buletin ini terbit secara rutin tiap hari Jum'at di masjid agung RMAA Tjokronegoro Ponorogo

Kamis, 09 November 2017

AKTUALISASI HIKMAH RAJAB



       Edisi 14 th VIII : 7 April 2017 M / 10 Rajab 1438 H
AKTUALISASI HIKMAH RAJAB
Penulis: Herul Sabana, SE (Mayak, Tonatan)
Puji syukur al-hamdulillah kepada Allah swt yang telah berfirman dalam al-Qur’an surat al-Isra’ ayat 1 yang artinya: “Maha suci Allah yang telah memperjalankan hambanya pada suatu malam dari masjidil Haram ke masjidil Aqsa yang telah Kami berkahi sekelilingnya untuk Kami perlihatkan kepadanya sebagian dari tanda-tanda (kebesaran) Kami. Sesungguhnya Dia Maha Mendengar lagi Maha Mengetahui.” Shalawat dan salam semoga tetap terlimpah pada nabi Muhammad saw sebagai uswatun hasanah bagi kita semua.
Kita semua hidup dari hari ke hari, minggu ke minggu, bulan ke bulan, sampai tahun ke tahun. Dari keseluruhan waktu hidup ini, sebenarnya ada bulan-bulan khusus yang memiliki keistimewaan di sisi Allah, sebagaimana tersirat dalam surat at-Taubah ayat 36 yang artinya: “Sesungguhnya bilangan bulan di sisi Allah adalah 12 bulan dalam ketetapan Allah di waktu penciptaan langit dan bumi, diantaranya ada 4 bulan haram.” Salah satu diantara bulan haram tersebut adalah bulan Rajab yang sedang kita jalani ini. Pada bulan Rajab terjadi peristiwa fenomenal yang tiada bandingnya, yaitu peristiwa isra’ mi’raj Nabi Muhammad saw untuk menerima perintah ibadah shalat. Begitu istimewanya sehingga Rasulullah harus menghadap sendiri kepada Allah, padahal perintah ibadah yang lain biasanya melalui perantara malaikat Jibril. Karena hal tersebut, Rasulullah pernah bersabda: “Shalat adalah tiang agama. Barang siapa yang menegakkannya berarti ia menegakkan agama, dan barang siapa meninggalkannya berarti merobohkan agama.” (HR Bayhaqi).

Berkaitan dengan bulan Rajab yang luar biasa, di mana ada kejadian isra’ mi’raj, yang dengan peristiwa tersebut, Rasulullah merasa optimis kembali setelah mengalami “tahun kesedihan” saat ditinggal wafat dua orang pembelanya yaitu Abu Thalib dan Khadijah. Allah telah menunjukkan kasih sayangNya pada Rasulullah dengan panggilan menghadap secara langsung tersebut. Bahkan Allah makin menunjukkan kasih sayang yang tiada tara dengan mengabulkan permohonan keringanan jumlah waktu shalat yang diperintahkanNya. Seperti kita ketahui bahwa perintah shalat sebenarnya adalah 50 kali sehari semalam, namun karena Rasulullah memikirkan kondisi kekuatan umatnya maka berkali-kali memohon keringanan sampai akhirnya hanya diperintahkan 5 kali saja dalam sehari semalam. Dalam hal ini, kita harus sangat berterima kasih pada Rasulullah yang telah benar-benar memikirkan umatnya. Bayangkan jika kita harus shalat 50 kali dalam sehari semalam, kemungkinan kita tidak punya waktu untuk hal-hal lain.
         Perintah shalat sebagai mana tersirat dalam al-Qur’an surat al-‘Ankabut ayat 45 yang artinya: “Bacalah apa yang telah diwahyukan kepadamu yaitu kitab (al-Qur’an) dan dirikanlah shalat. Sesungguhnya shalat itu mencegah dari (perbuatan) keji dan munkar. Dan sesungguhnya mengingat Allah (dalam shalat) adalah lebih besar (keutamaannya). Dan Allah mengetahui apa yang kamu kerjakan.” Dalam ayat ini, lafadz perintahnya adalah “aqimish sholaata (dirikanlah shalat)bukan “a’lam ash-sholaata (kerjakanlah shalat)”. Ada perbedaan pokok yang mendasari lafadz ini yaitu mendirikan dengan mengerjakan. Tafsir bebasnya “mendirikan” adalah lebih dari sekedar mengerjakan. Mendirikan berarti membangun dari pondasi awal sampai sesempurna mungkin. Dalam konteks ini berarti mengerjakan shalat harus memperhatikan segala hal tentang shalat mulai dari syarat sah sampai rukun-rukun yang harus dikerjakan maupun hal-hal yang membatalkan. Bahkan juga selayaknya mengerjakan sunnah-sunnah dalam shalat, karena shalat merupakan perwujudan rasa taat sekaligus rasa terima kasih kepada Allah.
        Dari definisi tentang “mendirikan shalat” ini tentu harus disadari betapa penting pengetahuan tentang shalat. Jika hanya sekedar mengerjakan shalat saja, belum tentu dapat mencegah dari perbuatan keji dan munkar. Bisa jadi yang dilakukan itu ternyata hanya sia-sia belaka. Rasulullah bersabda dalam sebuah hadits yang artinya: “Barangsiapa yang telah mengerjakan shalat tetapi shalatnya tidak mampu mencegahnya dari perbuatan keji dan munkar, maka tidaklah ditambah sesuatu kepadanya melainkan semakin jauh dari Allah.”
       Dari konteks ini kita bisa mengetahui bahwa orang yang “hanya mengerjakan shalat” tapi belum mampu “mendirikan shalat” maka kemungkinan dia masih saja berbuat keji dan munkar. Dalam kehidupan sehari-hari kita akan banyak menemukan orang-orang yang kelihatan rajin shalat namun tetap saja berbuat kemunkaran. Mereka

memang merasa masih jauh dari Allah dan lupa bahwa Allah Maha Melihat. Boleh jadi orang-orang seperti itulah yang diisyaratkan sebagai orang yang celaka dalam al-Qur’an surat al-Ma’un ayat 4-5 yang artinya: “Maka celakalah orang-orang yang shalat, yaitu orang-orang yang lalai (sembrono) dalam shalatnya.”
Begitu pentingnya ibadah shalat ini, sehingga ketika kita sudah mampu “mendirikan shalat” maka berarti sudah dianggap ikut berjuang menegakkan agama Islam, padahal berjuang menegakkan agama Islam sama artinya dengan jihad. Begitu sebaliknya jika kita hanya “mengerjakan” saja tanpa ada ada indikasi pencegahan perbuatan keji dan munkar, maka sama saja merobohkan agama dari dalam. Karena hal tersebut, Rasulullah mengibaratkan shalat sebagai tiang penyangga agama. Juga karena keistimewaan shalat, maka Rasulullah pun memerintahkan agar kita mendidik anak semenjak dini untuk senantiasa shalat. Sebab orang tua merupakan lembaga pendidikan yang pertama bagi seorang anak. Jika anak sudah mendapatkan pendidikan yang baik dan benar sejak usia dini maka si anak akan tumbuh dengan perkembangan yang bagus. Rasulullah pernah bersabda dalam sebuah hadits yang artinya: “Hendaknya kalian memperhatikan tingkah laku perbuatan anak kalian, dan perbaikilah akhlaknya.” Dalam konsep ini, disiplin shalat akan menjadi stimulus yang efektif guna membentuk perilaku yang baik bagi anak dalam kehidupan bermasyarakatnya.
Dalam hidup dan kehidupan di dunia ini, memang sudah seharusnya manusia mempersiapkan bekal yang cukup untuk akhiratnya. Dengan lebih mengoptimalkan ibadah shalat sehingga sampai pada tingkatan “mendirikan shalat” sebagai aktualisasi peristiwa isra’ mi’raj serta mendidik anak cucu dengan pendidikan agama yang benar maka seyogyanya menambah kualitas dan kuantitas ibadah sebagai perwujudan iman dan takwa. Seandainya tanpa pahala pun, sudah selayaknya kita ikhlas mengabdikan diri pada Allah karena kita memang diciptakan olehNya.
            Semoga hidup mati kita mendapat ridho, dan jika sudah sampai waktunya bagi kita untuk meninggalkan dunia ini, semoga kita dalam keadaan husnul khotimah. Aamiin.
***










Tidak ada komentar:

Posting Komentar