Edisi 12 th VI : 3 April 2015 M / 13 Jumadil Akhir 1436 H
MENGAPA
MENYENTUH WANITA BATAL WUDLU?
Penulis: Ust.
Marsudi
(TPQ ad-Darajat, Mayak)
Segala puji
hanyalah bagi Allah swt yang telah
berfirman dalam al-Qur’an surat al-Mujadilah ayat 11: “Hai
orang-orang yang beriman apabila dikatakan kepadamu: "Berlapang-lapanglah
dalam majlis", maka lapangkanlah niscaya Allah akan memberi kelapangan
untukmu, dan apabila dikatakan: "Berdirilah kamu", maka berdirilah,
niscaya Allah akan meninggikan orang-orang yang beriman di antaramu dan
orang-orang yang diberi ilmu pengetahuan sebanyak beberapa derajat, dan Allah
Maha mengetahui apa yang kamu kerjakan.” Shalawat dan salam semoga tercurah pada nabi
Muhammad saw yang menjadi suri tauladan bagi kita dalam mempelajari maupun mengimplementasikan
syari’at Islam dalam kehidupan nyata kita.
Sebelum shalat, kita disyari’atkan untuk berwudlu. Dalam konsep ini,
wudlu berfungsi membersihkan kita dari hadats kecil. Begitu juga jika kita
terkena najis, maka kita harus membersihkan dulu najisnya, baru kemudian
berwudlu. Mengingat begitu urgennya wudlu, selayaknya kita benar-benar memahami
ilmu tentang wudlu yang kita laksanakan setiap hari. Jika wudlu kita cacat,
tentunya shalat kita juga bermasalah. Oleh karena itu, dalam berbagai kitab
fiqh klasik yang dikaji di pondok pesantren, hal yang pertama dipelajari adalah
bab Thaharah. Pelajaran ini
menyangkut bab air untuk berwudlu sampai hal-hal yang membatalkan wudlu.
Termasuk di dalamnya bab tayammum dan
mandi wajib.
Dalam tulisan kecil ini, kami sampaikan sedikit ulasan
salah satu hal yang membatalkan wudlu, yaitu bersentuhan kulit antara laki-laki
dan perempuan, meski itu suami-istri. Memang dalam point ini, masih ada
perbedaan pendapat antar ulama fiqh. Namun, mayoritas umat Islam Indonesia yang
bermadzab Syafi’i mengikuti pendapat bahwa bersentuhan kulit antara laki-laki
dan perempuan, meski itu suami-istri merupakan hal yang membatalkan wudlu.
Batalnya wudlu yang disebabkan oleh persentuhan
kulit tersebut mengambil dasar hukum dari al-Qur’an yaitu surat al-Maidah ayat
6 yang artinya: “Hai orang-orang yang beriman, apabila kamu hendak mengerjakan shalat, maka
basuhlah mukamu dan tanganmu sampai dengan siku, dan sapulah kepalamu dan
(basuh) kakimu sampai dengan kedua mata kaki, dan jika kamu junub maka
mandilah, dan jika kamu sakit atau dalam perjalanan atau kembali
dari tempat buang air (kakus) atau menyentuh perempuan, lalu kamu tidak
memperoleh air, Maka bertayammumlah dengan tanah yang baik (bersih); sapulah
mukamu dan tanganmu dengan tanah itu. Allah tidak hendak menyulitkan kamu,
tetapi Dia hendak membersihkan kamu dan menyempurnakan nikmat-Nya bagimu,
supaya kamu bersyukur.” Awal
mula perbedaan pendapat adalah pada lafadz “لمستم
النساء” Dalam hal ini, arti kata laamastumun-nisa’ adalah menyentuh kulit perempuan. Ada sebagian
ulama yang berpendapat bahwa hal tersebut merupakan kiasan atau penghalusan
dari kata hubungan badan suami-istri. Oleh karenanya mereka berpendapat bahwa
jika hanya bersentuhan kulit maka tidak batal wudlunya.
Namun menurut madzab Syafi’i, kata laamastumun-nisa’ bukanlah kiasan,
melainkan pada arti sesungguhnya yaitu menyentuh kulit perempuan, yang berimbas
pada batalnya wudlu jika terjadi persentuhan kulit. Hal
ini berdasarkan beberapa analisis sebagai berikut:
Ø Sebelum kata laamastumun-nisa’
sudah ada kata “junuban” yang berarti
junub.
Ø Junuban
masuk dalam kategori hadats besar yang harus mandi. Pada kata junuban, kata penghubung dengan kalimat
sesudahnya adalah “wa” yang berarti
“dan”. Kalimat sesudahnya tersebut menyebutkan tentang hadats kecil yang
jika sakit atau bepergian atau setelah buang air atau menyentuh perempuan. Nah
kata penghubung antara lafadz jaa-a
ahadum-minkum minal-ghaithi (kembali dari tempat buang air) dengan laamastumun-nisa’ (menyentuh perempuan)
adalah kata “aw” yang berarti “atau”.
Hal ini menunjukkan kesetaraan jenis keduanya, yang berarti laamastumun-nisa’ masuk kategori hadats
kecil. Padahal jika diartikan hubungan badan antara suami-istri maka itu
termasuk hadats besar. Selain itu, dalam konsep ini, jika maksud kata junuban adalah hubungan badan
suami-istri, maka tidaklah perlu ada pengulangan maksud menggunakan kata laamastumunnisa’ untuk hal yang sama.
Jadi jelas bahwa maksud kata ini adalah
menyentuh kulit perempuan dalam arti sebenarnya,
bukan kiasan.
Ø Dari sisi bahasa Arab kata “لمس”
sebagaimana dalam qira’ah lainnya,
dan semuanya bermakna bertemunya kulit dengan kulit dalam arti sebenarnya.
Ø Dalam salah satu atsar
sahabat Abdullah bin Umar ra berkata: “Seorang laki-laki mencium isterinya dan جسها (menyentuhnya)
dengan tangannya termasuk “الملامسة” (menyentuh),
dan barang siapa yang mencium ietrinya atau menyentuh dengan tangannya maka
wajib baginya berwudhu.” (HR. Malik dalam Muwattha’ dengan sanad shahih).
Begitulah analisis
tentang batalnya wudlu sebab persentuhan kulit antara laki-laki dengan
perempuan. Terlepas dari pendapat batal atau tidaknya wudlu karena sebab
tersebut, selayaknya tidak ada ruginya jika kita tetap mengambil wudlu. Toh
berwudlu merupakan salah satu bentuk ibadah yang akan mendapatkan pahala jika
dikerjakan dengan ikhlas. Banyak sekali fadhilah dari berwudlu. Kita bisa
mencernanya dari berbagai hadits, diantaranya: “Sungguh, umatku akan dipanggil
(saat akan dihisab) nanti pada hari kiamat dalam keadaan bercahaya di sekitar
wajah, tangan dan kaki, karena bekas wudhu. Karena itu,
barangsiapa diantara kalian yang ingin melebihkan basuhan wudhunya, maka
lakukanlah.” (Muttafaq ‘alaih). Kemudian
juga hadits lain: “Apabila seorang muslim atau mukmin berwudhu, maka ketika membasuh wajah,
seluruh dosa yang telah dilihat dengan kedua matanya keluar dari wajahnya
bersama air atau tetesan air terakhir. Ketika membasuh kedua tangannya, setiap
dosa yang disebabkan pukulan tangannya keluar dari tangannya bersama air atau
tetesan air terakhir. Ketika membasuh kakinya, seluruh dosa karena perjalanan
kakinya keluar bersama air atau tetesan air terakhir. Sehingga, ia pun keluar
dalam keadaan bersih dari seluruh dosa.” (HR. Muslim).
Tulisan pendek ini
tentu belum mampu menjabarkan secara utuh permasalahan yang dimaksud. Namun
setidaknya, kita akan sedikit mengetahui cara pengambilan hukum fiqh dari suatu
permasalahan. Semoga Allah senantiasa merahmati kita.
***
Tidak ada komentar:
Posting Komentar