Edisi 10 th VI : 20 Maret 2015 M / 29 Jumadil Awwal 1436 H
BOLEH BERBEDA
ASAL BERADAB
Penulis: Dana
A. Dahlany
(mahasiswa al-Azhar, Cairo,
alumnus Darul Huda Mayak)
Segala puji
hanyalah bagi Allah swt yang telah
berfirman dalam al-Qur’an surat al-Hujurat ayat 13 yang artinya: “Wahai manusia,
sesungguhnya Kami menciptakan kalian dari seorang laki-laki dan perempuan, dan
menjadikan kalian bersuku-suku dan berbangsa-bangsa agar kalian saling
mengenal. Sesungguhnya orang yang paling mulia di antara kalian di sisi Allah
adalah orang yang paling bertaqwa di antara kalian. Sesungguhnya Allah Maha
Mengetahui lagi Maha Mengenal.” Shalawat dan salam
semoga tercurah pada nabi Muhammad saw yang menjadi suri tauladan bagi kita
dalam hablum min Allah dan hablum minan nas. Suri tauladan
tersebut sangat urgen untuk diimplementasi-kan dalam kehidupan nyata kita.
Pembaca yang budiman, bagaimana
sikap anda
jika berhadapan dengan orang yang “berbeda” dengan anda? Jika pertanyaan tersebut dilontarkan kepada
kelompok-kelompok militan semacam ISIS wa akhawatuha, mungkin jawabannya
kurang lebih akan seperti ini, “Mereka yang ‘berbeda’ dari kita berarti sesat,
ahli bid’ah, kafir, halal darahnya, kepalanya harus dipenggal dan video
eksekusinya boleh diunggah di Youtube, agar semua orang di dunia tak meremehkan
kekuatan kita.” Ironisnya, sepanjang sejarah kehidupan manusia,
kelompok-kelompok sempalan seperti ini telah ada sejak lama, hampir di semua
agama. Alih-alih membe
la agama yang
dianutnya, mereka justru merobohkan tatanan nilai yang susah payah dibangun
oleh para ulamanya. Rasanya umat Islam masih belum bisa melupakan tragedi
berdarah yang merenggut nyawa Sayyidina Husein radhiyallahu ‘anhu, cucu
tercinta Baginda Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam.
Dengan kejinya, kepala beliau dipenggal
dan diarak dari Karbala, Irak hingga Kairo, Mesir. Tragedi-tragedi kemanusiaan
semacam itu sebenarnya berawal dari sebuah hal yang sepele, yaitu pemahaman
yang dangkal dan ketidak-arifan dalam menyikapi perbedaan.
Berangkat dari hal-hal tersebut, sangatlah urgen
bagi kita untuk menyikapi sesuatu hal yang “berbeda”.
Keberagaman adalah sebuah keniscayaan dan perbedaaan
itulah wujud kasih sayang Tuhan. Bukankah Rasulullah saw sendiri yang
menyatakan bahwa perbedaan umatnya adalah rahmat? Lalu kenapa kini perbedaan itu justru berbalik
menjadi musibah dan malapetaka? Tampaknya ada yang salah dengan sikap kita dalam menghadapi
perbedaan. Padahal Islam sendiri sebenarnya menyimpan sebuah warisan dan khazanah
klasik yang bisa kita jadikan teladan dalam menyikapi perbedaan. Para ulama
perintis empat mazhab fiqih yang paling berpengaruh di jagat raya ini telah
meninggalkan jejak manis yang berupa adab dan nilai-nilai agung dalam menyikapi
perbedaan yang terjadi di antara mereka. Dalam buku Adab al-Ikhtilâfât
al-Fiqhiyyah, Prof. Dr. Thal’at M. Afifi merangkumnya dalam empat poin
penting:
- Para imam yang sangat alim itu tidak memaksakan pendapat pribadi kepada orang lain.
- Tidak mengingkari pendapat pihak lain yang bertentangan, selama masih dalam ranah ijtihad.
- Tidak sombong dengan pendapat pribadinya dan tidak malu untuk merujuk pendapat yang benar saat ada orang yang meyakini pendapat pribadinya salah.
- Menjauhi beberapa permasalahan yang rawan menimbulkan fitnah dan kekacauan.
Para imam itu
menganggap bahwa kata-kata yang mereka lontarkan bukanlah wahyu yang harus
ditaati. Usaha yang mereka lakukan itu semata-mata hanya untuk menuntun umat
menuju jalan kebenaran. Umat bebas memilih untuk mengikuti jalan mereka atau memilih
jalan yang lain. Imam Syafi’i pernah berkata: “Pendapatku benar dan punya kemungkinan
salah. Sedangkan pendapat yang lain salah dan punya kemungkinan benar.”
Dalam kondisi yang lain, pernah
suatu ketika, khalifah Abû Ja’far al-Manshûr mengisyaratkan kepada rakyatnya
untuk mengambil hadits hanya dari kitab al-Muwatha’ karya Imam Malik saja, tidak dari yang lain. Tapi Imam Malik
sendiri justru menolaknya dan berkata: “Jangan lakukan itu, Khalifah! Orang-orang itu sudah lebih dulu menerima hadits dan berbagai
ajaran serta amalan dari generasi sebelumnya.” Beliau melanjutkan, “Biarkanlah
mereka memilih apa yang terbaik untuk negeri dan diri mereka sendiri.”
sebelumnya. Biarkanlah mereka memilih apa yang terbaik untuk
negeri dan diri mereka sendiri.”
Dalam konteks inilah, kita dapat mengambil hikmah
bahwa meski banyak pihak yang memiliki pandangan
bertentangan, para imam madzab tidak sampai mengingkarinya dan tidak menganggap mereka sesat.
Selama tidak menyalahi ijma’ ulama, para imam itu justru tak segan
memuji pihak-pihak yang “berbeda”
dengan mereka. Lihat saja bagaimana Imam Syafi’i memuji Imam Abu Hanifah, Imam Malik
dan Imam Ahmad bin Hanbal: “Manusia itu bergantung pada Abu Hanifah dalam hal fiqih. Jika disebutkan
nama-nama ulama, Malik itu bagai bintang yang bersinar terang. Saya pergi
keluar dari Bagdad dan tidak meninggalkan seorang pun yang lebih wara’, lebih
taqwa, lebih faqih dan lebih alim daripada Ahmad bin Hanbal.”
Kemudian juga kita perlu meneladani bagaimana para
imam madzab bersedia menerima masukan untuk meralat pernyataannya. Pernah suatu ketika Ali al-Haddâd bersama Imam Ahmad bin Hanbal dan
Muhammad bin Quddâmah al-Jauhary menghadiri prosesi pemakaman jenazah. Setelah
jenazah itu dikuburkan, ada seorang lelaki yang duduk di samping pusara dan
membaca al-Quran.
Lantas Imam Ahmad menegurnya, “Hai orang
ini, membaca al-Quran di kuburan itu
bid’ah!” Saat mereka semua keluar dari komplek
pemakaman, Muhammad bin Quddâmah menyela: “Wahai sang
Imam, apa pendapatmu mengenai Mubasyir al-Halaby?” imam Ahmad menya-hut: “Kuat hafalannya.” Muhammad bertanya lagi: “Engkau menulis
tentangnya?” imam Ahmad menjawab: “Ya.” Muhammad berkata: “Tahukah anda, Mubasyir per-nah menerima wasiat dari
ayahnya untuk membacakan pembuka dan penutup surat al-Baqarah di samping kepala ayahnya ketika jenazah ayahnya
dikuburkan.” Imam Ahmad langsung
meralat ucapan awalnya tentang hukum bid’ah membaca al-Qur’an di pemakaman
dengan berkata pada Muhammad bin Quddamah al-Jauhary: “Kalau begitu, kembalilah
dan sampaikan hal itu kepada lelaki yang membaca Al-Quran tadi!”
(bersambung
...)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar