Edisi
22 th V : 23 Mei 2014 M / 23 Rajab 1435 H
SASTRA DALAM
QUR’AN
Penulis: ust. Marsudi (TPQ ad-Darajaat, Mayak)
Segala puji hanyalah bagi Allah swt, Sang Pencipta alam
semesta yang telah menggariskan tuntunan hidup bagi manusia melalui al-Qur’an
yang begitu dahsyat kemu’jizatannya. Shalawat dan salam semoga tetap tercurah
pada Nabi Muhammad saw sebagai sebaik-baik suri tauladan yang telah menunjukkan
jalan yang lurus bagi umatnya.
Al-Qur’an merupakan mukjizat terbesar nabi Muhammad saw.
Kemukjizatan tersebut bisa dilihat dari beberapa sisi. Terutama dalam masa-masa
awal dakwah di Makkah, kemukjizatan al-Qur’an sangat terlihat pada sisi-sisi
sastranya. Kedahsyatan sastra al-Qur’an saat itu bisa membuat manusia
terkagum-kagum baik yang akhirnya menjadi mukmin seperti Umar bin Khaththab
maupun yang akhirnya tetap kafir seperti Walid bin Mughirah. Tidaklah aneh jika
Sayyid Quthub menyebutnya sebagai sihir al-Qur’an yang tak terkalahkan. Maksud
kata sihir di sini, bukanlah sihir seperti pengertian umum, tapi hanya sebagai
ungkapan kehebatan kalimat-kalimat dalam al-Qur’an yang penuh makna saja. Pengungkapan
kata penuh makna yang terdapat dalam al-Qur’an itu kemudian dipelajari menjadi
suatu disiplin ilmu tersendiri yang disebut Balaghatil Qur’an.
Kekuatan sastra al-Qur’an
merupakan faktor yang sangat penting bagi masuk Islamnya generasi awal dakwah
Nabi. Hal ini berbeda dengan masuk Islamnya generasi-generasi selanjutnya, yang
bisa jadi karena simpati mereka terhadap kesempurnaan syariat Islam, karena
mereka menyaksikan bahwa Nabi selalu menang dan ditolong oleh Allah, karena
terkesan dengan akhlaq Nabi, atau karena sebab-sebab lain yang barangkali
melibatkan Al-Qur’an namun bukan sebagai faktor utama.
Bagaimana di
kala itu al-Qur’an bisa mempengaruhi bangsa Arab sedemikian rupa? Bagaimana
pula mereka yang mukmin maupun yang kafir sama-sama mengakui adanya kekuatan pesona
al-Qur’an? Sebagian pakar menjawab bahwa hal itu disebabkan kesempurnaan
syariat yang ditetapkan oleh al-Qur’an, juga kabar berita prediksi yang
terbukti kebenarannya setelah beberapa tahun (misalnya prediksi kemenangan
bangsa Rumawi atas Persia), atau kandungan ayat-ayat ilmiah tentang astronomi,
geologi, biologi dan lain sebagainya, yang di kemudian hari dapat dibuktikan
kebenarannya dengan menggunakan peralatan modern dan canggih. Sesungguhnya
tinjauan semacam itu hanyalah menetapkan kelebihan al-Qur’an sesudah
sempurnanya. Hebatnya lagi, semua ayat-ayat tentang berbagai macam kandungan
tersebut, dibungkus dalam tatanan bahasa indah yang kualitasnya melebihi sastra
manapun. Dalam mengapresiasi sastra al-Qur’an, setidaknya kita membutuhkan dua
bekal. Pertama, penguasaan bahasa Arab untuk bisa memahami makna ayat-ayatnya.
Kedua, ketajaman dan sensitivitas perasaan sastra. Tanpa bekal ini, bisa jadi kita
akan mengalami kesulitan dalam menikmati keindahan dan kelezatan lantunan
ayat-ayat al-Qur’an.
Berikut ini
kita akan melihat beberapa bentuk sastra atau gaya pengungkapan dalam al-Qur’an
yang sangat tinggi nilai sastranya. Bentuk-bentuk yang akan disuguhkan terutama
adalah bentuk-bentuk yang sederhana, yang bisa dirasakan oleh orang-orang yang
awam dalam ilmu balaghah sekalipun (ilmu Balaghah ialah ilmu
untuk menerapkan (mengimplementasikan) makna dalam lafadz-lafadz yang sesuai. Tujuan ilmu balaghah
yaitu mencapai
efektifitas dalam komunikasi antara penulis dan pembaca atau antara pembicara
dengan pendengar). Hal ini karena kebanyakan
bentuk-bentuk berikut bukanlah tema-tema yang biasa dikemukakan dalam buku-buku
balaghah:
Ø
Persajakan
Hampir seluruh ayat-ayat Makkiyah (ayat-ayat yang
diturunkan di Makkah pada masa sebelum hijrah ke Madinah) menyerupai untaian
bait-bait syair, yang salah satu cirinya ialah adanya kesamaan qafiyah
(rima). Sekedar sebagai contoh, kita bisa melihat surat an-Naas, al-Ikhlash,
al-Qadr, asy-Syams, dan lain-lain. Hal lain yang cukup menarik ialah bahwa
dalam kebanyakan ayat pergantian sajak senantiasa dibarengi pergantian tema
(kalau dalam prosa, mirip dengan pergantian paragraf).
Ø
Keseimbangan panjang ayat
Sekedar sebagai contoh,
mari kita perhatikan surat al-Insyirah atau asy-Syams. Panjang ayat yang satu
dan yang lainnya bisa dikatakan seimbang atau sama. Apabila untaian ayat-ayat
tersebut dilantunkan, keseimbangan panjang ayat tersebut akan menghasilkan
irama yang sangat nikmat.
Ø
Repetisi (pengulangan)
Repetisi yang dimaksudkan disini mempunyai
beberapa bentuk, diantaranya pengulangan kalimat seperti dalam contoh berikut
ini.
كلا سوف تعلمون × ثم كلا سوف تعلمون× (QS at-Takatsur ayat 3-4)
فان مع العسر يسرا × ان مع العسر يسرا × (QS al-Insyirah ayat 5-6)
Bentuk-bentuk repetisi tersebut tidak hanya menyatakan penegasan
dari sisi makna, namun juga menghasilkan keindahan dari sisi irama apabila
dibaca dengan taghoni ataupun tilawah.
Ø
Pemakaian huruf-huruf dalam kata yang sangat
representatif terhadap makna atau suasana makna
Sebagai contoh, mari kita perhatikan surat an-Naas.
Rima dan dominasi huruf sin menggambarkan suasana hati yang
diliputi rasa was-was. Demikian pula kalau kita perhatikan surat al-Qiyamah
ayat 26-27 berikut ini.
“Sekali-kali jangan.
apabila nafas (seseorang) telah (mendesak) sampai ke kerongkongan, dan
dikatakan (kepadanya): "Siapakah yang dapat menyembuhkan?",
Rima dan dominasi huruf qaf menggambarkan suasana
sesak di saat-saat sakaratul maut. Suasana yang sulit
terbayangkan, sebagaimana sulitnya kita melafalkan huruf qaf dengan makhraj
yang benar, bahkan tentu saja situasi sakaratul maut lebih sulit dari
itu. Dari sini pula, kita menjadi paham betapa pentingnya menjaga makhraj dan
sifat huruf saat membaca al-Qur’an. Kesalahan dalam makhraj dan sifat
huruf bukan hanya bisa menimbulkan perubahan makna namun juga bisa
menghilangkan suasana maknanya sebagaimana yang kita lihat dalam beberapa
contoh diatas.
Yang tertulis dalam
artikel pendek ini tentu saja masih belum mampu mengungkap secuilpun kehebatan
sastra al-Qur’an, karena masih banyak hal yang bisa dikaji dari kehebatan gaya
bahasa al-Qur’an. Semoga kita termasuk orang-orang yang mampu mencintai
al-Qur’an dengan istiqamah. Aamiin.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar