buletin ini terbit secara rutin tiap hari Jum'at di masjid agung RMAA Tjokronegoro Ponorogo

Minggu, 26 April 2015

MENGAPA MENYENTUH WANITA BATAL WUDLU?



Edisi 12 th VI : 3 April 2015 M /  13 Jumadil Akhir 1436 H
MENGAPA MENYENTUH WANITA BATAL WUDLU?
Penulis: Ust. Marsudi (TPQ ad-Darajat, Mayak)
Segala puji hanyalah bagi Allah swt yang telah berfirman dalam al-Qur’an surat al-Mujadilah ayat 11: “Hai orang-orang yang beriman apabila dikatakan kepadamu: "Berlapang-lapanglah dalam majlis", maka lapangkanlah niscaya Allah akan memberi kelapangan untukmu, dan apabila dikatakan: "Berdirilah kamu", maka berdirilah, niscaya Allah akan meninggikan orang-orang yang beriman di antaramu dan orang-orang yang diberi ilmu pengetahuan sebanyak beberapa derajat, dan Allah Maha mengetahui apa yang kamu kerjakan.” Shalawat dan salam semoga tercurah pada nabi Muhammad saw yang menjadi suri tauladan bagi kita dalam mempelajari maupun mengimplementasikan syari’at Islam dalam kehidupan nyata kita.
Sebelum shalat, kita disyari’atkan untuk berwudlu. Dalam konsep ini, wudlu berfungsi membersihkan kita dari hadats kecil. Begitu juga jika kita terkena najis, maka kita harus membersihkan dulu najisnya, baru kemudian berwudlu. Mengingat begitu urgennya wudlu, selayaknya kita benar-benar memahami ilmu tentang wudlu yang kita laksanakan setiap hari. Jika wudlu kita cacat, tentunya shalat kita juga bermasalah. Oleh karena itu, dalam berbagai kitab fiqh klasik yang dikaji di pondok pesantren, hal yang pertama dipelajari adalah bab Thaharah. Pelajaran ini menyangkut bab air untuk berwudlu sampai hal-hal yang membatalkan wudlu. Termasuk di dalamnya bab tayammum dan mandi wajib.

Dalam tulisan kecil ini, kami sampaikan sedikit ulasan salah satu hal yang membatalkan wudlu, yaitu bersentuhan kulit antara laki-laki dan perempuan, meski itu suami-istri. Memang dalam point ini, masih ada perbedaan pendapat antar ulama fiqh. Namun, mayoritas umat Islam Indonesia yang bermadzab Syafi’i mengikuti pendapat bahwa bersentuhan kulit antara laki-laki dan perempuan, meski itu suami-istri merupakan hal yang membatalkan wudlu.
Batalnya wudlu yang disebabkan oleh persentuhan kulit tersebut mengambil dasar hukum dari al-Qur’an yaitu surat al-Maidah ayat 6 yang artinya: “Hai orang-orang yang beriman, apabila kamu hendak mengerjakan shalat, maka basuhlah mukamu dan tanganmu sampai dengan siku, dan sapulah kepalamu dan (basuh) kakimu sampai dengan kedua mata kaki, dan jika kamu junub maka mandilah, dan jika kamu sakit atau dalam perjalanan atau kembali dari tempat buang air (kakus) atau menyentuh perempuan, lalu kamu tidak memperoleh air, Maka bertayammumlah dengan tanah yang baik (bersih); sapulah mukamu dan tanganmu dengan tanah itu. Allah tidak hendak menyulitkan kamu, tetapi Dia hendak membersihkan kamu dan menyempurnakan nikmat-Nya bagimu, supaya kamu bersyukur.”  Awal mula perbedaan pendapat adalah pada lafadz “لمستم النساء Dalam hal ini, arti kata laamastumun-nisa’ adalah menyentuh kulit perempuan. Ada sebagian ulama yang berpendapat bahwa hal tersebut merupakan kiasan atau penghalusan dari kata hubungan badan suami-istri. Oleh karenanya mereka berpendapat bahwa jika hanya bersentuhan kulit maka tidak batal wudlunya.
Namun menurut madzab Syafi’i, kata laamastumun-nisa’ bukanlah kiasan, melainkan pada arti sesungguhnya yaitu menyentuh kulit perempuan, yang berimbas pada batalnya wudlu jika terjadi persentuhan kulit. Hal ini berdasarkan beberapa analisis sebagai berikut:
Ø  Sebelum kata laamastumun-nisa’ sudah ada kata “junuban” yang berarti junub.
Ø  Junuban masuk dalam kategori hadats besar yang harus mandi. Pada kata junuban, kata penghubung dengan kalimat sesudahnya adalah “wa” yang berarti “dan”. Kalimat sesudahnya tersebut menyebutkan tentang hadats kecil yang jika sakit atau bepergian atau setelah buang air atau menyentuh perempuan. Nah kata penghubung antara lafadz jaa-a ahadum-minkum minal-ghaithi (kembali dari tempat buang air) dengan laamastumun-nisa’ (menyentuh perempuan) adalah kata “aw” yang berarti “atau”. Hal ini menunjukkan kesetaraan jenis keduanya, yang berarti laamastumun-nisa’ masuk kategori hadats kecil. Padahal jika diartikan hubungan badan antara suami-istri maka itu termasuk hadats besar. Selain itu, dalam konsep ini, jika maksud kata junuban adalah hubungan badan suami-istri, maka tidaklah perlu ada pengulangan maksud menggunakan kata laamastumunnisa’ untuk hal yang sama. Jadi jelas bahwa maksud kata ini adalah

menyentuh kulit perempuan dalam arti sebenarnya, bukan kiasan.
Ø Dari sisi bahasa Arab kata “لمس” sebagaimana dalam qira’ah lainnya, dan semuanya bermakna bertemunya kulit dengan kulit dalam arti sebenarnya.
Ø Dalam salah satu atsar sahabat Abdullah bin Umar ra berkata: “Seorang laki-laki mencium isterinya dan جسها (menyentuhnya) dengan tangannya  termasuk “الملامسة” (menyentuh), dan barang siapa yang mencium ietrinya atau menyentuh dengan tangannya maka wajib baginya berwudhu.” (HR. Malik dalam Muwattha’ dengan sanad shahih).
Begitulah analisis tentang batalnya wudlu sebab persentuhan kulit antara laki-laki dengan perempuan. Terlepas dari pendapat batal atau tidaknya wudlu karena sebab tersebut, selayaknya tidak ada ruginya jika kita tetap mengambil wudlu. Toh berwudlu merupakan salah satu bentuk ibadah yang akan mendapatkan pahala jika dikerjakan dengan ikhlas. Banyak sekali fadhilah dari berwudlu. Kita bisa mencernanya dari berbagai hadits, diantaranya: “Sungguh, umatku akan dipanggil (saat akan dihisab) nanti pada hari kiamat dalam keadaan bercahaya di sekitar wajah, tangan dan kaki, karena bekas wudhu. Karena itu, barangsiapa diantara kalian yang ingin melebihkan basuhan wudhunya, maka lakukanlah.” (Muttafaq ‘alaih). Kemudian juga hadits lain: “Apabila seorang muslim atau mukmin berwudhu, maka ketika membasuh wajah, seluruh dosa yang telah dilihat dengan kedua matanya keluar dari wajahnya bersama air atau tetesan air terakhir. Ketika membasuh kedua tangannya, setiap dosa yang disebabkan pukulan tangannya keluar dari tangannya bersama air atau tetesan air terakhir. Ketika membasuh kakinya, seluruh dosa karena perjalanan kakinya keluar bersama air atau tetesan air terakhir. Sehingga, ia pun keluar dalam keadaan bersih dari seluruh dosa.” (HR. Muslim).
Tulisan pendek ini tentu belum mampu menjabarkan secara utuh permasalahan yang dimaksud. Namun setidaknya, kita akan sedikit mengetahui cara pengambilan hukum fiqh dari suatu permasalahan. Semoga Allah senantiasa merahmati kita.
***



Tidak ada komentar:

Posting Komentar