Edisi 32 th VI : 21 Agustus 2015
M / 6 Dzul Qo’dah 1436 H
MENGHORMATI
ULAMA
Penulis:
Ust. Mahfud, S.Pd.I (TPQ Miftahul Huda, Jenes)
Puji syukur ke hadirat Allah swt yang telah
memberikan motivasi pada manusia agar menjadi makhluk cerdas dengan berusaha
mencari ilmu sebagaimana ditunjukkan dalam surat al-Mujadalah ayat 11: ”Allah
akan meninggikan orang-orang yang beriman di antaramu dan orang-orang yang
diberi ilmu pengetahuan.” Shalawat serta salam semoga tetap
tercurahkan kepada junjungan kita Nabi Muhammad saw, yang telah menjadi uswatun
hasanah bagi kita.
Manusia
lebih utama dibanding makhluk lain, tak lain karena manusia diberi pengetahuan
oleh Allah swt. Dikisahkan dalam
al-Qur’an bahwa Allah swt memberi keutamaan kepada nabi Adam as dibanding
malaikat, sebab nabi Adam as mempunyai ilmu pengetahuan. Firman Allah swt dalam
al-Qur’an surat al-Baqarah ayat 31: Dan
dia mengajarkan kepada Adam nama-nama (benda-benda) seluruhnya, kemudian
mengemukakannya kepada para malaikat lalu berfirman: "Sebutkanlah
kepada-Ku nama benda-benda itu jika kamu memang orang-orang yang benar!"
Dari ayat ini secara implisit kita bisa mengambil gambaran
bahwa orang yang diberi ilmu pengetahuan oleh Allah akan lebih hebat
pengetahuannya dibandingkan yang memang tidak memiliki ilmu pengetahuan. Ketika
ada tes atau sejenisnya, orang yang berilmu akan lebih percaya diri dan yakin
kebenaran ilmunya. Maka dapat diambil kesimpulan bahwa orang yang berilmu akan
lebih utama daripada orang yang tidak berilmu.
Orang
yang berilmu disebut ulama. Meskipun kata “ulama” dalam kaidah nahwu sharaf
merupakan bentuk jama’ dari mufrad ‘alim, namun kata ulama sudah diserap
dalam bahasa Indonesia sehingga orang yang pandai ilmu agama disebut ulama.
Ulama merupakan pewaris para nabi, artinya ulama mewarisi ilmu dan akhlaknya
para nabi. Sinergi antara ilmu dan amal yang ada pada ulama menjadikan ulama
mempunyai sifat “khosyah” (takut). Khosyah menjadi ciri utama
dari ulama. Khosyah adalah rasa takut kepada Allah swt. Sebagaimana firman Allah swt
dalam al-Qur’an surat Fathir ayat 28: “Sesungguhnya hanyalah yang takut kepada Allah di antara para
hamba-Nya adalah ulama.” Takut kepada Allah swt merupakan implementasi dari ihsan.
Adapun ihsan artinya beribadah kepada Allah seakan-akan kita melihat
Allah atau kalau tidak bisa begitu maka kita yakin bahwa Allah melihat kita. Ihsan
menjadi salah satu kategori akhlaq yang tinggi dalam agama Islam. Jalan menuju ihsan
adalah tasawuf penyucian jiwa dari sifat-sifat tercela. Oleh karena itulah,
sosok ulama bisa dipastikan berjiwa tasawuf disamping ia adalah orang yang
paham betul agama Islam.
Mengikuti
ulama adalah keniscayaan, sebab para ulama mengikuti jalannya para nabi,
sedangkan jalan para nabi merupakan jalan yang lurus. Agar kita tidak tersesat
tentu saja kita harus mengikuti fatwa para ulama. Ulama itu ibarat lentera bagi
umat. Sehingga ada perkataan yang sangat indah; “al-ulama’u surujud dun-ya
wa mashabihul akhirat.” Artinya: ulama merupakan lenteranya dunia dan
lampunya akhirat. Tentu sangat pantas apabila kita memuliakan para ulama. Dalam
konsep ini, memuliakan ulama sangat dianjurkan dalam agama Islam. Rasulullah
saw bersabda dalam hadits: ''Sesungguhnya sebagian dari mengagungkan
Allah adalah; memuliakan orang tua muslim, memuliakan hafidz al-Qur’an yang tak
melewati batas dan memuliakan pemimpin yang adil.'' (HR Abu Dawud).
Bahkan, Rasulullah saw menyatakan, mereka yang tak memuliakan alim ulama
bukanlah bagian dari umatnya
sebagaimana dalam hadits: ''Bukan termasuk umatku orang yang tak
menghormati orang tua, tidak menyayangi anak-anak dan tidak memuliakan alim
ulama.'' (HR Ahmad, Thabrani dan Hakim). Dalam hadits lainnya
disebutkan pula: ''Aku tidak mengkhawatirkan umatku kecuali tiga
hal. Pertama, keduniaan berlimpah, sehingga manusia saling mendengki. Kedua,
orang-orang jahil yang berusaha menafsirkan al-Qur’an dan mencari-cari ta'wilnya, padahal tak
ada yang mengetahui ta'wilnya kecuali Allah. Ketiga, alim ulama ditelantarkan
dan tidak akan dipedulikan oleh umatku.'' (HR Thabrani). Jika kita
mencermati hadits ini, tentu kita memahami bahwa umat yang tidak menghiraukan
para ulama akan berada dalam kondisi yang sangat mengkhawatirkan. Hal ini
karena umat tersebut akan berjalan pada jalan yang tidak semestinya. Bisa jadi mereka tidak memahami agama,
namun sembarangan mengimplementasikan ayat al-Qur’an sesuai nafsunya.
Asy-Syaikh
Muhammad Nawawi bin Umar al-Bantani Rahimahullah Ta’ala, di dalam kitabnya, Nasha-ihul
ibad fi bayani al-faadzi al-funabbihaat ‘alal isti’daadi li yaumil ma’adi
mencantumkan hadits yang memperingatkan akibat meninggalkan atau tidak mentaati
ulil amri yang sebenarnya yakni para fuqaha. Rasulullah saw bersabda: “Akan datang satu zaman atas umatku
dimana mereka lari (menjauhkan diri) dari (ajaran dan nasihat) ulama’ dan
fuqaha’, maka Allah Ta’ala menimpakan tiga macam musibah atas mereka yaitu Allah mengangkat (menghilangkan)
keberkahan dari rizki (usaha) mereka, Allah menjadikan penguasa yang dzalim untuk mereka, dan Allah mengeluarkan mereka dari dunia ini
tanpa membawa iman.”
Dari hadits tersebut,
dapat dijabarkan lagi bahwa:
Ø
Orang yang oleh Allah
dicabut keberkahan rizkinya tentu menjadi orang yang sangat rugi. Keberkahan
rizki tidak selalu identik dengan rizki yang banyak. Rizki tidak selalu
bersifat materi. Rizki yang berkah dapat berupa istri yang shalihah, anak-anak
yang baik, tetangga yang tidak jahat serta harta benda yang membuat aman dan
nyaman pemiliknya.
Ø
Penguasa yang dzalim tentu
saja akan sangat menyengsarakan rakyatnya. Sebab tak jarang kedzaliman penguasa
mengganggu dan mempengaruhi kualitas dari rakyatnya. Penguasa yang dzalim tak
jarang justru melemahkan ekonomi rakyatnya, menindas serta merampas hak
rakyatnya.
Ø
Seseorang yang jauh dari
bimbingan ulama bisa jadi terjerumus pada kemaksiatan sampai ajal menjemput,
sedang ia belum taubat hingga akhirnya suul khatimah, na’udzubillahi min
dzalik.
Mengingat
berbagai hal yang sangat tidak mengenakkan jika kita meninggalkan ulama, maka
salah satu hal yang sekarang ini begitu urgen untuk kita lakukan adalah harus
senantiasa mendekatkan diri pada ulama untuk mendapat fatwa atau bimbingan atas
ketidaktahuan kita pada masalah hidup. Kita harus menghormati dan memuliakan
mereka secara proporsional, karena memang ulama memiliki kelebihan dibanding
kita. Semoga Allah meridhai niat baik dan segala usaha kita. Aamiin.
***
Tidak ada komentar:
Posting Komentar