buletin ini terbit secara rutin tiap hari Jum'at di masjid agung RMAA Tjokronegoro Ponorogo

Senin, 28 Desember 2015

MEMBENTUK ANAK SHALIH



      Edisi 42 th VI : 13 Nopember 2015 M / 1 Shaffar 1437 H
MEMBENTUK ANAK SHALIH
Penulis: ust. Ery Wahyu Hidayatullah (TPQ al-Ghazali, Cokromenggalan)
Segala puji hanya bagi Allah swt, Tuhan seru sekalian alam, Yang Maha Pengasih lagi Maha Penyayang. Sesungguhnya hanya karena limpahan kasih sayang Allah-lah sehingga manusia dapat terus melangsungkan keturunannya dengan cara menikah serta memiliki anak, sebagaimana difirmankan dalam al-Qur’an surat ar-Rum ayat 21 yang artinya: “dan di antara tanda-tanda kekuasaan-Nya ialah Dia menciptakan untukmu isteri-isteri dari jenismu sendiri, supaya kamu cenderung dan merasa tenteram kepadanya, dan dijadikan-Nya diantaramu rasa kasih dan sayang. Sesungguhnya pada yang demikian itu benar-benar terdapat tanda-tanda bagi kaum yang berfikir.” Shalawat dan salam semoga tetap terlimpahkan pada nabi Muhammad saw sebagai suri tauladan bagi setiap keluarga yang menginginkan sakinah, mawaddah wa rahmah dalam sepanjang perjalanan rumah tangganya.
            Dalam pernikahan, salah satu hal yang paling diharapkan adalah memiliki keturunan. Tentu saja keturunan yang diharapkan merupakan keturunan yang mampu meneruskan generasi berikutnya dengan lebih baik. Namun pada kenyataannya, keturunan atau dalam hal ini anak, yang notabene merupakan karunia Allah, justru dapat menjadi cobaan bagi orang tua. Fenomena ini sudah diisyaratkan dalam al-Qur’an surat al-Anfal ayat 28 yang artinya: “Dan ketahuilah, bahwa hartamu dan anak-anakmu itu hanyalah sebagai cobaan dan sesungguhnya di sisi Allah-lah pahala yang besar.” Dalam konsep ini, cobaan dapat berupa anak yang durhaka, dimana cobaan kategori ini berarti negatif dan memerlukan kesabaran ekstra tinggi.

kesabaran ekstra tinggi. Sedangkan cobaan bentuk lain seringkali tidak disadari oleh kebanyakan orang, yaitu cobaan berupa anak shalih, dimana cobaan kategori ini berarti positif dan memerlukan kesadaran tingkat tinggi agar tidak terlena sehingga terlalu bangga dan lupa pada Allah karena terlalu mencintai anak. Hal ini pun sudah diingatkan dalam al-Qur’an surat Ali Imran ayat 14 yang artinya: “Dijadikan indah pada (pandangan) manusia kecintaan kepada apa-apa yang di-ingini, yaitu: wanita-wanita, anak-anak, harta yang banyak dari jenis emas, perak, kuda pilihan, binatang-binatang ternak dan sawah ladang. Itulah kesenangan hidup di dunia, dan di sisi Allah-lah tempat kembali yang baik (surga).” Dari ayat ini, betapa kita harus menyadari bahwa tidaklah mudah menjadi orang tua yang baik sekaligus hamba Allah yang baik.
Terlepas dari betapa sulitnya menjadi orang tua yang baik, kita harus memahami bahwa anak merupakan buah hati setiap orang tua, dambaan setiap keinginan orang tua serta penyejuk hati bagi setiap keletihan jiwa orang tua. Anak tidak lahir begitu saja. Anak lahir dari sepasang manusia yang kemudian menjadi amanat yang wajib untuk dijaga, diasuh dan dirawat dengan baik. Salah satu caranya dengan mendidik anak-anak agar kelak mereka bisa mempertanggungjawabkan diri mereka sendiri.. Karena setiap amanat pasti akan dimintai pertanggungjawaban maka orang tua kelak di akhirat juga akan ditanya tentang pendidikan anaknya. Namun tatkala anak sudah dewasa maka mereka bertanggung jawab atas diri mereka sendiri. Salah satu contoh dari pertanggungjawaban tersebut adalah dengan memelihara diri sendiri dan keluarga.
Bagi seorang anak, pendidikan menjadi hal yang sangat penting dalam rangka mengembangkan dirinya sendiri. Adapun yang menjadi pendidik ini ada tiga, yaitu orang tua, guru dan masyarakat. Dalam konsep ini, orang tua menjadi pendidik pertama dan utama bagi sang anak. Pendidikan bagi anak banyak sekali jenisnya, salah satu diantaranya adalah pendidikan agama. Akhlak anak yang baik dapat menyenangkan hati orang tua atau orang-orang di lingkungannya. Hal ini tentu sinkron dengan do’a yang dicontohkan oleh Rasulullah saw: “Rabbana hablana min azwajina wa dzurriyatina qurrata a’yun, waj’alna lil muttaqina imama.” Ya Tuhan kami, jadikanlah istri dan anak keturunan kami sebagai penyejuk mata (membahagiakan kehidupan rumah tangga) dan jadikanlah kami pemimpin bagi orang-orang yang beriman. Namun sangat disayangkan orang tua jaman sekarang jarang memperhatikan pendidikan akhlak bagi anaknya, lantaran kesibukan mereka atau ketidakmengertian mereka. Pola hidup yang perlahan mengalami pergeseran dengan pola hidup jaman dulu. Prinsip yang mereka pegang adalah membahagiakan anak. Namun kebahagiaan macam apa yang ingin diwujudkan oleh para orang tua tersebut? Hakikat kebahagiaan inilah yang masih perlu digali kembali.

Ada yang berasumsi bahwa kebahagiaan adalah tatkala anaknya bisa mendapat pendidikan eks-klusif di sekolah yang favorit dan menjadi bintang kelas. Bagi orang yang berpendapat demikian, maka bisa jadi akan menggebu-gebu untuk mencari tempat les atau bimbingan belajar bagi sang anak hingga lupa menyisakan waktu untuk mengenalkan pendidikan agama kepadanya. Hal ini bisa berakibat fatal bagi kondisi psikologis si anak yang mungkin tertekan dengan sekian banyak pelajaran yang musti dikuasai mutlak.
Ada lagi asumsi bahwa kebahagiaan adalah tatkala si anak tidak kekurangan apapun. Orang tua type ini akan berambisi untuk mencari materi demi memuaskan si anak. Bisa jadi si orang tua akan mengorbankan sekian banyak waktu hanya untuk mencari materi demi anak. Kemudian apapun keinginan si anak dipenuhi tanpa ada sensor penyaring. Hal ini besar kemungkinan berakibat fatal bagi perkembangan sosial si anak.
Namun ada pula orang tua yang berasumsi bahwa kebahagiaan adalah buah dari keimanan pada Allah dengan bentuk ketenangan dalam hati. Dari sekian asumsi ini, kita harus mengingat tentang satu hadits yaitu “Apabila anak keturunan nabi Adam meninggal dunia, maka terputuslah amalnya kecuali tiga perkara: shadaqah jariyah, ilmu yang bermanfaat dan anak shalih yang mendo’akan orang tuanya.” (HR Bukhari). Dari konsep hadits inilah kita dapat mengetahui betapa urgennya mendidik anak agar terbentuk pribadi yang shalih sehingga dapat menjadi investasi yang bagus untuk kemudian hari. Kita harus mendidik anak agar shalih untuk di kemudian hari akan mengantarkan kita menuju kebahagiaan yang hakiki. Dengan demikian kita bisa merasa sukses menjadi orang tua.
Perlu kita perhatikan bahwasanya jangan pernah menggunakan kekerasan dan hindari sikap emosional yang dapat membuat sakit hati anak. Akhirnya, semoga kita semua dapat menjadi orang tua yang baik bagi anak dan dapat menjadi hamba yang baik dalam konteks sebagai makhluk Allah. Dengan demikian kita dapat berhasil membentuk generasi anak yang shalih secara individu dan juga shalih secara sosial.
***

Tidak ada komentar:

Posting Komentar