buletin ini terbit secara rutin tiap hari Jum'at di masjid agung RMAA Tjokronegoro Ponorogo

Rabu, 19 Maret 2014

HAKIKAT SYUKUR



      Edisi  12 th V : 21 Maret 2014 M / 19 Jumadil Ula 1435 H
HAKIKAT SYUKUR
Penulis: ust. Marsudi (TPQ ad-Darajaat, Mayak)
Puji syukur pada Allah yang telah berfirman dalam surat Ibrahim ayat 8: “Dan Musa berkata: "Jika kamu dan orang-orang yang ada di muka bumi semuanya mengingkari (nikmat Allah) maka sesungguhnya Allah Maha Kaya lagi Maha Terpuji." Kemudian shalawat salam semoga tetap tercurah pada Nabi Muhammad saw, sang pembawa risalah penyelamat bagi segenap umat manusia sampai akhir jaman.
Setiap hari kita mendapatkan limpahan nikmat yang tak terhitung banyaknya. Hanya saja, seringkali kita tidak sempat untuk menyadarinya. Terkadang kita lebih terpana pada kelebihan nikmat yang diterima oleh orang lain sehingga kita bertanya-tanya, kenapa bukan kita yang mendapat nikmat tersebut. Ada sebuah hadits dari Rasulullah saw yang sangat tepat untuk kita jadikan pijakan dalam usaha untuk mensyukuri segala nikmat yang kita dapatkan: “Dua hal apabila dimiliki oleh seseorang dia dicatat oleh Allah sebagai orang yang bersyukur dan sabar. Dalam urusan agama (ilmu dan ibadah) dia melihat kepada yang lebih tinggi lalu meniru dan mencontohnya. Dalam urusan dunia dia melihat kepada yang lebih bawah, lalu bersyukur kepada Allah bahwa dia masih diberi kelebihan.” (HR. Tirmidzi). Dari hadits ini, sesungguhnya sudah nampak sebuah konsep untuk bersyukur. Kemudian para ulama mengembangkan lagi konsep bersyukur, khususnya dalam masalah duniawi, dengan membagi teknik bersyukur dalam 3 kategori, yaitu syukur dengan hati, syukur dengan lisan, dan syukur dengan perbuatan. Pada hakikatnya, kesemuanya merupakan satu kesatuan yang tak terpisahkan.

Ø Syukur dengan hati dilakukan dengan menyadari sepenuhnya bahwa nikmat yang diperoleh adalah semata-mata karena anugerah dan kemurahan Allah. Syukur dengan hati ini akan membuat manusia rela tanpa menggerutu betapapun kecilnya nikmat tersebut. Bahkan seseorang pun sejatinya harus bersyukur dengan hati juga saat ditimpa musibah, namun tentu bukan atas malapetaka tersebut, tetapi karena kesadaran bahwa yang dialaminya boleh jadi lebih kecil resikonya dibandingkan musibah lain. Maka orang yang bersyukur sama dengan merasa “beruntung”. Dari kesadaran tentang makna-makna di atas, seseorang akan bersujud untuk menyata kan rasa syukurnya kepada Allah. Sujud syukur adalah perwujudan dari syukur dengan hati yang dilakukan saat hati dan pikiran menyadari betapa besar nikmat yang dianugerahkan oleh Allah. Sujud syukur dilakukan dengan meletakkan semua anggota sujud di lantai yakni dahi, kedua telapak tangan, kedua lutut dan kedua ujung jari kaki –seperti melakukan sujud dalam shalat-. Hanya saja sujud syukur cukup dengan sekali sujud, bukan dua kali sebagaimana dalam shalat. Karena sujud itu bukan bagian dan shalat, maka mayoritas ulama berpendapat bahwa sujud syukur tetap sah walaupun dilakukan tanpa berwudhu, karena sujud dapat dilakukan sewaktu-waktu dan secara spontanitas. Namun tentunya akan sangat baik jika melakukan sujud dalam keadaan suci dari hadats dan najis.
Ø Syukur dengan lidah adalah mengakui dengan ucapan bahwa sumber segala nikmat adalah dari Allah sambil memuji-Nya. Islam mengajarkan agar pujian kepada Allah disampaikan dengan redaksi kata hamdalah yaitu “al-hamdulillah.” Kata “hamdu” (pujian) disampaikan secara lisan kepada yang dipuji, walaupun ia tidak memberi apa pun baik kepada si pemuji maupun kepada yang lain. Kata “al” pada “al-hamdulillah” oleh pakar-pakar bahasa (nahwu-sharaf) disebut al lil-istighraq yakni mengandung arti “keseluruhan”. Sehingga kata “al-hamdu” yang ditujukan kepada Allah mengandung arti bahwa yang paling berhak menerima segala pujian adalah Allah swt, bahkan seluruh pujian harus tertuju dan bermuara kepada-Nya. Jika kita mengembalikan segala puji kepada Allah, itu berarti pada saat kita memuji seseorang karena kebaikan atau keindahan fisiknya, maka pujian tersebut pada akhirnya harus dikembalikan kepada Allah swt, sebab kebaikan atau keindahan fisik itu bersumber dari Allah. Di kondisi lain kalaulah ada ketetapan Allah (takdir) yang mungkin oleh kacamata manusia dinilai “kurang baik”, maka harus disadari bahwa penilaian tersebut hanyalah akibat keterbatasan manusia dalam menetapkan tolok ukur penilaiannya yang memang tidak mampu memahami hakikat atau mungkin juga karena tidak mampu melihat hikmah di balik peristiwa. Dengan demikian pasti ada sesuatu yang luput dari jangkauan pandangannya sehingga penilaiannya menjadi demikian. Oleh karenanya dalam segala kondisi, pujian dengan hamdalah adalah sangat tepat.

Ø Syukur dengan perbuatan. Rasa syukur dalam hati yang telah diucapkan melalui lisan, akan sempurna jika diimplementasikan dalam perbuatan. Melalui al-Qur’an surat Saba’ ayat 13 Allah telah berfirman dan memberikan gambaran: “Para jin itu membuat untuk Sulaiman apa yang dikehendakiNya dari gedung-gedung yang tinggi dan patung-patung dan piring-piring yang (besarnya) seperti kolam dan periuk yang tetap (berada di atas tungku). Bekerjalah wahai keluarga Daud untuk bersyukur (kepada Allah). dan sedikit sekali dari hamba-hambaKu yang bersyukur.“ Dalam ayat ini yang dimaksud dengan “bekerjalah wahai keluarga Daud” –padahal nabi Daud as serta nabi Sulaiman as adalah raja yang kaya raya berkecukupan- adalah menggunakan nikmat yang diperoleh itu sesuai dengan tujuan penganugerahannya. Dalam konteks yang lebih luas, ini berarti setiap nikmat yang diperoleh manusia pada hakikatnya menuntut manusia agar merenungkan tujuan dianugerahkannya nikmat tersebut oleh Allah. Jika tidak memahami tujuan dari penganugerahan nikmat tersebut maka bisa jadi akan terjadi sesuatu yang lain di kemudian harinya. Mari kita cermati surat an-Nahl ayat 112: “Allah telah membuat satu perumpamaan (dengan) sebuah negeri yang dahulunya aman lagi tenteram, rezeki datang kepadanya melimpah ruah dari segenap penjuru, tetapi (penduduknya) kufur (tidak bersyukur atau tidak bekerja untuk menampakkan) nikmat-nikmat Allah. Oleh karena itu, Allah menjadikan mereka mengenakan pakaian kelaparan dan ketakutan disebabkan oleh perbuatan yang selalu mereka lakukan.” Pengalaman pahit yang dilukiskan dalam al-Qur’an ini, telah terjadi terhadap sekian banyak masyarakat bangsa-bangsa terdahulu. Oleh karenanya, sangat penting sekali bagi kita untuk selalu mengingat dan menjadikan pedoman, yaitu surat Ibrahim ayat 7: “Jika kamu bersyukur pasti akan Kutambah (nikmat-Ku) untukmu, dan bila kamu kufur, maka sesungguhnya siksa-Ku amat pedih”.
Dari sekelumit tulisan ini, semoga menjadikan kita semakin dapat menjadi makhluk yang senantiasa mampu bersyukur dalam kondisi apapun, bersyukur dengan hati, diikrarkan dengan lisan dan diwujudkan dalam perbuatan. Aamiin …
***

Senin, 17 Maret 2014

PENDIDIKAN DALAM KELUARGA



Edisi  11 th V : 14 Maret 2014 M / 12 Jumadil Ula 1435 H
PENDIDIKAN DALAM KELUARGA
Penulis: ust. Mahfud (TPQ Miftahul Huda, Jenes)
Puji syukur pada Allah yang telah menciptakan segala sesuatu dengan ber-pasang-pasangan. Ada siang ada malam, ada matahari ada rembulan, ada bumi ada langit, ada kanan ada kiri, ada laki-laki dan ada juga perempuan. Semua itu tidak ada yang sia-sia, karena setiap segala sesuatu ada hikmahnya. Kemudian shalawat salam semoga tetap tercurah pada Nabi Muhammad saw, makhluk paling mulia di muka bumi ini yang pernah diciptakan oleh Allah swt.
 Kita tentu mengetahui bahwa ketakwaan merupakan perwujudan dari keimanan dalam dada. Aplikasi dari ketakwaan berupa segala macam bentuk ibadah. Sedangkan hasilnya adalah terwujudnya akhlakul karimah. Untuk itu diperlukan beragam sarana prasarana yang sekiranya dapat menunjang proses tersebut menuju kesuksesan. Salah satu faktor pentingnya adalah pendidikan dalam lingkungan keluarga. Dalam hal ini, peningkatan ketakwaan sangat dipengaruhi oleh lingkungan keluarga terutama dalam membentuk keluarga sakinah seperti yang termaktub dalam al-Qur’an surat Ar-Rum ayat 21 yang artinya: Dan di antara tanda-tanda kekuasa-anNya ialah Dia menciptakan untukmu istri-istri dari jenismu sendiri, supaya kamu merasa nyaman kepadanya, dan dijadikan-Nya di antaramu mawaddah (rasa cinta) dan rahmah. Sesungguhnya pada yang demikian itu benar-benar terdapat tanda-tanda bagi kaum yang berpikir.”
Keluarga merupakan bagian kecil dari masyarakat. Masyarakat yang baik merupakan kumpulan dari keluarga-keluarga yang baik. Keluarga yang baik adalah suatu keluarga yang dibangun atas dasar ketaatan terhadap Allah swt. Membangun keluarga semata-mata untuk meningkatkan kualitas ibadah kepada Allah swt. Suatu

keluarga yang selalu dilandasi dengan al-Qur’an dan sunah akan mampu mengem-balikan fitrah manusia, sehingga mampu melahirkan manusia-manusia yang islami sebagaimana fitrahnya.
Di sinilah peranan pendidikan dalam keluarga sangat menentukan, bagaimana seorang ayah dan ibu mampu mendidik anak-anaknya menjadi manusia yang kuat dalam akidah, ekonomi, akhlaq serta ilmu pengetahuannya. Rasulullah saw bersabda dalam salah satu haditsnya: “Setiap anak itu dilahirkan dalam keadaan fitrah. Kedua orang tuanyalah yang membuatnya menjadi seorang Yahudi, seorang Nasrani maupun seorang Majusi.” (HR Muslim). Dari hadits ini dapat diambil kesimpulan bahwa orang tua sangat berperan dalam membentuk akidah anaknya. Contoh yang sangat baik telah ada, sebagaimana termaktub dalam al-Qur’an surat Lukman ayat 13 yang menceritakan kisah Lukman al-Hakim ketika menasehati anaknya agar tidak mensekutukan Allah swt: “Wahai anakku, jangan sekali-kali engkau sekutukan Allah”. Demikianlah seharusnya orang tua, memperhatikan betul bagaimana akidah anak-anaknya. Jangan sampai anak-anak terjerumus dalam syirik yang termasuk dalam kategori dosa besar. Al-Qur’an surat an-Nisa’ ayat 48 menerangkan: “Sesungguhnya Allah tidak akan mengampuni dosa syirik dan Dia mengampuni segala dosa yang selain dari (syirik) itu bagi siapa yang dikehendaki-Nya. Barangsiapa yang mempersekutukan Allah maka sungguh ia telah berbuat dosa yang besar.” Tanggung jawab terhadap bahaya syirik ini menjadi tanggung jawab bersama bagi orang tua, terutama kepala rumah tangga sebagai penentu kebijakan. Hal ini berkaitan dengan firman Allah swt dalam surat at-Tahrim ayat 6: ”Wahai orang-orang yang beriman, peliharalah dirimu dan keluargamu dari api neraka yang bahan bakarnya adalah manusia dan batu, penjaganya malaikat-malaikat keras yang tidak durhaka kepada Allah terhadap apa yang diperintahkan kepada mereka dan selalu mengerjakan apa yang diperintahkan”.
            Pendidikan selanjutnya setelah penanaman akidah adalah pendidikan tentang berbakti kepada kedua orang tua. Allah swt berfirman dalam surat Lukman ayat 14: “Dan kami perintahkan kepada manusia (berbuat baik) kepada dua orang ibu bapakya; ibunya telah mengandungnya dalam keadaan lemah yang bertambah-tambah, dan menyapihnya dalam dua tahun, bersyukurlah kepadaKu dan kedua ibu bapakmu, hanya kepadaKulah kembalimu. Dalam ayat ini terlihat jelas bagaimana Islam sangat menjunjung tinggi etika, terutama etika anak terhadap orang tua. Dalam rangka mendorong berbuat baik terhadap orang tua, sampai-sampai al-Qur’an menyebutkan bagaimana kesulitan dan kepayahan orang tua dalam mengasuh anak-anaknya, mulai dari mengandung, melahirkan dan menyusui. Sebagai rasa terimakasih kita kepadanya, hendaknya kita berbuat baik kepada keduanya.
Selanjutnya, pendidikan yang harus diajarakan kepada anak sesuai dengan Qur’an surat Lukman ayat 16 adalah moral: Wahai anakku bila ada kebaikan yang

kamu kerjakan kecil (tidak nampak oleh pandangan mata), yang kecil itu tersembu-nyi di puncak langit, di dasar bumi yang paling dalam atau di tengah-tengah batu hitam sekalipun, Allah pasti akan mengetahuinya dan pasti akan memberikan balasan yang seadil-adilnya”. Ayat ini memberikan pemahaman kepada anak agar senantiasa berhati-hati dalam berbuat, sebab apa yang dilakukan selalu diketahui oleh Allah dan akan dimintai pertanggung jawabannya. Kemudian anak-anak diajarkan tatanan hidup, sebagaimana termaktub dalam surat Lukman ayat 17: Wahai anakku, dirikanlah shalat dan suruhlah (manusia) mengerjakan yang baik dan cegahlah (mereka) dari perbuatan yang mungkar, dan bersabarlah terhadap apa yang menimpakamu. Sesungguhnya yang demikian itu termasuk hal-hal yang diwajib kan oleh Allah. Setelah 4 dasar ini dimiliki anak, maka kemudian anak diajarkan berbagai disiplin ilmu yang berguna yang pada akhirnya si anak menjadi generasi yang tangguh. Jangan sampai generasi yang akan datang merupakan generasi yang lemah, baik lemah akidah, lemah moral, lemah ekonomi maupun lemah ilmu pengetahuannya. Rumah juga sebagai sarana mendapatkan dan berbagi ilmu, sebagai ladang da’wah, saling memuhasabahi, saling mengkoreksi dan instropeksi. Tiada kata menyerah dalam mengarungi biduk rumah tangga. Ikrar yang sudah diucapkan hendaknya betul-betul dipahami dan diamalkan. InsyaAllah perjuangan untuk membina keluarga sakinah mawaddah wa rahmah yang menjadi pondasi kekuatan menuju ridha Allah, akan terwujud. Sehingga di kemudian hari akan terlahir generasi terbaik, generasi rabbani dari rumah-rumah kaum muslimin.
Demikianlah beberapa konsep pendidikan dalam rumah tangga islami. Ada baiknya kita juga merenungkan firman Allah dalam al-Qur’an surat an-Nisa’ ayat 9: “Dan hendaklah takut kepada Allah orang-orang yang seandainya meninggalkan di belakang mereka (generasi berikutnya) anak-anak yang lemah, yang mereka khawatir terhadap (kesejahteraan) mereka. Oleh sebab itu hendaklah mereka bertakwa kepada Allah dan hendaknya mereka mengucapkan perkataan yang benar.” Ayat ini selayaknya menjadi modal dasar bagi orang tua dalam mendidik anak nya. Semoga Allah melimpahkan kekuatan dan kesabaran pada kita semua dalam membina dan mendidik anak-anak kita, aamiin … ***