Edisi 35 th V : 29 Agustus 2014 M / 3
Dzul Qa’dah 1435 H
IMPLEMENTASI “MERDEKA”
Penulis:
ust. Marsudi (TPQ ad-Darajaat, Mayak)
Segala puji
hanyalah bagi Allah swt yang telah berfirman dalam al-Qur’an surat an-Nisaa
ayat 36: “Sembahlah Allah dan janganlah kamu mempersekutukan-Nya dengan
sesuatupun. Dan berbuat baiklah kepada dua orang ibu-bapak, karib-kerabat,
anak-anak yatim, orang-orang miskin, tetangga yang dekat dan tetangga yang
jauh, dan teman sejawat, ibnu sabil dan hamba sahayamu. Sesungguhnya Allah
tidak menyukai orang-orang yang sombong dan membangga-banggakan diri.” Shalawat
dan salam semoga senantiasa tercurahkan pada nabi Muhammad saw yang telah
menyampaikan kepada kita berbagai ilmu pengetahuan sosial yang berlandaskan
syariat dari Allah, ilmu yang menata kehidupan dalam bermasyarakat menuju
masyarakat yang sejahtera dalam kebersamaan.
Bulan Agustus
sudah hampir berlalu. Bulan dimana bangsa Indonesia meraya kan kemerdekaannya.
Bulan dimana bangsa kita ini memaklumatkan kebebasan untuk melakukan “apapun”
tanpa adanya tekanan dari bangsa manapun. Dalam arti luas, “merdeka” yang telah
diproklamirkan oleh bangsa kita memang dapat diartikan bahwa bangsa ini “bisa”
mengelola sendiri segala macam potensi yang dimiliki. Juga bisa diartikan bahwa
bangsa ini “boleh” marah atau tidak rela jika “sesuatu” yang dimilikinya direbut
atau diserobot oleh bangsa lain.
Kata “merdeka”
memang bisa diartikan “bebas”. Jika kata “merdeka” ini diimplementasikan dalam
kehidupan keseharian kita sebagai warga masyarakat, maka tentunya ada hal-hal
tertentu yang membatasi “kemerdekaan” kita. Dalam arti lain, kemerdekaan kita
dibatasi oleh kemerdekaan orang lain di sekitar kita. Kita memang
boleh berbuat segala sesuatu sesuka hati
kita, tapi dalam waktu yang bersamaan, kita tidak boleh mengganggu kenyamanan
orang lain. Dalam hal ini, kita harus menyadari bahwa kita adalah makhluk
sosial yang senantiasa membutuhkan dan dibutuhkan orang lain. Kita tidak akan
mampu hidup sendiri tanpa orang lain.
Agama
Islam yang sempurna ini juga mengatur segala sesuatu yang berkaitan dengan
“kemerdekaan” individu yang dibatasi oleh “kemerdekaan” individu lain.
Rasulullah saw telah bersabda dalam salah satu hadits: Sahabat Abi
Hurairah ra berkata, bahwa Rasulullah saw telah bersabda: "Barangsiapa beriman kepada Allah dan hari akhir, hendaklah jangan menyakiti hati tetangganya.
Dan barang siapa beriman kepada Allah dan hari akhir, hendaklah berbicara yang
baik atau berdiam diri (sekiranya tidak bisa berbicara baik)." (HR Bukhari dan Muslim). Mari kita cermati hadits
tersebut. Hanya “sekedar” berbicara pun, kita sudah diberitahu bagaimana cara
yang terbaik. Meski kita sudah “merdeka” untuk berbicara apapun dengan mulut
kita, namun kita “dibatasi” agar jangan sampai menyakiti hati orang di sekitar
kita. Jika kita tak mampu menjaga kata-kata, maka kita dianjurkan untuk menutup
mulut saja.
Kemerdekaan
orang di sekitar kita, yaitu tetangga, memang menjadi prioritas utama dalam
kehidupan sosial kemasyarakatan sebagaimana yang dilakukan oleh Rasulullah saw.
Hal tersebut tergambar jelas dalam salah satu hadits dari sahabat Ibnu Umar ra yang berkata,
bahwa Rasulullah saw telah bersabda: "Malaikat Jibril berkali-kali
memberikan wasiat kepadaku tentang urusan dengan tetangga, hingga aku menyangka bahwa tetangga akan dijadikan ahli
waris." (HR
Bukhari dan Muslim).
Tetangga merupakan orang-orang yang terdekat dengan rumah kita. Bisa kita pahami
bahwa jika kita terkena musibah maka tetangga terdekatlah yang akan terlebih
dahulu memberikan pertolongan. Jika kita memiliki hajat maka tetangga terdekat
jugalah yang akan terlebih dahulu terkena imbas merelakan “kemerdekaan”nya
terusik dengan segala macam suara dari sound system maupun akses ke rumahnya
terganggu terop, dan sebagainya. Oleh karenanya, Rasulullah saw mengajarkan
pada kita bahwa kita harus mengekang juga sebagian “kemerdekaan” yang menjadi
hak kita untuk menghormati “kemerdekaan” tetangga.
Kemudian sebagai seorang muslim yang baik, selain harus
menghormati “kemerdekaan” tetangga ternyata kita juga tidak diperbolehkan untuk
“menjajah” tetangga. Kesimpulan tentang hal ini didapat dari sebuah hadits yang
lain yang berasal dari sahabat Abi Syuraih al-Kalabi ra yang berkata, bahwa Rasulullah saw telah bersabda: "Demi Allah, tidak
termasuk orang yang beriman. Demi
Allah, tidak termasuk orang yang beriman. Demi Allah, tidak termasuk orang yang
beriman." Lalu seseorang mengaju-kan pertanyaan: "Ya Rasulallah,
sungguh celaka dan
sengsara. Siapakah dia?" Jawab Rasulullah: "Dia adalah orang yang selalu membuat penderitaan terhadap tetangga." (HR Bukhari). Dalam hadits
ini jelas tersurat bahwa orang yang “menja-
jah” tetangga dengan cara mendzalimi
maka dianggap sebagai orang yang tidak beriman. Matan hadits ini diperkuat
hadits lain yang berasal dari sahabat Anas bin Malik ra yang
berkata, bahwa Rasulullah saw telah bersabda: "Yang
dikatakan orang mukmin adalah orang yang bisa membuat ketenteraman terhadap
lingkungan. Dan yang dikatakan orang muslim adalah
orang yang ucapan dan perbuatannya
tidak merugikan kepada sesama manusia yang berada dalam
lingkungan masyarakatnya. Sedang yang dikatakan orang berhijrah
adalah orang yang menjauhi perbuatan jahat. Demi Dzat yang diriku berada dalam
kekuasaan-Nya, tidak akan masuk sorga seseorang yang tetangga-nya belum bisa
berdekatan dengannya (belum merasa aman bila di dekatnya)." (HR
Ahmad). Pada point inilah sebenarnya terlihat jelas bahwa Islam merupakan rahmatan
lil ‘alamin, pembawa rahmat bagi alam dan seisinya. Pembawa kedamaian bagi
umat manapun. Pembawa konsep “kemerdekaan” yang hakiki. Bahkan Islam lebih
“superior” dibandingkan konsep tentang HAM (Hak Asasi Manusia). Tentu hal ini
akan berlaku jika para penganut agama Islam bersungguh-sungguh dalam
melaksanakan syariat Islam secara baik dan benar.
Sebagai
bahan renungan, mari kita cermati juga hadits dari sahabat Abi Hurairah ra yang berkata, bahwa
Rasulullah saw telah bersabda: "Siapakah yang mau mengam-bil dariku
beberapa kalimat ini, yang kemudian diamalkan atau diajarkan kepada siapa saja yang mau mengamalkannya?"
Jawab Abi Hurairah: "Ya Rasulullah, aku bersedia mengambilnya." Lalu
Rasulullah menarik tanganku sambil menghi-tung hingga bilangan lima, lalu bersabda: "Ya Abu Hurairah,
jauhilah barang-barang haram, tentu engkau akan menjadi orang yang paling baik
ibadahnya di antara umat manusia. Ridhalah terhadap rizki yang telah Allah berikan
kepada-mu, tentu engkau akan menjadi manusia yang paling kaya. Berbuat baiklah
terha-dap tetangga, tentu engkau akan menjadi orang yang beriman sempurna.
Cintai-lah sesama manusia sebagaimana engkau mencintai dirimu sendiri, tentu
engkau akan menjadi seorang muslim sejati. Dan janganlah terlalu banyak
tertawa, kare-na banyak tertawa bisa mematikan hati (mematikan
kreatifitas)." (HR Tirmidzi). Semoga kita mampu
mengimplementasikan kemerdekaan ini sesuai dengan tuntunan dari Rasulullah saw
sebagai uswatun hasanah. Aamiin…
*********
Tidak ada komentar:
Posting Komentar