buletin ini terbit secara rutin tiap hari Jum'at di masjid agung RMAA Tjokronegoro Ponorogo

Minggu, 26 April 2015

BOLEH BERBEDA DALAM FIQH






Edisi 11 th VI : 27 Maret 2015 M /  29 Jumadil Akhir 1436 H
BOLEH BERBEDA DALAM FIQH
Penulis: Dana A. Dahlany (mahasiswa al-Azhar, Cairo, alumnus Darul Huda Mayak)
Segala puji hanyalah bagi Allah swt yang telah berfirman dalam al-Qur’an surat Shad ayat 29 yang artinya: Ini adalah sebuah kitab yang Kami turunkan kepadamu penuh dengan keberkahan supaya mereka memperhatikan ayat-ayatnya, dan supaya mendapat pelajaran orang-orang yang mempunyai pikiran.” Shalawat dan salam semoga tercurah pada nabi Muhammad saw yang menjadi suri tauladan bagi kita dalam mempelajari maupun mengimplementasikan kandungan al-Qur’an dalam kehidupan nyata kita.
Kita sesama umat Islam, seringkali mendapati adanya perbedaan dalam tingkah-laku beribadah, yang lebih dikenal dengan sebutan fiqh. Pertanyaan yang sering ada dalam benak orang awam adalah “Mengapa bisa berbeda? Padahal sumbernya sama yaitu al-Qur’an dan hadits?” Untuk menjawab pertanyaan tersebut, kita harus memahami bahwa kedua sumber hukum di atas sebenarnya masih bersifat “bahan mentah” yang dapat diolah untuk seterusnya diaplikasikan. Kedua sumber di atas belumlah merupakan bahan jadi yang langsung dapat diaplikasikan. Misalnya perintah shalat dalam al-Qur’an, tidak ada rincian bagaimana tatacara shalat. Rinciannya ada dalam hadits. Untuk itu masih diperlukan interpretasi. Dalam menginterpretasikan kedua sumber tersebut terjadilah perbedaan persepsi.
            Setiap ada masalah dalam fiqh, maka jalan untuk mencari detailnya adalah menggunakan ushul fiqh. Dalam konteks inilah, para ahli fiqh menggunakan metode yang berbeda dalam memahami sebuah dalil. Namun sesungguhnya, perbedaan persepsi dalam fiqh ternyata bukanlah hal baru. Di zaman Nabi Muhammad saw sendiri perbedaan persepsi itu sudah terjadi. Salah satu contoh adalah dalam kasus hadats besar bagi orang yang bertayammum. Apakah mandi dengan pasir ataukah cukup tayammum biasa. Karena Nabi masih berada di tengah-tengah mereka maka semua jenis perbedaan itu dapat diselesaikan dengan langsung oleh beliau. Perbedaan persepsi di kalangan ummat di zaman Khulafaur Rasyidin, terutama dua khalifah pertama, dapat dikatakan masih sempit dan terbatas, karena ummat Muslim di kala itu masih sedikit dan terkumpul di jazirah Arab saja. Jika terjadi permasalahan, maka mereka akan segera mendatangai khalifah untuk minta penyelesaian masalah yang dipertentangkan.
Perbedaan persepsi baru meluas seiring dengan perluasan daerah kekuasaan Islam dan masuknya banyak orang asing ke dalam agama Islam. Di saat itu terasalah kebutuhan ummat akan metode pengambilan hukum serta kodifikasi hukum yang dapat dirujuk sembarang waktu. Di saat itu fiqh-pun semakin berkembang dengan tokoh ulama-ulama mazhab seperti Imam Malik, Imam Hanafi, Imam Syafii, Ahmad bin Hanbal dll. Hebatnya lagi, mereka adalah guru-murid yang saling berkembang keilmuwannya. Guru tidak memaksakan pendapatnya pada sang murid. Ahmad bin Hanbal merupakan murid Imam Syafi’i. Sedangkan Imam Syafi’i merupakan murid Imam Malik. Mereka semua berkembang ilmunya dan mampu merumuskan fiqh secara terperinci.
Meskipun metodologi ushul fiqh yang mereka gunakan cenderung berbeda, tapi mereka tetap saling menghormati satu sama lain. Demi menjaga adab antara murid dengan guru, Imam Syafi’i sangat berhati-hati saat membuka lembaran-lembaran kitab di hadapan Imam Malik. Hal tersebut dilakukan agar suaranya tidak sampai terdengar oleh sang guru. Dalam hal lain, bukan hanya di masa hidupnya saja, para imam yang mulia tersebut juga masih menjaga kehormatan para pendahulu yang telah wafat. Salah satu contoh adalah tindakan Imam Syafi’i. Demi menghormati Imam Hanafi, maka Imam Syafi’i rela tidak membaca doa qunut saat shalat shubuh di dekat makam beliau. Contoh lain adalah mereka juga saling mendoakan satu sama lain tanpa sepengetahuan yang bersangkutan. Imam Ahmad bin Hanbal tak pernah putus-putusnya mendoakan Imam Syafi’i dalam shalatnya selama 40 tahun lamanya. Kenapa beliau sampai melakukan hal itu? Ahmad bin Hanbal berkata: “Imam Syafi’i itu bagaikan matahari bagi dunia dan ibarat kesehatan bagi manusia.
Berkaca dari segala hal sikap para ulama hebat terdahulu dalam menghadapi perbedaan, kita yang mewarisi khazanah para ulama itu, sudah sepatutnya menghidupkan kembali adab dan nilai-nilai agung yang mereka usung

menghidupkan kembali adab dan nilai-nilai agung yang mereka usung untuk menyikapi berbagai perbedaan yang semakin heterogen akhir-akhir ini. Perbedaan ormas, perbedaan parpol, perbedaan mazhab dan perbedaan ideologi sangatlah tidak layak dijadikan alasan untuk memecah belah persatuan umat.
Agama Islam merupakan agama yang seimbang antara hablum minAllah de-ngan hablum minan nas-nya. Karena itulah Islam sangat menganjurkan untuk berbuat baik terhadap sesama manusia. Rasulullah saw bersabda: “Tidak akan masuk surga bagi orang yang tetangganya tak aman dari kejelekannya.” (HR. Muslim). Kerukunan dalam ruang lingkup terkecil yaitu bertetangga merupakan cikal bakal kerukunan yang lebih global semisal kerukunan bangsa dan bahkan kerukunan dunia. Hidup rukun dan berbuat baik terhadap tetangga merupakan indikator kesempurnaan iman seseorang, sebagaimana disabdakan oleh Rasulullah saw: “Barangsiapa beriman kepada Allah dan hari akhir maka janganlah dia mengganggu tetangga-nya, barangsiapa yang beriman kepada Allah dan hari akhir maka hendaknya dia memuliakan tamunya, dan barangsiapa yang beriman kepada Allah dan hari akhir maka hendaknya dia berkata baik atau diam” (HR Bukhari dan Muslim). Dalam konteks inilah sesungguhnya Islam diberi label rahmatan lil ‘alamin, di mana dengan ajarannya ini maka dunia akan penuh rahmat kasih sayang antar manusia.
Umat Islam masih punya PR dan tantangan lebih besar lagi yang harus segera diselesaikan. Daripada sibuk membahas perbedaan yang tak jarang menimbulkan percekcokan, lebih baik kita sama-sama berjuang demi kemajuan dan kejayaan kaum beriman. Bukankah umat Islam itu bersaudara yang diibaratkan Rasululullah Saw. seperti sebuah bangunan yang saling menguatkan satu sama lain? Bukankah banyak sekali ayat al-Quran yang melarang kita untuk bercerai berai dan saling berselisih? Untuk mewujudkan persatuan itu, kita cukup berbekal sebuah prinsip, “Bersatu dan saling bahu-membahu dalam hal-hal yang kita sepakati, disertai toleransi dan saling menghargai dalam hal-hal yang tidak kita sepakati.” Semoga Allah swt meringankan langkah-langkah kita dalam meniti kebaikan demi kejayaan Islam. Aamiin. ***

Tidak ada komentar:

Posting Komentar