buletin ini terbit secara rutin tiap hari Jum'at di masjid agung RMAA Tjokronegoro Ponorogo

Rabu, 24 September 2014

TAWAKKAL



Edisi 37 th V : 12 September 2014 M / 17 Dzul Qa’dah 1435 H
TAWAKKAL
Penulis: ust. Marsudi (TPQ ad-Darajaat, Mayak)
Segala puji hanyalah bagi Allah swt yang telah berfirman dalam al-Qur’an surat Ali Imran ayat 159: “Maka disebabkan rahmat dari Allah-lah kamu berlaku lemah lembut terhadap mereka. Sekiranya kamu bersikap keras lagi berhati kasar, tentulah mereka menjauhkan diri dari sekelilingmu. karena itu ma'afkanlah mereka, mohonkanlah ampun bagi mereka, dan bermusyawarahlah dengan mereka dalam urusan itu. kemudian apabila kamu telah membulatkan tekad, maka bertawakkallah kepada Allah. Sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang bertawakkal kepada-Nya.” Shalawat dan salam semoga senantiasa tercurahkan pada nabi Muhammad saw yang telah menunjukkan bagaimana tatacara berikhtiyar dan bertawakkal dengan benar.
Ikhtiyar dalam bahasa Arab berasal dari kata khair yang artinya baik. Ikhtiyar  dapat didefinisikan sebagai sebuah usaha yang sungguh-sungguh dengan menempuh cara yang baik yang tidak bertentangan dengan syariat agama dengan disertai doa kepada Allah agar usahanya tersebut dapat berhasil. Dalam ikhtiyar sesungguhnya terkandung pesan sebuah ketakwaan, yakni bagaimana kita memilih sebuah solusi dengan tetap memperhatikan bahwa solusi tersebut merupakan jalan kita untuk melaksanakan perintah Allah tanpa menyentuh larangan-Nya. Oleh karena itu jika melakukan sebuah usaha meskipun sungguh-sungguh namun tidak sesuai dengan syariat Islam, maka tidaklah dapat disebut sebagai ikhtiyar. Misalnya: saat keluarga butuh uang untuk keperluan yang mendesak, kemudian melakukan tindak pencurian, maka hal ini bukanlah sebuah ikhtiyar.

Tawakkal secara bahasa Arab berarti bersandar atau mempercayai diri. Dalam hal ini tawakkal adalah sikap bersandar dan mempercayakan diri kepada Allah, atau menyerahkan sepenuhnya hasil ikhtyiar tersebut kepada Allah swt. Atau dalam definisi yang lain, tawakkal adalah membebaskan diri dari segala ketergantungan kepada selain Allah dan menyerahkan keputusan segala sesuatunya kepada-Nya.  Tawakkal merupakan suatu sikap mental seseorang yang tumbuh dari keyakinannya  kepada Allah. Dalam tauhid, kita diajari untuk meyakini bahwa hanya Allah yang menciptakan segala-galanya serta Allah Maha Berkuasa atas segala sesuatu. Keyakinan inilah yang menjadi pondasi sikap penyerahan segala hasil ikhiyar dari solusi persoalannya kepada Allah. Dengan keyakinan ini, kita dapat menenangkan hati serta dapat berbaik sangka terhadap segala sesuatu yang terjadi. Dari konsep ini kita dapat menyatakan bahwa tawakkal adalah salah satu buah keimanan. Setiap orang yang beriman akan menyandarkan dan menyerahkan semua urusan kehidupan beserta semua manfaat maupun mudharat kepada Allah. Kepasrahan ini merupakan sebuah keyakinan bahwa Allah tidak akan pernah terlena untuk memperhatikan kita. Dalam al-Qur’an surat Hud ayat 123 disebutkan: “Dan kepunyaan Allah-lah apa yang ghaib di langit dan di bumi dan kepada-Nya dikembalikan urusan-urusan semuanya, maka sembahlah Dia, dan bertawakkallah kepada-Nya. Dan sekali-sekali Tuhanmu tidak lalai dari apa yang kamu kerjakan.”
Yang harus digaris bawahi dari konsep tawakkal adalah sangat diperlukannya ikhtiyar. Kita tentu tidak boleh menyatakan bertawakkal jika kita tidak berikhtiyar terlebih dahulu. Kita tidak boleh hanya berpangku tangan dan mengharap segala sesuatunya terjadi dan berimbas keberuntungan. Jika seperti itu maka sama saja dengan menghayal. Rasulullah saw telah memberikan sebuah gambaran dari konsep ikhtiyar dan tawakkal: “Jika saja kamu sekalian bertawakkal kepada Allah dengan sepenuh hati niscaya Allah akan memberikan rezeki untukmu sekalian, sebagaimana Dia memberinya kepada burung; burung itu pergi dalam keadaan lapar dan pulang dalam keadaan kenyang.” (HR. Tirmidzi & Ibnu Majah). Dalam hadits ini jelas tergambarkan bahwa burung pergi, dalam hal ini tentu pergi terbang mencari makanan sehingga mendapatkan makanan dan baru kembali ke sarangnya. Jika burung tersebut tidak terbang mencari makanan, maka tentunya dia hanya akan kelaparan di dalam sarangnya. Begitu juga dengan manusia. Jika burung yang hanya memiliki insting saja bisa mencari rezeki, seharusnya manusia yang telah dikaruniai akal dan pikiran dapat lebih baik dari burung.
Jika kita sudah melaksanakan ikhtiyar dan memantapkan tawakkal, maka hal yang tidak kalah pentingnya adalah qanaah. Kita bisa membuat perumpamaan bahwa ikhtiyar adalah pangkalnya, tawakkal adalah tengahnya, dan qanaah adalah ujungnya. Konsep qanaah sangat dekat dengan syukur. Qanaah merupakan sikap menerima segala yang terjadi dengan penuh keyakinan husnudzdzan pada Allah bahwa hal yang

terjadi tersebut adalah yang terbaik. Kemudian menerima segala sesuatunya dengan lapang dada. Penerimaan ini tentu disertai rasa syukur pada Allah. Jika kita mampu melaksanakan konsep ini, maka sungguh segala yang terjadi akan terasa nikmat. Bukankah Allah telah berfirman dalam al-Qur’an surat Ibrahim ayat 7: “Dan ingatlah, tatkala Tuhanmu memaklumkan: ”Sesungguhnya jika kamu bersyukur, pasti Kami akan menambah (nikmat) kepadamu, dan jika kamu mengingkari (nikmat-Ku), maka sesungguhnya azab-Ku sangat pedih.” Dalam ayat ini jelas digambarkan bahwa yang ditambahkan adalah nikmat. Bisa jadi ketika kita bersyukur atas rezeki kita secara kuantitas atau jumlah tidak bertambah, namun secara kualitas (rasa) menjadi bertambah nikmat. Misalnya: seorang pedagang berangkat ke pasar, membuka los pasarnya, menjajakan dagangan pada pengunjung pasar yang lewat. Inilah tahapan ikhtiyarnya. Maka si pedagang senantiasa berdoa dan mengharap Allah membukakan kehendak para pengunjung pasar agar mampir dan membeli dagangannya. Si pedagang tidak meminta “penglaris”, namun hanya doa dan kepasrahan pada Allah. Ketika kemudian di sore hari dia hanya mendapatkan laba Rp 25 ribu, maka dia qanaah dan tetap bersyukur. Kejadian seperti ini seringkali terulang. Ternyata di balik rezekinya yang pas-pasan, Allah telah memberikan nikmat yang tiada tara. Pertama yaitu nikmat iman dan islamnya. Kemudian kesehatannya sehingga dapat terus beraktifitas. Istri dan anak di rumah juga mudah diatur dan tidak menuntut banyak hal. Dengan rezeki yang pas-pasan tersebut, ternyata orang lain menilai kehidupannya sudah mapan, tak pernah terdengar keluhan atau terlihat sedih. Konsep seperti inilah sesungguhnya yang diajarkan Islam. Kita harus tetap berikhtiyar disertai tawakkal, serta berujung qanaah dan syukur.
            Semoga Allah swt membukakan hati kita, memudahkan langkah kita, serta memberikan hidayah pada kita agar kita mampu dan mau melaksanakan tuntunan dalam Islam sebagaimana sudah digariskan dalam syariat. Aamiin …
***





Tidak ada komentar:

Posting Komentar