buletin ini terbit secara rutin tiap hari Jum'at di masjid agung RMAA Tjokronegoro Ponorogo

Senin, 28 Desember 2015

SABAR MENUJU SYUKUR



   Edisi 43 th VI : 20 Nopember 2015 M / 8 Shaffar 1437 H
SABAR MENUJU SYUKUR
Penulis: Ust. Marsudi, S.Pd.I (TPQ ad-Darajaat, Mayak)
Segala puji hanyalah bagi Allah swt yang telah berfirman dalam al-Qur’an surat al-Baqarah ayat 153-154 yang artinya: “Hai orang-orang yang beriman, mintalah pertolongan (kepada Allah) dengan sabar dan (mengerjakan) shalat, sesungguhnya Allah beserta orang-orang yang sabar. Dan janganlah kamu mengatakan terhadap orang-orang yang gugur di jalan Allah, (bahwa mereka itu) mati, bahkan (sebenarnya) mereka itu hidup tetapi kamu tidak menyadarinya. Dan sungguh akan Kami berikan cobaan kepadamu, dengan sedikit ketakutan, kelaparan, kekurangan harta, jiwa dan buah-buahan. Dan berikanlah berita gembira kepada orang-orang sabar (yaitu) orang-orang yang apabila ditimpa musibah mereka mengucapkan ‘inna lillahi wa inna ilaihi rajiuun’. Mereka itulah yang mendapat keberkahan yang sempurna dan rahmat dari Tuhan mereka, dan mereka itulah orang-orang yang mendapat petunjuk”  Shalawat dan salam semoga tetap tercurah pada nabi Muhammad saw, sang pembawa risalah penuntun umat manusia menuju jalan terbaik.
 Di daerah kita, saat bulletin ini ditulis, baru beberapa kali dihuyur hujan. Kemudian panas kembali menyeruak. Cuaca tak menentu dan kondisi terasa tak begitu mengenakkan. Situasi semacam ini, masih ditambah dengan berbagai problematika hidup dan kehidupan yang seakan semakin mempersempit ruang nafas kita. Perekonomian seperti ikut-ikutan tak kunjung menyegarkan. Bagi kita yang penghasilannya masih dengan cara mencari –dalam artian bukan pegawai tetap

suatu tempat kerja ataupun PNS- maka akan banyak hal yang mempengaruhi pendapatan. Bagi pedagang atau penjual jasa, kondisi saat ini masih dianggap kurang menguntungkan. Jika misalnya kita bertanya pada pedagang pasar atau sopir angkutan, tentu menurut mereka, saat ini situasi masih memprihatinkan. Begitu juga dengan pegawai tetap namun gajinya tak seberapa, tentu merasa kewalahan dengan harga-harga barang yang sering tak menentu.
Seberapa pun berat beban hidup kita, sebagai orang yang beriman, selayaknya kita tetap melakukan ikhtiyar dan tawakkal. Dalam ikhtiyar ada terkandung pesan sebuah ketakwaan, yakni bagaimana kita memilih sebuah solusi dengan tetap memperhatikan bahwa solusi tersebut merupakan jalan kita untuk melaksanakan perintah Allah tanpa menyentuh larangan-Nya. Oleh karena itu jika melakukan sebuah usaha meskipun sungguh-sungguh namun tidak sesuai dengan syariat Islam, maka tidaklah dapat disebut sebagai ikhtiyar. Setelah berikhtiyar, kita haruslah melanjutkannya dengan tawakkal, yaitu sikap bersandar dan menyerahkan sepenuhnya hasil ikhtyiar tersebut kepada Allah swt. Rasulullah saw telah memberikan sebuah gambaran dari konsep ikhtiyar dan tawakkal: “Jika saja kamu sekalian bertawakkal kepada Allah dengan sepenuh hati niscaya Allah akan memberikan rezeki untukmu sekalian, sebagaimana Dia memberinya kepada burung; burung itu pergi dalam keadaan lapar dan pulang dalam keadaan kenyang.” (HR. Tirmidzi & Ibnu Majah). Jika makhluk yang tidak mempunyai skill atau keahlian beragam seperti manusia saja mampu mencari nafkahnya, apalagi kita yang memiliki tangan dan kaki untuk bergerak secara fleksibel.
Konsep Islam dalam mendorong semangat umatnya agar senantiasa tidak patah semangat, sangatlah luar biasa. Dalam al-Qur’an surat Hud ayat 123 disebutkan: “Dan kepunyaan Allah-lah apa yang ghaib di langit dan di bumi dan kepada-Nya dikembalikan urusan-urusan semuanya, maka sembahlah Dia, dan bertawakkallah kepada-Nya. Dan sekali-sekali Tuhanmu tidak lalai dari apa yang kamu kerjakan.” Dalam ayat ini, apapun yang kita kerjakan tidak akan luput dari pengamatan Allah. Itu artinya, jika kita berikhtiyar melalui cara bekerja mencari nafkah, dan hal itu kita niatkan sebagai ibadah, maka tentunya kita akan mendapatkan pahala. Bukankah Rasulullah saw dalam sebuah hadits menerangkan bahwa “Segala sesuatu tergantung niatnya …” (HR Bukhari dan Muslim). Oleh karenanya, jika kita mampu menata hati untuk berniat ibadah ketika berangkat kerja, insyaAllah akan mendapatkan keuntungan besar yaitu pahala di sisi Allah. Seandainya kita belum mendapatkan rizki dari usaha kerja tersebut, toh dengan niat ibadah kita sudah mendapatkan pahala. Kemudian jika kita mendapatkan rizki uang, maka tentunya kita mendapatkan dua keuntungan. Satunya berupa pahala di sisi Allah, dan satunya uang untuk memenuhi kebutuhan dunia.

Jika kita sudah melaksanakan ikhtiyar dan memantapkan tawakkal, maka hal yang tidak kalah pentingnya adalah qanaah. Dalam filosofi Jawa, qanaah ini identik dengan “narimo ing pandum”. Konsep qanaah sangat dekat dengan syukur. Qanaah merupakan sikap menerima segala yang terjadi dengan penuh keyakinan husnudzdzan berbaik sangka pada Allah bahwa hal yang terjadi tersebut adalah yang terbaik. Penerimaan ini tentu disertai rasa syukur pada Allah. Jika kita mampu melaksanakan konsep ini, maka sungguh segala yang terjadi akan terasa nikmat. Bukankah Allah telah berfirman dalam al-Qur’an surat Ibrahim ayat 7: “Dan ingatlah, tatkala Tuhanmu memaklumkan: ”Sesungguhnya jika kamu bersyukur, pasti Kami akan menambah (nikmat) kepadamu, dan jika kamu mengingkari (nikmat-Ku), maka sesungguhnya azab-Ku sangat pedih.” Dalam ayat ini jelas digambarkan bahwa yang ditambahkan adalah nikmat. Bisa jadi ketika kita bersyukur atas rezeki kita secara kuantitas atau jumlah tidak bertambah, namun secara kualitas (rasa) menjadi bertambah nikmat.
Sebagai seorang muslim, kita tidak hanya memikirkan peningkatan pencapaian keduniaan saja, melainkan juga akhirat. Hal ini sejalan dengan al-Qur’an surat ar-Ra’d ayat 26: “Allah meluaskan rizqi dan menyempitkannya bagi siapa saja yang dikehendaki. Dan mereka (manusia) pun bergembira dengan kehidupan dunia, padahal kehidupan dunia dibanding akhirat hanyalah kesenangan yang sedikit.” Manusia hanyalah makhluk yang bisa berusaha dan berdoa. Segala macam penentuan dari usaha merupakan hak mutlak milik Allah. Maka dari itu, selayaknya segala macam usaha itu diiringi dengan doa. Sedangkan ijabah doa adalah hak Allah juga. Al-Qur’an telah mengisyaratkannya dalam surat ar-Ra’d ayat 14: “Hanya bagi Allah-lah (hak mengabulkan) doa yang benar ...”.
            Semoga Allah swt membukakan hati kita, memudahkan langkah kita, serta memberikan hidayah pada kita agar kita mampu dan mau melaksanakan tuntunan dalam Islam sebagaimana sudah digariskan dalam syariat, semoga kita dikuatkan semangat dalam mengarungi kehidupan ini. Aamiin …
***









  

Tidak ada komentar:

Posting Komentar