buletin ini terbit secara rutin tiap hari Jum'at di masjid agung RMAA Tjokronegoro Ponorogo

Senin, 28 Desember 2015

BULAN SEMI (2)



       Edisi 48 th VI : 25 Desember 2015 M / 13 Rabi’ul Awwal 1437 H
BULAN SEMI (2)
Penulis: ust. Dana A. Dahlany, Lc. (TPQ ad-Darajaat, Mayak)
Segala puji hanyalah bagi Allah swt yang telah berfirman dalam al-Qur’an surat at-Taubah ayat 128: Sungguh telah datang kepadamu seorang Rasul dari kaummu sendiri, berat terasa olehnya penderitaanmu, sangat menginginkan (keimanan dan keselamatan) bagimu, amat belas kasihan lagi penyayang terhadap orang-orang mukmin Shalawat dan salam semoga tetap tercurah pada Nabi Muhammad saw sebagai manusia teristimewa yang terlahir pada tanggal 12 bulan Rabi’ul Awwal tahun Gajah atau tepatnya 20 April 571 Masehi yang silam.
Kelahiran nabi Muhammad saw ke dunia ini membawa cahaya terang benderang yang menyingkap segala kegelapan jahiliyyah. Kelahiran beliau merupakan awal dari serentetan peristiwa penting yang mengubah dunia dengan syariat Islam yang rahmatan lil ‘alamin. Syariat dan gaya hidup yang dibawa Nabi Muhammad saw tidaklah bertujuan untuk membebani dan mengekang umatnya. Sebaliknya, ajaran yang beliau bawa justru bertujuan menjaga marwah dan martabat manusia sebagai makhluk Tuhan yang paling sempurna.
Shalat yang merupakan salah satu syariat Islam, bukan bertujuan mengurangi waktu produktif manusia, tapi justru menjaga ritme dan frekuensi komunikasi antara hamba dengan Tuhannya. Gerakan-gerakan yang ada di dalamnya bukanlah gerakan orang bodoh yang tak punya kerjaan. Jika ditinjau dari perspektif fisik-motorik, maka gerakan-gerakan shalat menjadi seni olah tubuh yang bertujuan menormalkan peredaran darah dan menjaga kebugaran jasmani & rohani si pelakunya.

Salah satu contoh lain dari syariat Islam adalah zakat. Zakat bukan berarti menghambur-hamburkan harta tanpa tujuan berarti. Sebaliknya, harta yang dizakati justru akan tumbuh dan berkembang karena sudah tersucikan dengan mengeluarkan sebagian kecilnya untuk disalurkan kepada fakir miskin dan orang-orang yang berhak menerimanya. Efek sosialnya tentu juga akan sangat terasa bagi orang-orang yang kurang beruntung, sehingga secara tidak langsung bisa meningkatkan daya beli masyarakat dan berdampak pada pertumbuhan ekonomi secara signifikan.
Kemudian contoh syariat islam yang lain adalah pernikahan. Pernikahan bukan berarti menghalangi manusia untuk menyalurkan kebutuhan biologisnya. Tapi dengan adanya pernikahan justru akan menjaga kehormatan manusia sebagai makhluk berakal dan menjaga kemurnian nasab keturunannya. Tidak seperti hewan yang bisa kawin 'semau gue', entah siapa lawan kawinnya, entah di mana tempatnya, mereka bisa seenaknya melampiaskan nafsu syahwat hewaninya tanpa mempedulikan keadaan sekitarnya. Jika ada manusia tidak mau diatur dalam lembaga pernikahan, maukah ia disamakan dengan hewan?
Untuk itulah Rasul saw datang demi menyelamatkan umat manusia dari jurang kehancuran jahiliyyah. Ajaran-ajaran yang beliau bawa hendaknya tidak dianggap sebagai beban, tapi kita anggap sebagai tindakan preventif pencegahan.
Ada sifat yang disematkan kepada Nabi Muhammad saw yaitu حَرِيصٌ عَلَيْكُمْ . Beliau begitu semangat dalam memperhatikan umatnya. Tidak hanya dalam hal agama, Nabi saw juga sangat perhatian terhadap kondisi kesehatan dan kesejahteraan sahabat-sahabatnya. Apalagi jika sudah menyangkut keselamatan mereka di akhirat kelak. Tak henti-hentinya beliau berdoa untuk umatnya. Bahkan setelah beliau wafat pun, beliau masih menyempatkan diri untuk meneliti dan memperhatikan catatan amal umatnya yang setiap saat dipertunjukkan oleh para malaikat kepada beliau.
Nabi Muhammad saw pernah mengisyaratkan sebuah perumpamaan:
إِنَّمَا مَثَلِي وَمَثَلُ النَّاسِ كَمَثَلِ رَجُلٍ اسْتَوْقَدَ نَارًا فَلَمَّا أَضَاءَتْ مَا حَوْلَهُ جَعَلَ الْفَرَاشُ وَهَذِهِ الدَّوَابُّ الَّتِي تَقَعُ فِي النَّارِ يَقَعْنَ فِيهَا فَجَعَلَ يَنْزِعُهُنَّ وَيَغْلِبْنَهُ فَيَقْتَحِمْنَ فِيهَا فَأَنَا آخُذُ بِحُجَزِكُمْ عَنْ النَّارِ وَهُمْ يَقْتَحِمُونَ فِيهَا
“Perumpamaan diriku dan perumpaman manusia yang kudakwahi adalah bagaikan seseorang yang menyalakan api (lampu). Dikala api itu menyinari sekelilingnya, menjadikan serangga-serangga dan hewan menuju api itu. Orang tersebut sebenarnya menarik serangga-serangga (agar datang kepadanya). Tapi serangga-serangga itu justru menuju api dan terbakar di dalam kobarannya. kobaran api, di saat mereka terjerumus di dalamnya.” (HR. Bukhari: 6002)

Atas perhatian yang luar biasa itulah, di akhir ayat ke 128 dari surat at-Taubah, Nabi Muhammad saw diberi gelar dengan dua sifat Tuhan yang sangat istimewa, yaitu: Ra'ûf dan Rahîm. Ra’uf itu berarti amat santun dan welas asih. Dalam tafsiran Syeikh Sayyid Thanthawi dan Dr. Wahbah Zuhaili, yang dimaksud kata Ra'ûf adalah menolak bahaya dan madharat yang menimpa umatnya. Ketika ada sahabatnya yang tertimpa kesusahan, Nabi Muhammad saw selalu berusaha sekuat tenaga untuk menolong, menghibur dan menjadi pelipur lara. Lebih-lebih ketika sudah berjumpa dengan Allah Sang Pencipta, beliau tidak akan bosan-bosan memintakan ampunan bagi umatnya yang mengakui kenabian dan kerasulannya. Sedangkan kata Rahîm berarti penuh kasih sayang. Dalam tafsirnya, maksud dari kata Rahîm adalah mendatangkan kebaikan dan kemanfaatan bagi umatnya. Ini adalah sebuah urutan yang sangat tepat. Setelah sebelumnya berusaha menghindarkan umatnya dari segala bentuk penderitaan dan mara bahaya lewat sifat Ra'ûf-nya, Nabi Muhammad saw akan senantiasa berbuat yang terbaik demi kemaslahatan dan keselamatan umatnya.
Semua sifat Nabi yang disebutkan di ayat ke 128 dari surat at-Taubah telah terbukti benar adanya. Tentu sudah banyak sekali riwayat dan juga ahli sejarah yang menceritakan sepak terjang beliau dalam memperjuangkan kepentingan umat jauh di atas kepentingan beliau pribadi. Dari situ kita harus yakin bahwa kelak di akhirat, Nabi Muhammad saw juga akan melakukan perjuangan yang sama, bahkan dengan perjuangan yang lebih gigih di hadapan Tuhannya, untuk menyelamatkan umatnya dari siksa api neraka.
Kepemimpinan nabi Muhammad saw tentulah sangat bagus untuk diteladani bagi para pemimpin masyarakat saat ini. Kota kita, Ponorogo tercinta baru saja menghelat pemilihan pemimpin untuk lima tahun ke depan. Andai saja pemimpin yang terpilih dalam Pilkada kali ini rela berjuang dan berkorban untuk rakyatnya, sebagaimana perjuangan dan pengorbanan Nabi Muhammad saw untuk umatnya, tentu kota Ponorogo kita ini akan aman, sentosa dan sejahtera, menjadi kota idaman baldatun thayyibatun wa rabbun ghafur. Semoga Allah meridhai siapapun yang terpilih. Aamiin ya Rabbal ‘alamin …
***







BULAN SEMI



       Edisi 47 th VI : 18 Desember 2015 M / 06 Rabi’ul Awwal 1437 H
BULAN SEMI
Penulis: ust. Dana A. Dahlany, Lc. (TPQ ad-Darajaat, Mayak)
Segala puji hanyalah bagi Allah swt yang telah berfirman dalam al-Qur’an surat at-Taubah ayat 128: Sungguh telah datang kepadamu seorang Rasul dari kaummu sendiri, berat terasa olehnya penderitaanmu, sangat menginginkan (keimanan dan keselamatan) bagimu, amat belas kasihan lagi penyayang terhadap orang-orang mukmin Shalawat dan salam semoga tetap tercurah pada Nabi Muhammad saw sebagai manusia teristimewa yang terlahir pada bulan Rabi’ul Awwal tahun Gajah atau tepatnya 20 April 571 Masehi yang silam.
Kita telah memasuki bulan Rabi'ul Awwal (dalam hitungan bulan Jawa disebut bulan Mulud). Sesuai namanya, bulan ini adalah bulan semi, bulan panen bagi umat Islam. Bagaimana tidak, di bulan ini terlahir seorang anak manusia, yang dalam al-Quran surat at-Taubah ayat 128 disifati dengan sifat Tuhan: Ra'ûf dan Rahîm.
لَقَدْ جَاءَكُمْ رَسُولٌ مِنْ أَنْفُسِكُمْ عَزِيزٌ عَلَيْهِ مَا عَنِتُّمْ حَرِيصٌ عَلَيْكُمْ بِالْمُؤْمِنِينَ رَءُوفٌ رَحِيمٌ
Selain membawa sifat ketuhanan, sang keturunan Adam yang secara fisik diciptakan dari tanah ini juga mengandung unsur dan sifat yang dimiliki malaikat, yakni bersinar dan bercahaya.
يَا أَيُّهَا النَّبِيُّ إِنَّا أَرْسَلْنَاكَ شَاهِدًا وَمُبَشِّرًا وَنَذِيرًا وَدَاعِيًا إِلَى اللَّهِ بِإِذْنِهِ وَسِرَاجًا مُنِيرًا
Wahai Nabi sesungguhnya Kami mengutusmu untuk jadi saksi dan pembawa kabar

gembira dan pemberi peringatan, dan untuk jadi penyeru kepada Agama Allah dengan izin-Nya dan untuk jadi cahaya yang menerangi. (Al-Ahzab ayat 45-46). Bahkan saat anak ini masih berbentuk janin dalam kandungan ibunya, sang ibu sudah melihat tanda-tanda keajaibannya. Ia melihat secercah cahaya yang menyinari istana Raja Kisra di dataran Syam. Kelahirannya di dunia yang fana ini mampu menerangi gelapnya alam di dua dunia sekaligus, alam jin dan manusia. Bahkan pelepah kurma pun turut merindukan sentuhannya saat beliau berkhutbah di atas mimbar. Dialah manusia sekaligus makhluk teragung yang pernah ada di jagat raya. Namanya selalu disebut-sebut sejak masa Nabi Adam as hingga hari akhir yang telah ditentukan kepastiannya. Dialah seorang utusan Allah, sang pembawa rahmat bagi seluruh alam, sang pengemban amanat dunia dan akhirat: Nabi Muhammad shallallâhu 'alaihi wa sallam.
Sudah sepatutnya kita yang mengaku sebagai umatnya menyambut bulan Mulud ini dengan gembira dan penuh suka cita. Bahkan salah satu ulama dari Mesir yang juga guru kami (penulis, saat belajar di al-Azhar Kairo) Syaikh Husein al-Bayoumy pernah mengatakan, "Kita lebih pantas bersuka cita dengan kelahiran Sang Baginda tercinta daripada merayakan Idul Fitri dan Idul Adha. Kenapa bisa begitu? Karena hari raya Idul Fitri dan Idul Adha tak akan pernah ada tanpa lahirnya Nabi Muhammad Saw."
قُلْ بِفَضْلِ اللَّهِ وَبِرَحْمَتِهِ فَبِذَٰلِكَ فَلْيَفْرَحُوا هُوَ خَيْرٌ مِمَّا يَجْمَعُونَ
Katakanlah: "Dengan karunia Allah dan rahmat-Nya, hendaklah dengan itu mereka bergembira. Karunia Allah dan rahmat-Nya itu lebih baik dari apa yang mereka kumpulkan." Dan yang dimaksud karunia dan rahmat-Nya di sini adalah Nabi Muhammad saw.
Pada bulan Rabi’ul Awwal ini, umat Islam benar-benar panen nikmat dan rahmat yang tak pernah dirasakan umat-umat sebelumnya. Kasih sayang Tuhan hadir begitu nyata dengan lahirnya Sang Pembawa risalah terakhir. Mari kita cermati dengan seksama, bagaimana al-Quran mensifati Rasulullah saw dengan sifat yang sama yang juga dimiliki oleh Allah:
لَقَدْ جَاءَكُمْ رَسُولٌ مِنْ أَنْفُسِكُمْ عَزِيزٌ عَلَيْهِ مَا عَنِتُّمْ حَرِيصٌ عَلَيْكُمْ بِالْمُؤْمِنِينَ رَءُوفٌ رَحِيمٌ
Sungguh telah datang kepadamu seorang Rasul dari kaummu sendiri, berat terasa olehnya penderitaanmu, sangat menginginkan (keimanan dan keselamatan) bagimu, amat belas kasihan lagi penyayang terhadap orang-orang mukmin.” (At-Taubah ayat 128). Di ayat ini, Sang Nabi diberi dua gelar yang sangat istimewa dari Allah: Ra'ûf dan Rahîm. Padahal Allah sendiri juga menyifati diri-Nya

وَإِنَّ اللَّهَ بِكُمْ لَرَءُوفٌ رَحِيمٌ
Dan ayat yang semakna dengan ini diulang-ulang dalam al-Quran sebanyak 5 kali. Mari kita telusuri lagi dari awal ayat, kenapa Nabi Muhammad saw disifati dengan dua sifat Tuhan yang mulia ini.
#Pertama, di dua ayat terakhir dari surat at-Taubah ini, Allah memberi kabar kepada kaum muslimin bahwa mereka telah dikaruniai nikmat yang amat agung dengan datangnya seorang Rasul, sang utusan yang membawa pesan Tuhan. Rasul ini diciptakan Allah dari jenis manusia, makhluk yang sama dengan objek dakwahnya. Dengan begitu, sang Rasul tahu dan paham dengan tabiat yang dimiliki manusia. Inilah poin penting yang harus diteladani para juru dakwah. Seorang pendakwah harus mampu memahami dan memaklumi kondisi masyarakat yang menjadi objek dakwah. Jadi tidak asal memaksakan ajaran yang dibawanya. Paksaan bukanlah cara yang arif dalam menanamkan nilai-nilai agama. Alih-alih menumbuhkan cinta, ajaran yang dipaksakan justru membuat orang-orang benci dan lari. Metode inilah yang sukses diterapkan oleh para pendulu kita yang menyebarkan Islam di Nusantara, khususnya Wali Songo. Masyarakat yang mulanya beragama Hindu-Budha, perlahan namun pasti mulai berbondong-bondong meyakini kebenaran agama Islam yang disiarkan dengan jalan damai tanpa pertikaian dan pertumpahan darah, tanpa aksi saling membid'ahkan, mengafirkan, atau menuduh orang lain syirik.
#Kedua, Allah menjelaskan karakter dari sang Rasul terkahir yang diutusnya:
 عَزِيزٌ عَلَيْهِ مَا عَنِتُّمْ . Nabi Muhammad saw itu begitu mengkhawatirkan penderitaan dan kesusahan yang menimpa umatnya, baik ketika masih dunia, lebih-lebih saat menghadap Allah di akhirat kelak. Syeikh Sya'rawi, seorang mufassir dan da'i berpengaruh dari Mesir mengibaratkan perhatian Nabi saw kepada umatnya ini bagaikan perhatian yang dicurahkan seorang ayah untuk anaknya. Syariat dan gaya hidup yang dibawa Nabi Saw. tidaklah bertujuan untuk membebani dan mengekang umatnya. Sebaliknya, ajaran yang beliau bawa justru bertujuan menjaga marwah dan martabat manusia sebagai makhluk Tuhan yang paling sempurna.
(bersambung)