Edisi 14 th VIII : 7 April 2017 M / 10 Rajab 1438 H
AKTUALISASI HIKMAH RAJAB
Penulis:
Herul Sabana, SE (Mayak, Tonatan)
Puji syukur al-hamdulillah kepada
Allah swt yang telah berfirman dalam al-Qur’an surat al-Isra’ ayat 1 yang
artinya: “Maha suci Allah yang telah memperjalankan hambanya pada suatu malam
dari masjidil Haram ke masjidil Aqsa yang telah Kami berkahi sekelilingnya
untuk Kami perlihatkan kepadanya sebagian dari tanda-tanda (kebesaran) Kami.
Sesungguhnya Dia Maha Mendengar lagi Maha Mengetahui.” Shalawat dan
salam semoga tetap terlimpah pada nabi Muhammad saw sebagai uswatun hasanah
bagi kita semua.
Kita semua hidup dari hari ke
hari, minggu ke minggu, bulan ke bulan, sampai tahun ke tahun. Dari keseluruhan
waktu hidup ini, sebenarnya ada bulan-bulan khusus yang memiliki keistimewaan
di sisi Allah, sebagaimana tersirat dalam surat at-Taubah ayat 36 yang artinya:
“Sesungguhnya
bilangan bulan di sisi Allah adalah 12 bulan dalam ketetapan Allah di waktu
penciptaan langit dan bumi, diantaranya ada 4 bulan haram.” Salah satu diantara bulan haram
tersebut adalah bulan Rajab yang sedang kita jalani ini. Pada bulan Rajab
terjadi peristiwa fenomenal yang tiada bandingnya, yaitu peristiwa isra’ mi’raj
Nabi Muhammad saw untuk menerima perintah ibadah shalat. Begitu istimewanya
sehingga Rasulullah harus menghadap sendiri kepada Allah, padahal perintah ibadah
yang lain biasanya melalui perantara malaikat Jibril. Karena hal tersebut,
Rasulullah pernah bersabda: “Shalat adalah tiang agama. Barang siapa
yang menegakkannya berarti ia menegakkan agama, dan barang siapa
meninggalkannya berarti merobohkan
agama.” (HR Bayhaqi).
Berkaitan
dengan bulan Rajab yang luar biasa, di mana ada kejadian isra’ mi’raj, yang
dengan peristiwa tersebut, Rasulullah merasa optimis kembali setelah mengalami
“tahun kesedihan” saat ditinggal wafat dua orang pembelanya yaitu Abu Thalib
dan Khadijah. Allah telah menunjukkan kasih sayangNya pada Rasulullah dengan
panggilan menghadap secara langsung tersebut. Bahkan Allah makin menunjukkan
kasih sayang yang tiada tara dengan
mengabulkan permohonan keringanan jumlah waktu shalat yang diperintahkanNya.
Seperti kita ketahui bahwa perintah shalat sebenarnya adalah 50 kali sehari
semalam, namun karena Rasulullah memikirkan kondisi kekuatan umatnya maka
berkali-kali memohon keringanan sampai akhirnya hanya diperintahkan 5 kali saja
dalam sehari semalam. Dalam hal ini, kita harus sangat berterima kasih pada
Rasulullah yang telah benar-benar memikirkan umatnya. Bayangkan jika kita harus
shalat 50 kali dalam sehari semalam, kemungkinan kita tidak punya waktu untuk
hal-hal lain.
Perintah shalat sebagai mana tersirat
dalam al-Qur’an surat al-‘Ankabut ayat 45 yang artinya: “Bacalah apa yang telah
diwahyukan kepadamu yaitu kitab (al-Qur’an) dan dirikanlah shalat. Sesungguhnya
shalat itu mencegah dari (perbuatan) keji dan munkar. Dan sesungguhnya
mengingat Allah (dalam shalat) adalah lebih besar (keutamaannya). Dan Allah
mengetahui apa yang kamu kerjakan.” Dalam ayat ini, lafadz perintahnya
adalah “aqimish sholaata (dirikanlah shalat)” bukan
“a’lam ash-sholaata (kerjakanlah shalat)”. Ada perbedaan pokok yang mendasari lafadz ini
yaitu mendirikan dengan mengerjakan. Tafsir bebasnya “mendirikan” adalah lebih
dari sekedar mengerjakan. Mendirikan berarti membangun dari pondasi awal sampai
sesempurna mungkin. Dalam konteks ini berarti mengerjakan shalat harus
memperhatikan segala hal tentang shalat mulai dari syarat sah sampai
rukun-rukun yang harus dikerjakan maupun hal-hal yang membatalkan. Bahkan juga
selayaknya mengerjakan sunnah-sunnah dalam shalat, karena shalat merupakan perwujudan
rasa taat sekaligus rasa terima kasih kepada Allah.
Dari definisi tentang “mendirikan
shalat” ini tentu harus disadari betapa penting pengetahuan tentang shalat.
Jika hanya sekedar mengerjakan shalat saja, belum tentu dapat mencegah dari perbuatan
keji dan munkar. Bisa jadi yang dilakukan itu ternyata hanya sia-sia belaka.
Rasulullah bersabda dalam sebuah hadits yang artinya: “Barangsiapa yang telah
mengerjakan shalat tetapi shalatnya tidak mampu mencegahnya dari perbuatan keji
dan munkar, maka tidaklah ditambah sesuatu kepadanya melainkan semakin jauh
dari Allah.”
Dari konteks ini kita bisa mengetahui
bahwa orang yang “hanya mengerjakan shalat” tapi belum mampu “mendirikan
shalat” maka kemungkinan dia masih saja berbuat keji dan munkar. Dalam
kehidupan sehari-hari kita akan banyak menemukan orang-orang yang kelihatan
rajin shalat namun tetap saja berbuat kemunkaran. Mereka
memang merasa masih jauh dari
Allah dan lupa bahwa Allah Maha Melihat. Boleh jadi orang-orang seperti itulah yang diisyaratkan sebagai orang yang
celaka dalam al-Qur’an surat al-Ma’un ayat 4-5 yang artinya: “Maka celakalah orang-orang yang shalat,
yaitu orang-orang yang lalai (sembrono) dalam shalatnya.”
Begitu pentingnya ibadah shalat ini, sehingga
ketika kita sudah mampu “mendirikan shalat” maka berarti sudah dianggap ikut
berjuang menegakkan agama Islam, padahal berjuang menegakkan agama Islam sama
artinya dengan jihad. Begitu
sebaliknya jika kita hanya “mengerjakan” saja tanpa ada ada indikasi pencegahan
perbuatan keji dan munkar, maka sama saja merobohkan agama dari dalam. Karena
hal tersebut, Rasulullah mengibaratkan shalat sebagai tiang penyangga agama.
Juga karena keistimewaan shalat, maka Rasulullah pun memerintahkan agar kita
mendidik anak semenjak dini untuk senantiasa shalat. Sebab orang tua merupakan
lembaga pendidikan yang pertama bagi seorang anak. Jika anak sudah mendapatkan
pendidikan yang baik dan benar sejak usia dini maka si anak akan tumbuh dengan
perkembangan yang bagus. Rasulullah pernah bersabda dalam sebuah hadits yang
artinya: “Hendaknya kalian memperhatikan tingkah laku perbuatan anak kalian, dan
perbaikilah akhlaknya.” Dalam konsep ini, disiplin shalat akan menjadi
stimulus yang efektif guna membentuk perilaku yang baik bagi anak dalam
kehidupan bermasyarakatnya.
Dalam hidup dan kehidupan di dunia ini, memang
sudah seharusnya manusia
mempersiapkan bekal yang cukup untuk akhiratnya. Dengan lebih mengoptimalkan
ibadah shalat sehingga sampai pada tingkatan “mendirikan shalat” sebagai
aktualisasi peristiwa isra’ mi’raj serta mendidik anak cucu dengan pendidikan
agama yang benar maka seyogyanya menambah kualitas dan kuantitas ibadah sebagai
perwujudan iman dan takwa. Seandainya tanpa pahala pun, sudah selayaknya kita
ikhlas mengabdikan diri pada Allah karena kita memang diciptakan olehNya.
Semoga hidup mati kita mendapat ridho, dan jika sudah sampai waktunya bagi
kita untuk meninggalkan dunia ini, semoga kita dalam keadaan husnul khotimah. Aamiin.
***
Tidak ada komentar:
Posting Komentar