buletin ini terbit secara rutin tiap hari Jum'at di masjid agung RMAA Tjokronegoro Ponorogo

Selasa, 22 September 2015

REZEKI TAK PERNAH TELAT ATAU SALAH ALAMAT



   Edisi 35 th VI : 18 September 2015 M / 4 Dzul Hijjah 1436 H
REZEKI TAK PERNAH TELAT DAN SALAH ALAMAT
Penulis: Ust. Dana A.Dahlany, Lc. (ustadz Darul Huda, Mayak)
Segala puji dan syukur hanyalah bagi Allah Tuhan Yang Maha Pemberi. Shalawat dan salam semoga tetap terlimpahkan pada junjungan kita, nabi Muhammad saw yang kita nantikan syafaat di hari kiamat kelak.
Akhir-akhir ini sering kali terdengar keluhan dari masyarakat: kenapa dolar begitu perkasa, sedangkan rupiah justru anjlok tak berdaya? Kenapa daya beli masyarakat cenderung lesu dan banyak dagangan tidak laku? Kenapa perekonomian dunia semakin melambat dan banyak karyawan/buruh pabrik yang kena pecat? Sebagian dari kita juga semakin pandai berandai-andai. Para pedagang sibuk berangan-angan, “Andai saja kita jadi pegawai kantoran, dapat gaji tetap tiap bulan. Daripada jadi pedagang yang seharian nungguin dagangan, cuma dapat capek karena tak ada penjualan!” Mereka yang sudah jadi pegawai juga mengkhayal, “Enak ya jadi petani, mau makan apa saja tidak perlu beli, tinggal memetik di kebun sendiri. Daripada jadi pegawai, gaji pas-pasan belum ada kenaikan, tapi harga barang sudah melonjak tinggi nggak ketulungan!” Yang jadi petani juga ikut-ikutan, tak mau ketinggalan, “Alangkah nikmatnya jika menjadi pedagang. Seharian cuma di toko duduk ongkang-ongkang, tapi sore harinya sudah sibuk menghitung uang yang mengalir datang. Daripada jadi petani yang seharian berjemur di bawah terik matahari, tapi belum jelas apakah nanti dapat uang untuk makan esok hari.”
Begitulah gambaran mental orang-orang kurang bersyukur. Padahal rezeki kita di dunia ini sudah ada yang mengatur. Suatu ketika, Syeikh Sya’rawi, seorang

mufassir dari Mesir pernah berkisah dalam kajian tafsirnya:
Sesaat setelah menerima wahyu, Nabi Musa as. bermunajat kepada Allah dan menyampaikan keluh kesahnya, “Ya Allah, jika aku berkelana mengemban amanah dari-Mu untuk menyebarkan ajaran-Mu, maka otomatis aku akan meninggalkan keluargaku. Lalu siapa yang akan menjamin nafkah mereka?” Seketika itu, Allah memerintah Nabi Musa as. untuk memecahkan sebuah batu dengan tongkatnya. Sebagai seorang nabi yang selalu tunduk dan patuh terhadap titah Tuhannya, Nabi Musa as. langsung menghancurkan batu yang berada di hadapannya. Dengan pukulan yang sangat keras, batu itu hancur lebur dan menyisakan bongkahan batu cadas yang berukuran lebih kecil. Batu cadas itu kemudian dipukul lagi oleh Nabi Musa as. dan hancur lebur seketika. Tapi ternyata masih ada bongkahan batu yang lebih kecil lagi dengan tingkat kekerasan lebih tinggi. Lantas Nabi Musa memukulnya sekali lagi dengan pukulan yang lebih keras. Dan akhirnya bongkahan terakhir ini hancur berkeping-keping. Tapi Nabi Musa as. dibuat terkesima dengan satu keajaiban Tuhan yang diperlihatkan dalam kejadian itu. Di dalam bongkahan batu terakhir itu ternyata ada seekor belatung yang terlihat sedang memamah makanan. Saat itu juga Nabi Musa as. tersadar dan berkata, “Maha suci Dzat yang telah memberi rezeki kepada seekor belatung yang hidup di tengah kepekatan dan kekerasan batu ini. Niscaya Dia juga akan memberi rezeki kepada keluargaku saat aku mengemban risalah suci-Nya.” Meski sudah mempunyai derajat tinggi sebagai seorang nabi, Nabi Musa as. tidak segan untuk mengambil pelajaran dari seekor belatung yang mungkin banyak orang menganggapnya tidak begitu berarti.
Kisah ini diutarakan Syeikh Sya’rawi saat beliau membedah tafsir surat Hud ayat 6 yang artinya: “Tidak ada satupun hewan melata di bumi kecuali rezekinya dijamin oleh Allah. Dan Dia mengetahui tempat menetapnya dan tempat persembunyiannya. Semua itu (tertulis) di kitab yang nyata (Lauh Mahfuzh).”
Bayangkan, seekor belatung yang tak berdaya dan tidak dibekali dengan akal pikiran saja dijamin rezekinya oleh Sang Pencipta. Padahal ia hidup terkungkung dalam pekatnya batu cadas yang sangat keras. Dan Allah Maha Mengetahui tempat hidupnya dan lubang persembunyiannya. Semua itu telah tertulis dalam sebuah kitab yang merekam jalannya kehidupan kita di dunia, Lauh Mahfuzh.
Jika seekor makhluk yang penuh keterbatasan saja masih mampu menjemput rezekinya, bagaimana halnya dengan manusia yang dibekali akal pikiran serta nalar yang luar biasa. Tentu ia jauh lebih mudah memperoleh rezeki yang ditebarkan Tuhan di muka bumi. Ketika Allah sudah memutuskan untuk menciptakan sesuatu, tentu Dia juga akan menyiapkan sarana prasarana dan fasilitas yang memadai untuk menjamin keberlangsungan hidup makhluk tersebut serta menjamin eksistensi keturunannya. Dan di antara jaminan yang diberikan Allah adalah rezeki yang tak pernah datang telat dan tak pernah salah alamat.

Dalam sebuah hadits yang diriwayatkan Abu Nu’aim dari Sahabat Jabir ra.:
لَوْ أَنَّ ابْنَ آدَمَ هَرَبَ مِنْ رِزْقِهِ كَمَا يَهْرُبُ مِنَ الْمَوْتِ َلأَدْرَكَهُ رِزْقُهُ كَمَا يُدْرِكُهُ الْمَوْتُ
Artinya: “Andai saja bani Adam (manusia) lari (menjauh) dari rezekinya sebagaimana ia lari dari kematian, niscaya rezekinya akan menemukannya sebagaimana maut yang akan menjemputnya.” Dari hadits ini, kita pahami bahwa rezeki tak pernah salah jalan untuk menemukan manusia. Tetapi terkadang si manusia itu sendiri yang salah jalan dalam menjemput rezekinya. Betapa banyak orang yang mencari rezeki dengan cara-cara haram: hobi mencuri dan budaya korupsi, mengambil hak-hak orang lain dengan cara kotor dan lalim. Mungkin mereka bisa memperoleh rezeki (materi) dalam jumlah banyak dengan sekejap mata. Tapi karena rezeki yang mereka peroleh tidak halal dan tidak barokah, mereka akan kehilangan rezeki (non materi) yang sebenarnya sangat berguna untuk kehidupan mereka. Bayangkan saja saat Anda memperoleh uang yang banyak, tetapi di sisi lain Anda juga mengalami gangguan kesehatan, mengidap penyakit parah, selalu merasa tidak aman (was-was), masih dihantui tagihan hutang yang menggunung dan diintai ancaman kebangkrutan. Secara otomatis Anda juga kehilangan kebahagiaan hakiki dalam hidup ini.
Ada sebuah pesan penuh hikmah dari Syeikh Ibnu ‘Atha’illah as-Sakandary dalam kitab Al-Hikam-nya:
اِجْتِهَادُكَ فِيْمَا ضَمِنَ لَكَ وَتَقْصِيرُكَ فِيمَا طَلَبَ مِنْكَ دَلِيلٌ عَلَى انْطِمَاسِ البَصِيرَةِ مِنْكَ  
Artinya: “Kesungguhanmu dalam mencari sesuatu yang telah Allah jamin untukmu, dan kemalasanmu dalam mencari sesuatu yang Dia tuntut darimu menjadi pertanda buramnya mata hatimu.”
Alangkah naifnya jika kita mati-matian mengejar harta dunia tapi masih malas-malasan mengumpulkan bekal untuk kehidupan selanjutnya. Rezeki kita di dunia ini sudah dijamin oleh Allah. Sementara di sisi lain, tidak ada yang bisa menjamin keselamatan dan kebahagiaan kita kelak setelah meninggal dunia. Hanya ketaatan dan ketaqwaan kepada Allah dan Rasul-Nya yang mampu menyelamatkan kita.
Wallâhu a’lam bish-shawâb. 
***







Tidak ada komentar:

Posting Komentar