buletin ini terbit secara rutin tiap hari Jum'at di masjid agung RMAA Tjokronegoro Ponorogo

Selasa, 25 Juni 2013

TRADISI MEGENGAN



Bulletin TELAGA JIWA
Susunan Redaksi:
Pembina:
MABIN TPQ Ma’arif NU Ponorogo.
Penanggung Jawab:
Ketua TPQ Ma’arif NU Kortan Ponorogo.  
Manager:
Mahfud
Redaktur:
Hadi PS, Dana AD, Eri WH, Rohmanuddin, Wasis W, Asyif NH.
Editor:   
Marsudi
Keuangan:
Herul Sabana

Alamat Redaksi:
Ponpes Hudatul Muna Jenes Brotonegaran Ponorogo.
Contact Persons: 085233977218 dan 085235666984
Website:
Bulletin Telaga Jiwa TPQ NU Kortan Ponorogo (*9)
group facebook:
TELAGA JIWA TPQ NU Koortan Ponorogo




Edisi  13 th IV :  28 Juni 2013 M / 19 Sya’ban 1434 H

TRADISI MEGENGAN

Penulis: Ust. Marsudi (TPQ ad-Darajaat, Mayak)
Segala puji hanyalah bagi Allah swt yang telah memberikan rahmat dan karunia pada kita sehingga kita masih mendapat kesempatan untuk melewati nisfu Sya’ban dan bersiap menyongsong datangnya Ramadhan. Kemudian shalawat dan salam semoga tetap terlimpahkan pada Nabi Muhammad saw yang telah memberikan tuntunan bagi segenap umat manusia menuju kebahagiaan lahir batin.
            Dalam tradisi budaya Jawa, setiap kali menyongsong datangnya bulan Rama-dhan, masyarakat menyelenggarakan kegiatan shadaqah sebagai perwujudan rasa syu-kur yang dikenal dengan istilah “megengan”. Rasa syukur pada Allah swt yang telah memberikan kesempatan panjang umur, karena memang tidak semua orang diberi kesempatan hidup panjang umur hingga dapat menikmati bulan suci Ramadhan. Istilah megengan memang tidak dikenal dalam syari’at Islam. Namun esensi dari tra-disi ini sebenarnya tidaklah bertentangan dengan syari’at Islam.
             Megengan merupakan acara do’a bersama yang disertai kegiatan bershadaqah. Banyak orang yang salah menilai dengan beranggapan bahwa shadaqah yang diberikan itu adalah dikirimkan pada arwah para leluhur. Ini anggapan yang salah fatal. Yang “dikirimkan” bukanlah shadaqahnya melainkan pahala dari shadaqah tersebut. Hal ini mengacu pada sebuah hadits shahih Bukhari menyebutkan: “Dari Ibnu Abbas ra berkata: sesungguhnya ada seseorang bertanya pada Rasulullah saw: “ibu saya wafat. Apakah ia akan mendapat manfaat/pahala jika saya bersedekah atas nama-nya?” Rasulullah saw menjawab: “Ya.” Orang tersebut berkata: “Saya mempu-nyai sebidang kebun, maka saya mohon padamu agar menjadi saksi bahwa saya menyedekahkannya atas nama ibu saya.” (hadits ini diriwayatkan juga oleh Muslim dengan redaksi kata yang sedikit berbeda).Dari hadits di atas bisa disimpulkan bahwa pahala sedekah yang dilakukan oleh sahabat tersebut di atas bisa bermanfaat bagi ibunya yang sudah wafat. Maka jaman sekarang banyak orang wakaf tanah untuk masjid atau madrasah atas nama ayah ibunya meski mereka sudah meninggal. Hal ini berarti apapun yang kita lakukan di dunia dan itu kita yakini berpahala maka pahala tersebut bisa ditransfer atau diberikan pada orang yang sudah wafat.
Jika hadits tadi hanya menyebutkan tentang pahala sedekah sebidang kebun, maka kita bisa merujuk pada hadits shahih lain yang diriwayatkan oleh Muslim sbb: “Rasulullah saw bersabda: bukankah Allah telah menyediakan untukmu sesuatu yang bisa kamu sedekahkan? Sesungguhnya bacaan tasbih adalah sedekah, dan bacaan takbir adalah sedekah, dan bacaan tahmid adalah sedekah, dan bacaan tahlil adalah sedekah.” Ternyata berdzikir dan membaca al-Qur’an bisa dikategori-kan sebagai sedekah. Semakin banyak kita berdzikir dan membaca al-Qur’an, berarti semakin banyak nilai sedekah. Dan setiap pahala sedekah bisa diperuntukkan bagi orang yang sudah wafat, siapa pun itu. Tidak ada batasan hanya untuk orang tua kandung saja. Karena jika seperti itu, maka bagaimana nasib mereka yang tidak mempunyai keturunan. Padahal nasib itu bukan kehendak mereka, tapi memang ke-tentuan Allah swt. Adapun hadits Rasulullah tentang anak shaleh yang mendoakan orang tuanya, sehingga amal pahala orang tuanya tidak terputus meski sudah wafat , maka –menurut kami- tidak boleh ditafsirkan secara mentah/mutlak (bahasa jawanya loko-loko). Yang dimaksud orang tua di sini sangatlah luas penafsirannya, bisa orang tua angkat, atau orang yang dituakan, atau guru yang telah membimbing kita, atau tokoh yang berjasa pada kita, atau sanak kerabat dll.
            Dari kajian hadits di ataslah dapat ditarik kesimpulan bahwa pahala shadaqah dan pahala bacaan al-Qur’an dapat ditransfer pada orang yang sudah wafat. Kaitan-nya dengan megengan adalah ungkapan rasa syukur dapat menyongsong Ramadhan adalah dengan mengingat kembali jasa-jasa para leluhur atau orang tua yang telah wafat dan berjasa mendampingi kehidupan kita, kemudian mendo’akan mereka serta bershadaqah dan membaca al-Qur’an yang pahalanya ditransfer untuk mereka. Ba-rangkali ada di antara kita yang berpendapat bahwa kegiatan semacam ini termasuk bid’ah, dan setiap bid’ah adalah sesat. Sedikit menyinggung hal ini, bahwasanya sulit bagi kita untuk menemukan orang yang sama sekali tidak melakukan bid’ah. Salah satu contohnya adalah proses ibadah haji, saat melakukan sa’i antara shafa dan marwa. Pada jaman Rasulullah tidak ada jalur khusus yang membedakan jalur pulang perginya. Saat ini pemerintah Arab Saudi membangun dua jalur, satu untuk pulang satu untuk pergi sehingga tidak ada tabrakan antar jamaah haji. jika ada jamaah haji nekat hanya memakai satu jalur saja, ya tentu saja akan ada tindakan dari pihak keamanan. Juga tentang tarawih. Rasulullah shalat tarawihnya adalah saat lewat tengah malam. Yang mengerjakan tarawih beriringan dengan shalat ‘isyak adalah jaman khalifah Umar. Jaman sekarang, apa kita mengerjakan shalat tarawih lewat tengah malam? Jika kita melakukannya di awal malam setelah shalat ‘isyak, itu artinya kita sudah melakukan bid’ah. Bisakah kita berkata bahwa kita adalah orang sesat? Maka dari itu -menurut pemahaman kami- bid’ah ada 2 macam: bid’ah hasanah (baik) dan bid’ah sayyiah (jelek).

            Terlepas dari itu, mari kita simak hadits berikut yang diriwayatkan oleh ath-Thabrani dan al-Bayhaqi: “Dari Ibnu Umar ra berkata bahwa Rasulullah saw bersabda: jika salah satu diantara kalian wafat, maka jangan ditahan untuk segera dibawa ke kuburannya dan bacalah fatihah di dekat kepalanya.” Jadi jika Rasulullah saw menyuruh kita untuk membacakan fatihah di dekat kepala si mayit, tentunya hal tersebut ada guna manfaatnya bagi si mayit. Padahal dalam jasad si mayit sudah tidak ada ruhnya lagi. Penafsirannya –menurut kami- adalah bacaan fatihah –dalam konteks ini adalah pahalanya- akan bermanfaat bagi ruh orang yang sudah wafat, tak peduli jasadnya masih ada maupun sudah hancur bercampur tanah, karena ruh tidak akan ikut hancur bersama jasad.
            Nah, dari hadits-hadits itulah yang dijadikan dasar amalan hidiyah fatihah bagi orang yang sudah wafat, kemudian diteruskan dengan rangkaian tahlil dan doa yang dilakukan dalam ritual tradisi megengan. Adapun masalah pembacaan hidiyah fatihah dan tahlil di hari ke 3, 7, 40, 100 sampai 1000 hari dari kematian seseorang, maka itu hanyalah masalah teknis saja yang juga menjadi tradisi masyarakat. Pada dasarnya setiap hari setiap saat amalan hidiyah fatihah dan tahlil boleh dilakukan siapa saja dan kapan saja. Malaikat Rokib dan Atid tidak pernah tidur, sehingga setiap amal ibadah kita sudah pasti dicatat. Adapun tentang pahala yang kita dapatkan maupun yang diberikan untuk ruh orang lain, maka hanya Allah swt saja yang bisa menentukan manfaatnya. Allah swt Maha Mengetahui segala sesuatu, sedang kita hanya mengetahui setitik debu saja –itupun jika dikehendaki oleh-Nya.
            Sehubungan dengan tradisi megengan, seiring berjalannya waktu, masyara-kat sudah tidak lagi kaku dalam membuat model megengan. Jika jaman dulu, me-gengan itu hanya dilakukan dalam satu hari menjelang Ramadhan dengan jenis shadaqah yang sama yaitu nasi tumpeng beserta “ubo rampe”nya. Jaman sekarang, megengan dapat dilakukan secara bergantian hari dalam seminggu sebelum Rama-dhan, bahkan sudah banyak yang melakukannya dengan cara jamaah yaitu dikum-pulkan di mushola dan dilakukan do’a bersama. Jenis shadaqah juga semakin berva-riasi, mulai dari makanan, minuman sampai buah-buahan. Semua hal tersebut tidak terlepas dari esensi megengan itu sendiri.
Akhirnya, apapun yang kita lakukan, yang terpenting adalah kita harus me-rasa bersyukur karena masih diberi kesempatan untuk menyongsong datangnya bulan suci Ramadhan. Semoga Allah memberi ridha-Nya pada kita. Aamiin…
*********


Tidak ada komentar:

Posting Komentar