Edisi 35 th VI : 18 September 2015 M / 4 Dzul Hijjah 1436 H
REZEKI TAK PERNAH TELAT DAN
SALAH ALAMAT
Penulis:
Ust. Dana A.Dahlany, Lc. (ustadz Darul Huda, Mayak)
Segala puji dan syukur hanyalah
bagi Allah Tuhan Yang Maha Pemberi. Shalawat dan salam semoga tetap
terlimpahkan pada junjungan kita, nabi Muhammad saw yang kita nantikan syafaat
di hari kiamat kelak.
Akhir-akhir ini sering kali
terdengar keluhan dari masyarakat: kenapa dolar begitu perkasa, sedangkan
rupiah justru anjlok tak berdaya? Kenapa daya beli masyarakat cenderung lesu
dan banyak dagangan tidak laku? Kenapa perekonomian dunia semakin melambat dan
banyak karyawan/buruh pabrik yang kena pecat? Sebagian dari kita juga semakin
pandai berandai-andai. Para pedagang sibuk berangan-angan, “Andai saja kita
jadi pegawai kantoran, dapat gaji tetap tiap bulan. Daripada jadi pedagang yang
seharian nungguin dagangan, cuma dapat capek karena tak ada penjualan!”
Mereka yang sudah jadi pegawai juga mengkhayal, “Enak ya jadi petani, mau makan
apa saja tidak perlu beli, tinggal memetik di kebun sendiri. Daripada jadi
pegawai, gaji pas-pasan belum ada kenaikan, tapi harga barang sudah melonjak
tinggi nggak ketulungan!” Yang jadi petani juga ikut-ikutan, tak mau
ketinggalan, “Alangkah nikmatnya jika menjadi pedagang. Seharian cuma di toko
duduk ongkang-ongkang, tapi sore harinya sudah sibuk menghitung uang
yang mengalir datang. Daripada jadi petani yang seharian berjemur di bawah terik
matahari, tapi belum jelas apakah nanti dapat uang untuk makan esok hari.”
Begitulah gambaran mental
orang-orang kurang bersyukur. Padahal rezeki kita di dunia ini sudah ada yang
mengatur. Suatu ketika, Syeikh Sya’rawi, seorang
mufassir dari Mesir pernah berkisah
dalam kajian tafsirnya:
Sesaat setelah menerima wahyu,
Nabi Musa as. bermunajat kepada Allah dan menyampaikan keluh kesahnya, “Ya
Allah, jika aku berkelana mengemban amanah dari-Mu untuk menyebarkan ajaran-Mu,
maka otomatis aku akan meninggalkan keluargaku. Lalu siapa yang akan menjamin
nafkah mereka?” Seketika itu, Allah memerintah Nabi Musa as. untuk
memecahkan sebuah batu dengan tongkatnya. Sebagai seorang nabi yang selalu
tunduk dan patuh terhadap titah Tuhannya, Nabi Musa as. langsung menghancurkan
batu yang berada di hadapannya. Dengan pukulan yang sangat keras, batu itu
hancur lebur dan menyisakan bongkahan batu cadas yang berukuran lebih kecil.
Batu cadas itu kemudian dipukul lagi oleh Nabi Musa as. dan hancur lebur
seketika. Tapi ternyata masih ada bongkahan batu yang lebih kecil lagi dengan
tingkat kekerasan lebih tinggi. Lantas Nabi Musa memukulnya sekali lagi dengan
pukulan yang lebih keras. Dan akhirnya bongkahan terakhir ini hancur
berkeping-keping. Tapi Nabi Musa as. dibuat terkesima dengan satu keajaiban
Tuhan yang diperlihatkan dalam kejadian itu. Di dalam bongkahan batu terakhir
itu ternyata ada seekor belatung yang terlihat sedang memamah makanan. Saat itu
juga Nabi Musa as. tersadar dan berkata, “Maha suci Dzat yang telah memberi
rezeki kepada seekor belatung yang hidup di tengah kepekatan dan kekerasan batu
ini. Niscaya Dia juga akan memberi rezeki kepada keluargaku saat aku mengemban
risalah suci-Nya.” Meski sudah mempunyai derajat tinggi sebagai seorang
nabi, Nabi Musa as. tidak segan untuk mengambil pelajaran dari seekor belatung
yang mungkin banyak orang menganggapnya tidak begitu berarti.
Kisah ini diutarakan Syeikh
Sya’rawi saat beliau membedah tafsir surat Hud ayat 6 yang artinya: “Tidak
ada satupun hewan melata di bumi kecuali rezekinya dijamin oleh Allah. Dan Dia
mengetahui tempat menetapnya dan tempat persembunyiannya. Semua itu (tertulis)
di kitab yang nyata (Lauh Mahfuzh).”
Bayangkan,
seekor belatung yang tak berdaya dan tidak dibekali dengan akal pikiran saja
dijamin rezekinya oleh Sang Pencipta. Padahal ia hidup terkungkung dalam
pekatnya batu cadas yang sangat keras. Dan Allah Maha Mengetahui tempat
hidupnya dan lubang persembunyiannya. Semua itu telah tertulis dalam sebuah
kitab yang merekam jalannya kehidupan kita di dunia, Lauh Mahfuzh.
Jika
seekor makhluk yang penuh keterbatasan saja masih mampu menjemput rezekinya,
bagaimana halnya dengan manusia yang dibekali akal pikiran serta nalar yang
luar biasa. Tentu ia jauh lebih mudah memperoleh rezeki yang ditebarkan Tuhan
di muka bumi. Ketika Allah sudah memutuskan untuk menciptakan sesuatu, tentu
Dia juga akan menyiapkan sarana prasarana dan fasilitas yang memadai untuk
menjamin keberlangsungan hidup makhluk tersebut serta menjamin eksistensi
keturunannya. Dan di antara jaminan yang diberikan Allah adalah rezeki yang tak
pernah datang telat dan tak pernah salah alamat.
Dalam sebuah
hadits yang diriwayatkan Abu Nu’aim dari Sahabat Jabir ra.:
لَوْ
أَنَّ ابْنَ آدَمَ هَرَبَ مِنْ رِزْقِهِ كَمَا يَهْرُبُ مِنَ الْمَوْتِ
َلأَدْرَكَهُ رِزْقُهُ كَمَا يُدْرِكُهُ الْمَوْتُ
Artinya: “Andai saja bani Adam
(manusia) lari (menjauh) dari rezekinya sebagaimana ia lari dari kematian,
niscaya rezekinya akan menemukannya sebagaimana maut yang akan menjemputnya.” Dari
hadits ini, kita pahami bahwa rezeki tak pernah salah jalan untuk menemukan
manusia. Tetapi terkadang si manusia itu sendiri yang salah jalan dalam
menjemput rezekinya. Betapa banyak orang yang mencari rezeki dengan cara-cara
haram: hobi mencuri dan budaya korupsi, mengambil hak-hak orang lain dengan
cara kotor dan lalim. Mungkin mereka bisa memperoleh rezeki (materi)
dalam jumlah banyak dengan sekejap mata. Tapi karena rezeki yang mereka peroleh
tidak halal dan tidak barokah, mereka akan kehilangan rezeki (non materi) yang
sebenarnya sangat berguna untuk kehidupan mereka. Bayangkan saja saat Anda
memperoleh uang yang banyak, tetapi di sisi lain Anda juga mengalami gangguan
kesehatan, mengidap penyakit parah, selalu merasa tidak aman (was-was), masih
dihantui tagihan hutang yang menggunung dan diintai ancaman kebangkrutan.
Secara otomatis Anda juga kehilangan kebahagiaan hakiki dalam hidup ini.
Ada sebuah
pesan penuh hikmah dari Syeikh Ibnu ‘Atha’illah as-Sakandary dalam kitab Al-Hikam-nya:
اِجْتِهَادُكَ فِيْمَا
ضَمِنَ لَكَ وَتَقْصِيرُكَ فِيمَا طَلَبَ مِنْكَ دَلِيلٌ عَلَى انْطِمَاسِ
البَصِيرَةِ مِنْكَ
Artinya: “Kesungguhanmu dalam
mencari sesuatu yang telah Allah jamin untukmu, dan kemalasanmu dalam mencari
sesuatu yang Dia tuntut darimu menjadi pertanda buramnya mata hatimu.”
Alangkah
naifnya jika kita mati-matian mengejar harta dunia tapi masih malas-malasan
mengumpulkan bekal untuk kehidupan selanjutnya. Rezeki kita di dunia ini sudah
dijamin oleh Allah. Sementara di sisi lain, tidak ada yang bisa menjamin
keselamatan dan kebahagiaan kita kelak setelah meninggal dunia. Hanya ketaatan
dan ketaqwaan kepada Allah dan Rasul-Nya yang mampu menyelamatkan kita.
Wallâhu a’lam
bish-shawâb.
***
Tidak ada komentar:
Posting Komentar