buletin ini terbit secara rutin tiap hari Jum'at di masjid agung RMAA Tjokronegoro Ponorogo

Minggu, 26 April 2015

BOLEH BERBEDA ASAL BERADAB



Edisi 10 th VI : 20 Maret 2015 M /  29 Jumadil Awwal 1436 H
BOLEH BERBEDA ASAL BERADAB
Penulis: Dana A. Dahlany (mahasiswa al-Azhar, Cairo, alumnus Darul Huda Mayak)
Segala puji hanyalah bagi Allah swt yang telah berfirman dalam al-Qur’an surat al-Hujurat ayat 13 yang artinya: “Wahai manusia, sesungguhnya Kami menciptakan kalian dari seorang laki-laki dan perempuan, dan menjadikan kalian bersuku-suku dan berbangsa-bangsa agar kalian saling mengenal. Sesungguhnya orang yang paling mulia di antara kalian di sisi Allah adalah orang yang paling bertaqwa di antara kalian. Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui lagi Maha Mengenal.” Shalawat dan salam semoga tercurah pada nabi Muhammad saw yang menjadi suri tauladan bagi kita dalam hablum min Allah dan hablum minan nas. Suri tauladan tersebut sangat urgen untuk diimplementasi-kan dalam kehidupan nyata kita.
Pembaca yang budiman, bagaimana sikap anda jika berhadapan dengan orang yang “berbeda” dengan anda? Jika pertanyaan tersebut dilontarkan kepada kelompok-kelompok militan semacam ISIS wa akhawatuha, mungkin jawabannya kurang lebih akan seperti ini, “Mereka yang ‘berbeda’ dari kita berarti sesat, ahli bid’ah, kafir, halal darahnya, kepalanya harus dipenggal dan video eksekusinya boleh diunggah di Youtube, agar semua orang di dunia tak meremehkan kekuatan kita.” Ironisnya, sepanjang sejarah kehidupan manusia, kelompok-kelompok sempalan seperti ini telah ada sejak lama, hampir di semua agama. Alih-alih membe

la agama yang dianutnya, mereka justru merobohkan tatanan nilai yang susah payah dibangun oleh para ulamanya. Rasanya umat Islam masih belum bisa melupakan tragedi berdarah yang merenggut nyawa Sayyidina Husein radhiyallahu ‘anhu, cucu tercinta Baginda Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam. Dengan  kejinya, kepala beliau dipenggal dan diarak dari Karbala, Irak hingga Kairo, Mesir. Tragedi-tragedi kemanusiaan semacam itu sebenarnya berawal dari sebuah hal yang sepele, yaitu pemahaman yang dangkal dan ketidak-arifan dalam menyikapi perbedaan.
Berangkat dari hal-hal tersebut, sangatlah urgen bagi kita untuk menyikapi sesuatu hal yang “berbeda”. Keberagaman adalah sebuah keniscayaan dan perbedaaan itulah wujud kasih sayang Tuhan. Bukankah Rasulullah saw sendiri yang menyatakan bahwa perbedaan umatnya adalah rahmat? Lalu kenapa kini perbedaan itu justru berbalik menjadi musibah dan malapetaka? Tampaknya ada yang salah dengan sikap kita dalam menghadapi perbedaan. Padahal Islam sendiri sebenarnya menyimpan sebuah warisan dan khazanah klasik yang bisa kita jadikan teladan dalam menyikapi perbedaan. Para ulama perintis empat mazhab fiqih yang paling berpengaruh di jagat raya ini telah meninggalkan jejak manis yang berupa adab dan nilai-nilai agung dalam menyikapi perbedaan yang terjadi di antara mereka. Dalam buku Adab al-Ikhtilâfât al-Fiqhiyyah, Prof. Dr. Thal’at M. Afifi merangkumnya dalam empat poin penting:
  1. Para imam yang sangat alim itu tidak memaksakan pendapat pribadi kepada orang lain.
  2. Tidak mengingkari pendapat pihak lain yang bertentangan, selama masih dalam ranah ijtihad.
  3. Tidak sombong dengan pendapat pribadinya dan tidak malu untuk merujuk pendapat yang benar saat ada orang yang meyakini pendapat pribadinya salah.
  4. Menjauhi beberapa permasalahan yang rawan menimbulkan fitnah dan kekacauan.
Para imam itu menganggap bahwa kata-kata yang mereka lontarkan bukanlah wahyu yang harus ditaati. Usaha yang mereka lakukan itu semata-mata hanya untuk menuntun umat menuju jalan kebenaran. Umat bebas memilih untuk mengikuti jalan mereka atau memilih jalan yang lain. Imam Syafi’i pernah berkata: “Pendapatku benar dan punya kemungkinan salah. Sedangkan pendapat yang lain salah dan punya kemungkinan benar.”
Dalam kondisi yang lain, pernah suatu ketika, khalifah Abû Ja’far al-Manshûr mengisyaratkan kepada rakyatnya untuk mengambil hadits hanya dari kitab al-Muwatha’ karya Imam Malik saja, tidak dari yang lain. Tapi Imam Malik sendiri justru menolaknya dan berkata: “Jangan lakukan itu, Khalifah! Orang-orang itu sudah lebih dulu menerima hadits dan berbagai ajaran serta amalan dari generasi sebelumnya.” Beliau melanjutkan, “Biarkanlah mereka memilih apa yang terbaik untuk negeri dan diri mereka sendiri.”

sebelumnya. Biarkanlah mereka memilih apa yang terbaik untuk negeri dan diri mereka sendiri.”
Dalam konteks inilah, kita dapat mengambil hikmah bahwa meski banyak pihak yang memiliki pandangan bertentangan, para imam madzab tidak sampai mengingkarinya dan tidak menganggap mereka sesat. Selama tidak menyalahi ijma’ ulama, para imam itu justru tak segan memuji pihak-pihak yang “berbeda” dengan mereka. Lihat saja bagaimana Imam Syafi’i memuji Imam Abu Hanifah, Imam Malik dan Imam Ahmad bin Hanbal: “Manusia itu bergantung pada Abu Hanifah dalam hal fiqih. Jika disebutkan nama-nama ulama, Malik itu bagai bintang yang bersinar terang. Saya pergi keluar dari Bagdad dan tidak meninggalkan seorang pun yang lebih wara’, lebih taqwa, lebih faqih dan lebih alim daripada Ahmad bin Hanbal.”
Kemudian juga kita perlu meneladani bagaimana para imam madzab bersedia menerima masukan untuk meralat pernyataannya. Pernah suatu ketika Ali al-Haddâd bersama Imam Ahmad bin Hanbal dan Muhammad bin Quddâmah al-Jauhary menghadiri prosesi pemakaman jenazah. Setelah jenazah itu dikuburkan, ada seorang lelaki yang duduk di samping pusara dan membaca al-Quran. Lantas Imam Ahmad menegurnya, “Hai orang ini, membaca al-Quran di kuburan itu bid’ah!” Saat mereka semua keluar dari komplek pemakaman, Muhammad bin Quddâmah menyela: “Wahai sang Imam, apa pendapatmu mengenai Mubasyir al-Halaby?” imam Ahmad menya-hut: “Kuat hafalannya. Muhammad bertanya lagi: “Engkau menulis tentangnya?” imam Ahmad menjawab: “Ya. Muhammad berkata: Tahukah anda, Mubasyir per-nah menerima wasiat dari ayahnya untuk membacakan pembuka dan penutup surat al-Baqarah di samping kepala ayahnya ketika jenazah ayahnya dikuburkan. Imam Ahmad langsung meralat ucapan awalnya tentang hukum bid’ah membaca al-Qur’an di pemakaman dengan berkata pada Muhammad bin Quddamah al-Jauhary: “Kalau begitu, kembalilah dan sampaikan hal itu kepada lelaki yang membaca Al-Quran tadi!”
(bersambung ...)



Tidak ada komentar:

Posting Komentar