buletin ini terbit secara rutin tiap hari Jum'at di masjid agung RMAA Tjokronegoro Ponorogo

Rabu, 10 September 2014

CINTA RASUL



      Edisi 36 th V : 5 September 2014 M / 10 Dzul Qo’dah 1435 H
CINTA RASUL
Penulis: ust. Mahfud (TPQ Miftahul Huda, Jenes)
Segala puji hanyalah milik Allah swt, Tuhan Yang Maha Kuasa atas seluruh makhlukNya, yang telah berfirman dalam al-Qur’an surat at-Taubah ayat 129: “Sungguh telah datang kepadamu seorang rasul dari kaummu sendiri, berat terasa olehnya penderitaanmu, sangat menginginkan (keimanan dan keselamatan) bagimu, amat belas kasihan lagi penyayang terhadap orang-orang mukmin.”. Shalawat serta salam semoga tetap tercurahkan kepada junjungan kita, yaitu rasul yang telah diutus oleh Allah untuk kita, beliau nabi Muhammad saw, sang suri tauladan pelaku implementasi kehidupan ideal bagi manusia, baik dari perspektif religius maupun sosial.
Kita tentu sudah mengenal perihal shalawat. Membaca shalawat kepada Nabi Muhammad saw, hukumnya adalah sunnah. Oleh karenanya kita akan sering menemukan gema shalawat di mana-mana. Hampir di setiap tempat yang dihuni kaum muslimin akan sering terdengar lantunan shalawat. Ada yang melantunkannya sendirian dan ada pula yang berjamaah. Beragam redaksi shalawat juga banyak disusun oleh para alim ulama. Dengan demikian, semangat untuk melantunkan shalawat senantiasa terbarukan. Namun terkait dengan hal ini, bershalawat jangan hanya dijadikan sebagai trend belaka. Sebagai mana sebuah rumus bahwa trend tidaklah akan mampu bertahan untuk sekian waktu. Manakala trend lama sudah tidak lagi “up to date”, maka akan tergantikan dengan trend baru yang lebih segar. Begitu juga jika bershalawat hanya dijadikan sebuah trend, maka yang terjadi adalah gema shalawat akan sudah tidak terdengar lagi saat trend berganti.

Shalawat hendaknya benar-benar dijadikan sebagai tradisi yang bernilai ibadah yang dilaksanakan dengan penuh khidmat dan khusyu’. Kegiatan bershalawat dilaksanakan dalam rangka taat kepada Allah swt. Hal seperti ini sesuai dengan al-Qur’an surat al-Ahzab ayat 56: “Sesungguhnya Allah dan para malaikat-Nya senantiasa bershalawat kepada Nabi. Wahai orang-orang beriman bershalawatlah kepada Nabi dan ucapkanlah salam penghormatan baginya.” Dalam ayat ini maksud dari Allah “bershalawat” kepada Nabi adalah Allah menurunkan rahmat kepada Nabi. Sedangkan shalawatnya malaikat adalah memohonkan ampun. Adapun jika kita yang bershalawat, maka merupakan shalawat dengan redaksi sebagaimana yang lazim kita ketahui, yaitu Allahumma shalli ‘ala sayyidina Muhammad. Pada hakikatnya manfaat dari shalawat ini akan kembali kepada diri kita sendiri.  Ibaratnya Rasulullah saw merupakan air sirup warna merah yang penuh dalam gelas. Jika kita mengisikan air putih biasa ke dalam gelas tersebut maka isi gelas akan tumpah. Dan perhatikanlah air yang tumpah tersebut ternyata adalah air sirup warna merah pula.  kembalinya kepada kita sendiri. Untuk lebih jelasnya mari kita cermati hadits berikut ini: “Barangsiapa yang bershalawat kepadaku satu kali, maka Allah bershalawat kepadanya 10 kali shalawat, dihapuskan darinya 10 kesalahan, dan ditinggikan baginya 10 derajat.” (HR. an-Nasa’i). Imbalan dari shalawat yang hanya satu kali kita baca adalah 10 kali shalawat dari Allah, dan masih plus-plus lagi. Hal ini lebih hebat dari ibarat “air putih” yang kita tuangkan ke dalam gelas sirup.
Umat Islam saat memperbanyak membaca shalawat merupakan implementasi kecintaan kepada nabi Muhammad saw. Kita wajib mencintai Rasulullah, sebagai mana sabda beliau: “Ajarkan pada anak-anakmu tiga perkara: Cinta Nabimu, cinta Ahli Bait dan cinta membaca al-Qur’an”. Cinta kepada nabi Muhammad saw juga merupakan salah satu indikator kesempurnaan iman kita. Sebagaimana sabda Rasulullah saw: "Tidak sempurna keimanan seseorang diantara kalian hingga ia lebih mencintai aku daripada kedua orangtuanya, anaknya, dan manusia semuanya." (HR Bukhari). Cinta kepada Rasulullah sebenarnya sebuah hal yang sangat logis, manusiawi dan menunjukkan bahwa kita manusia yang mempunyai hati. Rasulullah saw adalah satu-satunya pemimpin yang senantiasa memperhatikan umatnya. Beliau sangat mencintai umatnya.  diriwayatkan saat hari kiamat tiba, beliaulah orang yang pertama kali dibangkitkan. Yang diucapkannya pertama kali adalah, “Mana umatku? Mana umatku? Mana umatku?” Beliau ingin masuk surga bersama-sama umatnya. Beliau kucurkan syafa’at kepada umatnya sebagai tanda kecintaan beliau terhadap mereka. Beliau juga sering berdoa, Allahumma salimna ummati (ya Allah selamatkan umatku).
Betapa buruk kita jika kita tidak mencintai Rasulullah saw. Padahal beliau yang menunjukkan kita kepada cahaya iman. Jika kita menelaah al-Qur’an maupun

hadits, jelas sekali tergambar bahwa beliau sangat menyayangi umatnya. Maka sudah selayaknya kita mencintai beliau. Cinta Rasul merupakan sebuah spirit yang besar bagi umat Islam. Dengan cinta kepada Rasul, kita menjadi optimis kelak akan masuk surga bersama beliau dengan izin Allah. Hal ini berdasarkan sebuah hadits: “Seseorang itu bersama orang yang  ia cintai.” (HR. Bukhari).
Cinta yang sungguh-sungguh pada Rasulullah akan menumbuhkan semangat untuk meneladani beliau. Sebagaimana jika seseorang yang cinta atau ngefans pada seorang penyanyi maka tentu ia akan meniru cara berpakaian, cara berbicara, bahkan hafal lirik lagu dari sang idola. Oleh karenanya, jikalau kita mencintai Rasulullah tentunya kita akan meneladani beliau dan mengimplementasikan keteladanan beliau dalam kehidupan. Konsep ini merupakan hal sangat penting. Jangan sampai cinta kita kepada Rasulullah saw hanya diwujudkan dengan membaca shalawat saja, tetapi lupa terhadap ajaran-ajarannya. Bahkan kita mengesampingkan keteladanan beliau. Jika kita hanya fokus pada shalawatan namun tidak mengimplementasikan makna serta hakikat shalawat itu sendiri, maka ini namanya hanya cinta palsu.
Jika umat Islam mencintai Rasulullah, maka rasa cinta ini selayaknya berbanding lurus dengan sikap dan tindakan. Jika umat Islam mampu meneladani Rasulullah saw, maka sungguh umat Islam akan mampu berjaya dan menjadi luar biasa hebatnya. Islam akan senantiasa menjadi rahmatan lil ‘alamin, rahmat bagi seluruh alam beserta isinya. Kedamaian, kerukunan serta keharmonisan akan timbul dengan sendirinya. Kemudian jika umat Islam khusunya yang berada di Indonesia senantiasa mencintai dan meneladani Rasulullah saw juga, maka tentunya bangsa dan negara Indonesia ini akan menjadi negara yang baldatun thayyibatun wa rabbun ghaffur. Kemakmuran dalam kemerdekaan yang telah lama diidam-idamkan akan terwujud dengan mudah. Tapi pertanyaannya, siapkah “kita semua” untuk sepakat dan bergerak tiada henti dalam mencintai serta meneladani Rasulullah saw?
***





Tidak ada komentar:

Posting Komentar