Edisi 11 th VI : 27 Maret 2015 M / 29 Jumadil Akhir 1436 H
BOLEH BERBEDA
DALAM FIQH
Penulis: Dana
A. Dahlany
(mahasiswa al-Azhar, Cairo,
alumnus Darul Huda Mayak)
Segala puji hanyalah
bagi Allah swt yang telah berfirman
dalam al-Qur’an surat Shad ayat 29 yang artinya: ”Ini adalah sebuah kitab
yang Kami
turunkan kepadamu penuh dengan keberkahan supaya mereka memperhatikan
ayat-ayatnya, dan supaya mendapat pelajaran orang-orang yang mempunyai
pikiran.” Shalawat dan salam
semoga tercurah pada nabi Muhammad saw yang menjadi suri tauladan bagi kita
dalam mempelajari maupun mengimplementasikan kandungan al-Qur’an dalam
kehidupan nyata kita.
Kita sesama umat Islam, seringkali mendapati
adanya perbedaan dalam tingkah-laku beribadah, yang lebih dikenal dengan
sebutan fiqh. Pertanyaan yang sering ada dalam benak orang awam adalah “Mengapa
bisa berbeda? Padahal sumbernya sama yaitu al-Qur’an dan hadits?” Untuk
menjawab pertanyaan tersebut, kita harus memahami bahwa kedua sumber hukum di atas sebenarnya masih bersifat “bahan mentah” yang
dapat diolah untuk seterusnya diaplikasikan. Kedua sumber di atas belumlah merupakan bahan jadi yang langsung dapat diaplikasikan. Misalnya perintah shalat dalam
al-Qur’an, tidak ada rincian bagaimana tatacara shalat. Rinciannya ada dalam
hadits. Untuk itu masih diperlukan interpretasi. Dalam
menginterpretasikan kedua sumber tersebut terjadilah perbedaan persepsi.
Setiap
ada masalah dalam fiqh, maka jalan
untuk mencari detailnya adalah menggunakan ushul
fiqh. Dalam konteks inilah, para ahli fiqh
menggunakan metode yang berbeda dalam memahami sebuah dalil. Namun sesungguhnya, perbedaan
persepsi dalam fiqh ternyata bukanlah hal baru. Di zaman Nabi
Muhammad saw sendiri perbedaan persepsi itu sudah terjadi. Salah
satu contoh adalah dalam kasus hadats
besar bagi orang yang bertayammum.
Apakah mandi dengan pasir ataukah cukup tayammum
biasa. Karena Nabi masih berada di tengah-tengah mereka
maka semua
jenis perbedaan itu dapat diselesaikan dengan langsung oleh beliau. Perbedaan persepsi di kalangan ummat di zaman Khulafaur Rasyidin, terutama
dua khalifah pertama, dapat dikatakan masih sempit dan terbatas, karena ummat
Muslim di kala itu masih sedikit dan terkumpul di jazirah Arab saja. Jika terjadi permasalahan,
maka mereka akan segera mendatangai khalifah untuk
minta penyelesaian masalah yang dipertentangkan.
Perbedaan persepsi baru meluas seiring dengan perluasan daerah
kekuasaan Islam dan masuknya banyak orang asing ke dalam agama Islam. Di saat
itu terasalah kebutuhan ummat akan metode pengambilan hukum serta kodifikasi
hukum yang dapat dirujuk sembarang waktu. Di saat itu fiqh-pun semakin berkembang
dengan tokoh ulama-ulama mazhab seperti Imam Malik, Imam Hanafi, Imam Syafii, Ahmad bin Hanbal dll.
Hebatnya lagi, mereka adalah guru-murid yang saling berkembang keilmuwannya.
Guru tidak memaksakan pendapatnya pada sang murid. Ahmad bin Hanbal merupakan
murid Imam Syafi’i. Sedangkan Imam Syafi’i merupakan murid Imam Malik. Mereka
semua berkembang ilmunya dan mampu merumuskan fiqh secara terperinci.
Meskipun metodologi ushul fiqh
yang mereka gunakan cenderung berbeda, tapi mereka tetap saling menghormati
satu sama lain. Demi menjaga adab antara murid dengan guru, Imam Syafi’i sangat berhati-hati saat
membuka lembaran-lembaran kitab di hadapan Imam Malik. Hal tersebut dilakukan
agar suaranya tidak sampai terdengar oleh sang guru. Dalam hal lain, bukan hanya di masa hidupnya saja, para imam yang
mulia tersebut juga masih menjaga kehormatan para pendahulu yang telah wafat. Salah satu contoh adalah tindakan Imam Syafi’i. Demi menghormati Imam Hanafi, maka Imam Syafi’i rela
tidak membaca doa qunut saat shalat shubuh di dekat makam
beliau. Contoh
lain adalah mereka juga saling mendoakan satu sama lain
tanpa sepengetahuan yang bersangkutan. Imam Ahmad bin Hanbal tak pernah
putus-putusnya mendoakan Imam Syafi’i dalam shalatnya selama 40 tahun lamanya.
Kenapa beliau sampai melakukan hal itu? Ahmad bin Hanbal berkata: “Imam Syafi’i itu
bagaikan matahari bagi dunia dan ibarat kesehatan bagi manusia.”
Berkaca dari segala hal sikap para ulama hebat
terdahulu dalam menghadapi perbedaan, kita yang mewarisi khazanah para ulama
itu, sudah sepatutnya menghidupkan kembali adab dan nilai-nilai agung yang
mereka usung
menghidupkan
kembali adab dan nilai-nilai agung yang mereka usung untuk menyikapi berbagai
perbedaan yang semakin heterogen akhir-akhir ini. Perbedaan ormas, perbedaan
parpol, perbedaan mazhab dan perbedaan ideologi sangatlah tidak layak dijadikan
alasan untuk memecah belah persatuan umat.
Agama Islam
merupakan agama yang seimbang antara hablum minAllah de-ngan hablum
minan nas-nya. Karena itulah Islam sangat menganjurkan untuk berbuat baik
terhadap sesama manusia. Rasulullah saw bersabda: “Tidak akan masuk surga bagi orang yang
tetangganya tak aman dari kejelekannya.” (HR. Muslim). Kerukunan dalam
ruang lingkup terkecil yaitu bertetangga merupakan cikal bakal kerukunan yang
lebih global semisal kerukunan bangsa dan bahkan kerukunan dunia. Hidup rukun
dan berbuat baik terhadap tetangga merupakan indikator kesempurnaan iman seseorang,
sebagaimana disabdakan oleh Rasulullah saw: “Barangsiapa beriman kepada
Allah dan hari akhir maka janganlah dia mengganggu tetangga-nya, barangsiapa
yang beriman kepada Allah dan hari akhir maka hendaknya dia memuliakan tamunya,
dan barangsiapa yang beriman kepada Allah dan hari akhir maka hendaknya dia
berkata baik atau diam” (HR Bukhari dan Muslim). Dalam konteks inilah
sesungguhnya Islam diberi label rahmatan lil ‘alamin, di mana dengan
ajarannya ini maka dunia akan penuh rahmat kasih sayang antar manusia.
Umat Islam masih
punya PR dan tantangan lebih besar lagi yang harus segera diselesaikan.
Daripada sibuk membahas perbedaan yang tak jarang menimbulkan percekcokan,
lebih baik kita sama-sama berjuang demi kemajuan dan kejayaan kaum beriman.
Bukankah umat Islam itu bersaudara yang diibaratkan Rasululullah Saw. seperti
sebuah bangunan yang saling menguatkan satu sama lain? Bukankah banyak sekali
ayat al-Quran yang melarang kita untuk
bercerai berai dan saling berselisih? Untuk
mewujudkan persatuan itu, kita cukup berbekal sebuah prinsip, “Bersatu dan saling bahu-membahu dalam
hal-hal yang kita sepakati, disertai toleransi dan saling menghargai dalam
hal-hal yang tidak kita sepakati.” Semoga Allah swt
meringankan langkah-langkah kita dalam meniti kebaikan demi kejayaan Islam.
Aamiin. ***
Tidak ada komentar:
Posting Komentar