Edisi 23 th IX : 20 Juli 2018 M / 07
Dzul Qa’dah 1439 H
TAKBIRATUL IHRAM
Penulis: Mahfud, S.Pd.I
Segala puji hanya bagi Allah yang
menjadi tujuan dalam segala amal ibadah kita. Sesungguhnya shalat kita, ibadah
kita, hidup kita serta mati kita hanyalah bagi Allah semata. Kemudian shalawat
salam semoga tercurah pada nabi Muhammad saw yang telah menjadi pamungkasnya
para rasul dan nabi.
Setiap kali kita shalat pastilah
dimulai dengan niat serta takbiratul ihram. Takbir artinya
mengagungkan, sedangkan ihram artinya mengharamkan yakni meng-haramkan
sesuatu yang sebenarnya diperbolehkan ketika di luar shalat. Misalnya di luar
shalat seseorang diperbolehkan makan, tetapi sewaktu ia shalat maka diharamkan
makan. Kedudukan takbiratul ihram dalam shalat ialah sebagai rukun
qauliy. Apabila seseorang yang shalat meninggalkan takbiratul ihram,
maka shalatnya tidak sah. Semenjak
seseorang takbiratul ihram itulah seseorang mulai melakukan shalat.
Dengan ini kemudian dipahami apa saja yang dilakukan oleh sebelum takbiratul
ihram selama hal itu baik maka itu diperbolehkan, misalnya melafadzkan
niat, membaca surat an-Nas atau membaca suatu ayat dalam al-Qur’an. Sebagaimana
yang dilakukan oleh Ustadz Abu Al-Hasan Al-Syadzily, ketika mengetahui
teman-teman beliau selalu was-was dalam takbiratul ihram. Beliau
menyarankan kepada mereka agar meletakkan tangan kanan mereka di atas dadanya
dan hendaknya mengucapkan: “subhanal
malikil quddus khallaqil fa’al” sebanyak 7 kali kemudian mengucapkan: “in yasya’ yudzhibkum wa ya’ti bi khalqin
jadid, wa ma dzalika ‘alallahi bi’aziz”. (kitab Nihayatuz-zain karya imam
An-Nawawi Al-Bantani hal. 87). Adapun tatacaranya:
عَنِ ابْنِ عُمَرَ اَنَّ النَّبِيَّ صلى الله عليه
وسلم كَانَ يَرْفَعُ يَدَيْهِ حَذْوَ مَنْكِبَيْهِ حِيْنَ يُكَبِّرُ
Artinya: “Dari Ibnu Umar: bahwasanya Nabi saw
biasanya mengangkat kedua tangannya setinggi kedua bahunya sewaktu takbiratul ihram.” (HR Bukhari dan Muslim).
Adapun ketentuan-ketentuan dalam takbiratul
ihram adalah sebagai berikut: (1)Membaca takbiratul ihram pada saat
berdiri tegak. Berdiri pada shalat wajib termasuk rukun fi’liy bagi yang
mampu. Maka tidak boleh ketika masih melangkah sambil takbiratul
ihram. (2)Menggunakan bahasa Arab dengan lafadz yang sudah tertentu yakni Allahu Akbar, tidak boleh memakai lafadz
Ar-Rahmanu Akbar atau memakai
asmaul-husna yg lain. (3)Tidak boleh membaca panjang alif/hamzah fat-hahnya
lafadz Allahu sebab akan merubah arti. Jika memperpanjang alif/hamzah
lafadznya menjadi Aallahu akbar, maka artinya
adalah Apakah Allah Maha Besar? (4)Diperbolehkan tidak membaca alif/hamzah-nya
lafadz Allahu apabila disambung dengan lafadz sebelumnya misalnya Imamallahu
akbar namun hal ini khilaful
aula (menyelisihi yang utama) maka yang lebih utama adalah tidak
menyambung lafadz Allahu dengan lafadz sebelumnya. (5)Tidak boleh
menghilangkan alif/hamzah fat-hahnya lafadz Akbar sehingga berbunyi Allahu Kabar (6)Tidak boleh
memanjangkan ba’ fat-hahnya lafadz akbar sehingga menjadi akbaar,
(7) Tidak boleh mentasydid ba’ nya lafadz akbar sehingga menjadi akebbar,
(8)Tidak menambahkan wawu baik wawu hidup atau mati di antara lafadz takbiratul
ihram sehingga menjadi Allahuw
Akbar atau Allahu wakbar
(9)Tidak pula menambahkan wawu sebelumnya sehingga menjadi wallahu akbar, (10)Tidak boleh berhenti diantara dua kata Allahu
dan akbar. (11)Pelafalannya harus dapat didengar oleh dirinya sendiri,
apabila ia orang yang normal pendengarannya. (12)Membaca takbiratul ihram
ketika sudah masuk shalat dan dilaksanakan dengan menghadap kiblat. (13)Apabila
ia makmum maka harus setelah imam takbiratul ihram (tidak boleh
mendahului atau bersamaan dengan imam). (14)Tidak boleh memanjangkan mad
diantara lam dan ha’ pada lafadz Allahu melebihi 14 harakat.
(15)Tidak boleh berpaling artinya orang yang shalat harus benar-benar niat takbiratul
ihram, misalnya makmum masbuk yang menemukan imamnya dalam keadaan ruku’
kemudian ia takbir tapi tidak berniat takbiratul ihram, maka shalatnya
tidak sah. (kitab Nihayatuzzain karya imam An-Nawawi Al-Bantani hal. 86).
Jadi
kesimpulannya dalam Takbiratul Ihram tidak boleh merubah lafadz Allahu
akbar karena lafadz Allahu akbar sifatnya tauqifi dan juga tidak
boleh merubah huruf atau panjang pendeknya sebab hal itu juga dapat merubah
arti dari Allahu Akbar tersebut. Adapun setelah takbiratul ihram
kemudian meletakkan tangan kanan di atas tangan kiri di dada atau di atas pusar
(kitab Kifayatul Akhyar juz I hal. 115). Ada beberapa hadits yang menjadi
dasarnya.
عن وائل بن حجر رضي الله عنه قال صليت مع
النبي صلى الله عليه وسلم فوضع يده اليمنى على يده اليسرى على صدره
Artinya: “Dari Wail bin
Hujr ra berkata: aku sholat bersama Nabi saw, beliau meletakkan tangan kanan di
atas tangan kiri di dadanya.” (HR Ibnu Khuzaimah). Dari hadits di atas,
jelas terlihat bahwa Rasulullah saw meletakkan tangan kanannya di atas tangan
kiri dan meletakkannya di dada. Dalam pemaknaannya, yang dimaksud dada bukanlah
rongga dada yang dekat dengan leher, melainkan bagian di atas pusar dan sekitar
jantung. Ada hadits lain yang diriwayatkan oleh Imam Ahmad dan Abu Dawud yang
menceritakan bahwa Rasulullah saw pernah melihat seorang laki-laki yang sedang
sholat dengan meletakkan tangan kirinya di atas tangan kanan. Maka beliau
melepaskan tangan tersebut dan meletakkan yang kanan di atas yang kiri.
Hal
lain yang perlu diperhatikan adalah arah pandangan mata kita saat shalat.
Sebuah hadits shahih yang diriwayatkan oleh Bukhari dan Muslim menjelaskan
bahwasanya Rasulullah saw apabila menunaikan shalat menundukkan kepalanya dan
memandang ke arah tanah (tempat sujud). Oleh karena itu jangan sampai ketika
kita shalat (ataupun berdo’a) wajah kita dongakkan ke atas dan melihat langit.
Rasulullah melarang hal tersebut berdasar hadits berikut
عن جابر بن سمرة رضي الله عنه قال : قال رسول
الله صلى الله عليه و سلم : لينتهين اقوام يرفعون ابصارهم الى السماء فى الصلاة
اولا ترجع اليهم
Artinya: “Dari Jabir bin
Samurah ra berkata Rasulullah saw bersabda: hendaklah benar-benar berhenti
orang-orang yang memandang ke langit saat shalat atau pandangan itu tidak
kembali pada mereka (Allah tidak memandang mereka).” (HR Muslim). Dalam
hadits lain yang diriwayatkan oleh Tirmidzi, Rasulullah saw melarang menolehkan
kepala saat shalat, karena sesungguhnya Allah memperhatikan wajah hamba saat
shalat selama hamba tersebut tidak pernah menolehkan wajahnya.
Semoga kita
semua dapat menjaga shalat kita dengan baik sehingga mampu menjadi hamba yang
mendapat ridha dari Allah swt. Aamiin.
***
Tidak ada komentar:
Posting Komentar