buletin ini terbit secara rutin tiap hari Jum'at di masjid agung RMAA Tjokronegoro Ponorogo

Jumat, 04 September 2015

MENGHORMATI ULAMA



   Edisi 32 th VI : 21 Agustus 2015 M / 6 Dzul Qo’dah 1436 H
MENGHORMATI ULAMA
Penulis: Ust. Mahfud, S.Pd.I (TPQ Miftahul Huda, Jenes)
 Puji syukur ke hadirat Allah swt yang telah memberikan motivasi pada manusia agar menjadi makhluk cerdas dengan berusaha mencari ilmu sebagaimana ditunjukkan dalam surat al-Mujadalah ayat 11: ”Allah akan meninggikan orang-orang yang beriman di antaramu dan orang-orang yang diberi ilmu pengetahuan.” Shalawat serta salam semoga tetap tercurahkan kepada junjungan kita Nabi Muhammad saw, yang telah menjadi uswatun hasanah bagi kita.
Manusia lebih utama dibanding makhluk lain, tak lain karena manusia diberi pengetahuan oleh Allah swt. Dikisahkan dalam al-Qur’an bahwa Allah swt memberi keutamaan kepada nabi Adam as dibanding malaikat, sebab nabi Adam as mempunyai ilmu pengetahuan. Firman Allah swt dalam al-Qur’an surat al-Baqarah ayat 31: Dan dia mengajarkan kepada Adam nama-nama (benda-benda) seluruhnya, kemudian mengemukakannya kepada para malaikat lalu berfirman: "Sebutkanlah kepada-Ku nama benda-benda itu jika kamu memang orang-orang yang benar!" Dari ayat ini secara implisit kita bisa mengambil gambaran bahwa orang yang diberi ilmu pengetahuan oleh Allah akan lebih hebat pengetahuannya dibandingkan yang memang tidak memiliki ilmu pengetahuan. Ketika ada tes atau sejenisnya, orang yang berilmu akan lebih percaya diri dan yakin kebenaran ilmunya. Maka dapat diambil kesimpulan bahwa orang yang berilmu akan lebih utama daripada orang yang tidak berilmu.

Orang yang berilmu disebut ulama. Meskipun kata “ulama” dalam kaidah nahwu sharaf merupakan bentuk jama’ dari mufrad ‘alim, namun kata ulama sudah diserap dalam bahasa Indonesia sehingga orang yang pandai ilmu agama disebut ulama. Ulama merupakan pewaris para nabi, artinya ulama mewarisi ilmu dan akhlaknya para nabi. Sinergi antara ilmu dan amal yang ada pada ulama menjadikan ulama mempunyai sifat “khosyah” (takut). Khosyah menjadi ciri utama dari ulama. Khosyah adalah rasa takut kepada Allah swt. Sebagaimana firman Allah swt dalam al-Qur’an surat Fathir ayat 28: “Sesungguhnya hanyalah yang takut kepada Allah di antara para hamba-Nya adalah ulama.” Takut kepada Allah swt merupakan implementasi dari ihsan. Adapun ihsan artinya beribadah kepada Allah seakan-akan kita melihat Allah atau kalau tidak bisa begitu maka kita yakin bahwa Allah melihat kita. Ihsan menjadi salah satu kategori akhlaq yang tinggi dalam agama Islam. Jalan menuju ihsan adalah tasawuf penyucian jiwa dari sifat-sifat tercela. Oleh karena itulah, sosok ulama bisa dipastikan berjiwa tasawuf disamping ia adalah orang yang paham betul agama Islam.
 Mengikuti ulama adalah keniscayaan, sebab para ulama mengikuti jalannya para nabi, sedangkan jalan para nabi merupakan jalan yang lurus. Agar kita tidak tersesat tentu saja kita harus mengikuti fatwa para ulama. Ulama itu ibarat lentera bagi umat. Sehingga ada perkataan yang sangat indah; “al-ulama’u surujud dun-ya wa mashabihul akhirat.” Artinya: ulama merupakan lenteranya dunia dan lampunya akhirat. Tentu sangat pantas apabila kita memuliakan para ulama. Dalam konsep ini, memuliakan ulama sangat dianjurkan dalam agama Islam. Rasulullah saw bersabda dalam hadits: ''Sesungguhnya sebagian dari mengagungkan Allah adalah; memuliakan orang tua muslim, memuliakan hafidz al-Qur’an yang tak melewati batas dan memuliakan pemimpin yang adil.'' (HR Abu Dawud). Bahkan, Rasulullah saw menyatakan, mereka yang tak memuliakan alim ulama bukanlah bagian dari umatnya sebagaimana dalam hadits: ''Bukan termasuk umatku orang yang tak menghormati orang tua, tidak menyayangi anak-anak dan tidak memuliakan alim ulama.'' (HR Ahmad, Thabrani dan Hakim).  Dalam hadits lainnya disebutkan pula:  ''Aku tidak mengkhawatirkan umatku kecuali tiga hal. Pertama, keduniaan berlimpah, sehingga manusia saling mendengki. Kedua, orang-orang jahil yang berusaha menafsirkan al-Quran dan mencari-cari ta'wilnya, padahal tak ada yang mengetahui ta'wilnya kecuali Allah. Ketiga, alim ulama ditelantarkan dan tidak akan dipedulikan oleh umatku.'' (HR Thabrani). Jika kita mencermati hadits ini, tentu kita memahami bahwa umat yang tidak menghiraukan para ulama akan berada dalam kondisi yang sangat mengkhawatirkan. Hal ini karena umat tersebut akan berjalan pada jalan yang tidak semestinya. Bisa jadi mereka tidak memahami agama, namun sembarangan mengimplementasikan ayat al-Qur’an sesuai nafsunya.

Asy-Syaikh Muhammad Nawawi bin Umar al-Bantani Rahimahullah Ta’ala, di dalam kitabnya, Nasha-ihul ibad fi bayani al-faadzi al-funabbihaat ‘alal isti’daadi li yaumil ma’adi mencantumkan hadits yang memperingatkan akibat meninggalkan atau tidak mentaati ulil amri yang sebenarnya yakni para fuqaha. Rasulullah saw bersabda:Akan datang satu zaman atas umatku dimana mereka lari (menjauhkan diri) dari (ajaran dan nasihat) ulama’ dan fuqaha’, maka Allah Taala menimpakan tiga macam musibah atas mereka yaitu Allah mengangkat (menghilangkan) keberkahan dari rizki (usaha) mereka, Allah menjadikan penguasa yang dzalim untuk mereka, dan Allah mengeluarkan mereka dari dunia ini tanpa membawa iman.”
Dari hadits tersebut, dapat dijabarkan lagi bahwa:
Ø  Orang yang oleh Allah dicabut keberkahan rizkinya tentu menjadi orang yang sangat rugi. Keberkahan rizki tidak selalu identik dengan rizki yang banyak. Rizki tidak selalu bersifat materi. Rizki yang berkah dapat berupa istri yang shalihah, anak-anak yang baik, tetangga yang tidak jahat serta harta benda yang membuat aman dan nyaman pemiliknya.
Ø  Penguasa yang dzalim tentu saja akan sangat menyengsarakan rakyatnya. Sebab tak jarang kedzaliman penguasa mengganggu dan mempengaruhi kualitas dari rakyatnya. Penguasa yang dzalim tak jarang justru melemahkan ekonomi rakyatnya, menindas serta merampas hak rakyatnya.
Ø  Seseorang yang jauh dari bimbingan ulama bisa jadi terjerumus pada kemaksiatan sampai ajal menjemput, sedang ia belum taubat hingga akhirnya suul khatimah, na’udzubillahi min dzalik.
Mengingat berbagai hal yang sangat tidak mengenakkan jika kita meninggalkan ulama, maka salah satu hal yang sekarang ini begitu urgen untuk kita lakukan adalah harus senantiasa mendekatkan diri pada ulama untuk mendapat fatwa atau bimbingan atas ketidaktahuan kita pada masalah hidup. Kita harus menghormati dan memuliakan mereka secara proporsional, karena memang ulama memiliki kelebihan dibanding kita. Semoga Allah meridhai niat baik dan segala usaha kita. Aamiin.
***







Tidak ada komentar:

Posting Komentar