.
Termasuk dalam kategori ummiy adalah al-arot
yakni orang yang meng- idzghom-kan huruf satu pada huruf yang lain
tetapi tidak pada tempatnya. Demikian juga termasuk ummiy adalah al-altsagh
yakni orang yang mengganti huruf satu dengan huruf yang lain, seperti mengganti
ro’ dengan ghoin. Juga tidak diperboleh-kan bermakmum terhadap
orang yang tidak mampu mengucapkan huruf yang bertasydid. Secara garis
besar adalah orang yang membaca al-Qur’an namun tidak mengenal tajwid. Sedangkan
orang yang ummiy bermakmum kepada orang yang ummiy hukumnya sah,
sebagaimana orang wanita bermakmum pada orang wanita.
Dalam kasus yang lain, yaitu seorang anak
menjadi imam dalam shalat jamaah, maka sesungguhnya seorang anak yang belum baligh
tapi sudah mumayiz (mampu membedakan sesuatu yang baik dan buruk) boleh
menjadi imam, tentu dengan syarat bacaan al-Qur’annya lebih bagus dari
orang-orang yang hadir dalam jamaah. Sebuah hadits yang diriwayatkan Imam
Bukhari menceritakan bahwa pada masa Rasulullah saw, Umar bin Salamah pernah
menjadi imam shalat untuk kaumnya sedang ia masih berusia 6 atau 7 tahun. Namun
yang lebih utama menjadi imam tetaplah orang yang sudah baligh daripada anak
yang belum baligh walaupun lebih pandai. Hal ini dikarenakan daya nalar
laki-laki baligh tentunya lebih bagus daripada yang belum baligh. Adapun anak
yang belum baligh serta belum mumayiz tidak boleh menjadi imam, karena
shalatnya secara hakikat memang belum sah.
Lalu barangkali suatu saat kita menemukan imam
yang membaca basmalah dalam surat al-Fatihah dengan sirri/nyaris tak
terdengar. Menurut madzhab Syafi’i hukum membaca basmalah dalam Fatihah adalah
wajib. Maka tidak sah shalat seseorang tanpa membaca basmalah. Apabila
menemukan imam yang mensirrikan bacaan basmalah, selama makmum meyakini
bahwa imam tersebut memang membaca basmalah namun lirih/sirri, maka
shalatnya tetap sah. Sedangkan jika makmum meyakini bahwa imamnya tidak membaca
basmalah, maka shalatnya tidak sah. (Fath al-Muin Hamisy I’anah al-Thalibin
(II): 49-50, Nihayah Zain: 127).
Adapun hukum
bermakmum pada orang fasiq, maka ulama berbeda penda-pat
antara yang memperbolehkan dan yang tidak memperbolehkan (Bidayah
al-Mujtahid hal. 105). Dan bagi yang membolehkan
berdasar pada perkataan Nabi: “shalatlah kalian semua di belakang orang yang
mengucapkan lafadz Laa Ilaaha illa Allah dan di depan orang yang mengucapkan
lafadz Laa Ilaaha illa Allah” dan karena
sesungguhnya Ibnu Umar ra pernah shalat bermakmum di
belakang orang yang ahli perdebatan dengan kefasikkannya (al-Muhadzab fii
Fiqh al-Imam al-Syafi’i, bab Sifat al-Aimmah).
Demikianlah beberapa hal tentang imam shalat jamaah. Semoga
kita diberi hidayah oleh Allah agar mendapatkan seorang imam yang baik dalam
shalat jamaah yang kita lakukan. Aamiin … ***
Tidak ada komentar:
Posting Komentar