Edisi 6 th VI : 20 Januari 2015 M / 01 Jumadil Awwal 1436 H
ORANG TUA KITA
Penulis:
ust. Marsudi (TPQ
ad-Darajat, Mayak)
Segala puji bagi Allah yang telah berfirman
dalam al-Qur’an surat al-Isra’ ayat 23-24: “Dan
Tuhanmu telah memerintahkan supaya kamu jangan menyembah selain Dia, dan
hendaklah kamu berbuat baik pada ibu bapakmu dengan sebaik-baiknya. Jika salah
seorang di antara keduanya atau kedua-duanya sampai berumur lanjut dalam
pemeliharaanmu, maka sekali-kali janganlah kamu mengatakan kepada keduanya
perkataan “ah”, dan janganlah kamu membentak mereka dan ucapkanlah kepada
mereka perkataan yang mulia. Dan rendahkanlah dirimu terhadap mereka berdua dengan
penuh kesayangan dan ucapkanlah: “Wahai Rabbku, kasihilah mereka keduanya,
sebagaimana mereka berdua telah mendidik aku waktu kecil.” Shalawat
dan salam semoga tetap tercurah pada nabi Muhammad saw, manusia yang terlahir
yatim namun mampu menunjukkan kepada kita tatacara terbaik dalam bersikap pada
orang tua.
Jika saat ini kita telah
menjadi ayah dan ibu, tentu kita sangat berharap anak kita menjadi anak shalih
dan shalihah. Sebuah harapan yang teramat wajar, mengingat betapa
menyenangkannya jika kita mendapat rasa hormat dan pengabdian dari anak-anak
kita. Sebaliknya, betapa mengenaskannya hidup kita jika memiliki anak durhaka
yang senantiasa menyusahkan, membuat masalah, menebar aib dan rasa malu di
masyarakat
Ada satu hal yang harus kita sadari, terkait dengan harapan agar anak-anak
kita menjadi shalih-shalihah. Disadari ataupun tidak, diakui ataupun tidak,
hukum sebab-akibat dan hukum tanam-panen tetap akan berlaku dalam kehidupan
kita. Dalam konteks lain, ada yang menyebut sebagai hukum karma. Hal ini tentu
berbeda konsepnya dengan cerita sinetron atau sejenisnya yang dengan mudahnya
cerita akhirnya bisa ditebak. Oleh karenanya, kita harus melihat diri kita
sendiri terlebih dahulu sebelum ekspektasi (pengharapan) kita terlalu tinggi
pada anak kita. Kita perlu muhasabah
sikap kita pada orang tua kita sendiri.
Pernahkah kita sejenak merenungi akan betapa besarnya jasa orang tua
kita? Banyak di antara kita sendiri yang lupa dengan segunung jasa ayah dan ibu kita. Pernahkah juga kita bayangkan
jasa ibu kita yang dulu mengandung kita dengan sangat kepayahan dan kesusahan?
Kepayahan tersebut semakin lama bertambah berat seiring bertambahnya hari. Rasa
mual dan muntahpun menjadi teman yang tak bisa dipungkiri. Rasa meriang dan
pegal-pegal selalu hadir seolah tiada henti. Kepayahan, tidur, duduk dan
berjalan semakin hari justru semakin menjadi-jadi. Hal ini saja seharusnya
sudah bisa menginspirasi kita untuk senantiasa memenuhi kewajiban kita terhadap orang
tua kita.
Ayah kitapun tak kalah tinggi jasanya. Setiap hari bergelut dengan
pahit getirnya mencari nafkah untuk anak-anaknya. Bahkan banyak di antara
bapak kita berhari-hari dan berbulan-bulan terpaksa meninggalkan kita. Bukan
karena tak cinta namun karena
besarnya tanggungjawab menafkahi keluarga termasuk kita. Semua itu agar kita bisa merasakan penghidupan yang
baik, bisa bersekolah seperti anak-anak yang lain, menjadi pintar dan shalih serta berguna dimasa
tua mereka. Namun apakah kita saat ini masih
mampu mengingat jasa-jasa mereka kepada kita? Mengapa cepat sekali kita lupa dengan
kebaikan ayah dan bunda kita?
Ketinggian jasa orang tua memang tak terbalas dengan uang atau materi
dunia. Ada sebagian orang mengira bahwa berbakti kepada orang tua cukup dengan
memenuhi kebutuhan hidup mereka. Memberikan uang setiap bulan, mencukupi
kebutuhan sandang, kebutuhan pangan, papan dan lain sebagainya. Memang tak
dipungkiri hal tersebut merupakan bentuk bakti anak kepada orang tua. Namun
satu hal penting yang harus kita perhatikan dan tidak boleh kita lupakan yaitu sikap kita pada orang tua, termasuk tutur kata dan
sejenisnya, sebagaimana sinyal yang tercantum dalam surat al-Isra’ ayat 23-24
yang disitir di awal buletin tadi.
Pertanyaannya, sempatkah kita yang barangkali telah mengaku
“shalih” atau “shalihah” sejenak merenung bagaimana kondisi psikologis
orang tua kita? Atau bahkan kita sendiri malah tak sempat menggubris karena
disibukkan dengan diri sendiri serta anak-istri kita? Padahal kewajiban berbakti
kepada kedua orang tua tidak gugur meski kita telah berkeluarga ataupun jauh dari mereka. Ada
sebuah hadits yang
sangat urgen untuk kita renungkan bersama. Hadits ini
berasal dari ‘Aisyah ra yang bertanya pada Rasulullah saw. “Wahai Rasulullah, siapakah yang
paling besar hak-nya atas seorang wanita?”Jawab beliau: “suaminya”. Aku
bertanya lagi: “Siapa yang paling besar hak-nya atas laki-laki?” Beliau
menjawab: “ibunya”. (HR Hakim). Hadits ini harus jadi acuan bagi
laki-laki sebagai kepala rumah tangga. Seberapa pun besarnya tanggungjawab pada
anak-istri, tapi ibu kita tak boleh kita lupakan.
Oleh karena itu, senyampang
masih ada kesempatan bertemu dan mendapati kedua
orang tua kita di dunia, maka bersegeralah untuk berbakti pada mereka. Rasulullah saw memberikan peringatan yang diulang tiga kali dalam satu
hadits, yang berarti hal ini merupakan penekanan, tentang urgennya berbakti
pada orang tua. Hadits ini berasal dari Abu Hurairah ra: “Sungguh merugi, sungguh merugi, dan sungguh merugi orang yang
mendapatkan kedua orang tuanya yang sudah renta atau salah seorang dari mereka
kemudian hal itu tidak dapat memasukkannya ke dalam surga.” (HR.
Muslim). Jika Rasulullah saw telah menyatakan kata yang diulang
tiga kali, ini harus menjadi acuan. Berbakti pada orang tua dapat mengantarkan
kita ke surga, dan jika kita melewatkan kesempatan tersebut, maka kita rugi.
Dari sudut pandang
yang lain, kita tentu dapat merasakan alangkah
bahagianya orang tua mendapati anak-anaknya berbakti di hari
tuanya. Mereka tentu merasa tidak sia-sia telah melahirkan dan
membesarkan kita. Sebaliknya jika kita tidak mengingat orang tua, tentu mereka
merasa nelangsa. Meski kita di mata masyarakat terbilang mendapat predikat
sukses, tapi jika kita tidak mendapat “senyuman” dari orang tua kita, semuanya
hanya akan percuma saja.
Adapun bagi kita
yang sudah tidak mendapati orang tua kita di dunia lagi, kita masih ada
kesempatan untuk berbakti. Tentu dengan do’a yang kita panjatkan pada Allah,
harta yang kita sedekahkan atas namanya, atau haji atas namanya. Semuanya masih
terbuka selagi kita masih hidup. Oleh karenanya, mari kita muhasabah bakti kita pada orang tua, untuk kemudian kita berharap
anak-anak kita mampu lebih baik dari kita, mampu lebih shalih atau shalihah
dari kita. Mari kita mulai sekarang ...
Tidak ada komentar:
Posting Komentar