Edisi 45 th VI : 4 Desember 2015 M / 22 Shaffar 1437 H
JIWA KEPEMIMPINAN
Penulis:
ust. Mahfud (TPQ Miftahul Huda, Jenes)
Segala puji hanyalah bagi Allah
swt yang telah berfirman dalam al-Qur’an surat al-Baqarah ayat 30: “Ingatlah
ketika Tuhanmu berfirman kepada para malaikat: "Sesungguhnya Aku hendak
menjadikan seorang khalifah di muka bumi." Mereka berkata: "Mengapa
Engkau hendak menjadikan (khalifah) di bumi itu orang yang akan membuat
kerusakan padanya dan menumpahkan darah, padahal kami senantiasa bertasbih
dengan memuji Engkau dan mensucikan Engkau?" Tuhan berfirman:
"Sesungguhnya Aku mengetahui apa yang tidak kamu ketahui." Kemudian shalawat
dan salam semoga tetap terlimpahkan pada Nabi Muhammad saw sebagai sebaik-baik
suri tauladan yang telah memberikan tuntunan bagaimana cara menjadi khalifah
atau pemimpin yang benar sesuai dengan syari’at.
Tujuan dari penciptaan manusia
dan hikmah menurunkannya ke muka bumi tak lain adalah menjadikan manusia
sebagai khalifah di planet ini. Islam yang datang sebagai rahmatan
lil ‘alamin dan penyempurna ajaran-ajaran sebelumnya telah mengatur segala
hal yang berkaitan dengan tugas-tugas umat manusia sebagai khalifah di
bumi. Al-Qur’an yang diturunkan sebagai kitab pedoman sudah menjelaskan
batasan-batasannya, baik secara global maupun terperinci.
Berangkat dari hal ini, maka tentunya kita harus cermat, efektif dan efisien
dalam memilih pemimpin yang akan mengatur kehidupan duniawi kita di bumi ini. Adapun sosok pemimpin yang hebat haruslah
meneladani Rasulullah saw dalam kepemimpinannya.
Kesuksesan Rasulullah saw dalam
berdakwah dan merubah peradaban umat manusia tak lepas karena keluhuran akhlaq
beliau. Sebelum Rasulullah saw diangkat menjadi
Rasul dan Nabi, beliau sangat
terkenal dengan sifat dapat dipercayanya. Terbukti saat rehabilitasi
rehabilitasi ka’bah, yang sebelumnya terjadi selisih pendapat siapakah orang
yang terhormat dan berhak meletakkan hajar aswad ke tempat semula.
Masing-masing pemuka kaum mempunyai argumen yang berbeda-beda dan hampir
menimbulkan kericuhan. Hingga akhirnya disepakati ide sayembara siapa yang
datang ke masjidil haram paling pagi, dialah yang berhak meletakkan hajar
aswad. Rasulullah lah pemenang sayembara itu dan beliau ditetapkan sebagai
orang yang berhak meletakkan hajar aswad. Namun saat peletakkan hajar aswad
dimulai beliau membentangkan surban dan meletakkan hajar aswad di tengah surban
itu. Kemudian setiap pemuka kaum diminta oleh Rasulullah saw memegang ujung
surban lalu mengangkatnya bersama-sama. Tindakan ini dinilai sebagai tindakan
yang luar biasa dari Rasulullah saw, sehingga masyarakat menjuluki Rasulullah
saw dengan julukan “Al-Amin” yang artinya orang yang dapat dipercaya.
Jiwa besar
Rasulullah berupa sifat amanah bahkan sudah kelihatan saat usia beliau masih
belasan tahun. Saat beliau belajar dagang dengan pamannya, kemudian saat beliau
sudah mampu berdagang sendiri yakni beliau mengambil dagangan dari Khadijah.
Kemampuan berdagang, kejujuran dan sifat amanah beliau ini, membuat Khadijah
jatuh hati. Lewat perantara pamannya, Khadijah yang menemui kepada pamannya
Rasulullah saw. Pamannya Khadijah mengungkapkan ketertarikan Khadijah kepada
Rasulullah saw. Pamannya Rasulullah merespon dan menyampaikan hal ini kepada
Rasulullah saw. Dan pada akhirnya Khadijah diterima sebagai Istri.
Jiwa amanah
Rasulullah bukan amanah yang instan. Bukan amanah ketika beliau akan diangkat
Rasul dan Nabi. Beliau diangkat menjadi Rasul dan Nabi pada usia 40 tahun.
Selama 40 tahun sebelum beliau diangkat menjadi Rasul, beliau selalu dengan
keluhuran akhlaq yakni bersifat amanah. Sebagai seorang pemimpin beliau sudah
matang dalam kepribadiannya. Jujur dan amanah tidak hanya menjadi jargon yang
hanya digembar gemborkan ke masyarakat saja. Akan tetapi jujur dan amanah
adalah pribadi Rasulullah saw. Maka tidak mengherankan dan sangat tepat apabila
beliau bersabda: “Tanda orang
munafik ada tiga apabila berkata dusta, apabila berjanji ingkar dan apabila
diberi amanat berhiyanat.” (HR Ahmad, Bukhari, Muslim, Tirmidzi dan Nasa’i).
Akhlaq Rasulullah saw jauh dari kemunafikan.
Beliau cermin
pemimpin dunia dan agama yang amanat. Selain amanat, beliau adalah nabi yang
sangat sayang terhadap umatnya. Kebahagiaan dan keselamatan umatnya seolah-olah
menjadi impian beliau. Sinergi antara sifat amanah dan kasih sayang adalah
dambaan masyarakat masa kini kepada pemimpinnya. Rasulullah saw sangat
mementingkan kepentingan umatnya jauh dari kepentingan pribadinya. Terbukti
dengan beliau hidup bersahaja. Dikisahkan saat Islam telah berkembang luas
dan kaum muslimin telah
memperoleh kemakmuran. Suatu hari Umar bin Khatab menangis haru, melihat
kesederhanaan rumah Rasulullah saw. Di dalam rumah Rasulullah saw hanya ada
sebuah meja dengan dan alasnya hanyalah jalinan daun kurma, sedangkan yang
tergantung di dinding hanyalah sebuah geriba. Melihat hal itu Rasulullah pun
menegur, “Gerangan apakah yang membuatmu menangis wahai sahabatku?” Umar
pun menjawab “kudapati di rumah tuan, tidak ada perkakas dan tidak ada
kekayaan kecuali sebuah meja dan geriba, padahal di tangan tuan telah
tergenggam kunci dunia timur dan dunia barat dan kemakmuran telah melimpah.” Lalu
beliau menjawab “Wahai umar, aku ini adalah Rasul Allah. Aku bukan seorang
kaisar dari Romawi dan juga bukan seorang kaisar dari Persia. Mereka hanyalah
mengejar duniawi sementara aku mengutamakan ukhrowi.”
Dari sini
menunjukkan bahwa Rasulullah saw bukanlah pemimpin yang mementingkan
kepentingan pribadinya sendiri terbukti dengan kesederhanaan beliau. Beliau
sangat sayang kepada umatnya, maka menjelang wafatnya yang ditanyakan
Rasulullah adalah bagaimana umatku?. Kebahagiaan dan keselamatan umatnya adalah
dambaan beliau. Dan itu pun tidak hanya kebahagiaan dunia bahkan kebahagiaan akhiratpun
dipikirkan oleh Rasulullah saw.
Maka dalam
kacamata penulis, Rasulullah sebagai teladan bagi umatnya, bagaimana karakter
seorang pemimpin, yang dapat disimpulkan sebagai berikut:
1.
Rasulullah adalah pemimpin yang
sangat jujur dan dapat dipercaya dalam mengemban amanat umat.
2.
Rasulullah adalah pemimpin yang
sangat perhatian terhadap umatnya. Ia mencurahkan kasih sayangnya dan berupaya
agar umanya bisa selamat dan bahagia di dunia dan akhirat.
Semoga negeri
ini, dan khususnya kota kita ini, dikaruniai oleh Allah berupa pemimpin yang
meneladani karakter Rasulullah saw sebagai seorang pemimpin maasyarakat, sehingga
terwujud masyarakat yang madani dan daerah yang “Baldatun Thayibatun Wa
Rabbun Ghaffur”.
***
Tidak ada komentar:
Posting Komentar