buletin ini terbit secara rutin tiap hari Jum'at di masjid agung RMAA Tjokronegoro Ponorogo

Senin, 28 Desember 2015

TAWASUTH



   Edisi 40 th VI : 30 Oktober 2015 M / 17 Muharam 1437 H
TAWASUTH
Penulis: Ust. Mahfud, S.Pd.I (TPQ Miftahul Huda, Jenes)
Segala puji hanyalah bagi Allah swt yang telah berfirman dalam al-Qur’an surat an-Nahl ayat 90 yang artinya: “Sesungguhnya Allah menyuruh (kamu) berlaku adil dan berbuat kebajikan, memberi kepada kaum kerabat, dan Allah melarang dari perbuatan keji, kemungkaran dan permusuhan. Dia memberi pengajaran kepadamu agar kamu dapat mengambil pelajaran.” Shalawat dan salam semoga tetap tercurah pada nabi Muhammad saw yang telah memberikan tuntunan hidup bermasyarakat secara sempurna pada umat manusia.
Salah satu ciri umat nabi Muhammad saw yang berpegang pada prinsip konsep Ahlussunah wal Jamaah adalah karakter tawasuth, yakni bersikap tengah-tengah antara dua sikap, tidak terlalu keras (fundamentalis) dan tidak pula terlalu bebas (liberalis). Dalam salah satu hadits, Rasulullah saw bersabda:

قَالَ رَسُوْلُ اللهِ صَلَّى اللهِ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ : وَخَيْرُ اْلأُمُوْرِ أَوْسَطُهَا (رواه البيهقى)

Artinya: Rasulullah saw bersabda: “Hal yang terbaik adalah yang tengah-tengah (sedang).” (HR Baihaqi).
Bersikap tengah-tengah ini meliputi berbagai bidang, baik dalam bidang akidah, fikih maupun dalam bidang akhlaq. Dalam bidang akidah umat-umat sebelum nabi Muhammad saw bisa tersesat dan jatuh pada kekufuran karena sangat berlebih-lebihan dalam mengagungkan seorang pimpinan. Contohnya umatnya nabi Isa karena mengagungkan nabi Isa dengan berlebihan dan akhirnya masuk pada kekufuran karena menganggap nabi Isa sebagai anak Tuhan dengan melihat berbagai kejaiban dan keistimewaan nabi Isa. Nabi Isa dianggap anak Tuhan sebab ia lahir tanpa bapak. Alasan ini sangat lemah, kalau nabi Isa yang lahir tanpa bapak saja dianggap Tuhan, bagaimana dengan nabi Adam yang lahir tanpa Ayah dan Ibu.

Mereka mengagungkan nabi Isa as dengan berlebihan hingga akhirnya masuk pada ranah kekufuran menganggap nabi Isa as sebagai anak Tuhan dengan melihat berbagai kejaiban dan keistimewaan nabi Isa as. Alasan ini sangat lemah, kalau nabi Isa yang lahir tanpa bapak saja dianggap Tuhan, bagaimana dengan nabi Adam as yang lahir tanpa ayah dan Ibu. Sesungguhynya hikmah yang bisa diambil dari lahirnya nabi Isa as yang tanpa bapak adalah hal ini merupakan salah satu bentuk ke-maha kuasa-an Allah swt. Manusia bisa tercipta meski tanpa bapak yaitu nabi Isa as. Jauh sebelum nabi Isa as dilahirkan, Allah kuasa menciptakan manusia tanpa ibu yaitu Hawa. Bahkan sebelum itu, Allah swt telah menciptakan nabi Adam as yang lahir tanpa bapak dan juga tanpa ibu.
            Kehebatan manusia itu tak lepas dari kekuasaan Allah swt. Dalam al-Qur’an menceritakan peristiwa yang luar biasa semisal Isra’ Mi’raj nabi Muhammad saw. Hanya dalam satu malam saja, nabi Muhammad saw mampu melakukan perjalanan dari masjidil haram (Mekkah) ke masjidil Aqsho (Palestina) dan naik ke langit ke tujuh dan sidratul Muntaha. Dalam menceritakan peristiwa luar biasa ini Allah swt menggunakan lafadz

سُبْحَانَ الَّذِيْ اَسْرَى بِعَبْدِهِ ...

Artinya: “Maha suci Dzat yang telah menjalankan hamba-Nya…. (QS Al-Isro’ : 1)
Imam Nawawi dalam syarahnya kitab Sulamut Taufiq mengatakan lafadz بِعَبْدِهِ menunjukkan seberapapun hebatnya nabi Muhammad saw, beliau tetaplah hamba Allah. Maka dengan ini umat nabi Muhammad saw tidak akan tersesat sebagaimana umatnya nabi Isa as yang berlebih-lebihan mengagungkan nabi Isa as.
Contoh lain konsep tawasuth dalam bidang akidah misalnya keyakinan  terhadap sayyidina Ali bin Abi Thalib. Beliau adalah orang yang shalih, sahabat dan sepupu Rasulullah saw. Kecerdasan Sayyidina Ali bi Abi Thalib sangat luar biasa. Kalau Nabi Muhammad saw diibaratkan sebagai gudangnya ilmu pengetahuan, maka sayyidina Ali bin Abi Thalib adalah pintunya. Namun demikian tidak lantas kita menganggap sayyidina Ali sebagai Rasul. Keyakinan yang keliru dari sebagian kelompok syiah radikal adalah menganggap malaikat Jibril keliru dalam menurunkan wahyu yang seharusnya kepada sayyidina Ali, namun justru kepada nabi Muhammad saw. Ini termasuk keyakinan yang terlalu berlebih-lebihan dalam mengagungkan sayyidina Ali sampai mempunyai akidah yang tidak benar. Kemudian juga mengagungkan keturunan Rasulullah saw (Ahli Bait) juga termasuk bagian dari masalah agama. Mengagungkan keturunan Rasulullah saw dari jalur Fatimah yakni mengagungkan sayyidina Hasan dan sayyidina Husain. Akibat tidak tawasuth dalam menyikapi hal ini, terjadi fenomena tathbir yakni mengucurkan darah dari kepala sen

diri oleh kaum syiah Rafidhoh di setiap tanggal 10 Muharam, sebagai bentuk rasa penyesalan dan penebusan dosa atas peristiwa Karbala, yaitu wafatnya sayyidina Husain, yang dibunuh secara keji oleh pasukan Yazid bin Muawiyah.
            Adapun tawasuth dalam bidang fikih diwujudkan dengan pemahaman terhadap dalil-dalil dengan cara yang tidak tekstual semata dan juga tidak membebaskan akal untuk mengeksploitasi dalil tersebut. Penentuan hukum-hukum fikih melalui jalan khusus yang dilakukan oleh orang-orang yang benar-benar ahli di bidangnya. Dalam konsep ini, kemudian muncul-lah madzab-madzab dalam fikih. Ketika Rasulullah saw masih hidup, umat Islam menerima ajaran langsung dari beliau atau dari sahabat yang hadir ketika beliau menyampaikan. Namun setelah Rasullulah saw wafat dan kondisi masyarakat yang kian dinamis, maka banyak persoalan baru yang muncul dan tidak terdapat jawaban secara tegas dalam al-Qur’an dan al-Hadits. Untuk mengetahui hukum atau ketentuan persoalan baru tersebut diperlukan upaya ijtihad. Pola pemahaman ajaran Islam melalui ijtihad para mujtahid biasa disebut madzab yang berarti ”jalan pikiran dan jalan pemahaman” atau pola pemahaman. Pola pemahaman dengan metode, prosedur dan produk ijtihad tersebut diikuti oleh umat Islam yang tidak mampu melakukan ijtihad sendiri, karena keterbatasan ilmu dan syarat-syarat yang dimiliki. Inilah yang disebut bermazhab atau mengunakan mazhab. Dengan cara bermazhab inilah ajaran Islam dapat dikembangkan, disebarluaskan dan diamalkan dengan mudah kepada semua lapisan masyarakat. Melalui sistem inilah pewarisan dan pengamalan ajaran Islam terpelihara kelurusannya serta terjamin kemurnian al-Quran dan al-Hadist dipahami, ditafsirkan dan dipertahankan.
            Jika kita mencermati konsep tawasuth ini, selayaknya kita semakin membenahi diri dan membuka pikiran lebih luas. Pemahaman-pemahaman yang sekiranya keliru harus kita luruskan mulai dari diri kita sendiri. Semoga Allah merahmati kita, meridhai kita, dan memudahkan jalan kita untuk senantiasa ikhtiyar menyempurnakan keimanan. Aamiin.
***











Tidak ada komentar:

Posting Komentar