Edisi 36 th VI : 25 September 2015 M / 11 Dzul Hijjah 1436 H
ANAK TERHADAP BAPAK
Penulis:
Ust. Marsudi, S.Pd.I (TPQ ad-Darajaat, Mayak)
Segala puji hanyalah bagi Allah
swt yang telah berfirman dalam al-Qur’an surat ash-Shaaffat ayat 102 – 107 yang artinya: “Maka tatkala
anak itu sampai (pada umur sanggup) berusaha bersama-sama Ibrahim, Ibrahim
berkata: "Hai anakku sesungguhnya aku melihat dalam mimpi bahwa aku
menyembelihmu. Maka fikirkanlah apa pendapatmu!" Ia menjawab: "Hai
bapakku, kerjakanlah apa yang diperintahkan kepadamu; insya Allah engkau akan mendapatiku termasuk
orang-orang yang sabar". Tatkala keduanya telah berserah diri dan Ibrahim
membaringkan anaknya atas pelipis(nya), (nyatalah kesabaran keduanya ), dan
Kami panggillah dia: "Hai Ibrahim, sesungguhnya kamu telah
membenarkan mimpi itu,
sesungguhnya demikianlah Kami memberi balasan kepada orang-orang yang berbuat
baik. Sesungguhnya ini benar-benar suatu ujian yang nyata, dan
Kami tebus anak itu dengan seekor sembelihan yang besar.” Shalawat dan
salam semoga tetap tercurah pada nabi Muhammad saw, sang pembawa risalah
penuntun umat manusia menuju jalan terbaik.
Moment idul adha selalu identik
dengan haji dan hewan kurban. Banyak hal yang bisa ditarik pelajaran dari
moment spesial bagi umat
Islam ini. Dari ritual haji, kita
bisa mendapat banyak pelajaran berharga tentang pengorbanan harta, waktu serta
jiwa raga demi panggilan ke tanah suci. Adapun dari ritual kurban, kita bisa
menarik pelajaran tentang keikhlasan mengorbankan harta (hewan yang diambil
dagingnya) bagi masyarakat yang mungkin saja memang jarang menikmati daging.
Kita
juga bisa mengambil banyak pelajaran berharga lain dari kisah awal mula ritual
haji maupun kurban. Sebagaimana kita ketahui, ritual ini awal mulanya adalah
kisah tentang nabi Ibrahim as beserta keluarganya. Kisah tentang kurban bermula
dari perintah Allah swt pada nabi Ibrahim as untuk menyembelih nabi Ismail as.
Kisah tersebut termuat dalam al-Qur’an surat ash-Shaaffat ayat 102 – 107
sebagaimana dituliskan di awal buletin. Kali ini, mari kita cermati tentang
kemuliaan adab seorang anak (dalam hal ini nabi Ismail as) terhadap bapak
(yaitu nabi Ibrahim as).
Ketika
menghadapi kenyataan terpahit dalam hidup, yaitu akan disembelih oleh bapaknya
sendiri atas perintah Tuhan yang disembah, maka nabi Ismail as berkata: "Hai
bapakku, kerjakanlah apa yang diperintahkan kepadamu; insya Allah engkau akan
mendapatiku termasuk orang-orang yang sabar". Dalam point inilah
terlihat jelas kepatuhan seorang anak pada bapaknya. Dia tidak membantah
sedikit pun, justru menguatkan hati bapaknya. Dia sangat yakin akan kasih
sayang bapak terhadapnya. Dan dia berusaha membalas kasih sayang tersebut
dengan cara yang sekiranya dia mampu, yaitu patuh taat pada setiap perintah
sang bapak. Adapun patuh taat pada kedua orang tua itu merupakan perintah dalam
agama sebagaimana dicantumkan dalam al-Qur’an surat al-Ahqaf ayat 15: “Kami
perintahkan kepada manusia supaya berbuat baik kepada dua orang ibu bapaknya,
ibunya mengandungnya dengan susah payah, dan melahirkannya dengan susah payah
(pula). mengandungnya sampai menyapihnya adalah tiga puluh bulan, sehingga
apabila dia telah dewasa dan umurnya sampai empat puluh tahun ia berdoa:
"Ya Tuhanku, tunjukilah aku untuk mensyukuri nikmat Engkau yang telah
Engkau berikan kepadaku dan kepada ibu bapakku dan supaya aku dapat berbuat
amal yang saleh yang Engkau ridhai; berilah kebaikan kepadaku dengan (memberi
kebaikan) kepada anak cucuku. Sesungguhnya aku bertaubat kepada Engkau dan
Sesungguhnya aku termasuk orang-orang yang berserah diri".
Mengacu
pada ketaatan nabi Ismail as pada bapak, kita bisa mensinkronkan dengan
al-Qur’an surat al-Isra’ ayat 23 bahwa “... maka sekali-kali janganlah kamu
mengatakan kepada keduanya (ibu-bapak) perkataan "ah" dan janganlah
kamu membentak mereka dan ucapkanlah kepada mereka perkataan yang mulia.”
Dari ayat ini jelas kita diwajibkan bertutur kata yang lembut pada ibu bapak,
sekalipun kita merasa di posisi yang benar dan mereka di posisi yang kurang
benar. Kita harus menyadari sepenuhnya bahwa ibu bapak kitalah yang merawat kita
semenjak kecil. Betapa kita merepotkan mereka saat kita belum mampu berbuat
apa-apa. Ketika kita masih kecil, kita hanya cukup menangis sejadi-jadinya
untuk meminta sesuatu, dan ibu bapak kita sudah akan berusaha memenuhi
keinginan kita. Bukan hanya sekali dua kali kita membuat tidur mereka tak
nyenyak di malam hari karena merawat dan memenuhi kebutuhan kita. Bahkan kita
bisa tertawa-tawa bermain di punggung bapak
sementara beliau menahan sakit karena sebenarnya punggungnya masih
kecapekan sehabis bekerja. Semua peristiwa seperti itu terkadang tak
terpikirkan lagi oleh kita.
Jika
kemudian saat ini ibu bapak kita memerlukan kepedulian kita untuk merawat
mereka, maka selayaknya kita pun patuh taat pada mereka. Kita bisa mengambil
pelajaran dari pengorbanan jiwa raga nabi Ismail as yang menyerahkan dirinya
penuh di bawah pedang sang bapak. Kita mungkin tak akan seheroik nabi Ismail
as, tapi setidaknya kita harus berusaha untuk menjadi anak yang baik bagi ibu
bapak. Dalam hal ini, kita selayaknya tidak membeda-bedakan antara ibu
dan bapak. Meskipun kita tahu sebuah
hadits bahwa “Surga berada di bawah telapak kaki ibu”
namun kita juga harus tahu bahwa ada hadits penguat lain yaitu hadits tentang kekuasaaan seorang bapak terhadap
anaknya: “Seorang laki-laki ketika berkata: “Bapakku ingin
mengambil hartaku.” Nabi saw bersabda padanya: “Kamu dan hartamu milik bapakmu.” (HR. Ahmad, Abu Dawud dan Ibnu Majah).
Dari dua hadits tentang keutamaan ibu maupun bapak, kita tentu akan berusaha
berlaku adil pada keduanya kala mereka memasuki usia tua dan menggantungkan
hidupnya pada kita. Sesungguhnya jika kedua orangtua kita atau salah satu dari
keduanya masih hidup di hadapan kita, maka hal tersebut merupakan ladang amal
bagi kita sebagai jalan menuju surga. Rasulullah saw bersabda dalam salah satu
haditsnya: “Sungguh celaka, sungguh celaka, sungguh celaka.”
Dikatakan oleh para sahabat siapakah mereka wahai Rasulullah? Nabi menjawab,
yaitu mereka yang mendapati salah satu atau kedua orang tuanya telah berusia
lanjut akan tetapi, tidak memasukkan ia ke dalam surga.” (HR. Muslim).
Akhirnya,
dengan bersamaan datangnya moment idul adha terkait kisah awal ritual kurban,
maka mari kita ambil hikmah ketaatan nabi Ismail as pada bapaknya yaitu nabi
Ibrahim as. Ketaatan seorang anak yang berujung pada kebahagiaan bapak ibunya
karena telah menjadi qurrota a’yun yang merupakan anugerah terindah bagi
semua orang tua. Semoga Allah meringankan langkah-langkah usaha kita dalam
berbakti pada kedua orang tua. Aamiin.
***
Tidak ada komentar:
Posting Komentar