Edisi 40 th VI : 30 Oktober 2015 M / 17 Muharam 1437 H
TAWASUTH
Penulis:
Ust. Mahfud, S.Pd.I (TPQ Miftahul Huda, Jenes)
Segala puji hanyalah bagi Allah
swt yang telah berfirman dalam al-Qur’an surat an-Nahl ayat 90 yang artinya: “Sesungguhnya
Allah menyuruh (kamu) berlaku adil dan berbuat kebajikan, memberi kepada kaum
kerabat, dan Allah melarang dari perbuatan keji, kemungkaran dan permusuhan.
Dia memberi pengajaran kepadamu agar kamu dapat mengambil pelajaran.”
Shalawat dan salam semoga tetap tercurah pada nabi Muhammad saw yang telah
memberikan tuntunan hidup bermasyarakat secara sempurna pada umat manusia.
Salah satu ciri umat nabi
Muhammad saw yang berpegang pada prinsip konsep Ahlussunah wal Jamaah
adalah karakter tawasuth, yakni bersikap tengah-tengah antara dua sikap,
tidak terlalu keras (fundamentalis) dan tidak pula terlalu bebas (liberalis).
Dalam salah satu hadits, Rasulullah saw bersabda:
قَالَ رَسُوْلُ اللهِ صَلَّى اللهِ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ
: وَخَيْرُ اْلأُمُوْرِ أَوْسَطُهَا (رواه البيهقى)
Artinya: Rasulullah saw bersabda: “Hal yang terbaik
adalah yang tengah-tengah (sedang).” (HR Baihaqi).
Bersikap tengah-tengah ini
meliputi berbagai bidang, baik dalam bidang akidah, fikih maupun dalam bidang
akhlaq. Dalam bidang akidah umat-umat sebelum nabi Muhammad saw bisa tersesat
dan jatuh pada kekufuran karena sangat berlebih-lebihan dalam mengagungkan
seorang pimpinan. Contohnya umatnya nabi Isa karena mengagungkan nabi Isa
dengan berlebihan dan akhirnya masuk pada kekufuran karena menganggap nabi Isa
sebagai anak Tuhan dengan melihat berbagai kejaiban dan keistimewaan nabi Isa.
Nabi Isa dianggap anak Tuhan sebab ia lahir tanpa bapak. Alasan ini sangat
lemah, kalau nabi Isa yang lahir tanpa bapak saja dianggap Tuhan, bagaimana
dengan nabi Adam yang lahir tanpa Ayah dan Ibu.
Mereka mengagungkan nabi
Isa as dengan berlebihan hingga akhirnya masuk pada ranah kekufuran menganggap
nabi Isa as sebagai anak Tuhan dengan melihat berbagai kejaiban dan
keistimewaan nabi Isa as. Alasan ini sangat lemah, kalau nabi Isa yang lahir
tanpa bapak saja dianggap Tuhan, bagaimana dengan nabi Adam as yang lahir tanpa
ayah dan Ibu. Sesungguhynya hikmah yang bisa diambil dari lahirnya nabi Isa as yang
tanpa bapak adalah hal ini merupakan salah satu bentuk ke-maha kuasa-an Allah
swt. Manusia bisa tercipta meski
tanpa bapak yaitu nabi Isa as. Jauh sebelum nabi Isa as dilahirkan, Allah kuasa menciptakan manusia tanpa ibu yaitu Hawa. Bahkan sebelum itu, Allah swt telah menciptakan nabi Adam as yang lahir tanpa bapak dan juga tanpa ibu.
Kehebatan
manusia itu tak lepas dari kekuasaan Allah swt. Dalam al-Qur’an
menceritakan peristiwa yang luar biasa semisal Isra’ Mi’raj nabi Muhammad saw. Hanya dalam
satu malam saja, nabi Muhammad saw mampu melakukan perjalanan dari masjidil
haram (Mekkah) ke masjidil Aqsho (Palestina) dan naik ke langit ke tujuh dan sidratul Muntaha. Dalam menceritakan peristiwa luar biasa ini Allah swt
menggunakan lafadz
سُبْحَانَ الَّذِيْ اَسْرَى بِعَبْدِهِ ...
Artinya: “Maha suci Dzat yang telah menjalankan
hamba-Nya…. (QS Al-Isro’ : 1)
Imam Nawawi dalam syarahnya kitab
Sulamut Taufiq mengatakan lafadz بِعَبْدِهِ menunjukkan seberapapun hebatnya nabi Muhammad
saw, beliau tetaplah hamba Allah. Maka dengan ini umat nabi Muhammad saw tidak
akan tersesat sebagaimana umatnya nabi Isa as yang berlebih-lebihan mengagungkan nabi Isa as.
Contoh lain konsep tawasuth
dalam bidang akidah misalnya
keyakinan terhadap sayyidina Ali bin Abi
Thalib. Beliau adalah orang yang shalih, sahabat dan sepupu Rasulullah saw. Kecerdasan Sayyidina Ali bi Abi
Thalib sangat luar biasa. Kalau Nabi Muhammad saw diibaratkan sebagai gudangnya
ilmu pengetahuan, maka
sayyidina Ali bin Abi Thalib adalah pintunya. Namun demikian tidak lantas kita
menganggap sayyidina Ali sebagai Rasul. Keyakinan yang keliru dari sebagian
kelompok syiah radikal adalah
menganggap malaikat Jibril keliru dalam menurunkan wahyu yang seharusnya kepada
sayyidina Ali, namun justru
kepada nabi Muhammad saw. Ini termasuk keyakinan yang terlalu berlebih-lebihan dalam mengagungkan
sayyidina Ali sampai mempunyai akidah yang tidak benar. Kemudian juga mengagungkan keturunan
Rasulullah saw (Ahli Bait) juga termasuk bagian dari masalah agama.
Mengagungkan keturunan Rasulullah saw dari jalur Fatimah yakni mengagungkan
sayyidina Hasan dan sayyidina Husain. Akibat tidak tawasuth dalam
menyikapi hal ini, terjadi fenomena tathbir yakni mengucurkan darah dari
kepala sen
diri oleh kaum syiah Rafidhoh
di setiap tanggal 10 Muharam, sebagai bentuk rasa penyesalan dan penebusan dosa
atas peristiwa Karbala, yaitu wafatnya sayyidina Husain, yang dibunuh secara
keji oleh pasukan Yazid bin Muawiyah.
Adapun
tawasuth dalam bidang fikih diwujudkan dengan pemahaman terhadap
dalil-dalil dengan cara yang tidak tekstual semata dan juga tidak membebaskan
akal untuk mengeksploitasi dalil tersebut. Penentuan hukum-hukum fikih melalui jalan khusus yang dilakukan oleh
orang-orang yang benar-benar ahli di bidangnya. Dalam konsep ini, kemudian
muncul-lah madzab-madzab dalam fikih. Ketika Rasulullah saw masih hidup, umat Islam
menerima ajaran langsung dari beliau atau dari sahabat yang hadir ketika beliau
menyampaikan. Namun setelah Rasullulah saw wafat dan kondisi masyarakat yang
kian dinamis, maka banyak persoalan baru yang muncul dan tidak terdapat jawaban
secara tegas dalam al-Qur’an dan al-Hadits. Untuk mengetahui hukum atau
ketentuan persoalan baru tersebut diperlukan upaya ijtihad. Pola
pemahaman ajaran Islam melalui ijtihad para mujtahid biasa disebut madzab yang
berarti ”jalan pikiran dan jalan pemahaman” atau pola pemahaman. Pola pemahaman
dengan metode, prosedur dan produk ijtihad tersebut diikuti oleh umat Islam
yang tidak mampu melakukan ijtihad sendiri, karena keterbatasan ilmu dan
syarat-syarat yang dimiliki. Inilah yang disebut bermazhab atau mengunakan
mazhab. Dengan cara bermazhab inilah ajaran Islam dapat dikembangkan,
disebarluaskan dan diamalkan dengan mudah kepada semua lapisan masyarakat.
Melalui sistem inilah pewarisan dan pengamalan ajaran Islam terpelihara
kelurusannya serta terjamin kemurnian al-Qur’an dan al-Hadist dipahami, ditafsirkan dan dipertahankan.
Jika kita mencermati
konsep tawasuth ini, selayaknya kita semakin membenahi diri dan membuka
pikiran lebih luas. Pemahaman-pemahaman yang sekiranya keliru harus kita
luruskan mulai dari diri kita sendiri. Semoga Allah merahmati kita, meridhai
kita, dan memudahkan jalan kita untuk senantiasa ikhtiyar menyempurnakan
keimanan. Aamiin.
***
Tidak ada komentar:
Posting Komentar