Edisi 42 th VI : 13 Nopember 2015 M / 1 Shaffar 1437 H
MEMBENTUK ANAK SHALIH
Penulis:
ust. Ery Wahyu Hidayatullah (TPQ al-Ghazali, Cokromenggalan)
Segala puji hanya bagi Allah swt,
Tuhan seru sekalian alam, Yang Maha Pengasih lagi Maha Penyayang. Sesungguhnya
hanya karena limpahan kasih sayang Allah-lah sehingga manusia dapat terus
melangsungkan keturunannya dengan cara menikah serta memiliki anak, sebagaimana
difirmankan dalam al-Qur’an surat ar-Rum ayat 21 yang artinya: “dan di
antara tanda-tanda kekuasaan-Nya ialah Dia menciptakan untukmu isteri-isteri
dari jenismu sendiri, supaya kamu cenderung dan merasa tenteram kepadanya, dan
dijadikan-Nya diantaramu rasa kasih dan sayang. Sesungguhnya pada yang demikian
itu benar-benar terdapat tanda-tanda bagi kaum yang berfikir.” Shalawat
dan salam semoga tetap terlimpahkan pada nabi Muhammad saw sebagai suri
tauladan bagi setiap keluarga yang menginginkan sakinah, mawaddah wa rahmah
dalam sepanjang perjalanan rumah tangganya.
Dalam
pernikahan, salah satu hal yang paling diharapkan adalah memiliki keturunan.
Tentu saja keturunan yang diharapkan merupakan keturunan yang mampu meneruskan
generasi berikutnya dengan lebih baik. Namun pada kenyataannya, keturunan atau
dalam hal ini anak, yang notabene merupakan karunia Allah, justru dapat menjadi
cobaan bagi orang tua. Fenomena ini sudah diisyaratkan dalam al-Qur’an surat
al-Anfal ayat 28 yang artinya: “Dan ketahuilah, bahwa hartamu dan
anak-anakmu itu hanyalah sebagai cobaan dan sesungguhnya di sisi Allah-lah
pahala yang besar.” Dalam konsep ini, cobaan dapat berupa anak yang
durhaka, dimana cobaan kategori ini berarti negatif dan memerlukan kesabaran
ekstra tinggi.
kesabaran ekstra tinggi.
Sedangkan cobaan bentuk lain seringkali tidak disadari oleh kebanyakan orang,
yaitu cobaan berupa anak shalih, dimana cobaan kategori ini berarti positif dan
memerlukan kesadaran tingkat tinggi agar tidak terlena sehingga terlalu bangga
dan lupa pada Allah karena terlalu mencintai anak. Hal ini pun sudah diingatkan
dalam al-Qur’an surat Ali Imran ayat 14 yang artinya: “Dijadikan indah
pada (pandangan) manusia kecintaan kepada apa-apa yang di-ingini, yaitu:
wanita-wanita, anak-anak, harta yang banyak dari jenis emas, perak, kuda
pilihan, binatang-binatang ternak dan sawah ladang. Itulah kesenangan hidup di
dunia, dan di sisi Allah-lah tempat kembali yang baik (surga).” Dari
ayat ini, betapa kita harus menyadari bahwa tidaklah mudah menjadi orang tua
yang baik sekaligus hamba Allah yang baik.
Terlepas dari betapa sulitnya menjadi orang tua yang baik, kita harus
memahami bahwa anak merupakan buah hati setiap orang tua, dambaan setiap
keinginan orang tua serta penyejuk hati bagi setiap keletihan jiwa orang tua.
Anak tidak lahir begitu saja. Anak lahir dari sepasang manusia yang kemudian
menjadi amanat yang wajib untuk dijaga, diasuh dan dirawat dengan baik. Salah
satu caranya dengan mendidik anak-anak agar kelak mereka bisa
mempertanggungjawabkan diri mereka sendiri.. Karena setiap amanat pasti akan
dimintai pertanggungjawaban maka orang tua kelak di akhirat juga akan ditanya
tentang pendidikan anaknya. Namun tatkala anak sudah dewasa maka mereka bertanggung
jawab atas diri mereka sendiri. Salah satu contoh dari pertanggungjawaban
tersebut adalah dengan memelihara diri sendiri dan keluarga.
Bagi seorang anak, pendidikan menjadi hal yang sangat penting dalam rangka
mengembangkan dirinya sendiri. Adapun yang menjadi pendidik ini ada tiga, yaitu
orang tua, guru dan masyarakat. Dalam konsep ini, orang tua menjadi pendidik
pertama dan utama bagi sang anak. Pendidikan bagi anak banyak sekali jenisnya,
salah satu diantaranya adalah pendidikan agama. Akhlak anak yang baik dapat
menyenangkan hati orang tua atau orang-orang di lingkungannya. Hal ini tentu
sinkron dengan do’a yang dicontohkan oleh Rasulullah saw: “Rabbana
hablana min azwajina wa dzurriyatina qurrata a’yun, waj’alna lil muttaqina
imama.” Ya Tuhan kami, jadikanlah istri dan anak keturunan kami sebagai
penyejuk mata (membahagiakan kehidupan rumah tangga) dan jadikanlah kami
pemimpin bagi orang-orang yang beriman. Namun sangat disayangkan orang tua
jaman sekarang jarang memperhatikan pendidikan akhlak bagi anaknya, lantaran
kesibukan mereka atau ketidakmengertian mereka. Pola hidup yang perlahan
mengalami pergeseran dengan pola hidup jaman dulu. Prinsip yang mereka pegang
adalah membahagiakan anak. Namun kebahagiaan macam apa yang ingin diwujudkan
oleh para orang tua tersebut? Hakikat kebahagiaan inilah yang masih perlu
digali kembali.
Ada yang berasumsi bahwa
kebahagiaan adalah tatkala anaknya bisa mendapat pendidikan eks-klusif di
sekolah yang favorit dan menjadi bintang kelas. Bagi orang yang berpendapat
demikian, maka bisa jadi akan menggebu-gebu untuk mencari tempat les atau
bimbingan belajar bagi sang anak hingga lupa menyisakan waktu untuk mengenalkan
pendidikan agama kepadanya. Hal ini bisa berakibat fatal bagi kondisi
psikologis si anak yang mungkin tertekan dengan sekian banyak pelajaran yang
musti dikuasai mutlak.
Ada lagi asumsi bahwa
kebahagiaan adalah tatkala si anak tidak kekurangan apapun. Orang tua type ini
akan berambisi untuk mencari materi demi memuaskan si anak. Bisa jadi si orang
tua akan mengorbankan sekian banyak waktu hanya untuk mencari materi demi anak.
Kemudian apapun keinginan si anak dipenuhi tanpa ada sensor penyaring. Hal ini
besar kemungkinan berakibat fatal bagi perkembangan sosial si anak.
Namun ada pula orang tua
yang berasumsi bahwa kebahagiaan adalah buah dari keimanan pada Allah dengan
bentuk ketenangan dalam hati. Dari
sekian asumsi ini, kita harus mengingat tentang satu hadits yaitu “Apabila
anak keturunan nabi Adam meninggal dunia, maka terputuslah amalnya kecuali tiga
perkara: shadaqah jariyah, ilmu yang bermanfaat dan anak shalih yang mendo’akan
orang tuanya.” (HR Bukhari). Dari konsep hadits inilah kita dapat
mengetahui betapa urgennya mendidik anak agar terbentuk pribadi yang shalih
sehingga dapat menjadi investasi yang bagus untuk kemudian hari. Kita harus
mendidik anak agar shalih untuk di kemudian hari akan mengantarkan kita menuju
kebahagiaan yang hakiki. Dengan demikian kita bisa merasa sukses menjadi orang
tua.
Perlu kita perhatikan bahwasanya jangan pernah menggunakan kekerasan dan
hindari sikap emosional yang dapat membuat sakit hati anak. Akhirnya, semoga kita semua dapat menjadi
orang tua yang baik bagi anak dan dapat menjadi hamba yang baik dalam konteks
sebagai makhluk Allah. Dengan demikian kita dapat berhasil membentuk generasi
anak yang shalih secara individu dan juga shalih secara sosial.
***
Tidak ada komentar:
Posting Komentar