buletin ini terbit secara rutin tiap hari Jum'at di masjid agung RMAA Tjokronegoro Ponorogo

Selasa, 22 September 2015

MEMILIH PEMIMPIN



   Edisi 37 th VI : 2 Oktober 2015 M / 18 Dzul Hijjah 1436 H
MEMILIH PEMIMPIN
Penulis: Ust. Charis Mahardi, S.Pd (guru SD Immersion)
Segala puji hanyalah bagi Allah swt yang telah berfirman dalam al-Qur’an surat al-Baqarah ayat 30: “Ingatlah ketika Tuhanmu berfirman kepada para malaikat: "Sesungguhnya Aku hendak menjadikan seorang khalifah di muka bumi." Mereka berkata: "Mengapa Engkau hendak menjadikan (khalifah) di bumi itu orang yang akan membuat kerusakan padanya dan menumpahkan darah, padahal kami senantiasa bertasbih dengan memuji Engkau dan mensucikan Engkau?" Tuhan berfirman: "Sesungguhnya Aku mengetahui apa yang tidak kamu ketahui." Kemudian shalawat dan salam semoga tetap terlimpahkan pada Nabi Muhammad saw sebagai sebaik-baik suri tauladan yang telah memberikan tuntunan bagaimana cara menjadi khalifah yang benar sesuai dengan syari’at.
Tujuan dari penciptaan manusia dan hikmah menurunkannya ke muka bumi tak lain adalah menjadikan manusia sebagai khalifah di planet ini. Islam yang datang sebagai rahmatan lil ‘alamin dan penyempurna ajaran-ajaran sebelumnya telah mengatur segala hal yang berkaitan dengan tugas-tugas umat manusia sebagai khalifah di bumi. Al-Qur’an yang diturunkan sebagai kitab pedoman sudah menjelaskan batasan-batasannya, baik secara global maupun terperinci. Berangkat dari hal ini, maka tentunya kita harus cermat, efektif dan efisien dalam memilih pemimpin yang akan mengatur kehidupan duniawi kita di bumi ini. Kita tak bisa memungkiri bahwa kita memang membutuhkan pemimpin agar lebih teratur.

            Beberapa bulan ke depan, kita akan diberi hak untuk memilih sepasang pemimpin yang akan mengendalikan arah pemerintahan kota ini. Berbagai kampanye informasi sudah bersliweran melalui berbagai media. Pilihan ada di tangan kita untuk meyakini pasangan mana yang sekiranya sesuai dengan angan-angan kita. Dan jauh sebelum penentuan pilihan tersebut, ada baiknya kita mengkaji beberapa hal terkait dengan pemimpin yang ideal menurut ajaran agama Islam.
#Pemimpin yang baik adalah pemimpin yang mempermudah urusan rakyatnya.
سَمِعْتُ مِنْ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَقُولُ فِي بَيْتِي هَذَا اللَّهُمَّ مَنْ وَلِيَ مِنْ أَمْرِ أُمَّتِي شَيْئًا فَشَقَّ عَلَيْهِمْ فَاشْقُقْ عَلَيْهِ وَمَنْ وَلِيَ مِنْ أَمْرِ أُمَّتِي شَيْئًا فَرَفَقَ بِهِمْ فَارْفُقْ بِهِ
‘Aisyah ra berkata: saya telah mendengar Rasulullah saw bersabda di rumahku ini: “ya Allah, siapa yang menguasai sesuatu dari urusan umatku, lalu mempersulit pada mereka, maka persulitlah baginya (atas segala urusannya). Dan siapa yang mengurusi umatku lalu berlemah lembut pada mereka, maka permudahlah baginya (segala urusannya). (HR Muslim). Dalam konsep inilah sesungguhnya kita bisa melihat bahwa ajaran agama Islam melarang segala macam kerumitan birokrasi. Banyak warga ingin dipermudah segala urusannya terkait dengan pemerintahan, semisal urusan surat keterangan ataupun surat perijinan. Oleh karena itu, pemimpin yang baik selayaknya membuat berbagai macam kebijakan yang mempermudah dan mempercepat berbagai fasilitas pelayanan publik. Jargon “kalau bisa dipersulit kenapa dipermudah” sudah waktunya dibuang jauh-jauh.
#Pemimpin yang baik adalah yang jujur dan tidak menipu rakyatnya terkait dengan janji-janji kampanye.

سَمِعْتُ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَقُولُ مَا مِنْ عَبْدٍ يَسْتَرْعِيهِ اللَّهُ رَعِيَّةً يَمُوتُ يَوْمَ يَمُوتُ وَهُوَ غَاشٌّ لِرَعِيَّتِهِ إِلَّا حَرَّمَ اللَّهُ عَلَيْهِ الْجَنَّةَ

Abu Ya’la (Ma’qil) bin Yasar ra berkata: saya telah mendengar Rasulullah saw bersabda: “Tiada seorang yang diamanati oleh Allah untuk memimpin rakyat kemudian ketika ia mati pada hari ia mati tersebut masih dalam keadaan menipu rakyatnya, melainkan Allah mengharamkan baginya surga. (HR Bukhari dan Muslim). Pada point inilah sebenarnya terlihat begitu urgen-nya janji-janji kampanye politik. Seorang pemimpin yang baik haruslah benar-benar memperhitungkan segala macam janji yang disampaikan pada rakyatnya. Jika terpilih dan kemudian sampai batas akhir masa jabatan, sedang janji kampanye belum terwujud, maka silahkan bersiap menanggung resiko sebagaimana disampaikan dalam hadits di atas.
#Pemimpin yang baik adalah pemimpin yang adil.

إِنَّ أَحَبَّ النَّاسِ إِلَى اللَّهِ يَوْمَ الْقِيَامَةِ وَأَدْنَاهُمْ مِنْهُ مَجْلِسًا إِمَامٌ عَادِلٌ وَأَبْغَضَ النَّاسِ إِلَى اللَّهِ وَأَبْعَدَهُمْ مِنْهُ مَجْلِسًا إِمَامٌ جَائِرٌ



Rasulullah saw bersabda: “Sesungguhnya manusia yang paling dicintai Allah pada hari kiamat dan yang paling dekat kedudukannya di sisi Allah adalah seorang pemimpin yang adil. Sedangkan orang yang paling dibenci Allah dan sangat jauh dari Allah adalah seorang pemimpin yang zalim. (HR at-Tirmidzi). Berlaku adil bukanlah berlaku menyamaratakan, tapi lebih tepatnya berlaku secara proporsional. Jika adil, maka seorang pemimpin tidak akan terlalu condong hanya pada sekelompok orang yang telah nyata memilihnya sebagai pemimpin. Dia akan berlaku proporsional baik bagi pendukungnya maupun bukan pendukungnya. Hal ini karena secara de jure maupun de facto, dia merupakan pemimpin bagi semua rakyatnya.
#Pemimpin yang baik adalah yang mendapat taufik hidayah dari Allah.

أَهْلُ الْجَنَّةِ ثَلَاثَةٌ ذُو سُلْطَانٍ مُقْسِطٌ مُتَصَدِّقٌ مُوَفَّقٌ وَرَجُلٌ رَحِيمٌ رَقِيقُ الْقَلْبِ لِكُلِّ ذِي قُرْبَى وَمُسْلِمٍ وَعَفِيفٌ مُتَعَفِّفٌ ذُو عِيَالٍ

“Ahli surga ada tiga macam: raja (pemimpin) yang adil mendapat taufiq hidayah (dari Allah). Dan orang belas kasih lunak hati pada sanak kerabat dan orang muslim. Dan orang miskin berkeluarga yang tetap menjaga kesopanan dan kehormatan diri. (HR Muslim). Konsep hadits ini bersifat ganda, dalam artian bahwa surga yang dimaksud bisa merupakan surga di dunia sekaligus surga di akhirat. Tiga macam orang dalam hadits tersebut (salah satunya adalah pemimpin yang adil) akan menikmati kehidupan dunia yang ayem tentrem laksana surga. Pemimpin yang adil dan jujur tak perlu takut dengan KPK maupun BPK. Bahkan tak perlu takut dengan ancaman rongrongan pemerintahannya. Karena secara logika, jika seorang pemimpin telah berbuat jujur dan adil, maka tak akan ada celah untuk menyalahkan dan menggoyahkan pemerintahannya. Dan itu karena taufik hidayah Allah semata.
            Sekelumit tulisan ini memang memandang kriteria pemimpin yang ideal menurut ajaran agama Islam. Tulisan ini tentunya tidak akan merubah banyak pada pilihan kita terkait dengan Pemilukada. Tapi setidaknya, marilah kita ikut berdoa semoga siapapun yang nanti terpilih memimpin kota ini, maka dia merupakan yang terbaik bagi kita semua. Aamiin. ***






















ANAK TERHADAP BAPAK



   Edisi 36 th VI : 25 September 2015 M / 11 Dzul Hijjah 1436 H
ANAK TERHADAP BAPAK
Penulis: Ust. Marsudi, S.Pd.I (TPQ ad-Darajaat, Mayak)
Segala puji hanyalah bagi Allah swt yang telah berfirman dalam al-Qur’an surat ash-Shaaffat ayat 102107 yang artinya: “Maka tatkala anak itu sampai (pada umur sanggup) berusaha bersama-sama Ibrahim, Ibrahim berkata: "Hai anakku sesungguhnya aku melihat dalam mimpi bahwa aku menyembelihmu. Maka fikirkanlah apa pendapatmu!" Ia menjawab: "Hai bapakku, kerjakanlah apa yang diperintahkan kepadamu; insya Allah engkau akan mendapatiku termasuk orang-orang yang sabar". Tatkala keduanya telah berserah diri dan Ibrahim membaringkan anaknya atas pelipis(nya), (nyatalah kesabaran keduanya ), dan Kami panggillah dia: "Hai Ibrahim, sesungguhnya kamu telah membenarkan mimpi itu, sesungguhnya demikianlah Kami memberi balasan kepada orang-orang yang berbuat baik. Sesungguhnya ini benar-benar suatu ujian yang nyata, dan Kami tebus anak itu dengan seekor sembelihan yang besar.” Shalawat dan salam semoga tetap tercurah pada nabi Muhammad saw, sang pembawa risalah penuntun umat manusia menuju jalan terbaik.
Moment idul adha selalu identik dengan haji dan hewan kurban. Banyak hal yang bisa ditarik pelajaran dari moment spesial bagi umat Islam ini. Dari ritual haji, kita bisa mendapat banyak pelajaran berharga tentang pengorbanan harta, waktu serta jiwa raga demi panggilan ke tanah suci. Adapun dari ritual kurban, kita bisa menarik pelajaran tentang keikhlasan mengorbankan harta (hewan yang diambil dagingnya) bagi masyarakat yang mungkin saja memang jarang menikmati daging.

            Kita juga bisa mengambil banyak pelajaran berharga lain dari kisah awal mula ritual haji maupun kurban. Sebagaimana kita ketahui, ritual ini awal mulanya adalah kisah tentang nabi Ibrahim as beserta keluarganya. Kisah tentang kurban bermula dari perintah Allah swt pada nabi Ibrahim as untuk menyembelih nabi Ismail as. Kisah tersebut termuat dalam al-Qur’an surat ash-Shaaffat ayat 102 – 107 sebagaimana dituliskan di awal buletin. Kali ini, mari kita cermati tentang kemuliaan adab seorang anak (dalam hal ini nabi Ismail as) terhadap bapak (yaitu nabi Ibrahim as).
            Ketika menghadapi kenyataan terpahit dalam hidup, yaitu akan disembelih oleh bapaknya sendiri atas perintah Tuhan yang disembah, maka nabi Ismail as berkata: "Hai bapakku, kerjakanlah apa yang diperintahkan kepadamu; insya Allah engkau akan mendapatiku termasuk orang-orang yang sabar". Dalam point inilah terlihat jelas kepatuhan seorang anak pada bapaknya. Dia tidak membantah sedikit pun, justru menguatkan hati bapaknya. Dia sangat yakin akan kasih sayang bapak terhadapnya. Dan dia berusaha membalas kasih sayang tersebut dengan cara yang sekiranya dia mampu, yaitu patuh taat pada setiap perintah sang bapak. Adapun patuh taat pada kedua orang tua itu merupakan perintah dalam agama sebagaimana dicantumkan dalam al-Qur’an surat al-Ahqaf ayat 15: “Kami perintahkan kepada manusia supaya berbuat baik kepada dua orang ibu bapaknya, ibunya mengandungnya dengan susah payah, dan melahirkannya dengan susah payah (pula). mengandungnya sampai menyapihnya adalah tiga puluh bulan, sehingga apabila dia telah dewasa dan umurnya sampai empat puluh tahun ia berdoa: "Ya Tuhanku, tunjukilah aku untuk mensyukuri nikmat Engkau yang telah Engkau berikan kepadaku dan kepada ibu bapakku dan supaya aku dapat berbuat amal yang saleh yang Engkau ridhai; berilah kebaikan kepadaku dengan (memberi kebaikan) kepada anak cucuku. Sesungguhnya aku bertaubat kepada Engkau dan Sesungguhnya aku termasuk orang-orang yang berserah diri".
            Mengacu pada ketaatan nabi Ismail as pada bapak, kita bisa mensinkronkan dengan al-Qur’an surat al-Isra’ ayat 23 bahwa “... maka sekali-kali janganlah kamu mengatakan kepada keduanya (ibu-bapak) perkataan "ah" dan janganlah kamu membentak mereka dan ucapkanlah kepada mereka perkataan yang mulia.” Dari ayat ini jelas kita diwajibkan bertutur kata yang lembut pada ibu bapak, sekalipun kita merasa di posisi yang benar dan mereka di posisi yang kurang benar. Kita harus menyadari sepenuhnya bahwa ibu bapak kitalah yang merawat kita semenjak kecil. Betapa kita merepotkan mereka saat kita belum mampu berbuat apa-apa. Ketika kita masih kecil, kita hanya cukup menangis sejadi-jadinya untuk meminta sesuatu, dan ibu bapak kita sudah akan berusaha memenuhi keinginan kita. Bukan hanya sekali dua kali kita membuat tidur mereka tak nyenyak di malam hari karena merawat dan memenuhi kebutuhan kita. Bahkan kita bisa tertawa-tawa bermain di punggung bapak

sementara beliau menahan sakit karena sebenarnya punggungnya masih kecapekan sehabis bekerja. Semua peristiwa seperti itu terkadang tak terpikirkan lagi oleh kita.
            Jika kemudian saat ini ibu bapak kita memerlukan kepedulian kita untuk merawat mereka, maka selayaknya kita pun patuh taat pada mereka. Kita bisa mengambil pelajaran dari pengorbanan jiwa raga nabi Ismail as yang menyerahkan dirinya penuh di bawah pedang sang bapak. Kita mungkin tak akan seheroik nabi Ismail as, tapi setidaknya kita harus berusaha untuk menjadi anak yang baik bagi ibu bapak. Dalam hal ini, kita selayaknya tidak membeda-bedakan antara ibu dan bapak. Meskipun kita tahu sebuah hadits bahwa “Surga berada di bawah telapak kaki ibu” namun kita juga harus tahu bahwa ada hadits penguat lain yaitu hadits tentang kekuasaaan seorang bapak terhadap anaknya: Seorang laki-laki ketika berkata: “Bapakku ingin mengambil hartaku.” Nabi saw bersabda padanya: “Kamu dan hartamu milik bapakmu.” (HR. Ahmad, Abu Dawud dan Ibnu Majah). Dari dua hadits tentang keutamaan ibu maupun bapak, kita tentu akan berusaha berlaku adil pada keduanya kala mereka memasuki usia tua dan menggantungkan hidupnya pada kita. Sesungguhnya jika kedua orangtua kita atau salah satu dari keduanya masih hidup di hadapan kita, maka hal tersebut merupakan ladang amal bagi kita sebagai jalan menuju surga. Rasulullah saw bersabda dalam salah satu haditsnya: Sungguh celaka, sungguh celaka, sungguh celaka.” Dikatakan oleh para sahabat siapakah mereka wahai Rasulullah? Nabi menjawab, yaitu mereka yang mendapati salah satu atau kedua orang tuanya telah berusia lanjut akan tetapi, tidak memasukkan ia ke dalam surga. (HR. Muslim).
            Akhirnya, dengan bersamaan datangnya moment idul adha terkait kisah awal ritual kurban, maka mari kita ambil hikmah ketaatan nabi Ismail as pada bapaknya yaitu nabi Ibrahim as. Ketaatan seorang anak yang berujung pada kebahagiaan bapak ibunya karena telah menjadi qurrota a’yun yang merupakan anugerah terindah bagi semua orang tua. Semoga Allah meringankan langkah-langkah usaha kita dalam berbakti pada kedua orang tua. Aamiin.
***