Edisi 39 th VI : 23 Oktober 2015 M / 10 Muharam 1437 H
SANTRI
Penulis:
Ust. Marsudi, S.Pd.I (TPQ ad-Darajaat, Mayak)
Segala puji hanyalah bagi Allah
swt yang telah berfirman dalam al-Qur’an surat al-‘Alaq ayat 1-5 yang artinya: Bacalah
dengan (menyebut) nama Tuhanmu yang Menciptakan, Dia telah menciptakan manusia
dari segumpal darah. Bacalah, dan Tuhanmulah yang Maha pemurah, yang mengajar
(manusia) dengan perantaran kalam, Dia mengajar kepada manusia apa yang tidak
diketahuinya.” Shalawat dan salam semoga tetap tercurah pada nabi
Muhammad saw, sang pembawa risalah penuntun umat manusia menuju jalan terbaik.
Saat ini sedang booming
berita tentang Hari Santri Nasional.
Terlepas dari adanya pro maupun kontra, yang tersenyum bangga
maupun yang acuh tak acuh, maka selayaknya kita melihat pada diri kita sendiri,
apakah sedang menjadi “santri” atau setidaknya sudah pernah menjadi “santri”.
Adapun bagi pemerintah yang menggembar-gemborkannya, selayaknya juga bercermin
melihat kembali apakah sudah benar-benar “memberikan penghargaan” pada kaum
santri, ataukah cuma “sekedar” basa-basi sensasi saja. Kita bisa bercermin pada
adanya “Hari Buruh” pada tanggal 1 Mei setiap tahunnya, namun toh nasib kaum
buruh masih seperti yang kita lihat bersama.
Secuil tulisan ini bukan untuk mengkritisi ataupun mendukung Hari Santri
Nasional. Namun, tulisan ini hanya mengajak kita untuk sejenak merenung tentang
hakikat dari kata “santri”. Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia, santri adalah
sebutan bagi seseorang yang mengikuti pendidikan ilmu agama Islam di
suatu tempat yang dinamakan Pesantren, biasanya menetap di tempat tersebut
hingga pendidikannya selesai
tempat yang dinamakan “pesantren”,
biasanya menetap (mondok) di tempat tersebut hingga pendidikannya selesai. “Santri”
biasa dikenali sebagai seorang remaja atau dewasa awal yang tinggal di Pondok
Pesantren yang sehari-hari mengaji kitab salaf atau kitab
kuning, dengan ciri khas memakai sarung dan songkok.
Asal-usul kata “santri” menurut Nurcholis Majid
(Cendekiawan Islam) ada dua. Pertama, berasal dari bahasa
Sankskerta, yaitu "sastri", yang berarti orang yang melek
huruf. Kedua, berasal dari bahasa Jawa, yaitu "cantrik",
yang berarti seseorang yang mengikuti seorang tokoh agama di mana pun ia pergi
dan menetap untuk menguasai suatu keahlian tersendiri. Namun menurut KH Sahal Mahfudz (Rais ‘Aam PBNU
dan Ketua Umum Pusat MUI) mengatakan bahwa kata “santri” berasal dari bahasa
Arab, yaitu dari kata "santaro", yang mempunyai jama'
(plural) sanaatiir.
Hakikat
“santri” sendiri adalah orang-orang yang mencari ilmu dengan cara berguru.
Dalam konsep ini, peran seorang guru dalam membimbing santri sangatlah urgen.
Seorang santri akan menerima cara pandang sang guru terhadap suatu masalah
melalui kitab-kitab yang diajarkan di pondok pesantren. Tujuan pembelajaran
bukanlah “hanya” masalah keilmuan, namun juga masalah sikap perilaku. Seorang
santri belum dianggap berhasil jika hanya hafal dan paham ilmu agama saja dan
tidak mengamalkannya. Santri dianggap sukses proses “nyantri”nya jika dalam
kehidupan kesehariannya sudah mampu mengimplementasikan atau mewujudkan ilmu
agama dalam perilaku kehidupannya.
Adapun bagi
kita yang memang belum mendapat hidayah untuk “nyantri” di pondok pesantren dan
terlanjur memasuki usia dewasa, maka kita masih bisa “nyantri” dengan cara yang kita mampu. Kita masih bisa menerima curahan
ilmu agama dari banyak ustadz-ustadzah dalam berbagai majelis ta’lim. Kita juga
masih bisa mengikuti beragam pengajian di berbagai tempat. Bahkan kita bisa
mendapatkan ilmu dari beragam buku maupun media internet. Namun hal yang harus
diperhatikan adalah kita harus mengetahui dengan pasti siapa guru kita. Majelis
ta’lim dan pengajian merupakan tempat yang lebih aman dan terpercaya dibanding
buku maupun internet. Imam Ghozali memberikan sebuah statement yang penting
untuk kita cermati: “Hikmah (pengetahuan) itun apabila dikonsumsi oleh orang
yang tidak sesuai dengan bakat dan kemampuannya akan membahayakan mereka,
sebagaimana daging unggas yang dikonsumsi bayi yang masih menyusu … Dan
dokter itu apabila memberi obat kepada semua pasiennya dengan pengobatan yang
sama, maka akan membunuh sebagian besar pasien tersebut, demikian juga para
pendidik apabila membimbing peserta didiknya dengan satu cara saja, maka akan
merusak mereka dan mematikan jiwanya”. Oleh karena itu, sangat penting untuk mengetahui siapa guru kita agar
kita dapat memperoleh ilmu sesuai dengan kapasitas kita, dan jangan sampai
justru kita terjerumus dalam pemahaman yang salah terhadap suatu ilmu.
Semangat kita untuk terus mencari ilmu ini
haruslah kita kobarkan terus agar kita semakin hari semakin bertambah luas
pengetahuan. Rasulullah saw memberikan dorongan besar bagi para penuntut ilmu
melalui pesan dalam haditsnya:
مَنْ سَلَكَ طَرِيْقًا يَطْلُبُ فِيْهِ
عِلْمًا سَلَكَ اللهُ بِهِ طَرِيْقًا إِلَى الْـجَنَّةِ وَإِنَّ الْـمَلاَئِكَةَ
لَتَضَعُ أَجْنِحَتَهَا رِضًا لِطَالِبِ الْعِلْمِ وَإِنَّهُ لَيَسْتَغْفِرُ
لِلْعَالِـمِ مَنْ فِى السَّمَاءِ وَاْلأَرْضِ حَتَّى الْـحِيْتَانُ فِى الْـمَاءِ
وَفَضْلُ الْعَالِـمِ عَلَى الْعَابِدِ كَفَضْلِ الْقَمَرِ عَلَى سَائِرِ
الْكَوَاكِبِ . إِنَّ الْعُلَمَاءَ هُمْ وَرَثَةُ اْلأَنْبِيَاءِ لَـمْ يَرِثُوا
دِيْنَارًا وَلاَ دِرْهَمًا وَ إِنَّمَا وَرَثُوا الْعِلْمَ فَمَنْ أَخَذَهُ
أَخَذَ بِحَظٍّ وَافِرٍ
Artinya: “Barangsiapa yang berjalan menuntut ilmu, maka Allah memudahkan jalannya menuju surga. Sesungguhnya Malaikat akan
meletakkan sayapnya untuk orang yang menuntut ilmu karena ridha dengan apa yang
mereka lakukan. Dan sesungguhnya seorang yang mengajarkan kebaikan akan
dimohonkan ampun oleh makhluk yang ada di langit maupun di bumi hingga ikan
yang berada di air. Sesungguhnya keutamaan orang ‘alim atas ahli ibadah seperti
keutamaan bulan atas seluruh bintang. Sesungguhnya para ulama itu pewaris para
Nabi. Dan sesungguhnya para Nabi tidak mewariskan dinar tidak juga dirham, yang
mereka wariskan hanyalah ilmu. Dan barangsiapa yang mengambil ilmu itu, maka
sungguh, ia telah mendapatkan bagian yang paling banyak.” (HR.Ahmad). Hadits ini juga sangat sinkron dengan
perintah “bacalah” dalam al-Qur’an surat al-‘Alaq yang merupakan
wahyu pertama yang diturunkan. Jika kita cermati maka konsep agama Islam
pondasi dasarnya adalah belajar. Dan salah satu sistem belajar yang efektif
efisien adalah belajar dengan methode “nyantri”.
Semoga Allah melapangkan
jalan kita dalam mencari ilmu dan mengimplementasikannya dalam kehidupan
sehari-hari. Aamiin.
***
Tidak ada komentar:
Posting Komentar